Stadium II 1.Berat badan menurun 10
2. Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti dermatitis
seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren, kheilitis angularis.
3. Herves Zoster dalam 5 tahun terakhir
4. Infeksi saluran nafas atas seperti sinusitis bakterialis
Stadium III 1.
Berat badan menurun 10 . 2.
Diare kronis yang berlangsung 1 tahun. 3.
Demam 1 bulan. 4.
Kandidiasis orofaringeal. 5.
Oral Hairy Leukoplakia. 6.
TB paru dalam tahun terakhir. 7.
Infeksi bakterial yang berat seperti pneumonia, piomiositis Stadium IV
1. HIV wasting syndrome.
2. Pneumonia Pneumocystis Carini.
3. Toksoplasmosis Otak.
4. Diare kriptosporidiosis 1 bulan.
5. Kriptokokosis ekstrapulmonal.
6. Retinitis virus Citomegalo.
7. Herpes simpleks mukokutan 1 bulan.
8. Leukoensefalopati multifokal progresif.
9. Mikosis diseminata seperti histoplasmosis.
10. Kandidiosis esofagus,trakea, bronkus dan paru.
11. Mikobakteriosis atipikal diseminata.
12. Septikemia salmonelosis non-tifoid.
13. Tuberkulosis di luar paru.
14. Limfoma.
15. Sarkoma Kaposi.
16. Ensefalopati HIV
2.1.3 Tatalaksana Pemberian ARV
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan penentuan stadium klinis infeksi dengan tujuan untuk
menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat untuk mendapat ARV atau tidak Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.
Untuk pasien baru HIVAIDS, ada 4 pilihan paduan ARV sebagai lini pertama pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO dan juga dipakai di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia Tabel 2.2 WHO, 2010; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.
Tabel 2.2. Paduan ARV sebagai lini pertama Kementrian kesehatan Republik Indonesia, 2011
AZT + 3TC + NVP Zidovudine +
Lamivudine + Nevirapine
ATAU
AZT + 3TC + EFV Zidovudine +
Lamivudine + Efavirenz ATAU
TDF + 3TC atau FTC + NVP
Tenofovir + Lamivudine atau Emtricitabine +
Nevirapine ATAU
TDF + 3TC atau FTC + EFV
Tenofovir + Lamivudine atau Emtricitabine +
Efavirenz
2.1.4 Pemantauan klinis dan laboratorium selama terapi ARV lini pertama
Frekuensi Pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Sebagai batasan minimal, pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu ke-
2, 4, 8, 12 dan 24 sejak memulai ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil WHO, 2010; Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2011. Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin
setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Pengukuran SGPT dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala, dan bukan
pemeriksaan yang rutin. Bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250-350 selmm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim
transaminase pada minggu ke-2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV, dilanjutkan dengan pemantauan gejala klinis. Pengukuran VL tidak
dianjurkan untuk monitoring pasien yang mendapat ARV terutama pada tempat-tempat dengan fasilitas dan kemampuan pasien yang terbatas.
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan VL umumnya digunakan sebagai alat diagnostik untuk menentukan gagal terapi. VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal
dibandingkan dengan pemantauan klinis atau pemeriksaan jumlah CD4. Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi yang diberikan diharapkan
menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi undetectable setelah bulan ke 6 WHO, 2010; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.
2.2 Antiretroviral ARV