97
4.6 Implementasi Nilai Multikultural Mengenai Interaksi Sosial Siswa
Untuk dapat mengimplementasikan nilai multikultural yang sejognya haruslah di terapkan dalam lingkungan pendidikan, disini terdapat dua unsur
penting dalam mengefektivitaskan konsep nilai multikultural khususnya yang terjadi di SMA Sutomo 2, Medan. Pada bagian latar belakang telah di uraikan
mengenai latar belakang mengapa penulis membahas mengenai interaksi antar siswa di sekolah tersebut, dalam hal ini pentingnya menjaga nilai multikultural
di karenakan sekolah tersebut mayoritas etnis Tionghoa, lalu berdasarkan hasil observasi di SMA tersebut ternyata prinsip nilai multikultural tersebut tidaklah
berjalan dengan sesuai. Hargai menghilangkan dari nilai budaya tersendiri melainkan
mempertahankan nilai budaya tersebut tetapi dengan saling menghargai budaya lain sebagai bentuk toleransi kita terhadap perbedaan, begitu juga yang
penulis ingin lihat melalui interaksi antar siswa SMA Sutomo 2, Medan. Siswa yang ada di sekolah tersebut merupakan anggota masyarakat yang berasal dari
keluarga yang berbeda pula satu dengan yang lainnya, dari segi bahasa, budaya, agama dll sebagainya, namun ketika siswa – siswa tersebut memasuki
dunia pendidikan maka para siswa mendapatkan pengetahuan yang lebih luas lagi dan yang terpenting memahami apa itu menerima perbedaan baik dari
segi agama, bahasa, etnis, budaya dan bahkan ideologi yang berbeda pula antarsiswa.
Indikator yang menjadi landasan terjadinya pemahaman siswa dalam interaksi mereka melalui adanya sikap saling keterbukaan tanpa harus
memandang suku, karena yang terjadi di sekolah tersebut masalah keagamaan tidaklah menjadi perbedaan yang terlalu mencolok,hal tersebut di karenakan
Universitas Sumatera Utara
98
agama itu bersifat universal, tetapi kalau bersinggungan dengan etnis, maka hal tersebut cenderung ingroup, seperti halnya yang ada di sekolah tersebut
siswa tidak mempermasalahkan sama sekali mengenai perbedaan agama karena siswa yang Tionghoa juga ada yang menganut agama islam, dan agama
kristen tidaklah menjadi patokan bahwa siswa yang etnis Tionghoa akan selalu beragama Buddha.
Berdasarkan hasil observasi, penulis mendapati bahwa ternyata siswa tidaklah memiliki keterbukaan yang signifikan dalam hal pergaulan mereka
baik di kelas dan diluar kelas, hal tersebut terkait dengan adanya tingkat kenyamanan mereka selama berinteraksi dan bergaul dengan sesama teman
mereka, ternyata tingkat kenyaman menjadi tolak ukur dalam berteman, tetapi setiap siswa akan saling melakukan kontak sosial, baik menyapa, menegur,
bersenda gurau, tapi hanya sebatas teman saja. Jika untuk berteman baik, para siswa akan memilih teman yang berasal dari sesama mereka saja misalnya
etnis Tionghoa dengan yang Tionghoa juga dan sebaliknya begitu. Sikap keterbukaan yang merupakan salah satu indikator terjalinnya nilai
multikultural ternyata tidak berjalan dengan baik, hal tersebut juga dipaparkan oleh siswa yang menjadi informan penulis di SMA Sutomo 2, Medan.
Pemahaman mengenai nilai multikultural juga harus melalui hubungan yang dialogis dalam melakukan interaksi sosial, yaitu melalui proses
komunikasi agar apa yang ingin kita sampaikan dapat memahami apa yang ingin kita sampaikan.Begitu juga dengan apa yang penulis lihat pada saat
observasi di lapangan. Berdasarkan hasil observasi ternyata siswa memilki permasalahan yang menyangkut penggunaan bahasa yang ingin di sampaikan.
Terkait dengan penggunaan bahasa yang dominan di lingkungan sekolah
Universitas Sumatera Utara
99
tersebut yaitu bahasa Hokkien. Tentunya tidak terjadi kesepakatan dengan syarat terjadinya interaksi sosial antar siswa SMA Sutomo 2, Medan tersebut.
Siswa yang tidak memahami bahasa hokkien akan mengalami sedikit perasaan yang dikucilkan karena ia tidak paham dengan bahasa Hokkien. Akhirnya
pengelompokan atau ingroup pun terjadi. Berdasarkan data di lapangan siswa yang berasal dari etnis Tionghoa memiliki keengganan jika berbicara dengan
siswa yang Non Tionghoa, dan hanya berbicara jika ada yang di perlukan saja, tetapi untuk berteman dekat apalagi untuk berbicara mengenai masalah pribadi
mereka lebih memilih untuk berteman dekat dengan sesama mereka saja. Pada akhirnya tidak terjadi interaksi sosial yang baik di antara para siswa jika dari
berkomunikasi saja mereka memiliki keterbatasan untuk saling memahami perbedaan masing-masing.
Siswa yang ada di SMA Sutomo 2, Medan menyadari dengan adanya heterogenitas di antara mereka, khususnya untuk siswa yang Non Tionghoa
sebelum masuk ke sekolah tersebut mereka mengetahui kondisi dari sekolah tersebut, namun ada kepercayaan yang di berikan oleh orang tua siswa agar
anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik daripada bersekolah di SMA Negeri. Dari segi fasilitas sekolah tersebut sangat
memadai. Heterogenitas yang ada disekolah diakui oleh sisw yang Non Tionghoa dan Tionghoa tetapi mereka saling memberikan pemahaman
berinteraksi dan berteman selayaknya teman di kelas. Hal tersbut dengan terbuktinya adanya toleransi yang ckup tinggi diantara mereka, terkait dengan
agama, ketika siswa dari agama lain mengadakan acara perayaan hari besar agama baik islam, kristen, dan buddha, siswa memiliki acara hala bihalal
diruangan agama yang disediakan oleh sekolah, begitu juga dengan sesama
Universitas Sumatera Utara
100
guru. Tidak ada larangan untuk siswa yang beragama islam untuk mengenakan jilbab dan begitu juga dengan gurunya. Toleransi di sekolah ini di bangun
untuk saling menekankan penerimaan perbedaan. Sejauh ini tidak ada permasalahan mengenai perbedaan agama, hanya saja ketika berkaitan dengan
etnisistas, siswa memiliki sedikit kesenjangan dengan siswa yang Tionghoa dan Non Tionghoa hal tersbut juga dikatakan oleh para siswa yang menjadi
informan bahwa mereka cendrung ingroup. Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak akan dapat berdiri
sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain begitu juga dengan siswa SMA Sutomo 2, medan. walaupun mereka memiliki kesenjangan di antara siswanya
hanya saja nilai dari tolong menolong tetap berjalan dengan apa adanya, misalnya pada saat meminjamkan sesuatu berupa catatan, diskusi mengenai
pelajaran bahkan melakukan kegiatan eksul bersama-sama, manusia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari porang lain.. Tidak hanya
itu saja para guru juga yang berasal dari latar belakang yang berbeda tidak akan memiliki rasa diskiriminasi terhadap budaya lain, keadilan yang ada
diskolah tersebut juga menjunjung tinggi nilai tersebut, hal tersebut dikarenakan nilai yang didapat siswa sesuai dengan apa yang ia kerjakan pada
saat ujian, dan seberapa aktif ia dikelas menjadi poin penting bagi siswa untuk bisa mendapatkan prestasi yang baik di kelas.
Terkait dengan pembahasan guru, pada dasarnya standart nasional dalam penggunaan bahasa daerah dilarang pada saat kegiatan belajar mengajar
hanya saja pada saat observasi dilapangan, ternyata guru juga menggunakan bahasa daerah, bahkan pihak kepala sekolahnya juga menggunakan bahasa
daerah ketika berbicara dengan siswa ataupun staff yang berasal dari etnis
Universitas Sumatera Utara
101
Tionghoa juga. Tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan informan menyatakan bahwa sama sekali tidak ada diskriminasi terhadap nilai yang
diberikan oleh para guru tanpa memandang dari SARA. Setiap manusia memiliki perbedaan yang menjadikan ciri khas dari
setiap manusia, tuhan menciptakan perbedaan untuk bisa saling memahami dan bertoleransi agar terjadi kesinambungan di antara umatnya, berkaitan
dengan hal interaksi yang ada di SMA Sutomo 2, medan siswa nya satu sama lain saling mengenal hanya saja tidak terjalin keakraban yang signifikan.
Keakraban yang terbentuk berupa kerjasama dalam mengerjakan tugas diskusi kelompok, interaksi antar siswa tentunya memiliki rasa persamaan tetapi
dalam konteks status sebagai seorang siswa yang merupakan bagian dari anggota masing-masing.
Namun halnya masih ada berupa pandangan beberapa siswa khususnya yang beretnis Tionghoa terhadap siswa yang Non Tionghoa dikarenakan
pandangan masa lalu mengenai diskriminasi etnis Tionghoa. Indikator telaksannnya nilai multikultural salah satunya yaitu dengan memiliki sikap
berbaik sangka terhadap sesama siswa, namun masih ada terjadi ingroup seperti yang telah dipaparkan oleh beberapa informan bahwa terkadang siswa
yang Tionghoa menjelek-jelekkan siswa Non Tionghoa, tetapi tidak semua siswa yang bersikap demikian. Dengan adanya sikap yang memiliki
pandangan positif maka tentunya akan berdampak juga terhadap rasa nasionalisme bangsa, jika pemahaman pancasila benar-benar diterapkan pada
siswa SMA Sutomo 2, maka hal tersebut pastinya akan memberikan progress terhadap interaksi siswa yang cenderung menunjukkan sikap tertutup ingroup
yang terjadi di antara siswa Tionghoa dan Non Tionghoa di SMA Sutomo 2,
Universitas Sumatera Utara
102
Medan. berdasarkan hasil observasi ternyata implementasi nilai multikultural tidak berjalan dengan semestinya, para siswa masih memiliki jarak di antara
siswanya, walaupun berdasarkan pernyataan pihak sekolah tidak memberikan pernyataan yang sama, sementara para siswa mengajui adanya jarak yang
begitu mencolok berupa kesenjangan yang terjadi di lingkungan siswanya.
Universitas Sumatera Utara
103
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan