Defenisi Rinosinusitis Kronik Patofisiologi

Universitas Sumatera Utara histopatologi sel hidung, hambatan sel sekresi atau obstruksi anatomi Cohen, 2006.

2.3.2. Fungsi Sinus Paranasal

Beberapa teori mengemukakan, fungsi sinus paranasal yaitu: 1 sebagai pengatur kondisi udara, 2 sebagai penahan suhu, 3 membantu keseimbangan kepala, 4 membantu resonansi suara, 5 peredam perubahan tekanan udara, dan 6 membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung Soetjipto, 2011. Penelitian yang paling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul nitrat oksida NO. Studi menunjukkan bahwa produksi nitrat oksida sinus intranasal adalah secara primer pada sinus. Telah diketahui bahwa nitrat oksida beracun pada bakteri, jamur, dan virus pada tingkatan sama rendah 100ppb. Konsentrasi dari unsur ini dapat menjangkau 30.000 ppb dimana beberapa peneliti sudah berteori tentang mekanisme dari sterilisasi sinus. Nitrat oksida juga meningkatkan pergerakan silia Angraini, 2005.

2.4. Defenisi Rinosinusitis Kronik

Rinosinusitis kronik merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satu gejalanya merupakan hidung tersumbat atau sekret hidung selama 12 minggu atau lebih, serta diikuti ada atau tanpa nyeri tekan di daerah wajah dan penurunan atau hilangnya daya penghidu Fokkens et al, 2012. Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan sebagai sinusitis maksilaris, sinusitis etmoidalis, sinusitis frontalis, dan sinusitis sfenoidalis. Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan sinus etmoidalis, sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang Mangunkusumo, 2011. Sebuah penelitian menyebutkan, pasien dengan rinosinusitis kronik dilaporkan lebih merasakan nyeri jasmani dan fungsi sosial yang lebih buruk dibanding pasien dengan penyakit kronik lainnya seperti penyakit paru obstruksi Universitas Sumatera Utara kronik, gagal jantung kongestif, dan nyeri punggung. Dampak penyakit rinosinusitis kronik terhadap kualitas hidup pasien sebanding dengan keparahan penyakit kronik lainnya. Oleh karena itu, sama halnya dengan penyakit kronik yang lain, penyakit rinosinusitis kronik sebaiknya ditangani secara proaktif Desrosiers, 2011.

2.5. Etiologi dan Faktor Predisposisi

2.5.1. Virus

Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus yang menginfeksi antara lain : rhinovirus 50, coronavirus 20, influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus Mangunkusumo, 2011.

2.5.2. Bakteri

Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah S. pneumoniae dan H. influenza. Patogen ini menjadi penyebab utama terjadinya rinosinusitis sejak kali pertama dilakukan penelitian. Sedangkan patogen yang sering pada rinosinusitis bakteri kronik adalah Staphylococcus aureus, bakteri anaerob dan bakteri gram negatif Mangunkusumo, 2011

2.5.3. Jamur

Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering dijumpai pada infeksi virus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan. Mukormikosis pula merupakan infeksi oppurtunistik ganas yang dapat berkembang menjadi patogenik pada orang yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Pada penderita ini dijumpai sekret warna pekat, gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Candida bersama histoplasmosis, koksidoimilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis, dan blastomikosis adalah kasus yang jarang mengenai hidung Boies, 2013. Universitas Sumatera Utara

2.5.4. Alergi

Rinitis adalah suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin. Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya sel mast, basofil, eosinofil, makrofag. Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul, misalnya edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit Boies, 2013.

2.5.5. Kelainan Anatomi dan Struktur Hidung

Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar Hilger, 2013.

2.5.6. Hormonal

Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61 wanita yang hamil pada trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih belum jelas Brook, 2012. Terdapat efek hormonal dari estrogen, progesteron, dan placental growth hormon pada mukosa nasal dan pembuluh darah yang mungkin berpengaruh terhadap terjadinya rinosinusitis kronik Fokkens et al, 2012

2.5.7. Lingkungan

Udara dingin umumnya menyebabkan vasokonstriksi, sedangkan udara hangat menyebabkan pembengkakan akibat vasodilatasi. Perubahan suhu Universitas Sumatera Utara lingkungan yang mendadak dapat merangsang kongesti hidung danatau rinore Hilger, 2013. Apabila terus-menerus terpapar oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok yang lama akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia Mangunkusumo, 2011.

2.6. Patofisiologi

Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar biasa terahadap penyakit selain kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri. Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan mukosa sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik. Bila faktor anatomi menyebabkan kegagalan drainase dan ventilasi sinus, maka terbentuk suatu medium untuk infeksi selanjutnya oleh kokus mikroaerofilik atau anaerobik, akibatnya berupa edema, sumbatan, dan infeksi Hilger, 2013. Sekresi lendir yang menetap dalam sinus bisa dipicu oleh 1 Obstruksi mekanik di kompleks ostiomeatal karena faktor anatomi atau 2 Edema mukosa yang disebabkan oleh berbagai etiologi misalnya, rinitis alergi, rinitis virus, rinistis bakteri akut. Stagnasi lendir di sinus membentuk media yang kaya untuk pertumbuhan berbagai patogen. Tahap awal sinusitis sering infeksi virus yang umumnya berlangsung hingga 10 hari dan yang benar-benar sembuh dalam 99 kasus. Namun, sejumlah kecil pasien dengan infeksi bakteri akut sekunder dapat berkembang yang umumnya disebabkan oleh bakteri aerobik misalnya, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis. Awalnya, sinusitis akut yang dihasilkan hanya melibatkan satu jenis bakteri aerobik. Dengan terjadinya infeksi, flora campuran, organisme anaerob, dan, kadang-kadang, jamur memberikan kontribusi untuk pathogenesis Brook, 2012. Rinosinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada rinosinusitis kronik, sumber infeksi berulang biasanya infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis. Inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan, akibatnya terjadi gangguan transpor mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus Hilger, 2013. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.2. Patofisiologi Rinosinusitis Hilger, 2013.

2.7. Gejala Klinis