PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, REPUTASI UNDERWRITER, UMUR, DAN KOMISARIS INDEPENDEN TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL DALAM PROSPEKTUS IPO DENGAN PROPRIETARY COST SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI
commit to user
PENGARUH
OWN
UNDERWRITER
, U
TERHADAP PENG
DALAM PROSPEKT
SEBAGA
Ditujukan untuk Melen Mencapai Derajat Magi
Fakultas Ekonom
RIRIK YUNI
UNIV
i
OWNERSHIP RETENTION
, REPUTASI
, UMUR, DAN KOMISARIS INDEPEND
GUNGKAPAN
INTELLECTUAL CAPI
EKTUS IPO DENGAN
PROPRIETARY C
GAI VARIABEL PEMODERASI
HALAMAN JUDUL
TESIS
lengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat G agister Sains Program Studi Magister Akunt nomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
NITA HENDRY KOESWORO SARI
NIM : S4308014
FAKULTAS EKONOMI IVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2011
ASI
ENDEN
PITAL
Y COST
at Guna ntansi(2)
commit to user
(3)
commit to user
(4)
(5)
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kahadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, karunia dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis dengan judul “Pengaruh Ownership Retention, Reputasi Underwriter, Umur, dan Komisaris Independen Terhadap Pengungkapan Intellectual Capital dalam Prospektus IPO dengan Proprietary Cost sebagai Variabel Pemoderasi” ini disusun untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Magister Akuntansi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam proses penulisan tesis ini, penulis telah mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., P.hD., selaku ketu program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Dr. Bandi, M.Si., Ak., selaku ketua program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Drs. Muhammad Agung Prabowo, M.Si., P.hD., Ak selaku sekretaris program Magister Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Prof. Dr. Bambang Sutopo, M.Com., Ak., selaku pembimbing tesis, yang dengan penuh kesabaran, keramahan, keikhlasan, dan penuh perhatian telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan yang sangat
(6)
commit to user
membantu penulis untuk mencapai hasil yang terbaik di tengah jadwal beliau yang padat.
6. Anas Wibawa, S.E., M.Si., Ak., selaku pembimbing tesis, yang dengan penuh kesabaran, keramahan, keikhlasan, dan penuh perhatian telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sejak awal sampai dengan penyelesaian penulisan tesis ini.
7. Dra. Y. Anni Aryani, M.Prof.Acc., Ph.D., Ak. dan Drs. Djoko Suhardjanto, M.Com(Hons), Ph.D., Ak., selaku penguji dalam ujian tesis.
8. Bapak dan ibu dosen program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.
9. Staf program Magister Akuntansi yang telah membantu kelancaran administrasi.
10.Semua teman-teman yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis menyelesaikan studi. Penulis meminta maaf kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan tesis ini atas segala kekurangan dan kekhilafan penulis. Harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Surakarta, Mei 2011
(7)
commit to user
1
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... Error! Bookmark not defined. HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... 1
DAFTAR TABEL ... 5
DAFTAR GAMBAR ... 6
DAFTAR LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined. ABSTRAK ... Error! Bookmark not defined. ABSTRACT ... Error! Bookmark not defined. BAB I PENDAHULUAN ... 7
A. Latar Belakang Masalah ...7
B. Perumusan Masalah ...20
C. Tujuan Penelitian ...23
D. Manfaat Penelitian ...24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS ... 25
A. Signaling Theory ...25
B. Intellectual Capital ...28
C. Ownership Retention ...33
(8)
commit to user
2
E. Umur Perusahaan ...37
F. Komisaris Independen ...38
G. Konsentrasi Industri dan Proprietary Cost ...40
H. Variabel Kontrol ...43
I. Penelitian Terdahulu ...47
J. Pengembangan Hipotesis ...51
1. Ownership Retention dan Pengungkapan Intellectual Capital ...51
2. Reputasi Underwriter dan Pengungkapan Intellectual Capital ...55
3. Umur Perusahaan dan Pengungkapan Intellectual Capital ...58
4. Komisaris Independen dan Pengungkapan Intellectual Capital ...60
5. Proprietary Cost, Ownership Retention, dan Pengungkapan Intellectual Capital ...64
K. Rerangka Konseptual ...70
BAB III METODE PENELITIAN ... 71
A. Populasi dan Sampel Penelitian ...71
B. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ...73
C. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ...73
D. Analisis Data ...82
1. Uji Asumsi Klasik ...82
2. Pengujian Hipotesis ...85
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 89
A. Statistik Deskriptif ...89
(9)
commit to user
3
1. Uji Normalitas ...94
2. Uji Multikolinieritas ...98
3. Uji Autokorelasi ...101
4. Uji Heterokedastisitas ...102
C. Pengujian Hipotesis ...104
D. Pembahasan ...112
1. Pengujian hipotesis pengaruh positif ownership retention terhadap pengungkapan intellectual capital pada perusahaan yang melakukan IPO ...112
2. Pengujian hipotesis positif pengaruh reputasi underwriter terhadap pengungkapan intellectual capital pada perusahaan yang melakukan IPO ...113
3. Pengujian hipotesis pengaruh positif umur perusahaan terhadap pengungkapan intellectual capital pada perusahaan yang melakukan IPO ...114
4. Pengujian hipotesis pengaruh positif komisaris independen terhadap pengungkapan intellectual capital pada perusahaan yang melakukan IPO ...115
5. Pengujian hipotesis proprietary cost memoderasi (dengan arah negatif) pengaruh ownership retention terhadap pengungkapan intellectual capital pada perusahaan yang melakukan IPO ...117
E. Pembahasan mengenai variabel kontrol ...117
(10)
commit to user
4
A. Kesimpulan ...120
B. Keterbatasan ...123
C. Saran ...124
DAFTAR PUSTAKA ... 126 LAMPIRAN
(11)
commit to user
5
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jumlah Sampel Penelitian ...90
Tabel 2 Jumlah Perusahaan yang Memenuhi Kriteria Berdasarkan Tipe Industri 91 Tabel 3 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian ...92
Tabel 4 Hasil Uji Normalitas – Model Regresi 1 : Kolmogorov-Smirnov ...97
Tabel 5 Hasil Uji Normalitas – Model Regresi 2 : Kolmogorov-Smirnov ...97
Tabel 6 Hasil Uji Multikolinieritas – Model Regresi 1 ...99
Tabel 7 Hasil Uji Multikolinieritas – Model Regresi 2 ...100
Tabel 8 Hasil Uji Autokorelasi – BG test ...101
(12)
commit to user
6
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Diagram Skematik Rerangka Konseptual ...70 Gambar 2 Hasil Uji Normalitas – Model Regresi 1: Grafik Normal Probability
Plot ...95 Gambar 3 Hasil Uji Normalitas – Model Regresi 2 : Grafik Normal Probability
Plot ...96 Gambar 4 Hasil Uji Heterokedastisitas – Model 1 ...103 Gambar 5 Hasil Uji Heterokedastisitas – Model 2 ...103
(13)
commit to user
7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dinamika bisnis abad 21 secara pesat ditentukan dan dikendalikan oleh elemen-elemen intellectual capital/knowledge base (Singh dan Zahn 2008), sehingga modal konvensional seperti sumber daya alam, sumber daya keuangan, dan aktiva fisik lainnya menjadi kurang penting dibandingkan dengan modal yang berbasis pengetahuan dan teknologi (Yusuf dan Sawitri 2009). Intellectual capital
secara berangsur-angsur menggantikan aset fisik tradisional sebagai penentu sukses dan kinerja masa depan perusahaan (Yau, Chun, dan Balaraman 2009). Pendapat tersebut senada dengan yang dikatakan oleh Cumby dan Conrod (2001) bahwa intellectual capital semakin dilihat sebagai bagian terintegrasi pada proses penciptaan nilai perusahaan. Menurut Pulic dan Bornemann (1999) sebagaimana dikutip oleh Williams (2001) bahwa dalam “new economy” intellectual capital
telah menjadi satu-satunya competitive advantage suatu perusahaan. Oleh karena itu, intellectual capital dianggap sebagai aset yang sangat bernilai dan berpotensi bagi kesuksesan suatu perusahaan dalam dunia bisnis modern.
Pentingnya modal berbasis pengetahuan dan teknologi (intellectual
capital) sebagai competitive advantage untuk memenangkan kompetisi bisnis
yang semakin keras dapat dilihat ilustrasinya pada kondisi pasar Nokia di Indonesia. Dahulu Nokia memang menjadi penguasa di pasar high-end gadget di
(14)
commit to user
8
Indonesia, namun karena Nokia kurang berinovasi maka kalah daya saing dengan Samsung yang menggandeng Google Android dan Blackberry serta I-phone.
(15)
commit to user
Nokia sebenarnya memiliki divisi research yang handal, namun ragu untuk mengembangkan aplikasi smart phone. Nokia masih berkutat menggunakan Symbian OS yang tidak pernah di-update, sehingga meskipun Nokia user friendly
tapi kalah canggih dibandingkan kompetitornya. Konsekuensinya adalah terjadi penurunan pada nilai perusahaan, dalam tiga tahun terakhir harga saham anjlok hingga 80% (strategimanajemen.net) dan menurut riset IDC (International Data
Corporation) pangsa pasar Nokia turun dari 38% pada tahun 2009 menjadi 28%
pada akhir tahun 2010 (www.tempointeraktif.com). Ilustrasi tersebut menunjukkan pentingnya usaha untuk membangun perusahaan yang berbasis
intellectual capital sehingga dapat meningkatkan company’s value.
Fenomena intellectual capital di Indonesia tampak mulai berkembang seiring hadirnya PSAK No.19 (revisi 2000), namun PSAK tersebut tidak menyebutkan intellectual capital secara eksplisit. Intellectual capital perusahaan dapat dianggap sebagai bentuk unaccounted capital dalam sistem akuntansi tradisional meskipun beberapa di antaranya, misalnya goodwill, patent, copyright,
dan trade mark diakui sebagai aktiva tidak berwujud (Purnomosidhi 2006).
Menurut Purnomosidhi (2006) timbulnya unaccounted capital tersebut dikarenakan sangat ketatnya kriteria akuntansi bagi pengakuan dalam penilaian aktiva, yaitu keteridentifikasian, adanya pengendalian sumber daya, dan adanya manfaat ekonomis di masa depan (PSAK No.19:19.5). Akibatnya financial
reporting tradisional telah dirasakan gagal untuk dapat menyajikan informasi
penting ini dan Widyaningdyah (2008) menyatakan bahwa fenomena distorsi informasi akibat keusangan sistem akuntansi sudah terlihat di perusahaan modern
(16)
commit to user
Indonesia. Bukh (2003) menyatakan bahwa mekanisme pelaporan tradisional tidak mampu untuk mencakup secara cukup syarat pelaporan pada perusahaan
“new economy”.
Purnomosidhi (2006) menegaskan bahwa ketidakpuasan terhadap financial
reporting menjadi semakin meningkat karena ketidakmampuannya untuk
menyediakan informasi yang cukup kepada stakeholders tentang kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai. Model akuntansi tradisional gagal untuk menyediakan informasi yang relevan dan informasi yang berarti sehubungan dengan intellectual capital perusahaan (Sonnier, Carson, dan Carson 2008), hal ini dikhawatirkan akan mendistorsi informasi yang diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan (Widyaningdyah 2008). Ketidakpuasan dan adanya peningkatan permintaan pelaporan dari stakeholder mendorong perusahaan untuk meningkatkan praktik pengungkapan informasi sukarela yang lebih komprehensif.
Lebih lanjut berkenaan dengan pengungkapan sukarela, pengungkapan
intellectual capital menjadi top ten information yang dibutuhkan pemakai (Taylor
and Associates 1998 dalam Williams 2001). Investor membutuhkan pengetahuan
sumber daya intellectual capital, oleh karena itu akan tertarik pada informasi yang berhubungan dengan intellectual capital (Singh dan Zahn 2007). Goh dan Lim (2004) menyatakan bahwa informasi intellectual capital adalah salah satu informasi yang dibutuhkan oleh investor, hal ini dikarenakan informasi mengenai
intellectual capital menyebabkan investor dapat menilai kemampuan perusahaan
(17)
commit to user
Defisiensi dan inkonsistensi dalam pelaporan intellectual capital yang berhubungan dengan informasi menciptakan timbulnya asimetri informasi antara investor-investor yang informed dan yang uninformed (Walker 2006; Singh dan Zahn 2008). Asimetri informasi merupakan suatu kondisi satu pihak memiliki informasi lebih baik daripada pihak lain. Guo, Lev, dan Zhou (2004) menyatakan bahwa asimetri informasi meningkat saat perusahaan melakukan go public. Berkenaan dengan asimetri informasi, Diamond dan Verrecchia (1991), Boesso dan Kumar (2007), Zahn dan Singh (2007), dan Singh dan Zahn (2008) menyatakan bahwa pengungkapan (informasi finansial dan non finansial) yang luas merupakan kebijakan yang dapat mengurangi asimetri informasi. Dengan pengungkapan yang luas (seperti pengungkapan intellectual capital) maka akan mengurangi adanya gap informasi dan ketidakpastian, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada penilaian perusahaan yang lebih akurat .
Penelitian ini menguji determinan pengungkapan intellectual capital pada prospektus Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Topik ini menarik perhatian penulis dengan alasan sebagai berikut. Pertama, berkenaan dengan intellectual capital, Sawarjuwono dan Kadir (2003) mengemukakan bahwa implementasi pengungkapan intellectual capital merupakan sesuatu yang masih baru bukan saja di Indonesia tetapi juga di lingkungan bisnis global. Mereka mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia belum memberikan perhatian terhadap human capital, structural capital, dan customer
capital, padahal semua ini merupakan elemen pembangun intellectual capital
(18)
commit to user
atau memberikan perhatian terhadap intellectual capital maka perusahaan akan enggan melakukan pengungkapan intellectual capital.
Kedua, pada saat IPO terdapat asimetri informasi dan perusahaan belum memiliki nilai pasar, sehingga investor potensial sulit untuk melakukan penilaian terhadap perusahaan. Dalam kondisi tersebut, informasi dalam prospektus seringkali menjadi satu-satunya sumber bagi investor potesial dalam pengambilan keputusan investasi. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-51/PM/1996 tentang pedoman mengenai bentuk dan isi prospektus dan prospektus ringkas dalam rangka penawaran umum menyebutkan informasi yang harus diungkap oleh emiten dalam prospektus. Walaupun peraturan tersebut sudah mengindikasikan bahwa intellectual capital sudah mulai mendapatkan perhatian dari regulator, namun pengungkapan wajib tersebut belum memadai bagi investor sebagai dasar pengambilan keputusan, karena tidak cukup menggambarkan potensi penciptaan nilai suatu perusahaan. Prospektus karena utamanya ditujukan untuk investor, maka seharusnya lebih forward oriented, dan mengungkapkan lebih banyak informasi aktiva tidak berwujud dalam perusahaan (Nielsen, Bukh, Mouritsen, Johansen, dan Gormsen 2006). Di sisi lain Purnomosidhi (2006) dalam penelitiannya berpendapat bahwa keberadaan investor institusional yang relatif kecil dalam struktur kepemilikan dan rendahnya persentase saham yang diperdagangkan di BEI dapat menurunkan jumlah ungkapan. Dalam kondisi yang sama, menurut signaling theory, kondisi ini tidak memotivasi para manajer untuk memberi sinyal kepada pasar bahwa mereka menciptakan sumber daya
(19)
commit to user
(seperti pengungkapan sukarela intellectual capital) merupakan informasi yang bernilai bagi investor yang dapat mengurangi ketidakpastian (Bukh 2003), terutama dalam IPO yang lazim terjadi asimetri informasi yang tinggi. Di samping itu, pengungkapan sukarela intellectual capital seringkali merupakan satu-satunya jalan untuk memberi sinyal tentang eksistensi dan signifikansi sumber daya
intellectual capital kepada investor (Sonnier et al. 2008). Dengan demikian
pendapat Purnomosidhi (2006) berbeda dengan hasil penelitian Singh dan Zahn (2008), yang menunjukkan hubungan positif antara ownership retention (retensi kepemilikan) dan pengungkapan intellectual capital.
Ketiga, penelitian di Indonesia pada bidang intellectual capital masih sangat terbatas (Boedi 2008). Penelitian mengenai determinan pengungkapan
intellectual capital masih sangat jarang, terutama dengan setting IPO (Singh dan
Zahn 2008). Prospektus IPO dapat dikatakan diabaikan dalam penelitian mengenai pengungkapan intellectual capital (Cordazzo, Wielen, dan Vergauwen 2008). Ketiga alasan yang dikemukakan di atas tersebut memotivasi penulis untuk menguji faktor-faktor yang diduga dapat mendorong perusahaan yang melakukan IPO agar bersedia melakukan pengungkapan intellectual capital.
Li, Pike, dan Haniffa (2008) mengungkapkan bahwa beberapa persektif teori dapat digunakan untuk menjelaskan variasi pengungkapan intellectual
capital. Beberapa peneliti sebelumnya menjelaskan variasi atau kecenderungan
pengungkapan intellectual capital dapat dijelaskan berdasarkan perspektif teori yang berbeda. Misalnya, Guthrie, Petty, Yongvanich, dan Ricceri (2004) dan Abeysekera dan Guthrie (2005) menggunakan legitimacy dan stakeholder theory,
(20)
commit to user
Patelli dan Prencipe (2007) menggunakan agency theory, dan Singh dan Zahn (2008) menggunakan signaling theory. Sementara itu penelitian ini menggunakan
signaling theory, karena dianggap sesuai untuk menjelaskan kecenderungan
pengungkapan intellectual capital dengan setting IPO.
Penelitian ini termotivasi dari eksistensi temuan Singh dan Zahn (2008) yang penelitiannya menggunakan sampel 444 prospektus perusahaan yang melakukan IPO di Singapore Stock Exchange 1996-2007. Variabel independen dalam penelitian mereka adalah ownership retention dan variabel dependennya adalah pengungkapan intellectual capital. Dalam penelitian tersebut digunakan dua variabel pemoderasi yaitu proprietary cost dan struktur corporate
governance. Sementara itu, variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian
tersebut meliputi gross proceed, rencana kompensasi eksekutif, leverage, reputasi
underwriter, reputasi soliciter, umur perusahaan(age), dan reputasi auditor.
Berbeda dengan penelitian Singh dan Zahn (2008), fokus penelitian ini adalah menginvestigasi pengungkapan intellectual capital pada prospektus perusahaan yang melakukan IPO di BEI periode 2000-2007. Penelitian ini menggunakan ownership retention, reputasi underwriter, umur perusahaan, dan komisaris independen sebagai variabel independen, sedangkan proprietary cost
sebagai variabel pemoderasi. Sementara itu, mengikuti Singh dan Zahn (2008),
gross proceed, rencana kompensasi eksekutif, leverage, dan reputasi auditor
dipertimbangkan sebagai variabel kontrol dalam penelitian ini.
Bagi investor yang ingin membeli saham pada pasar perdana atau saham yang ditawarkan kepada publik untuk pertama kali oleh perusahaan IPO (dikenal
(21)
commit to user
juga dengan sebutan unseasoned equity offerings) terdapat informasi yang asimetri antara pemilik lama dengan investor potensial. Pemilik lama memiliki informasi privat tentang prospek perusahaan atau mengetahui tentang kondisi dan prospek arus kas di masa yang akan datang, sedangkan investor potensial tidak memiliki informasi tersebut. Investor tidak mengetahui apakah perusahaan yang melakukan IPO itu benar-benar bagus. Untuk itu, diperlukan suatu sinyal yang dapat ditangkap dan dianalisis oleh calon investor bahwa perusahaan mempunyai prospek yang bagus. (Hartono 2008)
Mendasarkan pada signaling theory, maka perusahaan akan melakukan pengungkapan intellectual capital untuk meminimalkan asimetri informasi. Sinyal pengungkapan intellectual capital yang mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai masa depan akan meningkatkan penilaian investor. How dan Howe (2001) mengungkapkan bahwa untuk memecahkan masalah asimetri informasi, studi terdahulu berfokus pada mekanisme selain pengungkapan untuk memberi sinyal kualitas IPO, seperti melalui mekanisme ownership retention dan penggunaan underwriter yang bereputasi. Kualitas IPO yang bagus, bagaimanapun, menggunakan sinyal berganda (multiple signals) seperti pengungkapan sukarela yang lebih banyak untuk menarik investor (Jog dan McConomy 2003), karena pengungkapan yang lebih banyak berarti memperkuat nilai IPO (Singh dan Zahn 2008).
Variabel independen pertama dalam penelitian ini adalah ownership
retention. Penggunaan variabel ownership retention sebagai variabel independen
(22)
commit to user
Alasan yang mendasari adalah bahwa ownership retention dapat memberikan sinyal tentang kualitas perusahaan, dan apabila perusahaan menggunakan strategi pengungkapan intellectual capital sebagai sinyal, maka terdapatnya ownership
retention yang semakin tinggi akan semakin memotivasi perusahaan untuk
meningkatkan pengungkapan intellectual capital. Dengan demikian akan semakin memperkuat sinyal yang ditujukan kepada investor potensial.
Signaling theory menyatakan bahwa perusahaan dengan kualitas tinggi
mampu untuk menjembatani asimetri informasi dengan menggunakan sinyal kualitas yang mahal, hal ini tidak dapat ditirukan oleh perusahaan dengan kualitas rendah (Cai, Duxbury, dan Keasey 2007). Literatur masa lampau mengadopsi asimetri informasi pada pasar IPO menyatakan retensi kepemilikan (ownership
retention) (Leland dan Pyle 1977) adalah sinyal dari kualitas perusahaan. Dengan
mengamati ownership retention, investor potensial dapat menyimpulkan prospek perusahaan yang ditawarkan. Semakin besar tingkat kepemilikan yang ditahan (atau semakin kecil persentase saham yang ditawarkan) akan memperkecil tingkat ketidakpastian pada masa yang akan datang (Murdiyani 2009), hal ini berarti pula semakin baik prospek perusahaan sehingga semakin meningkatkan nilai pasar perusahaan setelah IPO (Leland dan Pyle 1977).
Singh dan Zahn (2008) memperluas prediksi teori Leland dan Pyle (1977) dengan menguji hubungan ownership retention terhadap pengungkapan
intellectual capital pada prospektus perusahaan IPO di Singapura. Hasil penelitian
mereka menunjukkan bahwa ownership retention mempunyai hubungan positif signifikan terhadap pengungkapan intellectual capital. Implikasinya adalah bahwa
(23)
commit to user
apabila tingkat ownership retention semakin tinggi maka semakin besar kesediaan perusahaan yang melakukan IPO untuk memberikan informasi tentang sumber daya dan potensi intellectual capital. Hasil penelitian tersebut memberikan dukungan terhadap penelitian Bukh, Nielsen, Gormsen, dan Mouritsen (2005) yang menyatakan bahwa tingkat kepemilikan manajerial sebelum IPO secara signifikan berhubungan dengan tingkat pengungkapan intellectual capital. Perusahaan yang manajemennya memiliki sebuah kepentingan kepemilikan dalam
listing mengungkap informasi intellectual capital lebih banyak (Bukh et al. 2005).
Perusahaan yang ownership retention-nya tinggi ketika melakukan IPO, dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik. Courteau (1995) mengembangkan model Leland dan Pyle (1977) dengan menambahkan sinyal tambahan pada variabel ownership retention sebagai sinyal nilai perusahaan, yaitu komitmen pemilik lama mengenai lamanya (jangka waktu) periode menahan kepemilikan. Strategi signifikan berupa ownership retention
yang ditambah dengan komitmen untuk menahan periode kepemilikan menjadi mekanisme sinyal yang semakin meyakinkan investor mengenai kualitas IPO. Pendapat Courteau (1995) ini akhirnya mendorong penulis untuk menambahkan sinyal tambahan berupa komitmen pemilik lama untuk menahan periode kepemilikan dengan jangka waktu minimal enam bulan sejak tanggal efektif.
Pertimbangan jangka waktu minimal enam bulan tersebut adalah berdasar pada informasi yang tercantum dalam prospektus IPO. Pertimbangan tersebut dikarenakan prospektus perusahaan sampel dalam penelitian ini menyatakan bahwa pemilik lama bersedia menahan periode kepemilikan dengan jangka waktu
(24)
commit to user
yang berbeda pada setiap perusahaan, yaitu berkisar antara 6 (enam) sampai dengan 12 bulan.
Lebih lanjut lagi, untuk lebih mendukung persepsi tersebut di atas maka perusahaan akan lebih banyak mengungkapkan intellectual capital yang dimilikinya. Kepercayaan investor terhadap kualitas IPO melalui mekanisme sinyal positif berupa ownership retention yang ditambah dengan komitmen menahan periode kepemilikan minimal enam bulan ini diharapkan akan mendorong emiten bersedia memberikan transparansi yang lebih besar mengenai potensi penciptaan nilai perusahaan. Oleh karena sumber daya intellectual capital
memiliki kontribusi terhadap terjadinya gap informasi dengan investor, maka emiten berharap dengan pengungkapan informasi intellectual capital yang lebih banyak dalam prospektus ini akan efektif mengurangi masalah asimetri informasi dan ketidakpastian. Hal ini dikarenakan pengungkapan informasi intellectual
capital dianggap sebagai mekanisme yang dapat memfasilitasi investor untuk
melakukan penilaian terhadap perusahaan dengan lebih akurat.
Berdasar pada pemikiran di atas, penelitian ini menguji pengaruh
ownership retention sebagai sinyal pelengkap yang mendorong pengungkapan
intellectual capital dalam prospektus.
Variabel kedua dalam penelitian ini adalah reputasi underwriter. Dalam penelitian Singh dan Zahn (2008) reputasi underwriter digunakan sebagai variabel kontrol, sedangkan dalam penelitian ini digunakan sebagai variabel independen. Alasan yang mendasari penulis menggunakan reputasi underwriter sebagai variabel independen adalah sebagai berikut.
(25)
commit to user
Menurut signaling theory, reputasi underwriter dapat memberikan sinyal positif mengenai perusahaan IPO (Martani 2003). Issuer dapat mengurangi ketidakpastian dengan memberikan sinyal IPO melalui mekanisme reputasi
underwriter yang tinggi (Clarkson, Dontoh, Richardson, dan Sefcik 1991). Senada
dengan How dan Howe (2001), Jog dan McConomy (2003) berpendapat bahwa perusahaan yang melakukan issue dapat menyediakan informasi tambahan dan sinyal kualitas informasi melalui berbagai mekanisme seperti memilih
underwriter yang bereputasi tinggi guna mengurangi akibat asimetri informasi.
Lebih lanjut, penelitian Carter dan Manaster (1990) memberikan bukti empiris yang mendukung hubungan positif kualitas perusahaan dengan reputasi
underwriter. Carter dan Manaster (1990) menyatakan bahwa reputasi underwriter
merupakan faktor yang signifikan dalam banyak studi IPO. Oleh karena itu, IPO dengan kualitas yang lebih tinggi memberi sinyal informasi kunci untuk partisipan pasar tentang nilai IPO dengan menggunakan underwriter yang bereputasi tinggi (Chen dan Mohan 2002).
Sementara itu, Singh dan Zahn (2008) berpendapat bahwa dalam setting
IPO, pengungkapan intellectual capital antara lain tergantung pada mekanisme sinyal. Sinyal reputasi underwriter ini menunjukkan kualitas IPO, dengan demikian sesuai dalam konteks IPO. Mengikuti Singh dan Zahn (2008) yang memperluas sinyal ownership retention ke dalam pengungkapan intellectual
capital, maka penulis mencoba memperluas penggunaan variabel signaling berupa
reputasi underwriter ke dalam pengungkapan intellectual capital.Variabel reputasi
(26)
commit to user
Sementara itu peran underwriter dalam penyusunan prospektus serta kepentingan underwriter terhadap penjualan saham menyebabkan underwriter
diharapkan merupakan faktor yang memotivasi pengungkapan intellectual capital.
Menurut Certo, Daily, dan Dalton (2001) reputasi underwriter dapat berdampak pada persepsi investor mengenai kualitas perusahaan IPO. Dengan demikian penggunaan underwriter yang bereputasi baik ini akan diintrepretasikan oleh investor sebagai sinyal positif, yang akan semakin memperkuat sinyal pengungkapan intellectual capital. Berdasarkan diskusi di atas maka penulis mempertimbangkan reputasi underwriter sebagai variabel independen dalam penelitian ini.
Pada saat IPO, suatu perusahaan menginformasikan kepada pasar mengenai kinerja, kompetensi, dan pertumbuhan potensial sebagai suatu cara untuk meyakinkan investor bahwa berinvestasi dalam perusahaan tersebut adalah suatu hal yang layak dan menguntungkan. Usaha untuk menarik investor ini berpusat pada prospektus. Prospektus menyajikan informasi mengenai sasaran usaha perusahaan, identitas dan latar belakang para pemegang saham, kapitalisasi awal dan struktur modal perusahaan, penggunaan hasil dari penjualan efek, dan setiap aset penting atau proses intelektual yang akan digunakan oleh perusahaan. Informasi dalam prospektus menjadi dasar para investor dalam pembuatan keputusan investasi (Firth dan Smith 1992).
Bukh (2003) menyatakan bahwa prospektus mengindikasikan tipe informasi mana yang diseleksi oleh perusahaan dan penasehatnya (advisers) untuk kemungkinan visualisasi terbaik mengenai penciptaan nilai potensial perusahaan
(27)
commit to user
dalam hubungannya dengan investor dan analis, karena prospektus bermaksud untuk membuktikan pertumbuhan yang berkesinambungan dan peningkatan kemakmuran pemegang saham. Kemudian Bukh (2003) menambahkan bahwa pencantuman informasi mengenai intellectual capital dalam prospektus adalah sebuah indikasi bahwa perusahaan dan penasehat mereka percaya tipe informasi ini adalah penting di dalam penilaian pasar modal mengenai nilai perusahaan dalam prospektus dapat memberikan gambaran keadaan perusahaan dan ramalan laba. Penelitian Singh dan Zahn (2008) dan Romadani (2010) menunjukkan hasil bahwa underwriter berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan intellectual
capital.
Underwriter yang bereputasi baik biasanya akan menuntut lebih pada
perusahaan yang akan melakukan IPO dalam hal pengungkapan informasi karena mereka juga mempunyai beban moral yang terkait dengan reputasi baiknya. Penggunaan underwriter yang bereputasi yang merupakan sinyal positif perusahaan ini akan diinterpretasikan oleh publik bahwa perusahaan memiliki informasi dalam prospektus (seperti pengungkapan intellectual capital) yang tidak menyesatkan. Bagaimanapun underwriter berkepentingan melindungi reputasinya melalui pengungkapan intellectual capital yang tidak menyesatkan.
Underwriter berperan dalam mengurangi asimetri informasi yang terjadi
antara issuer dengan investor melalui dorongan underwriter terhadap perusahaan untuk melakukan pengungkapan intellectual capital. Dengan pengungkapan
intellectual capital maka keyakinan investor tentang kualitas IPO akan meningkat
(28)
commit to user
investor melakukan keputusan investasi. Sementara itu, dalam penelitian ini kontrak penjaminan emisi yang dilakukan oleh underwriter terhadap perusahaan IPO adalah dalam bentuk penjaminan full commmitment, sehingga underwriter
berkepentingan atas terjualnya seluruh saham IPO. Jadi dengan alasan kepentingan tersebut diharapkan akan membuat underwriter mendorong perusahaan untuk memberikan pengungkapan intellectual capital, karena dengan pengungkapan intellectual capital pada akhirnya akan membuat investor lebih bersedia untuk membeli saham. Oleh karena itu, penggunaan underwriter yang bereputasi diharapkan memberikan dorongan yang semakin besar akan pengungkapan intellectual capital dalam prospektus.
Selanjutnya, variabel independen yang ketiga dalam penelitian ini adalah umur perusahaan. Umur perusahaan adalah salah satu hal yang dipertimbangkan investor dalam melakukan keputusan investasi. Menurut Murdiyani (2009) umur perusahaan menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu bertahan. Bukh et al. (2005) mengidentifikasi bahwa umur perusahaan sering digunakan sebagai proksi dari risiko dalam studi-studi terdahulu, semakin lama suatu perusahaan berdiri maka investor akan menganggap risiko perusahaan tersebut lebih rendah.
Dalam penelitian Singh dan Zahn (2008) umur perusahaan digunakan sebagai variabel kontrol, sedangkan dalam penelitian ini digunakan sebagai variabel independen. Penggunaan umur perusahaan sebagai variabel independen ini mengacu pada penelitian Sonnier et al. (2008). Pertimbangan yang digunakan adalah terdapatnya hasil penelitian yang berbeda mengenai pengaruh umur perusahaan terhadap pengungkapan intellectual capital dalam penelitian-
(29)
commit to user
penelitian sebelumnya. Jadi selama pengungkapan intellectual capital ini merupakan strategi yang dipilih dan ditujukan sebagai sinyal, maka adanya sinyal positif berupa umur perusahaan ini akan semakin mendorong pengungkapan
intellectual capital. Oleh karena itu, diharapkan sinyal yang ditujukan kepada
investor akan semakin kuat.
Dalam penelitian-penelitian terdahulu, Bukh et al. (2005), White, Lee, dan Tower (2007), Cordazzo (2007), Singh dan Zahn (2008), dan Sonnier et al. (2008), meneliti hubungan antara umur perusahaan dengan pengungkapan
intellectual capital, namun masing-masing menemukan hasil yang berbeda. Bukh
et al. (2005), misalnya, menemukan bahwa umur perusahaan tidak mempengaruhi
pengungkapan intellectual capital. Sementara itu Singh dan Zahn (2008) menemukan umur perusahaan mempunyai pengaruh positif terhadap pengungkapan intellectual capital. Sedangkan Sonnier et al. (2008) menemukan hubungan negatif signifikan antara umur perusahaan dan tingkat pengungkapan. Perbedaan ini yang memotivasi untuk meneliti kembali variabel umur perusahaan sebagai determinan pengungkapan intellectual capital.
Variabel keempat. Variabel independen terakhir dalam penelitian ini adalah komisaris independen. Penggunaan variabel ini mengacu pada penelitian
Li et al. (2008). Alasan yang mendasari adalah bahwa komisaris independen
merupakan variabel yang menarik untuk dipertimbangkan dalam pengungkapan
intellectual capital karena akan secara tidak langsung merefleksikan peran
(30)
commit to user
peran monitoring diharapkan pengungkapan akan semakin meningkat, jadi tidak sekedar dipersepsikan memiliki peran memonitor (Hannifa dan Cooke 2002).
Dalam setting IPO, pengungkapan intellectual capital juga tergantung pada struktur corporate governance (Singh dan Zahn 2008). Struktur corporate
governance selain berkaitan dengan struktur kepemilikan juga berhubungan
dengan komposisi dewan, ukuran dewan, dan dualitas peran chief executive officer
(CEO). Li et al. (2008) mengungkapkan bukti terbaru melalui penelitiannya di
United Kingdom dengan mengatakan bahwa struktur corporate governance
perusahaan yang lebih kuat berhubungan dengan peningkatan pengungkapan
intellectual capital.
Mengenai hubungan antara corporate governance dan pengungkapan sukarela, Cerbioni dan Parbonetti (2007) mengungkapkan bahwa beberapa studi terdahulu tidak secara jelas mengindikasikan apakah corporate governance dan pengungkapan sukarela bersifat komplementer atau substitusi.
Studi empiris yang dilakukan oleh Singh dan Zahn (2008) menunjukkan bahwa struktur corporate governance tidak menunjukkan hasil yang signifikan, walaupun mempunyai hubungan positif terhadap pengungkapan intellectual
capital. Untuk mengukur struktur corporate governance, Singh dan Zahn (2008)
menggunakan ukuran gabungan yang meliputi: (1) jumlah direktur independen melampaui mandatory minimum, (2) individu yang sama tidak menempati peran yang sama sebagai ketua dewan dan CEO, (3) ketua dewan direktur adalah direktur independen non eksekutif.
(31)
commit to user
Berbeda dengan penelitian Singh dan Zahn (2008), White et al. (2007) hanya menggunakan proporsi direktur independen. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat hubungan positif signifikan antara proporsi direktur independen dengan pengungkapan intellectual capital.
Penelitian yang dilakukan penulis ini berbeda dengan penelitian Singh dan Zahn (2008) karena ukuran struktur corporate governance yang digunakan sebagai salah satu determinan pengungkapan intellectual capital hanya ukuran kesesuaian ketentuan jumlah komisaris independen menurut peraturan BEI. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah sangat minimnya perusahaan sampel dalam penelitian ini yang mengungkapkan data mengenai CEO maupun data mengenai komisaris independen yang sekaligus berkedudukan sebagai ketua dewan komisaris.
Keberadaan dewan komisaris adalah untuk memastikan manajemen untuk mengungkapkan informasi keuangan dan non keuangan yang dapat menjadi good
signal bagi perusahaan (Budiyanawati 2009). Certo, Daily, dan Dalton (2001)
menyatakan bahwa dewan independen dapat memberi sinyal adanya sebuah mekanisme pengawasan efektif, oleh karena itu meningkatkan nilai perusahaaan.
Eksistensi komisaris independen dalam struktur corporate governance
diharapkan dapat memberikan pengawasan yang efektif melalui pengungkapan
intellectual capital, sehingga akan mengurangi asimetri informasi dan
ketidakpastian investor berkenaan dengan adanya pengaruh intellectual capital
terhadap nilai perusahaan. Dengan demikian diharapkan komisaris independen memperkuat dorongan untuk melakukan pengungkapan intellectual capital.
(32)
commit to user
Singh dan Zahn (2008) mengungkapkan bahwa disamping manfaat pengungkapan sukarela terdapat faktor pelemah untuk membuat pengungkapan penuh. Dorongan ekonomi untuk pengungkapan sukarela adalah ditentukan oleh
trade-off antara penilaian benefit dan proprietary cost (Simpson 2008).
Verrecchia (1983) dalam Singh dan Zahn (2008) menyatakan bahwa perusahaan yang menghadapi proprietary cost yang tinggi akan membatasi pengungkapan sukarela. Ini dikarenakan pengungkapan yang demikian akan berisi informasi proprietary yang akan mengurangi posisi kompetitif perusahaan (Dye 1986; Garcia-Meca, Parra, Larran, dan Martinez 2005; Vergauwen dan Alem 2005; Verrecchia 1983 dalam Singh dan Zahn 2008). Manajer perusahaan menolak pengungkapan dengan alasan bahwa pengungkapan akan memberikan informasi berharga bagi kompetitor dikarenakan informasi tersebut tidak tersedia di tempat lain (Harris 1998). Jadi, walaupun prospektus merupakan dokumen yang ditujukan kepada investor, namun demikian karena dokumen ini tersedia bagi publik maka dapat digunakan oleh kompetitor.
Informasi intellectual capital merupakan informasi yang bersifat
proprietary yang jika diungkapkan akan bisa dimanfaatkan oleh pesaing, sehingga
menimbulkan cost bagi perusahaan. Hal tersebut membuat perusahaan kemungkinan memutuskan untuk tidak melakukan pengungkapan. Oleh karena itu, pertimbangan mengenai tingginya proprietary cost yang dihadapi oleh perusahaan digunakan untuk menjelaskan alasan mengapa perusahaan tidak mengungkap informasi intellectual capital. Perusahaan akan menahan informasi yang dapat digunakan oleh pihak ketiga yang dapat membahayakan posisi
(33)
commit to user
perusahaan dan yang menyebabkan penurunan future cash flow (Branco, Delgado, Sa’, dan Sousa 2010). Hal ini berarti bahwa perusahaan akan melakukan pengungkapan sukarela jika manfaat tambahan dari pengungkapan informasi tersebut lebih besar daripada tambahan biaya yang timbul dari keputusan pengungkapan tersebut.
Penelitian Singh dan Zahn (2008) membuktikan secara empiris bahwa hubungan pengungkapan intellectual capital – ownership retention melemah dengan adanya proprietary cost yang dihadapi dalam sebuah IPO. Proprietary cost yang lebih besar, menyebabkan penurunan nilai perusahaan yang lebih besar, dan dorongan yang lebih besar untuk tidak mengungkapkan (Singh dan Zahn 2008). Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis menduga proprietary cost
memoderasi pengaruh ownership retention terhadap pengungkapan intellectual capital.
Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Pengaruh Ownership Retention, Reputasi Underwriter, Umur, dan
Komisaris Independen Terhadap Pengungkapan Intellectual Capital dalam
Prospektus IPO dengan ProprietaryCost sebagai Variabel Pemoderasi”.
B. Perumusan Masalah
Literatur menyatakan bahwa pada saat IPO terdapat asimetri informasi yang tinggi dan investor tidak mengetahui nilai lebih yang dimiliki oleh perusahaan, konsekuensinya investor sulit untuk mengetahui kualitas IPO. Oleh karena itu, berbagai mekanisme dikembangkan untuk mengurangi asimetri
(34)
commit to user
informasi. Asimetri informasi ini timbul karena terdapat gap informasi antara
issuer dan investor. Zahn dan Singh (2007) menyatakan bahwa peningkatan
pengungkapan informasi finansial dan non finansial dalam IPO merupakan mekanisme potensial untuk mengurangi asimetri informasi. Sementara itu
financial reporting yang termuat dalam prospektus dan informasi lain yang
merupakan pengungkapan wajib (mandatory disclosure), sebagaimana diatur pengungkapannya oleh Bapepam, dianggap sebagai mekanisme yang tidak cukup bagi investor untuk mengetahui potensi penciptaan nilai suatu perusahaan. Di sisi lain sumber daya intellectual capital yang pengungkapannya bersifat sukarela dianggap berkontribusi terhadap asimetri informasi dan menimbulkan ketidakpastian.
Signaling merupakan mekanisme yang dapat mengurangi asimetri
informasi. Menurut signaling theory, pengungkapan intellectual capital dapat memberikan sinyal positif mengenai perusahaan IPO sehingga mengurangi asimetri informasi. Bagaimanapun perlu untuk menyajikan informasi yang dianggap dibutuhkan oleh investor potensial (seperti informasi intellectual
capital) agar investor membuat keputusan untuk berinvestasi. Melalui
pengungkapan intellectual capital manajer dapat mentransfer komunikasi yang reliabel dan kredibel untuk meyakinkan investor tentang kualitas IPO.
Dengan demikian dalam konteks IPO, pengungkapan intellectual capital
diharapkan dapat menjadi mekanisme potensial yang mengurangi asimetri informasi dan ketidakpastian, namun menurut Purnomosidhi (2006) rendahnya persentase saham yang diperdagangkan di BEI dapat menurunkan jumlah
(35)
commit to user
ungkapan. Lebih lanjut Purnomosidhi (2006) menyatakan bahwa dalam kondisi yang sama, menurut signaling theory, kondisi ini tidak memotivasi para manajer untuk memberi sinyal kepada pasar bahwa mereka menciptakan sumber daya
intellectual capital.
Sementara itu untuk memecahkan masalah asimetri informasi, studi terdahulu berfokus pada mekanisme selain pengungkapan untuk memberi sinyal kualitas IPO (How dan Howe 2001). Mendasarkan pernyataan (How dan Howe 2001) serta mengikuti Singh dan Zahn (2008) yang berpendapat bahwa pengungkapan intellectual capital dalam setting IPO tergantung pada mekanisme sinyal, proprietary cost, dan struktur corporate governance, maka penelitian ini menguji variabel ownership retention, reputasi underwriter, umur perusahaan, dan komisaris independen. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan akan mempengaruhi pengungkapan intellectual capital atau dengan kata lain diharapkan merupakan determinan pengungkapan intellectual capital.
Berdasar uraian sebelumnya, penelitian ini bermaksud untuk menguji kembali konsistensi penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Zahn (2008). Masalah yang diteliti, selanjutnya dapat dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat pengaruh positif ownership retention pemegang saham lama terhadap pengungkapan intellectual capital pada perusahaan yang melakukan IPO?
2. Apakah terdapat pengaruh positif reputasi underwriter terhadap pengungkapan
(36)
commit to user
3. Apakah terdapat pengaruh positif umur perusahaan terhadap pengungkapan
intellectual capital pada perusahaan yang melakukan IPO?
4. Apakah terdapat pengaruh positif komisaris independen terhadap pengungkapan intellectual capital pada perusahaan yang melakukan IPO? 5. Apakah proprietary cost memoderasi (dengan arah negatif) pengaruh
ownership retention terhadap pengungkapan intellectual capital pada
perusahaan yang melakukan IPO?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar perumusan masalah, maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Membuktikan secara empiris pengaruh positif ownership retention pemegang saham lama terhadap pengungkapan intellectual capital pada perusahaan yang melakukan IPO.
2. Membuktikan secara empiris pengaruh positif reputasi underwriter terhadap pengungkapan intellectual capital pada perusahaan yang melakukan IPO. 3. Membuktikan secara empiris pengaruh positif umur perusahaan terhadap
pengungkapan intellectual capital pada perusahaan yang melakukan IPO. 4. Membuktikan secara empiris pengaruh positif komisaris independen terhadap
pengungkapan intellectual capital pada perusahaan yang melakukan IPO. 5. Membuktikan bahwa proprietary cost memoderasi (dengan arah negatif)
pengaruh ownership retention terhadap pengungkapan intellectual capital
(37)
commit to user D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis mengharapkan penelitian ini akan memberikan manfaat bagi pihak-pihak berikut ini:
1. Bagi investor
Investor dapat menggunakan proporsi kepemilikian saham yang masih dipertahankan oleh pemilik lama dan luas pengungkapan intellectual capital untuk mengetahui prospek perusahaan di masa yang akan datang maupun untuk pengambilan keputusan investasi. Selain itu investor dalam pengambilan keputusan investasi dapat mempertimbangkan reputasi underwriter, umur perusahaan, dan komisaris independen perusahaan yang melakukan IPO.
2. Bagi perusahaan
Perusahaan yang akan go public dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan luas pengungkapan intellectual
capital dalam prospektus pada waktu melakukan pengungkapan intellectual
capital.
3. Bagi akademisi
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, gambaran, dan bukti empiris mengenai pengaruh ownership retention, reputasi
underwriter, umur perusahaan, dan komisaris independen terhadap
pengungkapan intellectual capital serta efek moderasi proprietary cost. b. Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi para peneliti yang akan melakukan
(38)
commit to user
25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Bab ini menyajikan teori dan hasil penelitian terdahulu yang melandasi penelitian ini, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai variabel penelitian, penelitian terdahulu, pengembangan hipotesis serta rerangka konseptual.
A. Signaling Theory
Verrecchia (2001) dalam Khlifi dan Bouri (2010) menyatakan bahwa pengurangan asimetri informasi merupakan awal yang potensial bagi teori pengungkapan. Salah satu teori yang melatarbelakangi masalah asimetri informasi dalam pasar adalah signaling theory (Kartika 2009). Signaling theory
mengindikasikan bahwa organisasi akan berusaha untuk menunjukkan sinyal informasi positif kepada investor melalui mekanisme annual reports (Miller dan Whiting 2005). Sinyal adalah tindakan yang dilakukan oleh pemilik lama dalam mengkomunikasikan info yang dimilikinya kepada investor (Leland dan Pyle 1977). Manajer memiliki motivasi untuk mengungkapkan private information
secara sukarela karena mereka berharap informasi tersebut dapat diinterpretasikan sebagai sinyal positif mengenai kinerja perusahaan dan mampu mengurangi asimetri informasi (Oliveira, Rodrigues,dan Craig 2008). Hughes (1986) menyatakan bahwa investor percaya bahwa sinyal informasi adalah kredibel
(39)
commit to user
26
karena signaling adalah mahal dan cost yang timbul dari signaling yang tidak benar adalah melampaui manfaatnya.
(40)
commit to user
Pengungkapan sukarela intellectual capital memungkinkan bagi investor
dan stakeholder lainnya untuk lebih baik dalam menilai kemampuan perusahaan
di masa depan, melakukan penilaian yang tepat terhadap perusahaan, dan mengurangi persepsi risiko mereka (Williams 2001; Miller dan Whiting 2005). Hal ini berarti bahwa investor akan tertarik pada informasi yang berhubungan dengan intellectual capital. Perusahaan mengungkapkan intellectual capital pada
annual report mereka dalam rangka memuaskan kebutuhan informasi investor,
serta meningkatkan nilai atraktif sumber daya perusahaan (Miller dan Whiting 2005).
Adanya asimetri informasi dan keinginan perusahaan untuk memberikan sinyal kualitas perusahaan inilah yang menjadi pertimbangan utama bagi perusahaan dalam mengungkapkan informasi intellectual capital. Melalui sinyal positif dari organisasi maka diharapkan akan diterima respon positif dari pasar, dengan demikian dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan serta menguntungkan investor. Jadi, motivasi perusahaan untuk melakukan pengungkapan intellectual capital dapat dijelaskan dengan signaling theory.
Khlifi dan Bouri (2010) menyatakan bahwa tidak ada teori yang pasti yang dapat menjelaskan alasan yang mendorong pengungkapan sukarela. Dikemukakan pula oleh Leventis dan Weetman (2000) yang dikutip oleh Oliveira et al. (2008) bahwa sampai saat ini tidak ada single theory yang dapat menjelaskan fenomena pengungkapan secara lengkap.
Khlifi dan Bouri (2010) mengatakan bahwa para peneliti dalam akuntansi dan keuangan dalam menjelaskan praktik pengungkapan menggunakan sejumlah
(41)
commit to user
teori. Berbagai teori yang digunakan dalam rangka mendapatkan penjelasan mengenai alasan yang mendorong pengungkapan sukarela adalah agency theory,
signaling theory, politicaleconomy theory, legitimacy theory, stakeholder theory,
institutional and media-agenda setting theory, dan proprietary costs theory.
Gutrie et al. (2004) mengemukakan bahwa stakeholder theory dan legitimacy
theory adalah merupakan teori yang diketahui banyak digunakan untuk
menjelaskan fenomena pengungkapan sukarela intellectual capital.
B. Intellectual Capital
Klein dan Prusak menyatakan apa yang kemudian menjadi standar pendefinisian intellectual capital, yang kemudian dipopularisasikan oleh Stewart (1994) dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003).Menurut Klein dan Prusak ”…we can define intellectual capital operationally as intellectual material that has been
formalized, captured, and leveraged to produce a higher valued asset”.
Intellectual capital adalah informasi dan pengetahuan yang diaplikasikan
dalam pekerjaan untuk menciptakan nilai (Williams 2001). Stewart (1997) dalam Purnomosidhi (2006) mendefinisikan intellectual capital sebagai intellectual
material, yang meliputi pengetahuan, informasi, kekayaan intelektual, dan
pengalaman yang dapat digunakan secara bersama-sama untuk menciptakan kekayaan (wealth). Intellectual capital merupakan suatu dimensi yang tersembunyi, namun merupakan aset yang berharga pada suatu perusahaan yang dapat dikonversikan menjadi nilai untuk membawanya ke masa depan (Stewart 2002). Sementara itu, Garcia-Meca dan Martinez (2005) menyatakan bahwa
(42)
commit to user
intellectual capital secara luas didefinisikan sebagai pengetahuan, intellectual
property atau pengalaman yang dapat digunakan untuk menciptakan kekayaan.
Pengetahuan telah menjadi faktor produksi yang penting dan oleh karenanya aset intelektual harus dikelola oleh perusahaan (Stewart 1997 dalam Anatan dan Ellitan 2005).
Pengungkapan intellectual capital dapat dilakukan secara sukarela
(voluntary disclosure) atau sesuai dengan kewajiban (mandatory disclosure).
Berbeda dengan pengungkapan wajib yang dibuat sesuai dengan standar akuntansi dan diatur oleh suatu peraturan pasar modal yang berlaku, pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan yang dibuat sesuai dengan keinginan perusahaan. Pengungkapan sukarela berarti tidak ada tekanan bagi perusahaan dalam melaporkan intellectual capital sehingga efektifitas pengungkapannya tergantung pada keuntungan dan kerugian pembuat laporan (Suhendah 2005). Pengungkapan sukarela memiliki dampak positif yaitu berkurangnya cost of capital (Botosan 1997; Leuz dan Verrecchia 2000) dan berkurangnya asimetri informasi (Garcia-Meca et al. 2005; Vergauwen dan Alem 2005).
Lebih lanjut berkenaan dengan pengungkapan sukarela, pengungkapan
intellectual capital menjadi top ten information yang dibutuhkan pemakai (Taylor
and Associates 1998 dalam Williams 2001). Zahn dan Singh (2007) menyatakan
bahwa sifat ketidakpastian seputar intellectual capital sangat berkontribusi bagi asimetri informasi antara issuer dan investor. Investor, oleh karena itu, membutuhkan pengetahuan sumber daya intellectual capital saat menilai IPO dan akan tertarik pada informasi yang berhubungan dengan intellectual capital.
(43)
commit to user
Informasi intellectual capital berguna bagi investor sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Pike (2006) menyebutkan bahwa akan banyak keuntungan yang akan diterima perusahaan apabila perusahaan melakukan pengungkapan yang luas terhadap informasi intellectual capital. Keuntungan tersebut antara lain memberi efek manfaat terhadap reputasi internal, penilaian pasar, dan kemampuan untuk meningkatkan modal (Bontis 2003). Dengan pengungkapan informasi intellectual
capital ini manajemen perusahaan dapat mengurangi asimetri informasi,
mempengaruhi persepsi pasar terhadap nilai pasar serta meningkatkan permintaan sekuritas perusahaan.
Pengungkapan intellectual capital adalah merujuk pada pelaporan
intellectual capital atau pernyataan intellectual capital yang melaporkan aktivitas
knowledge management perusahaan (Mouritsen, Bukh, Larsen, dan Johansen
2002). Pelaporan intellectual capital memerlukan sebuah metodologi yang relevan terhadap aktivitas perusahaan dan terbagi dalam lima kategori yang saling mempengaruhi, yaitu (Abidin 2000 dalam Suhendah 2005):
1. Fokus terhadap keuangan
Fokus ini memiliki kemiripan dengan informasi tradisional dari sebuah laporan perusahaan, namun berbeda dalam memandang biaya yang telah dikeluarkan. Biaya tersebut diidentifikasi sebagai aktivitas yang menguntungkan di masa mendatang seperti investasi di dalam teknologi informasi pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan.
(44)
commit to user 2. Fokus kepada konsumen
Fokus kepada konsumen dalam pelaporan intellectual capital
berhubungan dengan kondisi/perilaku konsumen, tingkat kepuasan/ ketidakpuasan, umpan balik perusahaan kepada konsumen dan metode pendekatan kepada konsumen.
3. Fokus terhadap proses
Fokus terhadap proses berhubungan dengan infrastruktur perusahaan seperti tingkat teknologi yang digunakan dan keberhasilan dalam mengaplikasikan teknologi.
4. Fokus terhadap pembaharuan kembali
Fokus ini menilai kemampuan perusahaan untuk tanggap terhadap tantangan masa depan yang mencakup posisi perusahaan di dalam pasar, perubahan kondisi/perilaku konsumen, perubahan permintaan konsumen, serta umur dan nilai intellectual asset perusahaan.
5. Fokus pada manusia
Fokus ini merupakan bagian terpenting, dinamis dan sulit karena penilaian atas modal sumber daya manusia cukup kompleks.
Bukh (2003) menyatakan bahwa variasi bentuk dalam pengungkapan
intellectual capital merupakan informasi yang bernilai bagi investor, yang dapat
membantu mengurangi ketidakpastian mengenai prospek masa depan dan memfasilitasi ketepatan penilaian terhadap perusahaan. Mengenai variasi bentuk ini, umumnya literatur menyatakan bahwa intellectual capital dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori umum (Guthrie dan Petty 2000; Davey,
(45)
commit to user
Schneider, dan Davey 2009): (1) human capital; (2) structural capital
(organizational capital / internal structure); (3) relational capital (customer
capital / external capital).
Human capital (modal manusia) merupakan kombinasi dari pengetahuan,
keahlian (skill), kemampuan melakukan inovasi dan menyelesaikan tugas yang meliputi nilai perusahaan, kultur, dan filsafat (Bontis 2000). Human capital
merupakan lifeblood dalam intellectual capital. Disinilah sumber innovation dan
improvement, tetapi merupakan komponen yang sulit diukur. Human capital
mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut (Sawarjuwono dan Kadir 2003).
Structural capital merupakan sarana dan prasarana yang mendukung
karyawan untuk menciptakan kinerja yang optimum, meliputi kemampuan organisasi menjangkau pasar, hardware, software, database, struktur organisasi,
patent, trademark, dan segala kemampuan organisasi untuk mendukung
produktivitas karyawan (Bontis 2000). Menurut Sawarjuwono dan Kadir (2003)
structural capital adalah kemampuan organisasai atau perusahaan dalam
memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan.
Relational capital merupakan komponen intellectual capital yang
memberikan nilai secara nyata. Relational capital merupakan hubungan yang harmonis/association network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para
(46)
commit to user
mitranya, baik yang berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun masyarakat sekitar (Sawarjuwono dan Kadir 2003).
C. Ownership Retention
Leland dan Pyle (1977) mengembangkan model sinyal ekuilibrium yang memprediksi perilaku pemilik lama dalam menghadapi asimetri informasi. Pada saat IPO terjadi asimetri informasi antara pemilik lama perusahaan dengan investor potensial. Dibandingkan investor potensial, pemilik lama lebih mengetahui prospek perusahaan yang ditawarkan. Untuk menekan informasi asimetri yang terjadi pemilik lama mengkomunikasikan sinyal prospek perusahaan. Sinyal kualitas IPO yang dikomunikasikan adalah ownership
retention, yaitu proporsi penyertaan saham pemilik lama pada perusahaan (porsi
saham yang ditahan pemilik lama setelah issue). Firth dan Liau-Tan (1998) dan Jog dan McConomy (2003) berargumen bahwa ownership retention adalah sinyal kualitas IPO.
Dengan sinyal ownership retention, pemilik lama mengisyaratkan bahwa mereka yakin akan prospek perusahaan. Sinyal informasi ini digunakan untuk meyakinkan investor potensial bahwa perusahaan memiliki prospek yang baik di masa mendatang, sehingga menurunkan tingkat ex-ante uncertainty investor. Menurut Downes dan Heinkel (1982) pemilik perusahaan dengan kualitas rendah akan mendiversifikasi risiko personal sebisa mungkin dengan mencoba untuk
(47)
commit to user
menjual sebanyak-banyaknya saham IPO mereka sebisa mungkin, akan merugikan bagi pemilik lama untuk menahan kepemilikan saham yang signifikan dalam perusahaan (Singh dan Zahn 2008).
Arosio, Guidici, dan Paleari (2000) menyatakan bahwa semakin tinggi jumlah saham yang masih dipegang pemilik lama memberikan sinyal bahwa tidak terjadi perubahan dalam kebijakan perusahaan setelah perusahaan melakukan IPO, sehingga justru memunculkan kepastian nilai perusahaan di masa mendatang. Informasi tingkat ownership retention oleh pemilik lama ini akan dilihat oleh calon investor sebagai pertanda bahwa perusahaan memiliki prospek yang baik. Oleh karena itu, tanpa sinyal ownership retention, investor potensial meragukan prospek perusahaan yang ditawarkan yang berakibat pada gagalnya penawaran umum perdana perusahaan (Wiyasha 2003).
D. Reputasi Underwriter
Dalam IPO calon emiten tidak bisa langsung menawarkan sahamnya kepada calon investor, tetapi harus melalui promotor yang disebut underwriter.
Underwriter (penjamin emisi) adalah perusahaan sekuritas yang membuat kontrak
dengan emiten untuk melakukan penawaran umum bagi kepentingan emiten (Darmadji dan Fakhruddin 2001) dan merupakan lembaga yang mempunyai peran kunci pada setiap emisi efek di pasar modal (Sunariyah 2006).
Salah satu fungsi underwriter adalah membantu perusahaan emiten dalam menyusun prospektus dan menandatanganinya (Bataona 1994 dalam Wafiya 2003). Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan penawaran
(48)
commit to user
umum dengan tujuan agar pihak lain membeli efek (Darmadji dan Fakhruddin 2001).
Dalam menjalankan fungsinya, para penjamin emisi senantiasa menjaga citra baik dirinya sebagai profesional dan dituntut untuk memiliki integritas yang tinggi di mata masyarakat. Penjamin emisi akan menolak perusahaan yang mencoba menyediakan informasi yang dapat menyesatkan kepada masyarakat. Mengingat apabila terjadi kesalahan dalam prospektus akan mengakibatkan kerugian bagi para pemodal, segala kesalahan penyajian informasi yang telah disampaikan kepada masyarakat, maka penjamin emisi ikut bertanggung jawab atas kesalahan tersebut (Sunariyah 2006).
Dalam peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) Nomor IX.C.2/1996 terdapat ketetapan pedoman tentang bentuk dan isi prospektus. Pasal 78 menetapkan bahwa prospektus tidak dapat berisi pernyataan yang salah atau menghapuskan informasi yang materiil yang akan diperlukan untuk keakuratan prospektus. Berdasarkan Pasal 80, pernyataan yang salah dalam prospektus dapat menimbulkan sanksi perdata. Berdasarkan Pasal 102, BAPEPAM-LK dapat mengenakan sanksi administratif, serta tanggung jawab pidana berdasarkan Pasal 104. Berkenaan dengan peraturan ini maka
underwriter harus melakukan penelitian dan memberikan kemampuan terbaiknya
dalam memeriksa segala pernyataan dan informasi yang akan dimuat dalam prospektus.
IPO dengan kualitas yang lebih tinggi memberi sinyal informasi kunci untuk partisipan pasar tentang nilai IPO dengan menggunakan underwriter yang
(49)
commit to user
bereputasi tinggi (Chen dan Mohan 2002). Penggunaan underwriter yang berpengalaman dan bereputasi baik dapat mengorganisir IPO secara profesional dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada investor (Sulistio 2005).
Dengan melihat fungsi dan tanggung jawabnya masing-masing dalam suatu sindikasi, para penjamin emisi dibedakan menjadi tiga, yaitu penjamin utama emisi (lead underwriter), penjamin pelaksana emisi (managing
underwriter), dan penjamin peserta emisi (co underwriter) (Sunariyah 2006).
1. Penjamin Utama Emisi (Lead Underwriter)
Penjamin utama emisi ini membuat kontrak dengan emiten dalam suatu perjanjian. Dalam perjanjian ini penjamin utama emisi memberikan jaminan penjualan efek dan pembayaran seluruh nilai efek kepada emiten. Apabila penjamin utama emisi lebih dari satu, maka jaminan tersebut diberikan secara bersama-sama. Jadi, penjamin utama emisi tipe ini yang bertanggung jawab atas seluruh penyelenggaraan suatu penawaran umum.
2. Penjamin Pelaksana Emisi (Managing Underwriter)
Penjamin pelaksana emisi ini yang akan mengkoordinir pengelolaan serta penyelenggaraan emisi efek. Di dalam pelaksanaannya penjamin pelaksana emisi mempunyai tanggung jawab antara lain membentuk suatu kelompok penjamin, menetapkan bagian penjaminan masing-masing penjamin emisi, menstabilkan harga setelah pasar perdana mengalokasi penjatahan dalam hal melebihi penawaran (over supply).
(50)
commit to user 3. Penjamin Peserta Emisi (Co Underwriter)
Penjamin peserta emisi ini tidak bertanggung jawab secara langsung kepada emiten. Sebab penjamin peserta emisi membuat kontrak dengan penjamin emisi utama dalam suatu perjanjian untuk melakukan penjualan dan pembayaran sesuai dengan porsi yang diambilnya. Kemudian jumlah efek yang menjadi bagiannya ditawarkan langsung kepada para klien, sedangkan selebihnya disalurkan melalui agen-agen penjual yang terdiri dari para anggota bursa: dealer
dan broker. Dalam kegiatan penjaminan emisi, para penjamin peserta emisi
memperoleh jasa penjaminan (underwriting fee) yang besarnya dihitung dari nilai penawaran dalam pasar perdana.
Underwriter melakukan kontrak penjaminan emisi dalam dua bentuk
(Darmadji dan Fakhruddin 2001) :
1. Best effort, berarti underwriter hanya menjual sebatas yang laku.
2. Full commitment, berarti underwriter menjamin penjualan seluruh saham yang
ditawarkan. Apabila ada yang tak terjual, maka underwriter yang membelinya.
E. Umur Perusahaan
Umur perusahaan menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu bertahan (Murdiyani 2009). Umur merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan oleh investor dalam menanamkan modalnya.
Menurut Owusu-Ansah (1998) luas pengungkapan perusahaan dapat dipengaruhi oleh umurnya, misal dalam hal pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut Owusu-Ansah (1998) terdapat tiga faktor yang berkontribusi dalam
(51)
commit to user
fenomena ini. Pertama, faktor bahwa perusahaan yang lebih muda mungkin kurang mampu berkompetisi. Kedua, faktor cost untuk mengumpulkan, memproses, dan menyebarkan informasi. Ketiga, faktor bahwa perusahaan yang lebih muda memiliki track record yang lebih sedikit sebagai sandaran dalam pengungkapan publik.
F. Komisaris Independen
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mendefinisikan
corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan
antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, sehingga menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholder).
Corporate governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan,
diajukan dalam rangka peningkatan kinerja melalui supervisi atau monitoring
manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan. Corporate governance timbul karena kepentingan perusahaan untuk memastikan kepada pihak penyandang dana bahwa dana yang ditanamkan digunakan secara tepat dan efisien (Setyapurnama dan Norpratiwi 2004). Konsep ini diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan (Ujiyantho dan Pramuka 2007) dengan wajar dan bernilai tinggi (Setyapurnama dan Norpratiwi 2004).
(52)
commit to user
Salah satu prinsip corporate governance menurut Organization for
Economic Operation dan Development (OECD) adalah mengenai board of
director (BOD). Bentuk board of director tergantung pada sistem hukum yang
dianut. Di Indonesia, struktur dewan perusahaan menganut two tier system di mana perusahaan mempunyai dua badan terpisah; yaitu (1) dewan pengawas atau dewan komisaris (istilah dalam OECD adalah board) dan (2) dewan manajemen atau dewan direksi (istilah dalam OEDC adalah key executive).
Hasil-hasil penelitian di negara lain yang digunakan dalam penelitian ini semuanya mengacu pada fungsi board of directors pada negara dengan sistem one
tier. Istilah board of directors dalam negara yang menganut one tier system tidak
memiliki arti yang sama dengan yang digunakan di Indonesia, namun peran board
of directors dapat dianalogikan dengan peran dewan komisaris pada perusahaan di
Indonesia.
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.
Independensi merupakan salah satu elemen penting yang mempengaruhi tingkat efektivitas dewan komisaris independen. Independensi diharapkan timbul dengan keberadaan dewan komisaris. Keberadaan komisaris independen dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang lebih obyektif dan independen dan juga untuk menjaga “fairness” serta mampu memberikan keseimbangan antara kepentingan pemegang saham mayoritas dan perlindungan terhadap kepentingan
(53)
commit to user
pemegang saham minoritas, bahkan kepentingan para stakeholder lainnya (Setyapurnama dan Norpratiwi 2004).
Keberadaan komisaris independen yang memiliki fungsi pengawasan ini sangat berperan guna mewujudkan good corporate governance. Dalam upaya memperbaiki corporate governance, BAPEPAM-LK mengeluarkan peraturan yaitu Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-315/BEJ/06-2000 perihal peraturan nomor I-A yang berlaku efektif 30 Juni 2000. Sebelum ditetapkannya peraturan tersebut, BAPEPAM-LK melalui Surat Edaran Bapepam No. 03/PM/2000 pada tanggal 5 Mei 2000 merekomendasikan imbauan perusahaan publik untuk membentuk komisaris independen. Peraturan tersebut diperbaharui dengan Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor: Kep-339/BEJ/07-2001 butir C mengenai board governance yang terdiri dari komisaris independen, komite audit, dan sekretaris perusahaan. Ketentuan yang dikeluarkan untuk mencapai corporate governance tersebut menyatakan bahwa jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari seluruh anggota dewan komisaris.
G. Konsentrasi Industri dan Proprietary Cost
Informasi mengenai intellectual capital dalam prospektus adalah penting bagi investor potensial, karena dapat membantu investor potensial untuk menilai kapabilitas perusahaan dalam menciptakan kekayaan di masa yang akan datang. Pada saat yang sama informasi pengungkapan mengenai intellectual capital dapat digunakan oleh pihak eksternal seperti kompetitor, sehingga menimbulkan
(1)
commit to user
131
Kurniawati, I. 2003. Analisis pengaruh pengumuman deviden terhadap abnormal return: pengujian signaling hypothesis di Bursa Efek Jakarta. Jurnal
Akuntansi & Manajemen (Agustus): 1-11.
La Porta, R.; F. L-de-Silanes; A. Shleifer; dan R. Vishny. 1998. Law and finance.
Journal of Political Economy 106 (6): 1113-1155.
Leland, H., dan D. Pyle. 1977. Informational assymetrics, financial structure, and financal intermediation. Journal of Finance 32 (2): 371-387.
Leuz, C., dan R. E. Verrecchia. 2000. The economic consequences of increased disclosure. Journal of Accounting Research 38 (Supplement): 91-124. Li, K.; R. Pike; dan P. Haniffa. 2008. Intellectual capital disclosure and corporate
governance structure in UK Firms. Accounting and Business Research 38 (2) : 137-159.
Mangena, M., dan R. Pike. 2005. The effect of audit committee shareholding, financial expertise and size on interim financial disclosures. Accounting
and Business Research 38 (2): 327-349.
Martani, D. 2003. Pengaruh informasi selama proses penawaran terhadap initial return perusahaan yang listing di bursa efek jakarta dari tahun 1990-2000.Simposium Nasional Akuntansi V. Surabaya.
Meer-Kooistra, J. van. der., dan S. Zijlstra. 2001. Reporting on intellectual capital.
Accounting, Auditing and Accountability Journal 14 (4): 456-476.
Miller, C., dan H. Whiting. 2005. Voluntary disclosure of intellectual capital and
the “hidden value”. Proceedings of the Accounting and Finance
Association of Australia and New Zeland Conference.
Mouritsen, J.; P. N. Bukh; H. T. Larsen; dan M. R. Johansen. 2002. Developing and managing knowledge through intellectual capital statement. Journal of
Intellectual Capital 3 (1): 10-29.
Muawanah, U., dan N. Indriantoro. 2001. Perilaku auditor dalam situasi konflik audit: peran locus of control, komitmen profesi dan kesadaran etis. Jurnal
Riset Akuntansi Indonesia 4 (2):133-150.
Murdiyani. 2009. Pengaruh informasi prospektus perusahaan terhadap initial return pada penawaran saham perdana (studi pada perusahaan LQ-45
2001-2008). Tesis Universitas Diponegoro.
Naylah, M. 2010. Pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri perbankan
Indonesia. Tesis Universitas Diponegoro.
Nielsen, C.; P. N. Bukh; J. Mouritsen; M. R. Johansen; dan P. Gormsen. 2006. Intellectual capital statements on their way to the stock exchange. Journal
(2)
commit to user
132
Nugroho, A. S. 2009. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi initial return
setelah IPO di Bursa Efek Indonesia. Skripsi Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Oliveira, L.; L. L. Rodrigues; dan R. Craig. 2008. Applying voluntary disclosure theories to intangibles reporting: evidence from the Portuguese stock market. www.ssrn.com.
Ousama, A. A., dan A. H. Fatima. 2010. Factors influencing voluntary disclosure: an empirical evidence from shariah approved companies. Malaysian
Accounting Review 9 (1): 85-105.
Patelli, L., dan A. Prencipe. 2007. The relationship between voluntary disclosure and independent directors in the presence of a dominant shareholder.
European Accounting Review 16 (1): 5-33.
Pike, R. 2006. Intellectual capital disclosures in corporate annual reports: a
european comparison. Bradford University School of Management.
Working paper.
Prabowo, A. 2010. Pengaruh corporate governance terhadap pengungkapan
intellectual capital (studi empiris pada sektor perbankan yang tercatat di
Bursa Efek Indonesia). Skripsi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Prasetyo, P. P. 2002. Pengaruh locus of control terhadap hubungan antara ketidakpastian lingkungan dengan karakteristik informasi sistem akuntansi manajemen. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 5 (1): 119-136.
Prencipe, A. 2004. Proprietary costs and determinants of voluntary segment disclosure: evidence from Italian listed companies. European Accounting
Review 13 (2): 319-340.
Purnomisidhi, B. 2006. Praktik pengungkapan model intelektual pada perusahaan publik di BEJ. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 9 (1): 1-20.
Raffournier, B. 1995. The determinants of voluntary financial disclosure by swiss listed companies. TheEuropean Accounting Review 4 (2): 261-280.
Razaee, Z. 2003. Causes, consequences, and deterence of financial statement fraud. Critical Perspective on Accounting : 1-22.
Romadani, M. 2010. Pengaruh ownership retention, auditor type, underwriter reputation, dan leverage terhadap pengungkapan modal intelektual perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia tahun 2004-2008. Skripsi Universitas Sebelas Maret.
Rubhyanti, R. 2008. Hubungan antara modal intelektual dengan nilai pasar dan kinerja keuangan. KOMPAK 1 (1): 55-61.
(3)
commit to user
133
Sawarjuwono, T., dan A. P. Kadir. 2003. Intellectual capital: perlakuan, pengukuran dan pelaporan (sebuah library research). Jurnal Akuntansi &
Keuangan 5 (1): 35-57.
Scoot, W. 2000. Financial Accounting Theory, 2nd ed. Prentice-Hall Canada. Sengupta, P. 1998. Corporate disclosure quality and the cost of debt. The
Accounting Review 73 (4): 459-474.
Setyapurnama, Y. S., dan A. M. V. Norpratiwi. 2007. Pengaruh corporate governance terhadap peringkat obligasi dan yields obligasi. Jurnal
Akuntansi dan Bisnis 7 (2).
Sihotang, P., dan A. Winata. 2008. The intellectual capital disclosure of technology-driven companies: evidence from Indonesia. International
Journal Learning and Intellectual Capital 5 (1): 63-82.
Simanjuntak, B. H., dan L. Widiastuti. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kelengkapan pengungkapan laporan keuangan pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia 7 (3): 351-358.
Simpson, A. 2008. Voluntary disclosure of advertising expenditures. Journal of
Accounting, Auditing & Finance: 403-436.
Sinarwati, N. K. 2010. Mengapa perusahaan manufaktur Yng terdaftar di BEI
melakukan pergantian kantor akuntan publik?. Simposium Nasional
Akuntansi XIII.
Singhvi, S., dan H. Desai. 1971. An empirical analysis of the quality of corporate financial disclosure. The Accounting Review 46: 129-138.
Singh, I., dan J-L. W. M. Van der. Zahn. 2007. Does intellectual capital disclosure reduce an IPO’s cost of capital. The case of underpricing. Journal of
Intellectual Capital 8 (3): 494-516.
_______________________________. 2008. Determinants of intellectual capital disclosure in prospectus of initial public offerings. Accounting and
Business Research 38 (5): 409-431.
Sir, J.; B. Subroto; dan G. Chandrarin. 2010. Intellectual capital dan abnormal return saham (studi peristiwa pada perusahaan publik di Indonesia). Simposium Nasional Akuntansi XIII.
Sonnier, B. M.; K. D. Carson; dan P. P. Carson. 2008. An explanation of the impact of firm size and age on managerial disclosure of intellectual capital by high-tech companies. Journal of Business Strategies 26 (2): 1-24. Suhendah, R. 2005. Intellectual capital. Jurnal Akuntansi IX (03): 278-292.
(4)
commit to user
134
Sulistio, H. 2005. Pengaruh informasi akuntansi dan non akuntansi terhadap initial return: studi pada perusahaan yang melakuakn initial public
offering di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi VIII.
Sunariyah. 2006. Pengantar pasar modal. Edisi Ketiga, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Ujiantho, M. A., dan B. A. Pramuka. 2007. Mekanisme corporate governance,
manajemen laba dan kinerja keuangan. Simposium Nasional Akuntansi X.
Vergauwen, P. G. M. C., dan F. J. C. van. Alem. 2005. Annual report intellectual capital disclosures in the Netherlands, France, and Germany. Journal of
Intellectual Capital 6 (1): 89-104.
Wafiya. 2003. Due diligence dan tanggung jawab profesi penunjang pasar modal
dalam rangka penawaran umum. Tesis Undip.
Walker, M. 2006. How business reporting be improved? A research prospective.
Accounting and Business Research 36 (Special Issue): 95-105.
Wardhani, M. 2009. Intellectual capital disclosure: Studi empiris pada
perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Skripsi
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
White, G.; A. Lee; dan G. Tower. 2007. Drivers of voluntary intellectual capital disclosure in listed biotechnology companies. Journal of Intellectual
Capital 8 (3): 517-537.
Widarjo, W. 2010. Pengaruh ownership retention, investasi dari proceeds, dan reputasi auditor terhadap nilai perusahaan dengan kepemilikan
manajerial dan institusional sebagai variabel pemoderasi. Tesis
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Widyaningdyah, A. U. 2008. Sebuah tinjauan akuntansi atas pengukuran dan
pelaporan knowledge. The 2nd National Conference UKWMS, Surabaya.
Williams, S. M. 2001. Is intellectual capital performance and disclosure practices related?. Journal of Intellectual Capital 2 (3):192-203.
Wiyasha, I. B. M. 2003. Analisis proporsi penyertaan saham pemilik lama sebagai sinyal prospek perusahaan setelah pasar perdana: studi empiris di Bursa Efek Jakarta. http:/lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/1246_RD1002002.pdf. Woodcock, J., dan R. H. Whiting. 2009. Intellectual capital disclosures by
Australian companies.
http://eprints.otago.ac.nz/859/1/03_2009_Ros_Whiting.pdf.
Yau, F. S.; L. sin. Chun; dan R. Balaraman. 2009. Intellectual capital reporting and corporate characteristics of public-licensed companies in Malaysia.
(5)
commit to user
135
Yoga. 2010. Hubungan teori signaling dengan underpricing saham pada penawaran perdana (IPO) di Bursa Efek Jakarta. Eksplanasi 5 (1): 69-86. Yusuf. dan P. Sawitri. 2009. Modal intelektual dan market performance
perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Proceeding PESAT 3 (Oktober): B49-B55.
Zahn, J-L. W. M. Van der., dan I. Singh. 2007. Intellectual capital disclosures and the association with first-day returns in initial public offerings. International Journal of Accounting, Auditing and Performance
Evaluation 4 (4/5): 443-476.
Zhang, G. 2001. Private information production, public disclosure, and the cost of capital: theory and implication. Contemporary Accounting Research 18 (2): 363-384.
Zhang, M. H. 2005. The differential effects of proprietary cost on the quality
versus quantity of voluntary corporate disclosure. Dissertation The
University of Texas. Bizztalks.com
www.idx.co.id
strategimanajemen.net
(6)
commit to user