Latar Belakang Masalah PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, REPUTASI UNDERWRITER, UMUR, DAN KOMISARIS INDEPENDEN TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL DALAM PROSPEKTUS IPO DENGAN PROPRIETARY COST SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI

commit to user 7 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dinamika bisnis abad 21 secara pesat ditentukan dan dikendalikan oleh elemen-elemen intellectual capitalknowledge base Singh dan Zahn 2008, sehingga modal konvensional seperti sumber daya alam, sumber daya keuangan, dan aktiva fisik lainnya menjadi kurang penting dibandingkan dengan modal yang berbasis pengetahuan dan teknologi Yusuf dan Sawitri 2009. Intellectual capital secara berangsur-angsur menggantikan aset fisik tradisional sebagai penentu sukses dan kinerja masa depan perusahaan Yau, Chun, dan Balaraman 2009. Pendapat tersebut senada dengan yang dikatakan oleh Cumby dan Conrod 2001 bahwa intellectual capital semakin dilihat sebagai bagian terintegrasi pada proses penciptaan nilai perusahaan. Menurut Pulic dan Bornemann 1999 sebagaimana dikutip oleh Williams 2001 bahwa dalam “new economy” intellectual capital telah menjadi satu-satunya competitive advantage suatu perusahaan. Oleh karena itu, intellectual capital dianggap sebagai aset yang sangat bernilai dan berpotensi bagi kesuksesan suatu perusahaan dalam dunia bisnis modern. Pentingnya modal berbasis pengetahuan dan teknologi intellectual capital sebagai competitive advantage untuk memenangkan kompetisi bisnis yang semakin keras dapat dilihat ilustrasinya pada kondisi pasar Nokia di Indonesia. Dahulu Nokia memang menjadi penguasa di pasar high-end gadget di commit to user 8 Indonesia, namun karena Nokia kurang berinovasi maka kalah daya saing dengan Samsung yang menggandeng Google Android dan Blackberry serta I-phone. commit to user Nokia sebenarnya memiliki divisi research yang handal, namun ragu untuk mengembangkan aplikasi smart phone. Nokia masih berkutat menggunakan Symbian OS yang tidak pernah di-update, sehingga meskipun Nokia user friendly tapi kalah canggih dibandingkan kompetitornya. Konsekuensinya adalah terjadi penurunan pada nilai perusahaan, dalam tiga tahun terakhir harga saham anjlok hingga 80 strategimanajemen.net dan menurut riset IDC International Data Corporation pangsa pasar Nokia turun dari 38 pada tahun 2009 menjadi 28 pada akhir tahun 2010 www.tempointeraktif.com . Ilustrasi tersebut menunjukkan pentingnya usaha untuk membangun perusahaan yang berbasis intellectual capital sehingga dapat meningkatkan company’s value. Fenomena intellectual capital di Indonesia tampak mulai berkembang seiring hadirnya PSAK No.19 revisi 2000, namun PSAK tersebut tidak menyebutkan intellectual capital secara eksplisit. Intellectual capital perusahaan dapat dianggap sebagai bentuk unaccounted capital dalam sistem akuntansi tradisional meskipun beberapa di antaranya, misalnya goodwill, patent, copyright, dan trade mark diakui sebagai aktiva tidak berwujud Purnomosidhi 2006. Menurut Purnomosidhi 2006 timbulnya unaccounted capital tersebut dikarenakan sangat ketatnya kriteria akuntansi bagi pengakuan dalam penilaian aktiva, yaitu keteridentifikasian, adanya pengendalian sumber daya, dan adanya manfaat ekonomis di masa depan PSAK No.19:19.5. Akibatnya financial reporting tradisional telah dirasakan gagal untuk dapat menyajikan informasi penting ini dan Widyaningdyah 2008 menyatakan bahwa fenomena distorsi informasi akibat keusangan sistem akuntansi sudah terlihat di perusahaan modern commit to user Indonesia. Bukh 2003 menyatakan bahwa mekanisme pelaporan tradisional tidak mampu untuk mencakup secara cukup syarat pelaporan pada perusahaan “new economy”. Purnomosidhi 2006 menegaskan bahwa ketidakpuasan terhadap financial reporting menjadi semakin meningkat karena ketidakmampuannya untuk menyediakan informasi yang cukup kepada stakeholders tentang kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai. Model akuntansi tradisional gagal untuk menyediakan informasi yang relevan dan informasi yang berarti sehubungan dengan intellectual capital perusahaan Sonnier, Carson, dan Carson 2008, hal ini dikhawatirkan akan mendistorsi informasi yang diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan Widyaningdyah 2008. Ketidakpuasan dan adanya peningkatan permintaan pelaporan dari stakeholder mendorong perusahaan untuk meningkatkan praktik pengungkapan informasi sukarela yang lebih komprehensif. Lebih lanjut berkenaan dengan pengungkapan sukarela, pengungkapan intellectual capital menjadi top ten information yang dibutuhkan pemakai Taylor and Associates 1998 dalam Williams 2001. Investor membutuhkan pengetahuan sumber daya intellectual capital, oleh karena itu akan tertarik pada informasi yang berhubungan dengan intellectual capital Singh dan Zahn 2007. Goh dan Lim 2004 menyatakan bahwa informasi intellectual capital adalah salah satu informasi yang dibutuhkan oleh investor, hal ini dikarenakan informasi mengenai intellectual capital menyebabkan investor dapat menilai kemampuan perusahaan dalam menciptakan kekayaan di masa mendatang dengan lebih baik. commit to user Defisiensi dan inkonsistensi dalam pelaporan intellectual capital yang berhubungan dengan informasi menciptakan timbulnya asimetri informasi antara investor-investor yang informed dan yang uninformed Walker 2006; Singh dan Zahn 2008. Asimetri informasi merupakan suatu kondisi satu pihak memiliki informasi lebih baik daripada pihak lain. Guo, Lev, dan Zhou 2004 menyatakan bahwa asimetri informasi meningkat saat perusahaan melakukan go public. Berkenaan dengan asimetri informasi, Diamond dan Verrecchia 1991, Boesso dan Kumar 2007, Zahn dan Singh 2007, dan Singh dan Zahn 2008 menyatakan bahwa pengungkapan informasi finansial dan non finansial yang luas merupakan kebijakan yang dapat mengurangi asimetri informasi. Dengan pengungkapan yang luas seperti pengungkapan intellectual capital maka akan mengurangi adanya gap informasi dan ketidakpastian, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada penilaian perusahaan yang lebih akurat . Penelitian ini menguji determinan pengungkapan intellectual capital pada prospektus Initial Public Offering IPO di Bursa Efek Indonesia BEI. Topik ini menarik perhatian penulis dengan alasan sebagai berikut. Pertama, berkenaan dengan intellectual capital, Sawarjuwono dan Kadir 2003 mengemukakan bahwa implementasi pengungkapan intellectual capital merupakan sesuatu yang masih baru bukan saja di Indonesia tetapi juga di lingkungan bisnis global. Mereka mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia belum memberikan perhatian terhadap human capital, structural capital, dan customer capital, padahal semua ini merupakan elemen pembangun intellectual capital perusahaan. Menurut Purnomosidhi 2006, jika perusahaan belum menghargai commit to user atau memberikan perhatian terhadap intellectual capital maka perusahaan akan enggan melakukan pengungkapan intellectual capital. Kedua, pada saat IPO terdapat asimetri informasi dan perusahaan belum memiliki nilai pasar, sehingga investor potensial sulit untuk melakukan penilaian terhadap perusahaan. Dalam kondisi tersebut, informasi dalam prospektus seringkali menjadi satu-satunya sumber bagi investor potesial dalam pengambilan keputusan investasi. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-51PM1996 tentang pedoman mengenai bentuk dan isi prospektus dan prospektus ringkas dalam rangka penawaran umum menyebutkan informasi yang harus diungkap oleh emiten dalam prospektus. Walaupun peraturan tersebut sudah mengindikasikan bahwa intellectual capital sudah mulai mendapatkan perhatian dari regulator, namun pengungkapan wajib tersebut belum memadai bagi investor sebagai dasar pengambilan keputusan, karena tidak cukup menggambarkan potensi penciptaan nilai suatu perusahaan. Prospektus karena utamanya ditujukan untuk investor, maka seharusnya lebih forward oriented, dan mengungkapkan lebih banyak informasi aktiva tidak berwujud dalam perusahaan Nielsen, Bukh, Mouritsen, Johansen, dan Gormsen 2006. Di sisi lain Purnomosidhi 2006 dalam penelitiannya berpendapat bahwa keberadaan investor institusional yang relatif kecil dalam struktur kepemilikan dan rendahnya persentase saham yang diperdagangkan di BEI dapat menurunkan jumlah ungkapan. Dalam kondisi yang sama, menurut signaling theory, kondisi ini tidak memotivasi para manajer untuk memberi sinyal kepada pasar bahwa mereka menciptakan sumber daya intellectual capital Purnomosidhi 2006. Padahal beberapa bentuk pengungkapan commit to user seperti pengungkapan sukarela intellectual capital merupakan informasi yang bernilai bagi investor yang dapat mengurangi ketidakpastian Bukh 2003, terutama dalam IPO yang lazim terjadi asimetri informasi yang tinggi. Di samping itu, pengungkapan sukarela intellectual capital seringkali merupakan satu-satunya jalan untuk memberi sinyal tentang eksistensi dan signifikansi sumber daya intellectual capital kepada investor Sonnier et al. 2008. Dengan demikian pendapat Purnomosidhi 2006 berbeda dengan hasil penelitian Singh dan Zahn 2008, yang menunjukkan hubungan positif antara ownership retention retensi kepemilikan dan pengungkapan intellectual capital. Ketiga, penelitian di Indonesia pada bidang intellectual capital masih sangat terbatas Boedi 2008. Penelitian mengenai determinan pengungkapan intellectual capital masih sangat jarang, terutama dengan setting IPO Singh dan Zahn 2008. Prospektus IPO dapat dikatakan diabaikan dalam penelitian mengenai pengungkapan intellectual capital Cordazzo, Wielen, dan Vergauwen 2008. Ketiga alasan yang dikemukakan di atas tersebut memotivasi penulis untuk menguji faktor-faktor yang diduga dapat mendorong perusahaan yang melakukan IPO agar bersedia melakukan pengungkapan intellectual capital. Li, Pike, dan Haniffa 2008 mengungkapkan bahwa beberapa persektif teori dapat digunakan untuk menjelaskan variasi pengungkapan intellectual capital. Beberapa peneliti sebelumnya menjelaskan variasi atau kecenderungan pengungkapan intellectual capital dapat dijelaskan berdasarkan perspektif teori yang berbeda. Misalnya, Guthrie, Petty, Yongvanich, dan Ricceri 2004 dan Abeysekera dan Guthrie 2005 menggunakan legitimacy dan stakeholder theory, commit to user Patelli dan Prencipe 2007 menggunakan agency theory, dan Singh dan Zahn 2008 menggunakan signaling theory. Sementara itu penelitian ini menggunakan signaling theory, karena dianggap sesuai untuk menjelaskan kecenderungan pengungkapan intellectual capital dengan setting IPO. Penelitian ini termotivasi dari eksistensi temuan Singh dan Zahn 2008 yang penelitiannya menggunakan sampel 444 prospektus perusahaan yang melakukan IPO di Singapore Stock Exchange 1996-2007. Variabel independen dalam penelitian mereka adalah ownership retention dan variabel dependennya adalah pengungkapan intellectual capital. Dalam penelitian tersebut digunakan dua variabel pemoderasi yaitu proprietary cost dan struktur corporate governance. Sementara itu, variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian tersebut meliputi gross proceed, rencana kompensasi eksekutif, leverage, reputasi underwriter, reputasi soliciter, umur perusahaan age, dan reputasi auditor. Berbeda dengan penelitian Singh dan Zahn 2008, fokus penelitian ini adalah menginvestigasi pengungkapan intellectual capital pada prospektus perusahaan yang melakukan IPO di BEI periode 2000-2007. Penelitian ini menggunakan ownership retention, reputasi underwriter, umur perusahaan, dan komisaris independen sebagai variabel independen, sedangkan proprietary cost sebagai variabel pemoderasi. Sementara itu, mengikuti Singh dan Zahn 2008, gross proceed, rencana kompensasi eksekutif, leverage, dan reputasi auditor dipertimbangkan sebagai variabel kontrol dalam penelitian ini. Bagi investor yang ingin membeli saham pada pasar perdana atau saham yang ditawarkan kepada publik untuk pertama kali oleh perusahaan IPO dikenal commit to user juga dengan sebutan unseasoned equity offerings terdapat informasi yang asimetri antara pemilik lama dengan investor potensial. Pemilik lama memiliki informasi privat tentang prospek perusahaan atau mengetahui tentang kondisi dan prospek arus kas di masa yang akan datang, sedangkan investor potensial tidak memiliki informasi tersebut. Investor tidak mengetahui apakah perusahaan yang melakukan IPO itu benar-benar bagus. Untuk itu, diperlukan suatu sinyal yang dapat ditangkap dan dianalisis oleh calon investor bahwa perusahaan mempunyai prospek yang bagus. Hartono 2008 Mendasarkan pada signaling theory, maka perusahaan akan melakukan pengungkapan intellectual capital untuk meminimalkan asimetri informasi. Sinyal pengungkapan intellectual capital yang mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai masa depan akan meningkatkan penilaian investor. How dan Howe 2001 mengungkapkan bahwa untuk memecahkan masalah asimetri informasi, studi terdahulu berfokus pada mekanisme selain pengungkapan untuk memberi sinyal kualitas IPO, seperti melalui mekanisme ownership retention dan penggunaan underwriter yang bereputasi. Kualitas IPO yang bagus, bagaimanapun, menggunakan sinyal berganda multiple signals seperti pengungkapan sukarela yang lebih banyak untuk menarik investor Jog dan McConomy 2003, karena pengungkapan yang lebih banyak berarti memperkuat nilai IPO Singh dan Zahn 2008. Variabel independen pertama dalam penelitian ini adalah ownership retention. Penggunaan variabel ownership retention sebagai variabel independen adalah konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Zahn 2008. commit to user Alasan yang mendasari adalah bahwa ownership retention dapat memberikan sinyal tentang kualitas perusahaan, dan apabila perusahaan menggunakan strategi pengungkapan intellectual capital sebagai sinyal, maka terdapatnya ownership retention yang semakin tinggi akan semakin memotivasi perusahaan untuk meningkatkan pengungkapan intellectual capital. Dengan demikian akan semakin memperkuat sinyal yang ditujukan kepada investor potensial. Signaling theory menyatakan bahwa perusahaan dengan kualitas tinggi mampu untuk menjembatani asimetri informasi dengan menggunakan sinyal kualitas yang mahal, hal ini tidak dapat ditirukan oleh perusahaan dengan kualitas rendah Cai, Duxbury, dan Keasey 2007. Literatur masa lampau mengadopsi asimetri informasi pada pasar IPO menyatakan retensi kepemilikan ownership retention Leland dan Pyle 1977 adalah sinyal dari kualitas perusahaan. Dengan mengamati ownership retention, investor potensial dapat menyimpulkan prospek perusahaan yang ditawarkan. Semakin besar tingkat kepemilikan yang ditahan atau semakin kecil persentase saham yang ditawarkan akan memperkecil tingkat ketidakpastian pada masa yang akan datang Murdiyani 2009, hal ini berarti pula semakin baik prospek perusahaan sehingga semakin meningkatkan nilai pasar perusahaan setelah IPO Leland dan Pyle 1977. Singh dan Zahn 2008 memperluas prediksi teori Leland dan Pyle 1977 dengan menguji hubungan ownership retention terhadap pengungkapan intellectual capital pada prospektus perusahaan IPO di Singapura. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa ownership retention mempunyai hubungan positif signifikan terhadap pengungkapan intellectual capital. Implikasinya adalah bahwa commit to user apabila tingkat ownership retention semakin tinggi maka semakin besar kesediaan perusahaan yang melakukan IPO untuk memberikan informasi tentang sumber daya dan potensi intellectual capital. Hasil penelitian tersebut memberikan dukungan terhadap penelitian Bukh, Nielsen, Gormsen, dan Mouritsen 2005 yang menyatakan bahwa tingkat kepemilikan manajerial sebelum IPO secara signifikan berhubungan dengan tingkat pengungkapan intellectual capital. Perusahaan yang manajemennya memiliki sebuah kepentingan kepemilikan dalam listing mengungkap informasi intellectual capital lebih banyak Bukh et al. 2005. Perusahaan yang ownership retention-nya tinggi ketika melakukan IPO, dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik. Courteau 1995 mengembangkan model Leland dan Pyle 1977 dengan menambahkan sinyal tambahan pada variabel ownership retention sebagai sinyal nilai perusahaan, yaitu komitmen pemilik lama mengenai lamanya jangka waktu periode menahan kepemilikan. Strategi signifikan berupa ownership retention yang ditambah dengan komitmen untuk menahan periode kepemilikan menjadi mekanisme sinyal yang semakin meyakinkan investor mengenai kualitas IPO. Pendapat Courteau 1995 ini akhirnya mendorong penulis untuk menambahkan sinyal tambahan berupa komitmen pemilik lama untuk menahan periode kepemilikan dengan jangka waktu minimal enam bulan sejak tanggal efektif. Pertimbangan jangka waktu minimal enam bulan tersebut adalah berdasar pada informasi yang tercantum dalam prospektus IPO. Pertimbangan tersebut dikarenakan prospektus perusahaan sampel dalam penelitian ini menyatakan bahwa pemilik lama bersedia menahan periode kepemilikan dengan jangka waktu commit to user yang berbeda pada setiap perusahaan, yaitu berkisar antara 6 enam sampai dengan 12 bulan. Lebih lanjut lagi, untuk lebih mendukung persepsi tersebut di atas maka perusahaan akan lebih banyak mengungkapkan intellectual capital yang dimilikinya. Kepercayaan investor terhadap kualitas IPO melalui mekanisme sinyal positif berupa ownership retention yang ditambah dengan komitmen menahan periode kepemilikan minimal enam bulan ini diharapkan akan mendorong emiten bersedia memberikan transparansi yang lebih besar mengenai potensi penciptaan nilai perusahaan. Oleh karena sumber daya intellectual capital memiliki kontribusi terhadap terjadinya gap informasi dengan investor, maka emiten berharap dengan pengungkapan informasi intellectual capital yang lebih banyak dalam prospektus ini akan efektif mengurangi masalah asimetri informasi dan ketidakpastian. Hal ini dikarenakan pengungkapan informasi intellectual capital dianggap sebagai mekanisme yang dapat memfasilitasi investor untuk melakukan penilaian terhadap perusahaan dengan lebih akurat. Berdasar pada pemikiran di atas, penelitian ini menguji pengaruh ownership retention sebagai sinyal pelengkap yang mendorong pengungkapan intellectual capital dalam prospektus. Variabel kedua dalam penelitian ini adalah reputasi underwriter. Dalam penelitian Singh dan Zahn 2008 reputasi underwriter digunakan sebagai variabel kontrol, sedangkan dalam penelitian ini digunakan sebagai variabel independen. Alasan yang mendasari penulis menggunakan reputasi underwriter sebagai variabel independen adalah sebagai berikut. commit to user Menurut signaling theory, reputasi underwriter dapat memberikan sinyal positif mengenai perusahaan IPO Martani 2003. Issuer dapat mengurangi ketidakpastian dengan memberikan sinyal IPO melalui mekanisme reputasi underwriter yang tinggi Clarkson, Dontoh, Richardson, dan Sefcik 1991. Senada dengan How dan Howe 2001, Jog dan McConomy 2003 berpendapat bahwa perusahaan yang melakukan issue dapat menyediakan informasi tambahan dan sinyal kualitas informasi melalui berbagai mekanisme seperti memilih underwriter yang bereputasi tinggi guna mengurangi akibat asimetri informasi. Lebih lanjut, penelitian Carter dan Manaster 1990 memberikan bukti empiris yang mendukung hubungan positif kualitas perusahaan dengan reputasi underwriter. Carter dan Manaster 1990 menyatakan bahwa reputasi underwriter merupakan faktor yang signifikan dalam banyak studi IPO. Oleh karena itu, IPO dengan kualitas yang lebih tinggi memberi sinyal informasi kunci untuk partisipan pasar tentang nilai IPO dengan menggunakan underwriter yang bereputasi tinggi Chen dan Mohan 2002. Sementara itu, Singh dan Zahn 2008 berpendapat bahwa dalam setting IPO, pengungkapan intellectual capital antara lain tergantung pada mekanisme sinyal. Sinyal reputasi underwriter ini menunjukkan kualitas IPO, dengan demikian sesuai dalam konteks IPO. Mengikuti Singh dan Zahn 2008 yang memperluas sinyal ownership retention ke dalam pengungkapan intellectual capital, maka penulis mencoba memperluas penggunaan variabel signaling berupa reputasi underwriter ke dalam pengungkapan intellectual capital.Variabel reputasi underwriter diharapkan mempengaruhi pengungkapan intellectual capital. commit to user Sementara itu peran underwriter dalam penyusunan prospektus serta kepentingan underwriter terhadap penjualan saham menyebabkan underwriter diharapkan merupakan faktor yang memotivasi pengungkapan intellectual capital. Menurut Certo, Daily, dan Dalton 2001 reputasi underwriter dapat berdampak pada persepsi investor mengenai kualitas perusahaan IPO. Dengan demikian penggunaan underwriter yang bereputasi baik ini akan diintrepretasikan oleh investor sebagai sinyal positif, yang akan semakin memperkuat sinyal pengungkapan intellectual capital. Berdasarkan diskusi di atas maka penulis mempertimbangkan reputasi underwriter sebagai variabel independen dalam penelitian ini. Pada saat IPO, suatu perusahaan menginformasikan kepada pasar mengenai kinerja, kompetensi, dan pertumbuhan potensial sebagai suatu cara untuk meyakinkan investor bahwa berinvestasi dalam perusahaan tersebut adalah suatu hal yang layak dan menguntungkan. Usaha untuk menarik investor ini berpusat pada prospektus. Prospektus menyajikan informasi mengenai sasaran usaha perusahaan, identitas dan latar belakang para pemegang saham, kapitalisasi awal dan struktur modal perusahaan, penggunaan hasil dari penjualan efek, dan setiap aset penting atau proses intelektual yang akan digunakan oleh perusahaan. Informasi dalam prospektus menjadi dasar para investor dalam pembuatan keputusan investasi Firth dan Smith 1992. Bukh 2003 menyatakan bahwa prospektus mengindikasikan tipe informasi mana yang diseleksi oleh perusahaan dan penasehatnya advisers untuk kemungkinan visualisasi terbaik mengenai penciptaan nilai potensial perusahaan commit to user dalam hubungannya dengan investor dan analis, karena prospektus bermaksud untuk membuktikan pertumbuhan yang berkesinambungan dan peningkatan kemakmuran pemegang saham. Kemudian Bukh 2003 menambahkan bahwa pencantuman informasi mengenai intellectual capital dalam prospektus adalah sebuah indikasi bahwa perusahaan dan penasehat mereka percaya tipe informasi ini adalah penting di dalam penilaian pasar modal mengenai nilai perusahaan dalam prospektus dapat memberikan gambaran keadaan perusahaan dan ramalan laba. Penelitian Singh dan Zahn 2008 dan Romadani 2010 menunjukkan hasil bahwa underwriter berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan intellectual capital. Underwriter yang bereputasi baik biasanya akan menuntut lebih pada perusahaan yang akan melakukan IPO dalam hal pengungkapan informasi karena mereka juga mempunyai beban moral yang terkait dengan reputasi baiknya. Penggunaan underwriter yang bereputasi yang merupakan sinyal positif perusahaan ini akan diinterpretasikan oleh publik bahwa perusahaan memiliki informasi dalam prospektus seperti pengungkapan intellectual capital yang tidak menyesatkan. Bagaimanapun underwriter berkepentingan melindungi reputasinya melalui pengungkapan intellectual capital yang tidak menyesatkan. Underwriter berperan dalam mengurangi asimetri informasi yang terjadi antara issuer dengan investor melalui dorongan underwriter terhadap perusahaan untuk melakukan pengungkapan intellectual capital. Dengan pengungkapan intellectual capital maka keyakinan investor tentang kualitas IPO akan meningkat dan persepsi risiko investor akan berkurang, yang pada akhirnya akan membuat commit to user investor melakukan keputusan investasi. Sementara itu, dalam penelitian ini kontrak penjaminan emisi yang dilakukan oleh underwriter terhadap perusahaan IPO adalah dalam bentuk penjaminan full commmitment, sehingga underwriter berkepentingan atas terjualnya seluruh saham IPO. Jadi dengan alasan kepentingan tersebut diharapkan akan membuat underwriter mendorong perusahaan untuk memberikan pengungkapan intellectual capital, karena dengan pengungkapan intellectual capital pada akhirnya akan membuat investor lebih bersedia untuk membeli saham. Oleh karena itu, penggunaan underwriter yang bereputasi diharapkan memberikan dorongan yang semakin besar akan pengungkapan intellectual capital dalam prospektus. Selanjutnya, variabel independen yang ketiga dalam penelitian ini adalah umur perusahaan. Umur perusahaan adalah salah satu hal yang dipertimbangkan investor dalam melakukan keputusan investasi. Menurut Murdiyani 2009 umur perusahaan menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu bertahan. Bukh et al. 2005 mengidentifikasi bahwa umur perusahaan sering digunakan sebagai proksi dari risiko dalam studi-studi terdahulu, semakin lama suatu perusahaan berdiri maka investor akan menganggap risiko perusahaan tersebut lebih rendah. Dalam penelitian Singh dan Zahn 2008 umur perusahaan digunakan sebagai variabel kontrol, sedangkan dalam penelitian ini digunakan sebagai variabel independen. Penggunaan umur perusahaan sebagai variabel independen ini mengacu pada penelitian Sonnier et al. 2008. Pertimbangan yang digunakan adalah terdapatnya hasil penelitian yang berbeda mengenai pengaruh umur perusahaan terhadap pengungkapan intellectual capital dalam penelitian- commit to user penelitian sebelumnya. Jadi selama pengungkapan intellectual capital ini merupakan strategi yang dipilih dan ditujukan sebagai sinyal, maka adanya sinyal positif berupa umur perusahaan ini akan semakin mendorong pengungkapan intellectual capital. Oleh karena itu, diharapkan sinyal yang ditujukan kepada investor akan semakin kuat. Dalam penelitian-penelitian terdahulu, Bukh et al. 2005, White, Lee, dan Tower 2007, Cordazzo 2007, Singh dan Zahn 2008, dan Sonnier et al. 2008, meneliti hubungan antara umur perusahaan dengan pengungkapan intellectual capital, namun masing-masing menemukan hasil yang berbeda. Bukh et al. 2005, misalnya, menemukan bahwa umur perusahaan tidak mempengaruhi pengungkapan intellectual capital. Sementara itu Singh dan Zahn 2008 menemukan umur perusahaan mempunyai pengaruh positif terhadap pengungkapan intellectual capital. Sedangkan Sonnier et al. 2008 menemukan hubungan negatif signifikan antara umur perusahaan dan tingkat pengungkapan. Perbedaan ini yang memotivasi untuk meneliti kembali variabel umur perusahaan sebagai determinan pengungkapan intellectual capital. Variabel keempat. Variabel independen terakhir dalam penelitian ini adalah komisaris independen. Penggunaan variabel ini mengacu pada penelitian Li et al. 2008. Alasan yang mendasari adalah bahwa komisaris independen merupakan variabel yang menarik untuk dipertimbangkan dalam pengungkapan intellectual capital karena akan secara tidak langsung merefleksikan peran komisaris independen, apabila komisaris independen benar-benar melakukan commit to user peran monitoring diharapkan pengungkapan akan semakin meningkat, jadi tidak sekedar dipersepsikan memiliki peran memonitor Hannifa dan Cooke 2002. Dalam setting IPO, pengungkapan intellectual capital juga tergantung pada struktur corporate governance Singh dan Zahn 2008. Struktur corporate governance selain berkaitan dengan struktur kepemilikan juga berhubungan dengan komposisi dewan, ukuran dewan, dan dualitas peran chief executive officer CEO. Li et al. 2008 mengungkapkan bukti terbaru melalui penelitiannya di United Kingdom dengan mengatakan bahwa struktur corporate governance perusahaan yang lebih kuat berhubungan dengan peningkatan pengungkapan intellectual capital. Mengenai hubungan antara corporate governance dan pengungkapan sukarela, Cerbioni dan Parbonetti 2007 mengungkapkan bahwa beberapa studi terdahulu tidak secara jelas mengindikasikan apakah corporate governance dan pengungkapan sukarela bersifat komplementer atau substitusi. Studi empiris yang dilakukan oleh Singh dan Zahn 2008 menunjukkan bahwa struktur corporate governance tidak menunjukkan hasil yang signifikan, walaupun mempunyai hubungan positif terhadap pengungkapan intellectual capital. Untuk mengukur struktur corporate governance, Singh dan Zahn 2008 menggunakan ukuran gabungan yang meliputi: 1 jumlah direktur independen melampaui mandatory minimum, 2 individu yang sama tidak menempati peran yang sama sebagai ketua dewan dan CEO, 3 ketua dewan direktur adalah direktur independen non eksekutif. commit to user Berbeda dengan penelitian Singh dan Zahn 2008, White et al. 2007 hanya menggunakan proporsi direktur independen. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat hubungan positif signifikan antara proporsi direktur independen dengan pengungkapan intellectual capital. Penelitian yang dilakukan penulis ini berbeda dengan penelitian Singh dan Zahn 2008 karena ukuran struktur corporate governance yang digunakan sebagai salah satu determinan pengungkapan intellectual capital hanya ukuran kesesuaian ketentuan jumlah komisaris independen menurut peraturan BEI. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah sangat minimnya perusahaan sampel dalam penelitian ini yang mengungkapkan data mengenai CEO maupun data mengenai komisaris independen yang sekaligus berkedudukan sebagai ketua dewan komisaris. Keberadaan dewan komisaris adalah untuk memastikan manajemen untuk mengungkapkan informasi keuangan dan non keuangan yang dapat menjadi good signal bagi perusahaan Budiyanawati 2009. Certo, Daily, dan Dalton 2001 menyatakan bahwa dewan independen dapat memberi sinyal adanya sebuah mekanisme pengawasan efektif, oleh karena itu meningkatkan nilai perusahaaan. Eksistensi komisaris independen dalam struktur corporate governance diharapkan dapat memberikan pengawasan yang efektif melalui pengungkapan intellectual capital, sehingga akan mengurangi asimetri informasi dan ketidakpastian investor berkenaan dengan adanya pengaruh intellectual capital terhadap nilai perusahaan. Dengan demikian diharapkan komisaris independen memperkuat dorongan untuk melakukan pengungkapan intellectual capital. commit to user Singh dan Zahn 2008 mengungkapkan bahwa disamping manfaat pengungkapan sukarela terdapat faktor pelemah untuk membuat pengungkapan penuh. Dorongan ekonomi untuk pengungkapan sukarela adalah ditentukan oleh trade-off antara penilaian benefit dan proprietary cost Simpson 2008. Verrecchia 1983 dalam Singh dan Zahn 2008 menyatakan bahwa perusahaan yang menghadapi proprietary cost yang tinggi akan membatasi pengungkapan sukarela. Ini dikarenakan pengungkapan yang demikian akan berisi informasi proprietary yang akan mengurangi posisi kompetitif perusahaan Dye 1986; Garcia-Meca, Parra, Larran, dan Martinez 2005; Vergauwen dan Alem 2005; Verrecchia 1983 dalam Singh dan Zahn 2008. Manajer perusahaan menolak pengungkapan dengan alasan bahwa pengungkapan akan memberikan informasi berharga bagi kompetitor dikarenakan informasi tersebut tidak tersedia di tempat lain Harris 1998. Jadi, walaupun prospektus merupakan dokumen yang ditujukan kepada investor, namun demikian karena dokumen ini tersedia bagi publik maka dapat digunakan oleh kompetitor. Informasi intellectual capital merupakan informasi yang bersifat proprietary yang jika diungkapkan akan bisa dimanfaatkan oleh pesaing, sehingga menimbulkan cost bagi perusahaan. Hal tersebut membuat perusahaan kemungkinan memutuskan untuk tidak melakukan pengungkapan. Oleh karena itu, pertimbangan mengenai tingginya proprietary cost yang dihadapi oleh perusahaan digunakan untuk menjelaskan alasan mengapa perusahaan tidak mengungkap informasi intellectual capital. Perusahaan akan menahan informasi yang dapat digunakan oleh pihak ketiga yang dapat membahayakan posisi commit to user perusahaan dan yang menyebabkan penurunan future cash flow Branco, Delgado, Sa’, dan Sousa 2010. Hal ini berarti bahwa perusahaan akan melakukan pengungkapan sukarela jika manfaat tambahan dari pengungkapan informasi tersebut lebih besar daripada tambahan biaya yang timbul dari keputusan pengungkapan tersebut. Penelitian Singh dan Zahn 2008 membuktikan secara empiris bahwa hubungan pengungkapan intellectual capital – ownership retention melemah dengan adanya proprietary cost yang dihadapi dalam sebuah IPO. Proprietary cost yang lebih besar, menyebabkan penurunan nilai perusahaan yang lebih besar, dan dorongan yang lebih besar untuk tidak mengungkapkan Singh dan Zahn 2008. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis menduga proprietary cost memoderasi pengaruh ownership retention terhadap pengungkapan intellectual capital. Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Pengaruh Ownership Retention, Reputasi Underwriter, Umur, dan Komisaris Independen Terhadap Pengungkapan Intellectual Capital dalam Prospektus IPO dengan Proprietary Cost sebagai Variabel Pemoderasi”.

B. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, INVESTASI DARI PROCEEDS, REPUTASI AUDITOR DAN LABA PERUSAHAAN TERHADAP NILAI PERUSAHAAN DENGAN KEPEMILIKAN MANAJERIAL DAN INSTITUSIONAL SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI

0 4 73

PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, REPUTASI AUDITOR, LABA PERUSAHAAN, DAN UNDERPRICING TERHADAP NILAI PERUSAHAAN DENGAN KEPEMILIKAN MANAJERIAL DAN INSTITUSIONAL SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI

0 4 70

PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, INVESTASI DARI PROCEEDS DAN REPUTASI AUDITOR TERHADAP NILAI PERUSAHAAN DENGAN KEPEMILIKAN MANAJERIAL DAN INSTITUSIONAL SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI

0 17 96

PENGARUH PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL TERHADAP PENGARUH PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL TERHADAP COST OF EQUITY CAPITAL.

0 3 14

PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL PENGARUH PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL TERHADAP COST OF EQUITY CAPITAL.

2 14 40

PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERWRITER REPUTATION DAN FIRM SIZE TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2010 – 2012 SKRIPSI.

0 7 54

PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERWRITER REPUTATION DAN FIRM SIZE TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2010 – 2012.

2 6 52

PENGARUH INTELLECTUAL CAPITAL TERHADAP NILAI PASAR PERUSAHAAN DENGAN PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL SEBAGAI VARIABEL INTERVENING.

3 6 46

Pengaruh Ownership Retention, Investasi Dari Proceeds, dan Reputasi Auditor Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Kepemilikan Manajerial dan Institusional Sebagai Variabel Pemoderasi

0 0 23

PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, LEVERAGE, TIPE AUDITOR, JENIS INDUSTRI DAN KOMISARIS INDEPENDEN TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL

0 1 14