Isolasi Dan Analisa Profil Peptida Berasa Gurih Dari Ekstrak Ikan Asin Jambal Roti

(1)

ISOLASI DAN ANALISA PROFIL PEPTIDA BERASA GURIH DARI EKSTRAK IKAN ASIN JAMBAL ROTI

Oleh : MURTADHO

F02400019

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ISOLASI DAN ANALISA PROFIL PEPTIDA BERASA GURIH DARI EKSTRAK IKAN ASIN JAMBAL ROTI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : MURTADHO

F02400019

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Murtadho. F02400019. Isolasi dan Analisa Profil Peptida dari Ekstrak Ikan Asin Jambal Roti. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS dan Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. 2005.

RINGKASAN

Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang dilakukan oleh Rahmawaty (2004) untuk mengetahui keberadaan fraksi gurih hasil fraksinasi lebih lanjut Fraksi BM<1000 Da ekstrak air ikan asin jambal roti, dengan Solid Phase Extraction. Disamping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui karakteristik fraksi-fraksi yang diperoleh dan kontribusinya terhadap intensitas rasa gurih dan analisa profil peptidanya dengan RP-HPLC (Reverse Phase-High Performance Liquid Chromatography).

Produk fermentasi ikan terutama yang diolah secara tradisional banyak dikonsumsi masyarakat karena memiliki cita rasa yang disukai dan menghasilkan flavor yang khas. Salah satu produk tersebut adalah ikan asin jambal roti. Produk ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi karena dagingnya yang enak dan sangat digemari masyarakat.

Ekstrak ikan asin jambal roti disentrifuse untuk menghilangkan lemak. Selanjutnya filtrat diultrafiltrasi dengan MWCO 10.000 dan 1000 dalton, sehingga diperoleh isolat peptida dengan BM<1000 dalton. Fraksi dengan BM<1000 Da kemudian difraksinasi lebih lanjut dengan kromatografi filtrasi gel Sephadex G-10. Fraksinasi dengan kromatografi filtrasi gel ini menghasilkan 5 fraksi. Fraksi 1 yang merupakan fraksi tergurih (Rahmawaty, 2004) kemudian di fraksinasi lagi dengan Solid Phase Extraction (SPE). Fraksinasi ini menghasilkan 8 fraksi (F1, F2, F3, F4, F5, F6, F7, FTT). Kedelapan fraksi ini di analisis sensorinya. Uji sensori ini dilakukan dengan uji skoring dengan 8 orang panelis terlatih sebanyak tiga ulangan pada hari yang berbeda.

Berdasarkan hasil pengujian sensori, Fraksi 1 merupakan fraksi tergurih mempunyai intensitas rasa gurih yang paling tinggi yaitu 40.4. kemudian diikuti oleh Fraksi Tidak Tertahan 31.3. Selanjutnya berturut-turut F7, F4, F2, F5, F3, dan F6 dengan skor masing-masing adalah 31.2, 30.6, 30.1, 23.2, 19.4, dan 19.2.

Selain dilakukan analisis sensori, kedelapan fraksi dari hasil SPE dianalisis profil peptidanya dengan RP-HPLC. Kromatogram yang diperoleh kemudian di analisis dengan membandingkannya pada profil asam amino standar yang diinjeksikan pada kondisi (eluen dan flow rate) yang sama. Kromatogram fraksi tidak tertahan, fraksi 1 dan fraksi 2 masih terdapat peak yang cukup banyak, sedangkan pada kromatogram fraksi 3, 4, 5, 6 dan 7 hanya terdapat single peak. Single peak yang terdapat pada fraksi-fraksi tersebut diduga merupakan asam amino, bukan peptida karena hanya mempunyai satu retention tim. Pada fraksi tidak tertahan, fraksi 1 dan 2 mempunyai peak-peak yang cenderung bergabung, dan mempunyai kisaran retention time yang hampir sama. Pada kromatogram crude sample yaitu sampel yang menggunakan fraksi sebelum SPE (dari hasil Kromatografi filtrasi gel) peak-peak yang muncul juga tidak jauh berbeda dengan peak-peak pada fraksi tidak tertahan, fraksi 1 dan dua. Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan menggunakan SPE kurang efektif. Penggunaan cartridge yang berulang sampai tiga kali merupakan salah satu faktor penyebab kekurang


(4)

efektifan tersebut. Disamping itu, proses elusi yang kurang sempurna juga bisa menyebabkan elusi senyawa sampel antar fraksi jadi bias karena kemungkinan tertahan oleh kolom pada fraksi sebelumnya.

Fraksi 1 mempunyai peak yang mendekati Retention Time Glu (2.432) dengan Luas area 27.146% dan yang mendekati Retention Time Phe (4.872) dengan luas area 14.336%. Dari data tersebut diduga pada Fraksi 1 terdapat asam amino Glu dan Phe. Pada Fraksi 2 mempunyai peak yang mendekati Retention Time Crn (2.102) dengan luas area 48.720. Fraksi 3, Fraksi 4, Fraksi 5 dan Fraksi 7 tidak ada peak yang mendekati Retention Time asam amino standar (Glu, Phe, His Tyr, Trp, Crn). Fraksi 6 mempunyai peak dengan Retention Time Tyr (1.925) dengan luas area 5.683%. Fraksi Tidak Tertahan mempunyai peak yang mendekati Retention Time Phe (4.723) dengan luas area 9.159%.


(5)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

ISOLASI DAN ANALISA PROFIL PEPTIDA BERASA GURIH DARI EKSTRAK IKAN ASIN JAMBAL ROTI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : Murtadho F02400019

Dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1982 Di Kendal

Tanggal lulus:

Menyetujui, September 2005 Bogor, September 2005

Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridlo-Nya dan memberikan kesabaran, ketabahan, dan kekuatan untuk menyelesaikan tugas ini. Semoga semua pengorbanan selama ini dinilai sebagai ibadah di hadapan-Nya.

Saya persembahkan tulisan ini kepada Ibu dan bapak yang telah memberikan kasih sayang dan dorongan, serta do’anya sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini, dan untuk adik-adikku tercinta atas do’a dan bantuannya selama ini.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini, baik dari segi material maupun moral:

Terimakasih saya untuk Bapak Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS dan Bapak Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan, dan kepada Ibu Dwi Setyaningsih yang selalu memberikan dorongan semangat dan bimbingannya. Kepada Ibu Ir. Dede R. Adawiyah, MSi selaku dosen penguji sidang, terimakasih atas kesediaannya menguji dan memberikan begitu banyak kemudahan.

Kepada Pak Taufik dan Bu Sri terimakasih atas semua bantuan dan berbagi pengalamannya, dan kepada semua teknisi yang telah membantu dalam penelitian di laboratorium.

Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan dalam penelitian ini Wahyu, Meilin dan Mbak Ani. Terima kasih pula kepada Sopian, Uton, Deni, Yadi, Tria, Damar atas persahabatan yang tetap terjalin. Tidak lupa kepada sahabat-sahabatku TPG 37 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas dorongan semangatnya. Terimakasih kepada para panelis yang sangat berperan atas selesainya penelitian ini.

Terimakasih kepada teman-teman TPG angk. 36 dan TPG angk. 38 atas semua yang pernah kita alami bersama. Kepada Dik Zahra terimakasih atas do’a


(7)

dan kerelaannya untuk berbagi baik dalam suka maupun duka, semoga keridloan Allah senantiasa menyertaimu. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan disini semoga Allah membalas semua amal baik kita.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir masih banyak kekurangan, namun penulis berharap tidak mengurangi manfaat dari tulisan ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, September 2005 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A.IKAN ASIN JAMBAL ROTI ... 3

B.PROSES PEMBUATAN IKAN ASIN JAMBAL ROTI ... 6

C.PEPTIDA ... 8

D. METODE ISOLASI DAN ANALISA PROFIL PEPTIDA ... 9

III.METODE PENELITIAN ... 19

A.BAHAN DAN ALAT ... 19

B.METODE PENELITIAN ... 20

1. Ekstraksi ... 20

2. Ultrafiltrasi ... 20

3. Fraksinasi dengan Kromatografi Filtrasi Gel ... 21

4. Karakterisasi Kimia Fraksi-fraksi Hasil Kromatografi ... 22

5. Fraksinasi Fraksi Tergurih Menggunakan SPE ... 23

6. Karakteristik Sensori Fraksi hasil SPE...24

7. Pengamatan Profil Peptida Hasil SPE dengan RP-HPLC...27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

A. EKSTRAKSI DAN ULTRAFILTRASI IKAN ASIN JAMBAL ROTI28 B. FRAKSINASI DENGAN KROMATOGRAFI FILTRASI GEL.... ... 29

C. FRAKSINASI DENGAN SOLID PHASE EXTRACTION ... 32

D. KARAKTERISASI SENSORI FRAKSI HASIL SPE ... 33

E. ANALISIS PROFIL PEPTIDA DENGAN RP-HPLC ... 34

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

A. KESIMPULAN ... 46


(9)

DAFTAR PUSTAKA ... 48 LAMPIRAN ... 52


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Produksi (ton) ikan manyung (Arius spp) di indonesia tahun

1993-2002 ... 4 Tabel 2. Komposisi ikan manyung (Arius spp) dalam 100 g daging ikan ... 5 Tabel 3. Asam amino pembentuk rasa ... 11 Tabel 4. Retention Time beberapa asam amino ... 45


(11)

ISOLASI DAN ANALISA PROFIL PEPTIDA BERASA GURIH DARI EKSTRAK IKAN ASIN JAMBAL ROTI

Oleh : MURTADHO

F02400019

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

ISOLASI DAN ANALISA PROFIL PEPTIDA BERASA GURIH DARI EKSTRAK IKAN ASIN JAMBAL ROTI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : MURTADHO

F02400019

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

Murtadho. F02400019. Isolasi dan Analisa Profil Peptida dari Ekstrak Ikan Asin Jambal Roti. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS dan Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. 2005.

RINGKASAN

Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang dilakukan oleh Rahmawaty (2004) untuk mengetahui keberadaan fraksi gurih hasil fraksinasi lebih lanjut Fraksi BM<1000 Da ekstrak air ikan asin jambal roti, dengan Solid Phase Extraction. Disamping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui karakteristik fraksi-fraksi yang diperoleh dan kontribusinya terhadap intensitas rasa gurih dan analisa profil peptidanya dengan RP-HPLC (Reverse Phase-High Performance Liquid Chromatography).

Produk fermentasi ikan terutama yang diolah secara tradisional banyak dikonsumsi masyarakat karena memiliki cita rasa yang disukai dan menghasilkan flavor yang khas. Salah satu produk tersebut adalah ikan asin jambal roti. Produk ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi karena dagingnya yang enak dan sangat digemari masyarakat.

Ekstrak ikan asin jambal roti disentrifuse untuk menghilangkan lemak. Selanjutnya filtrat diultrafiltrasi dengan MWCO 10.000 dan 1000 dalton, sehingga diperoleh isolat peptida dengan BM<1000 dalton. Fraksi dengan BM<1000 Da kemudian difraksinasi lebih lanjut dengan kromatografi filtrasi gel Sephadex G-10. Fraksinasi dengan kromatografi filtrasi gel ini menghasilkan 5 fraksi. Fraksi 1 yang merupakan fraksi tergurih (Rahmawaty, 2004) kemudian di fraksinasi lagi dengan Solid Phase Extraction (SPE). Fraksinasi ini menghasilkan 8 fraksi (F1, F2, F3, F4, F5, F6, F7, FTT). Kedelapan fraksi ini di analisis sensorinya. Uji sensori ini dilakukan dengan uji skoring dengan 8 orang panelis terlatih sebanyak tiga ulangan pada hari yang berbeda.

Berdasarkan hasil pengujian sensori, Fraksi 1 merupakan fraksi tergurih mempunyai intensitas rasa gurih yang paling tinggi yaitu 40.4. kemudian diikuti oleh Fraksi Tidak Tertahan 31.3. Selanjutnya berturut-turut F7, F4, F2, F5, F3, dan F6 dengan skor masing-masing adalah 31.2, 30.6, 30.1, 23.2, 19.4, dan 19.2.

Selain dilakukan analisis sensori, kedelapan fraksi dari hasil SPE dianalisis profil peptidanya dengan RP-HPLC. Kromatogram yang diperoleh kemudian di analisis dengan membandingkannya pada profil asam amino standar yang diinjeksikan pada kondisi (eluen dan flow rate) yang sama. Kromatogram fraksi tidak tertahan, fraksi 1 dan fraksi 2 masih terdapat peak yang cukup banyak, sedangkan pada kromatogram fraksi 3, 4, 5, 6 dan 7 hanya terdapat single peak. Single peak yang terdapat pada fraksi-fraksi tersebut diduga merupakan asam amino, bukan peptida karena hanya mempunyai satu retention tim. Pada fraksi tidak tertahan, fraksi 1 dan 2 mempunyai peak-peak yang cenderung bergabung, dan mempunyai kisaran retention time yang hampir sama. Pada kromatogram crude sample yaitu sampel yang menggunakan fraksi sebelum SPE (dari hasil Kromatografi filtrasi gel) peak-peak yang muncul juga tidak jauh berbeda dengan peak-peak pada fraksi tidak tertahan, fraksi 1 dan dua. Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan menggunakan SPE kurang efektif. Penggunaan cartridge yang berulang sampai tiga kali merupakan salah satu faktor penyebab kekurang


(14)

efektifan tersebut. Disamping itu, proses elusi yang kurang sempurna juga bisa menyebabkan elusi senyawa sampel antar fraksi jadi bias karena kemungkinan tertahan oleh kolom pada fraksi sebelumnya.

Fraksi 1 mempunyai peak yang mendekati Retention Time Glu (2.432) dengan Luas area 27.146% dan yang mendekati Retention Time Phe (4.872) dengan luas area 14.336%. Dari data tersebut diduga pada Fraksi 1 terdapat asam amino Glu dan Phe. Pada Fraksi 2 mempunyai peak yang mendekati Retention Time Crn (2.102) dengan luas area 48.720. Fraksi 3, Fraksi 4, Fraksi 5 dan Fraksi 7 tidak ada peak yang mendekati Retention Time asam amino standar (Glu, Phe, His Tyr, Trp, Crn). Fraksi 6 mempunyai peak dengan Retention Time Tyr (1.925) dengan luas area 5.683%. Fraksi Tidak Tertahan mempunyai peak yang mendekati Retention Time Phe (4.723) dengan luas area 9.159%.


(15)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

ISOLASI DAN ANALISA PROFIL PEPTIDA BERASA GURIH DARI EKSTRAK IKAN ASIN JAMBAL ROTI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : Murtadho F02400019

Dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1982 Di Kendal

Tanggal lulus:

Menyetujui, September 2005 Bogor, September 2005

Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc


(16)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridlo-Nya dan memberikan kesabaran, ketabahan, dan kekuatan untuk menyelesaikan tugas ini. Semoga semua pengorbanan selama ini dinilai sebagai ibadah di hadapan-Nya.

Saya persembahkan tulisan ini kepada Ibu dan bapak yang telah memberikan kasih sayang dan dorongan, serta do’anya sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini, dan untuk adik-adikku tercinta atas do’a dan bantuannya selama ini.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini, baik dari segi material maupun moral:

Terimakasih saya untuk Bapak Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS dan Bapak Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan, dan kepada Ibu Dwi Setyaningsih yang selalu memberikan dorongan semangat dan bimbingannya. Kepada Ibu Ir. Dede R. Adawiyah, MSi selaku dosen penguji sidang, terimakasih atas kesediaannya menguji dan memberikan begitu banyak kemudahan.

Kepada Pak Taufik dan Bu Sri terimakasih atas semua bantuan dan berbagi pengalamannya, dan kepada semua teknisi yang telah membantu dalam penelitian di laboratorium.

Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan dalam penelitian ini Wahyu, Meilin dan Mbak Ani. Terima kasih pula kepada Sopian, Uton, Deni, Yadi, Tria, Damar atas persahabatan yang tetap terjalin. Tidak lupa kepada sahabat-sahabatku TPG 37 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas dorongan semangatnya. Terimakasih kepada para panelis yang sangat berperan atas selesainya penelitian ini.

Terimakasih kepada teman-teman TPG angk. 36 dan TPG angk. 38 atas semua yang pernah kita alami bersama. Kepada Dik Zahra terimakasih atas do’a


(17)

dan kerelaannya untuk berbagi baik dalam suka maupun duka, semoga keridloan Allah senantiasa menyertaimu. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan disini semoga Allah membalas semua amal baik kita.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir masih banyak kekurangan, namun penulis berharap tidak mengurangi manfaat dari tulisan ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, September 2005 Penulis


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A.IKAN ASIN JAMBAL ROTI ... 3

B.PROSES PEMBUATAN IKAN ASIN JAMBAL ROTI ... 6

C.PEPTIDA ... 8

D. METODE ISOLASI DAN ANALISA PROFIL PEPTIDA ... 9

III.METODE PENELITIAN ... 19

A.BAHAN DAN ALAT ... 19

B.METODE PENELITIAN ... 20

1. Ekstraksi ... 20

2. Ultrafiltrasi ... 20

3. Fraksinasi dengan Kromatografi Filtrasi Gel ... 21

4. Karakterisasi Kimia Fraksi-fraksi Hasil Kromatografi ... 22

5. Fraksinasi Fraksi Tergurih Menggunakan SPE ... 23

6. Karakteristik Sensori Fraksi hasil SPE...24

7. Pengamatan Profil Peptida Hasil SPE dengan RP-HPLC...27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

A. EKSTRAKSI DAN ULTRAFILTRASI IKAN ASIN JAMBAL ROTI28 B. FRAKSINASI DENGAN KROMATOGRAFI FILTRASI GEL.... ... 29

C. FRAKSINASI DENGAN SOLID PHASE EXTRACTION ... 32

D. KARAKTERISASI SENSORI FRAKSI HASIL SPE ... 33

E. ANALISIS PROFIL PEPTIDA DENGAN RP-HPLC ... 34

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

A. KESIMPULAN ... 46


(19)

DAFTAR PUSTAKA ... 48 LAMPIRAN ... 52


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Produksi (ton) ikan manyung (Arius spp) di indonesia tahun

1993-2002 ... 4 Tabel 2. Komposisi ikan manyung (Arius spp) dalam 100 g daging ikan ... 5 Tabel 3. Asam amino pembentuk rasa ... 11 Tabel 4. Retention Time beberapa asam amino ... 45


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Ikan manyung (Arius thalassinus) ... 4

Gambar 2. Skema proses pengolahan ikan jambal roti tawar ... 9

Gambar 3. Reverse Phase- High Performance Liquid Chromatography .. 17

Gambar 4. Ikan asin jambal roti ... 19

Gambar 5. Diagram alir proses ekstraksi. ... 20

Gambar 6. Bagan Alir Fraksinasi Hasil Ultrafiltrasi Fraksi BM < 1000 Da ... 22

Gambar 7. Solid Phase Extraction (SPE) ... 23

Gambar 8. Diagram alir proses Solid Phase Extraction (SPE) ... 24

Gambar 9. Pemisahan molekul besar dan molekul kecil dalam kromatografi filtrasi gel……….. 29

Gambar 10. Kromatogram hasil fraksinasi dengan kromatografi filtrasi gel ... 30

Gambar 11. Hasil uji sensori terhadap rasa gurih dan Asin sampel hasil SPE ... 33

Gambar 12. Kromatogram Fraksi 1 hasil SPE ... 36

Gambar 13. Kromatogram Fraksi 2 hasil SPE ... 37

Gambar 14. Kromatogram Fraksi 3 hasil SPE ... 38

Gambar 15 Kromatogram Fraksi 4 hasil SPE ... 39

Gambar 16. Kromatogram Fraksi 5 hasil SPE ... 40

Gambar 17. Kromatogram Fraksi 6 hasil SPE ... 41

Gambar 18. Kromatogram Fraksi 7 hasil SPE ... 42

Gambar 19. Kromatogram Fraksi Tidak Tertahan Hasil SPE ... 43

Gambar 20. Kromatogram Crude Sample (fraksi tergurih) hasil Kromatografi Filtrasi Gel Sephadex G-10 ... 44


(22)

LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Form seleksi panelis terhadap lima rasa dasar ... 53 Lampiran 2. Form pengujian panelis dengan uji segitiga asam-pahit ... 54 Lampiran 3. Form pelatihan panelis dengan uji segitiga asin-gurih... 55 Lampiran 4. Form isian uji rangking rasa asin/gurih ... 56 Lampiran 5. Format isian uji skoring/pengujian sampel untuk rasa gurih dan asin ... 57 Lampiran 6. Hasil seleksi panelis untuk uji rasa dasar ... 58 Lampiran 7. Hasil seleksi panelis untuk uji rasa dasar (lanjutan) ... 59 Lampiran 8. Hasil seleksi panelis untuk uji segitiga rasa ... 60 Lampiran 9. Hasil pelatihan panelis yang telah lolos seleksi dengan

menggunakan uji peringkat rasa asin dan rasa gurih………….61 Lampiran 10. Hasil uji skoring rasa gurih pada pelatihan panelis ... 62 Lampiran 11. Hasil uji skoring rasa asin pada pelatihan panelis ... 63 Lampiran 12. Hasil pengujian terhadap rasa gurih sampel Ikan Asin

Jambal Roti ... 64 Lampiran 13. Hasil pengujian terhadap rasa asin sampel Ikan Asin

Jambal Roti ... 65 Lampiran 14. Kromatogram Fraksi 1 hasil SPE ... 66 Lampiran 15. Kromatogram Fraksi 2 hasil SPE ... 67 Lampiran 16. Kromatogram Fraksi 3 hasil SPE ... 68 Lampiran 17. Kromatogram Fraksi 4 hasil SPE ... 69 Lampiran 18. Kromatogram Fraksi 5 hasil SPE ... 70 Lampiran 19. Kromatogram Fraksi 6 hasil SPE ... 71 Lampiran 20. Kromatogram Fraksi 7 hasil SPE ... 72 Lampiran 21. Kromatogram Fraksi Tidak Tertahan hasil SPE ... 73 Lampiran 22. Kromatogram Crude Sample (fraksi tergurih) hasil

Kromatografi Filtrasi Gel Sephadex G-10…………...74 Lampiran 23. Kromatogram standar Asam amino Crn ... 75 Lampiran 24. Kromatogram standar Asam amino Glu ... 76 Lampiran 25. Kromatogram standar Asam amino His ... 77


(23)

Lampiran 26. Kromatogram standar Asam amino Phe ... 78 Lampiran 27. Kromatogram standar Asam amino Trp ... 79 Lampiran 28. Kromatogram standar Asam amino Tyr ... 80


(24)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Secara umum dikenal ada lima rasa dasar, yaitu manis, asam, asin, pahit dan gurih. Kebanyakan senyawa yang mengasilkan rasa tersebut adalah senyawa nonvolatil, seperti asam amino, peptida, protein, gula. Diantara senyawa-senyawa penghasil rasa diatas, asam amino dan peptida merupakan penghasil rasa gurih yang penting.

Umami atau rasa gurih adalah karakteristik rasa yang diberikan oleh monosodium glutamat (MSG) dan ribonukleotida seperti disodium 5’-inosianat (IMP) dan disodium 5’-guanilat (GMP). Rasa umami ini mulai dikenal sejak tahun 1908 yang diperkenalkan oleh Ikeda, dan dikategorikan sebagai rasa dasar kelima melalui serangkaian penelitian yang dilakukan di jepang (Yamaguchi, 1998). Para peneliti tersebut mendapatkan rasa umami yang merupakan rasa tersendiri yang memiliki kontinuitas rasa dan dari pengamatan fisiologis beberapa hewan percobaan, alur respon rasa umami memiliki mekanisme fisiologis tersendiri (Nishimura dan Kato, 1988).

Salah satu aspek fungsional dari proses proteolitik (hidrolisis protein) adalah timbulnya rasa spesifik akibat terbentuknya komponen dengan berat molekul rendah, seperti asam amino bebas, peptida, gula dan asam organik. Oleh karena itu, sangat memungkinkan pada ikan jambal roti yang mengalami proses hidrolisis dengan penggaraman mengandung komponen yang memiliki rasa gurih tinggi (Saleha, 2003).

Reaksi proteolitik dan produknya yang berupa peptida dan asam amino bebas berperan penting dalam pembentukan flavor pada bahan makanan berprotein tinggi seperti keju, daging, produk fermentasi kedelai serta produk fermentasi ikan. Flavor kecap kedelai dibentuk oleh asam amino yang terbebas dari protein alami selama fermentasi sementara flavor daging dan keju dihasilkan oleh asam amino dan peptida (Spanier et al. 1997).

Beberapa produk perikanan tradisional Indonesia menghasilkan produk dengan intensitas rasa gurih yang cukup baik seperti kecap ikan, ikan peda dan


(25)

ikan asin jambal roti. Rasa gurih tersebut timbul karena terjadinya proses fermentasi dari produk-produk tersebut. Pada proses fermentasi terjadi hidrolisis protein atau proses proteolitik yang menimbulkan rasa spesifik akibat terbentuknya komponen dengan berat molekul rendah. Oleh karena itu fraksinasi dan karakterisasi fraksi gurih pada ikan hasil olahan tradisional sangat penting dilakukan.

Penelitian yang dilakukan Saleha (2003) telah membuktikan bahwa terdapat rasa gurih pada produk-produk diatas dan intensitas rasa gurih terbesar terdapat pada fraksi dengan BM kurang dari 1000 Da yang diduga merupakan peptida. Penelitian berikutnya yang dilakukan Rahmawaty (2004) membuktikan bahwa fraksi tergurih dari ikan jambal roti hasil dari kromatografi filtrasi gel Sephadex G-10 terdapat pada fraksi pertama. Penelitian ini difokuskan isolasi dan analisis profil peptida gurih yang terdapat pada ikan asin jambal roti yang memiliki rasa gurih. Ikan asin jambal roti merupakan produk fermentasi tradisional dari ikan manyung (Arius thalassinus) dengan metode penggaraman dan pengeringan. Fraksinasi lebih lanjut dari ekstrak ikan asin jambal roti untuk mendapatkan fraksi yang lebih murni dan senyawa yang paling berperan terhadap rasa gurih pada sampel.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan isolat peptida tergurih dari hasil fraksinasi dengan Solid Phase Extraction (SPE) melalui identifikasi profil fraksi-fraksi yang terbentuk dengan RP-HPLC (Reverse Phase-High Performance Liquid Chromatography) dan analisis sensorinya.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ikan Asin Jambal Roti

Produk fermentasi ikan terutama yang diolah secara tradisional banyak dikonsumsi masyarakat karena memiliki cita rasa yang disukai dan menghasilkan flavor yang khas. Salah satu produk tersebut adalah ikan asin jambal roti. Produk ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi karena dagingnya yang enak dan sangat digemari masyarakat.

Ikan asin jambal roti pada umumnya dibuat dari ikan Manyung (Arius Thalassinus). Tekstur ikan ini empuk, rapuh, dan berongga seperti tekstur pada roti sehingga disebut jambal roti. Ada dua jenis ikan asin jambal roti, yaitu ikan asin jambal roti tawar dan ikan asin jambal roti asin (Burhanuddin dkk., 1987). Ikan manyung yang digunakan pada pembuatan ikan asin jambal roti mempunyai klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei

Ordo : Ostariophysi Sub Ordo : Siluroidea

Famili : Ariidae Genus : Arius

Spesies : Arius Thalassinus

Ikan manyung mempunyai bentuk badan kombinasi dengan kepala depres dan tubuh kompres. Ikan ini mempunyai sirip lengkap yaitu sirip dorsal, ventral, pectoral, anal, dan caudal. Ciri khusus ikan ini adalah adanya adifose fin yaitu sirip tambahan yang berupa lemak yang terletak di belakang sirip dorsal dan tidak berhubungan, serta terletak berhadapan dengan sirip anal. Panjang ikan manyung ini berkisar antara 25-70 cm bahkan dapat


(27)

mencapai 150 cm (Ridwan dan Brojo, 1985). Gambar ikan manyung (Arius thalassinus) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan manyung (Arius thalassinus)

Ikan manyung adalah salah satu ikan dasar (demersal) yang dapat hidup di air tawar, estuaria, dan air laut. Kebanyakan ikan ini mula-mula hidup di air tawar lalu beruaya ke perairan estuaria untuk memijah. Dalam ruayanya ini ikan manyung dapat mencapai ke perairan lepas . Penyebaran ikan manyung di Indonesia adalah laut bebas sumatera, selatan jawa, selat malaka, timur sumatera, utara jawa, bali-nusa tenggara, selatan dan barat Kalimantan, timur Kalimantan, selatan sulawesi, utara sulawesi dan maluku (Burhanuddin dkk., 1987).

Berdasarkan data statistika Perikanan Indonesia tahun 2002 (Dirjen Perikanan, 2002), produksi ikan manyung dari tahun 1993-2002 mengalami peningkatan, yaitu dari 2886 ton pada tahun 1993 sampai 4098 ton pada tahun 2002. Produksi ikan manyung dari tahun 1993-2002 secara lengkap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi (ton) ikan manyung (Arius spp.) di Indonesia pada tahun 1993-2002*)

Tahun Produksi (ton)

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2886 3080 3293 3384 3613 3724 3682 3807 3940 4098 *) Dirjen Perikanan 2002


(28)

Menurut Lubis (1989), ada dua ikan manyung yang biasa digunakan untuk membuat ikan asin jambal roti, yaitu ikan manyung yang di-es dan tanpa di-es. Ikan manyung yang di-es, sebelum diolah diperlukan proses pelayuan yang bertujuan untuk mengurangi kekusutan daging akibat peng-esan selama di kapal dan memperbesar pori-pori jaringan daging sehingga didapat tekstur yang empuk serta bau khas ikan asin jambal roti. Ikan manyung mengandung berbagai zat gizi yang penting bagi manusia, seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi ikan manyung (Arius spp.) dalam 100 g daging ikan *)

Komposisi Kimia Jumlah

Protein Lemak Kadar air Abu Karbohidrat Kalsium Fosfor Magnesium Vitamin A Vitamin C Thiamin Riboflavin Niacin Vitamin B12 12.7-21.2 g 0.2-2.9 g 75.1-81.1 g 0.9-1.6 g 0.4-0.6 g 14.0-98.0 g 148.0-440.0 mg 34.0 mg 96.0 IU 0.0-11.7 mg 40.0-80.0 mg 80.0-197.0 mg 0.5-4.5 mg 2.2-2.5 mg *) Wheaton dan Lawson (1985)

B. Proses Pembuatan Ikan Asin Jambal Roti

Proses pengolahan ikan asin jambal roti ini meliputi penggaraman, fermentasi, dan pengeringan.

1. Penggaraman

Fungsi garam dalam pengolahan pangan selain untuk mengawetkan juga dapat memberikan cita rasa pada produk olahan. Garam bersifat bakteriostatik karena garam mempunyai sifat-sifat anti mikroba yaitu meningkatkan tekanan osmosis substrat yang akan menyebabkan terjadinya penarikan air dari dalam bahan pangan. Ionisasi garam akan menghasilkan ion klor yang bersifat racun terhadap mikroorganisme. Garam juga dapat berfungsi menghambat kerja enzim proteolitik yang


(29)

dapat menyebabkan denaturasi protein (Rahayu dkk., 1992). garam berperan dalam membatasi air yang tersedia (menurunkan aw) sehingga dapat mengeringkan protoplasma dan menyebabkan plasmolisis pada mikroba tertentu (Desroiser, 1988).

Garam yang digunakan untuk mengawetkan ikan sebaiknya digunakan garam murni. Garam murni adalah garam yang sebanyak mungkin mengandung NaCl dan sekecil mungkin mengandung elemen-elemen lain. Biasanya kristal garam dikotori oleh unsur-unsur kimia berupa MgCl2, CaCl2, MgSO4, CaSO4, dan garam-garam lainnya.

Dalam prosesnya, larutan garam meresap ke dalam daging sehingga tercapai tekanan osmosis yang seimbang antara cairan di dalam dan diluar badan ikan. Larutan garam yang lebih pekat di luar badan ikan menyebabkan air di dalam badan ikan terus keluar, dan semakin lama cairan-cairan sisa di dalam badan ikan semakin kental dan protein akan menggumpal (Moeljanto, 1992).

Metode penggaraman ikan menurut Moeljanto (1992) dapat dibedakan menjadi 4 kelompok yaitu:

a. penggaraman kering (dry salting) yaitu apabila ikan dikenakan kontak langsung dengan kristal-kristal garam.

b. Penggaraman basah (wet salting) yaitu iak tidak dikenakan kontak langsung dengan kristal-kristal garam, melainkan ikan direndam dalam larutan garam.

c. Kombinasi, yaitu merupakan gabungan metode penggaraman kering dan penggaraman basah.

d. Kench salting, yaitu modifikasi dari penggaraman kering dimana ikan-ikan yang digarami ditempatkan di dalam wadah yang tidak kedap air sehingga air garam yang terbentuk tidak tertampung di dalam wadah melainkan dibuang dengan cara mengalirkannya melewati lubang yang dibuat di bagian bawah wadah.


(30)

2. Fermentasi

Pada pembuatan ikan asin jambal roti melibatkan proses fermentasi. Proses fermentasi yang dilakukan pada ikan mengakibatkan terjadinya reaksi proteolitik yang merupakan proses penguraian secara biologis terhadap senyawa-senyawa yang lebih sederhana dan terkontrol. Selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam amino dan peptida, kemudian asam-asam amino akan terurai lebih lanjut menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk (Rahayu dkk., 1992).

3. Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metode yang bertujuan untuk mengeluarkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dari bahan. Pengeringan bertujuan untuk menghindari kebusukan, tapi tidak dapat membunuh semua mikroba.

Pembuatan ikan asin di Indonesia umumnya dilakukan dalam bentuk kering yaitu pengeringan yang dilaksanakan secara tradisional dan lebih banyak mengandalkan sinar matahari (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Keuntungan dari pengeringan dengan menggunakan sinar matahari adalah tidak memerlukan peralatan khusus yang mahal, dapat dikerjakan oleh siapa saja dan murah. Adapun kelemahan dari pengeringan yang menggunakan sinar matahari adalah pengeringan berjalan lamban, tergantung cuaca sehingga sering terjadi pembusukan sebelum ikan kering, hasil pengeringan tidak merata dan dapat menimbulkan bau yang kurang sedap karena terjadi proses pembusukan (Moeljanto, 1992). Untuk memecahkan masalah ini, maka dapat dilakukan pengeringan yang menggunakan alat pengering. Dengan alat pengering proses pengeringan dapat dikendalikan dan dapat diatur tingkat kekeringannya.

Cara pembuatan ikan asin jambal roti (Burhanuddin dkk., 1987) adalah sebagai berikut:


(31)

Ikan manyung tapa dicuci dan di-es dipotong kepalanya dan dibuang isi perutnya. Ikan kemudian digarami dengan konsentrasi kurang dari 30% dari berat badan dengan cara memasukkan garam ke dalam rongga perut melalui lubang dari arah kepala. Ikan yang sudah digarami kemudian disusun dalam bak-bak yang telah ditaburi garam dan direndam sampai semalam. Setelah didiamkan selama semalam, garam dikeluarkan dari isi perut ikan dan garam ini digunakan untuk menggarami tubuh ikan bagian luar. Penggaraman ini dilanjutkan selama dua malam lagi, kemudian ikan dicuci bersih untuk menghilangkan kotoran lain dengan bantuan sikat, lalu badan ikan dibelah dari punggung kearah perut dan bagian sisa badan yang berdaging tebal ditoreh lagi untuk mempercepat proses pengeringannya. Ikan kemudian dijemur diatas para-para selama tiga sampai empat hari. Pada saat penjemuran, ikan diolesi dengan larutan gula. Setelah sehari ikan dibalik dan bila sudah kering, ikan diangkat. Ikan asin jambal roti tawar mempunyai rasa asin yang lebih rendah jika dibanding dengan ikan asin jambal roti asin.

(2). Ikan asin jambal roti ‘asin’

Ikan Manyung yang digunakan untuk ikan asin jambal roti adalah ikan manyung yang berukauran kecil. Ikan tanpa dicuci dan di-es langsung dipotong kepalanya. Ikan dibelah dan digarami selama satu malam. Jumlah garam yang digunakan sekitar 30%. Setelah digarami, ikan dicuci dan disikat, lalu dijemur diatas para-para selama dua samapai tiga hari. Ikan asin jambal roti asin mempunyai rasa asin yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan asin jambal roti tawar.


(32)

Ikan manyung

Penyiangan

Rongga perut diisi dengan garam

Disusun dalam bak dan setiap lapisan ikan diberi garam

Fermentasi dua malam

Dibongkar dan dicuci

Ikan dibelah menjadi dua bagian

Dicuci dan disikat

Penjemuran dan diolesi larutan gula

Jambal roti tawar

Gambar 2. Skema proses pengolahan ikan jambal roti tawar (Burhannudin dkk., 1984)

C. Peptida

Istilah peptida (dari kata pepsis = pencernaan atau peptone =hasil cerna protein) menunjukkan senyawa relative kecil dan berasal dari protein yang rantainya dipotong oleh enzim tertentu. Peptida mempunyai kesamaan dengan protein, yaitu polimer asam amino. Bedanya terletak pada jumlah residu asam amino, umumnya jumlah tersebut jauh lebih sedikit pada peptida dibandingkan protein. Protein dapat memiliki lebih dari 100 residu asam amino, sementara peptida memiliki kurang dari 50 residu. Karenanya struktur tiga dimensi peptida tidak dapat ditentukan dengan pasti, hal ini berbeda dengan protein (Bailey, 1990). Menurut Winarno (1997), peptida adalah polimer dari asam amino dan merupakan kelas komponen yang mampu


(33)

menghasilkan sifat biologis yang sangat bervariasi. Peptida didapatkan dari hasil hidrolisis rantai panjang polipeptida, protein.

Peptida merupakan senyawa zwitterions. Pada titik isoelektriknya, peptida tidak bermuatan (Bailey, 1990). Sifat kimia ini berguna dalam pemisahan peptida dari campurannya dengan berdasarkan perbedaan muatan pada pH tertentu atau berdasarkan perbedaan titik isoelektrik pada suatu gradient pH.

Dewasa ini banyak diteliti mengenai kontribusi langsung peptida terhadap flavor makanan. Dari pengamatan yang telah dilakukan mengenai intensitas rasa peptida, diperoleh keterangan bahwa secara umum intensitas rasa peptida lebih lemah bila dibandingkan dengan asam amino penyusunnya sendiri. Namun demikian ambang batas beberapa peptida dapat mencapai separuh dari asam amino penyusunnya (Kirimura et al., 1969).

Peptida yang berkontribusi terhadap flavor memiliki kisaran berat molekul dari dipeptida (terdiri atas 2 residu asam amino) hingga molekul yang mengandung banyak residu asam amino dengan berat molekul ribuan. Peptida berkontribusi terhadap berbagai jenis flavor, baik yang diinginkan maupun off-flavor (Weir 1992).

Kirimura pada tahun 1969 melakukan penelitian terhadap 60 peptida yang berbeda dan menyimpulkan bahwa flavor atau rasa peptida dapat dibagi menjadi tiga, yaitu rasa asam, rasa pahit dan tidak berasa. Dipeptida yaitu peptida yang terdiri dari dua residu asam amino, dapat memiliki rasa asam apabila terdiri dari dua asam amino asam; asam amino asam dan asam amino netral; asam amino asam dan asam amino aromatik. Sedangkan dipeptida yang memiliki rasa pahit mempunyai kandungan asam amino netral dan yang mempunyai gugus alkil besar; asam amino yang mempunyai gugus alkil besar dan kecil; asam amino netral dan asam amino aromatik; atau asam amino netral dan asam amino basa. Adapun dipeptida yang tidak berasa terdiri dari dua asam amino yang mempunyai gugus alkil kecil; asam amino asam dan asam amino basa; atau dua asam amino aromatik.


(34)

Beberapa asam amino memiliki konstribusi terhadap pembentukkan citarasa. Asam amino-asam amino pembentuk citarasa dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Asam amino pembentuk rasa Asam

Amino

Rasa Bentuk D-

Rasa Bentuk D, L-

Rasa Bentuk L-

Glisin - Manis -

Alanin Manis Manis Manis

Isoleusin Manis/pahit Pahit Pahit

Leusin Manis Manis Pahit

Valin Manis Manis/pahit Manis/pahit

Serin Manis Manis/pahit Manis/pahit /asam

Threonin Manis Manis Manis

Asam aspartat

Asam Asam Asam

Asam glutamat

Asam Asam Asam

Asparagin Manis Manis Pahit/manis

Glutamin Manis Asin/pahit Asin/ pahit

Arginin Manis/pahit Pahit/manis Pahit

Lisin Manis/pahit Manis/pahit Manis/pahit

Sistein Manis/pahit/as am

Manis/pahit Pahit/manis

Methionin Manis Manis Pahit/manis

Fenilalanin Manis/pahit Manis/pahit Pahit

Tirosin Tawar Tawar Tawar

Triptofan Sangat manis Manis Pahit

Histidin Sangat manis Manis Pahit

Prolin Pahit/asam Manis/pahit/asam Manis/pahit Haefeli dan Glaser (1990)

Menurut Shallenberger (1992), secara umum rasa peptida dipengaruhi oleh sekuens asam amino, konfigurasi molekul, kehidrofobikan rantai samping


(35)

dan pengikatan terminal C dan N dengan gugus substitusi. Linden dan Lorient (1999), menjelaskan bahwa peptida yang mengandung residu glutamil pada ujung terminal amino memiliki citarasa umami. Namun bila digabungkan dengan asam amino hidrofobik, residu glutamil akan menimbulkan rasa pahit. Nishimura dan Kato (1988), menyatakan bahwa beberapa peptida dengan penambahan glutamat-aspartat dan glutamat-glutamat dapat menimbulkan rasa umami dalam larutan aqueos yang mengandung NaOH pada pH 6.

D. Peptida Gurih

Nishimura dan Kato (1988) menyatakan beberapa peptida yang mempunyai L-glutamat pada ujung-N mempunyai rasa umami, meskipun intensitasnya kurang dibanding MSG. Beberapa diantaranya mempunyai rasa asam, tetapi apabila berada pada larutan NaCl pH 6 dapat menstimulasi rasa umami.

Noguchi et al. (1975) mengungkapkan tentang peptida dengan BM kurang dari 500 dari hidrolisat protein ikan. Fraksi tersebut dibagi empat, yaitu fraksi aromatik, asam, netral dan basa. Fraksi asam memiliki rasa umami yang sangat kuat, meskipun asam glutamat bebas telah dihilangkan dari fraksi ini. Kemudian diketahui bahwa peptid yang memiliki rasa umami tersebut mengandung residu asam glutamat dan sejumlah asam amino hidrofilik.

Tada et al. (1984) menemukan peptida hasil sintesis yang memiliki rasa asin yang hampir sama bahkan lebih besar daripada garam NaCl, seperti L-Ornithylalanine dan L-ornithyltaurine. Selain itu juga ditemukan peptida yang memiliki rasa umami mendekati atau sama dengan MSG, seperti peptida Lys-Ala, dan peptida yang memiliki rasa manis dan asam, seperti peptide Ala-Lys.

Yamasaki dan Maekawa (1980) menunjukkan oktapeptida Lys-Gly-Asp-Glu-Glu-Ser-Leu-Ala hasil sintesis juga memiliki rasa gurih seperti halnya produk alami. Pemutusun residu Lys-Gly yang terdapat pada posisi N-terminal mengakibatkan hilangnya rasa gurih dan timbulnya rasa asam. Hal ini merupakan bukti bahwa residu asam amino Lys dan Gly berperan penting pada pembentukan rasa gurih.


(36)

E. Metode Isolasi dan Analisa Profil Peptida

Pemilihan metode isolasi dan analisa profil peptida disesuaikan dengan sifat kimia peptida, terutama berdasarkan kemampuan mengion pada pH tertentu atau berdasarkan kepolarannya (Lehinger, 1988). Peptida merupakan senyawa nitrogen yang mudah larut air, sama halnya dengan asam amino. Beberapa protein pada pH tertentu juga mudah larut air. Karenanya untuk mengisolasi peptida, pertama kali perlu dipisahkan dahulu dari protein yang mempunyai BM relatif lebih tinggi dan atau asam amino yang mempunyai BM relatif lebih rendah. Metode yang umum digunakan untuk tujuan ini adalah ultrafiltrasi, pengendapan dengan etanol, elektrodialisis dan kromatografi filtrasi gel.

Menurut Belter et al. (1988), ultrafiltrasi adalah suatu proses pemekatan dan pemurnian awal yang lebih didasari oleh transpor dinamik daripada kesetimbangan. Proses ini tergantung pada permeabilitas dari membran terhadap perbedaan ukuran bahan yang terlarut. Terdapat tiga jenis karakteristik yang menentukan proses ultrafiltrasi, yaitu kecepatan aliran, dominasi membran dan sifat geometri membran. Partikel yang lebih besar dari ukuran selaput akan ditahan dipermukaan membran dan akan meloloskan partikel yang berukuran lebih kecil dari selaput atau pori-pori membran. Keuntungan penggunaan alat ini adalah tidak adanya proses pemanasan sehingga sampel secara kimiawi tidak mengalami perubahan.

Kromatografi filtrasi gel adalah proses pemisahan makromolekul berdasarkan ukuran atau berat molekulnya, yang umumnya menggunakan bahan yang dapat mengembang dalam air membentuk gel. Proses ini sesungguhnya lebih bersifat preparatif daripada analitik. Kromatografi filtrasi gel sangat berguna untuk pemisahan dan pemurnian protein, peptida, enzim, asam nukleat, polisakarida dan biomolekul lainnya (Lehninger, 1988).

Pada pemisahan menggunakan teknik kromatografi gel, peptida dapat dipisahkan dengan kolom sephadex G-25, G-15 dan G-10 (Hagel, 1998). Kisaran fraksinasi dari kolom sephadex tersebut adalah 1000-5000 Da, < 1500 Da, dan < 700 Da. Struktur matriks, yaitu dekstran dengan ikatan silang


(37)

epiklorohidrin, memungkinkan terjadinya interaksi spesifik antara komponen aromatik peptida dengan jembatan eter dari ikatan silang matriks tersebut. Sehingga pemisahan peptida tersebut tidak hanya didasarkan ukuran atau berat molekul, melainkan juga interaksi hidrofobik.

Gel Sephadex tidak larut dalam air, tahan dalam alkali, asam lemak dan zat-zat pengoksidasi dan pereduksi yang lemah, tetapi jika diekspose pada waktu yang lama akan pecah karena ikatan glikosidiknya terhidrolisis. Kenyataannya Sephadex stabil dalam waktu enam bulan dalam larutan HCl 0.02 ml/l, tetapi hanya 1-2 jam dalam larutan HCl 0.1 mol/l. Penggunaan pada suhu di atas 120oC harus dihindari. Sephadex yang digunakan pada penelitian ini adalah Sephadex G-10 dengan ukuran serbuk kering dengan variasi 10-40 μm, dapat mengikat air 4-6 ml/g kering, mampu memisahkan protein globular dan protein dekstran dengan BM<700 (Nur et al., 1992).

Kelemahan pemisahan peptida dengan kromatografi filtrasi gel adalah sulitnya memisahkan peptida-peptida yang memiliki berat molekul yang hampir sama karena peptida-peptida tersebut cenderung bercampur. Untuk mengetahui jumlah dan jenis peptida dengan pasti, perlu dilakukan percobaan lebih lanjut dengan elektroforesis.

Hingga saat ini, metode purifikasi yang paling sering digunakan untuk analisis sensori peptida adalah metode ultrafiltrasi yang dilanjutkan dengan kromatografi filtrasi gel. Namun metode filtrasi gel memiliki keterbatasan, yaitu resolusi yang rendah dan dibutuhkan tahapan pengulangan yang panjang agar dapat diperoleh jumlah yang cukup untuk analisis sensori.

Purifikasi lebih lanjut untuk mendapatkan peptida yang lebih spesifik dapat dilakukan dengan RP-HPLC (Reverse Phase-Hight Performance Liquid Chromatography) preparatif, kromatografi afinitas, kromatografi penukar ion (Ion exchange chromatography) ataupun isoelectric focusing. Hal ini sesuai dengan sifat peptida yang mudah mengion pada pH tertentu dengan jenis dan besarnya muatan yang berbeda, kecuali pada isoelectric focusing berdasarkan titik isoelektrik pada suatu gradient pH. Sebagai eluen, umumnya dipilih senyawa yang bersifat polar, seperti buffer asam lemah, HCl, etanol, TFA,


(38)

ACN, butanol, dll. Hal ini sesuai dengan sifat peptida yang mudah larut dalam pelarut polar.

Deteksi peptida umumnya dilakukan dengan detektor UV atau spektrofotometer pada panjang gelombang sinar UV. Peptida yang mengandung asam amino aromatik, pengukurannya dilakukan pada panjang gelombang 240 nm, sedangkan peptida yang tidak mengandung asam amino aromatik diukur pada panjang gelombang 280 nm (Austen, 1988). Peptida yang tidak mengandung asam amino aromatik juga dapat diukur pada panjang gelombang kurang dari 220 nm, karena ikatan peptida menyerap kuat pada panjang gelombang 214 nm (Hagel, 1998).

Pengidentifikasian peptida dapat dilakukan dengan menggunakan analisis mass spectrometry dan analisis sekuen peptida penyusunnya baik dari ujung–C maupun ujung-N dapat dilakukan dengan alat amino acid analyzer. Penggunaan alat amino acid analyzer tersebut baik dilakukan jika sudah diperoleh sampel peptida yang murni (Lundblad dan Noyes, 1984). Namun apabila diperkirakan masih berupa campuran maka lebih baik dilakukan identifikasi dengan HPLC (Snyder, 1988) yang dipadu dengan MS ataupun NMR (Nuclear Magnetic Resonance) (Shima et al., 1998).

HPLC (High Performance Liquid Chromatography)merupakan teknik kromatografi cair yang paling banyak digunakan sekarang ini. Alat HPLC ini dilengkapi dengan sistem pencampur pelarut (eluen) yang mampu menghasilkan campuran untuk sistem gradien yang mengandung sampai empat pelarut yang berbeda. Dengan demikian kepolaran pelarut dapat diatur sehingga bisa diperoleh pemisahan senyawa yang baik.

Keuntungan menggunakan HPLC adalah proses analisis yang cepat karena adanya tambahan tekanan, daya pisah yang baik karena interaksi antara sampel, fase diam dan fase gerak yang besar, kepekaan yang tinggi, selain itu kolom yang digunakan bisa dipakai kembali, efektif untuk molekul besar dan ion, sampel tidak rusak karena bisa dilakukan pada suhu kamar sehingga bisa dikoleksi (Johson and Steveson, 1991).

Kekurangan utama dari teknik HPLC ini adalah detektor. Tidak ada detektor yang bisa digunakan untuk semua analisis, yang kepekaannya tinggi,


(39)

on-line, dan murah, yang sebanding dengan FID (Flame Ionitation Detektor) yang digunakan pada kromatografi gas. Selain itu sampel yang dianalisis harus larut dalam zat cair (Gritter et al., 1991).

Dalam kromatografi cair-cair seperti HPLC, fase stasioner merupakan cairan yang dilapiskan pada permukaan zat padat penyangga dan dipakai sebagai bahan isian (packing material) untuk kolom. Ikatan antara zat padat penyangga dan fase stasioner dapat berupa ikatan fisik dan kimiawi (Adnan, 1997).

Menurut Adnan (1997), untuk mencapai efisiensi pemisahan yang maksimal dapat dicapai dengan mengatur kecepatan aliran fase mobil yang kecil. Tetapi hal ini akan mengakibatkan analisis memakan waktu yang lebih lama. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan beberapa cara:

1. Menaikkan tekanan aliran fase mobil.

2. Mengurangi jarak yang ditempuh zat yang dianalisis dalam proses partisi. Caranya ialah dengan menggunakan bahan isian (packing material ) yang diameternya kecil.

Jenis HPLC yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis RP-HPLC (Reverse Phase - High Performance Liquid Chromatography), karena fase mobil (eluen) yang digunakan adalah pelarut polar dan fase stasionernya menggunakan senyawa nonpolar (Adnan, 1997).

Susunan alat-alat yang dipakai untuk RP-HPLC ini tidak banyak berbeda dengan kromatografi gas cair. Komponen utama alat yang dipakai adalah: reservoir zat pelarut untuk fase mobil, pompa, injektor, kolom, detektor, dan recorder. Susunan alat RP-HPLC yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.


(40)

Gambar 3. Reverse Phase- High Performance Liquid Chromatography

Reservoir yang digunakan harus memungkinkan untuk menghilangkan gas yang ada di dalam pelarut. Cara yang dipakai bisa dengan pemanasan, perlakuan vakum, atau dengan mengalirkan gas yang bersifat inert kedalam pelarut. Pompa diperlukan untuk mengalirkan pelarut sebagai fase mobil dengan kecepatan dan tekanan yang tetap. Gangguan pada pompa biasanya karena perawatan yang kurang teratur, yang disebabkan karena pelarut yang tidak difiltrasi dengan baik, adanya elektrolit yang mengandung kadar klorida yang tinggi pada pH yang rendah, dan terjadinya endapan dalam pompa (Adnan, 1997).

Sampel disuntikkan ke kolom dengan menggunakan katup injeksi, dimana sampel dinjeksikan ke dalam holding loop. Kelemahan penggunaan injektor dengan loop ialah bahwa sampel diinjeksikan ke dalam fase mobil yang letaknya tidak diujung kolom. Injeksi dengan loop dapat memberikan tendensi terjadinya pelebaran puncak (Adnan, 1997).

Ukuran kolom yang dipakai pada HPLC pada umumnya dengan panjang 10-25 cm dan berdiameter 4.5-5.0., yang diisi dengan fase stasioner berukuran rata-rata 5-10 µm, dan dibuat dari logam stainless steel. Detektor digunakan untuk mendeteksi keberadaan suatu senyawa yang telah dipisahkan di dalam


(41)

kolom. Sifat-sifat detektor yang harus dipenuhi adalah: mempunyai sensitivitas yang tinggi, bersifat linear untuk jangka konsentrasi tertentu, dan dapat mendeteksi eluen tanpa mempengaruhi kromatogram. Detektor harus tidak terlalu peka terhadap perubahan berbagai parameter terutama suhu dan tekanan. Beberapa detektor yang sering digunakan adalah detektor UV, detektor fluoresensi, detektor konduktivitas, dan detektor indeks refraksi.


(42)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan asin jambal roti yang diperoleh dari Pelabuhan Ratu, Sukabumi (Gambar 4). Ikan asin sebelum diekstrak dilakukan penggorengan dengan minyak goreng merek Bimoli.

Gambar 4. Ikan asin jambal roti

Fraksinasi dilakukan menggunakan membran 0,45 μm (Millipore) dan Molecular Weight Cut-Off (MWCO) berturut-turut 10.000, 3.000 dan 1.000 dalton. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah asam klorida, natrium hidroksida, perak nitrat, kalium kromat, natrium karbonat, tembaga sulfat, natrium kalium tartarat, bovin serum albumin, kalium sulfat (E. Merck), merkuri oksida, asam borat, etanol, natrium tiosulfat, indikator metil merah, indikator metil biru, pereaksi Folin-Ciocalteau.

Peralatan yang digunakan untuk persiapan sampel dan analisis adalah blender, peralatan gelas, pH meter (Orion 410 A), neraca analitik (AND GR-200), sentrifus (IEC Centra - 8, USA), freeze dryer (Yamato, Japan), spektrofotometer (Shimadzu UV-160) (Shimadzu Co., Japan), stirred cell


(43)

ultrafiltration kapasitas 50 ml (Amicon Inc., Beverly, MA), High Performance Liquid Chromatography (Shimadzu Co., Japan).

B. METODE PENELITIAN Ekstraksi

Daging ikan asin jambal roti digoreng selama 3 menit dalam minyak goreng, kemudian ditambah air, dihaluskan dengan blender (2 x 1 menit) dan disaring dengan kain saring. Kedua suspensi yang diperoleh disentrifus (4000 rpm, 4 OC, 30 menit) dan disaring menggunakan kertas saring, sehingga diperoleh ekstrak larut air (Gambar 5).

daging ikan asin jambal roti

digoreng dalam 500 ml minyak goreng (3 menit)

ditambah 600 ml air (1 : 2 b/v)

diblender (2 x 1 menit)

disaring

disentrifus (4000 rpm, 4 OC, 30 menit)

disaring

Gambar 5. Diagram alir proses ekstraksi.

Ultrafiltrasi

Ultrafiltrasi bertujuan untuk mendapatkan fraksi berberat molekul kurang dari 1000 Dalton. Sebelumnya ekstrak sampel diultrasentrifuse terlebih dahulu pada kecepatan 20.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4oC dengan tujuan untuk memisahkan lemak dan memperoleh filtrat yang lebih


(44)

jernih. Setelah ultrasentrifuse, lemak akan memadat dan membentuk lapisan dibagian atas tabung. Lapisan lemak tersebut mudah dibuang dengan bantuan pinset. Filtrat yang jernih diambil untuk diultrafiltrasi. Filtrat ini disebut sebagai ektrak air ikan asin jambal roti.

Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh fraksi dengan berat molekul kurang dari 1000 Da yang selanjutnya disebut Fraksi BM<1000 Da. Fraksi BM<1000 Da dikeringkan dengan cara pengeringan beku.

Sebelum digunakan, membran fraksinasi dibilas dengan cara merendam membran dalam air destilata selama 1 jam, air diganti 3 kali selama perendaman untuk menghilangkan bahan pengawet membran. Selanjutnya, membran direndam dalam larutan NaCl selama 30 menit untuk menghilangkan komponen yang menyerap sinar UV. Membran ditempatkan dalam stirred cell dengan sisi mengkilap dibagian atas. Sampel dimasukkan dalam reservoar dan ditutup rapat. Gas nitrogen dialirkan sampai tekanan 2.5-3.0 bar dan stirrer dinyalakan pada skala kecepatan 6-7. Filtrat ditampung dalam gelas ukur sampai volume tertentu. Setelah selesai gas nitrogen ditutup dan katup pada sirred cell dibuka. Filtrat disimpan dalam botol gelas pada suhu –20oC. Setelah digunakan membran dalam NaOH 0.1 Mselama 30 menit, kemudian dibilas air destilata dan disimpan dalam etanol 10% pada suhu refrigerator.

Fraksinasi dengan Kromatografi Filtrasi Gel

Fraksinasi dengan kromatografi filtrasi gel dengan menggunakan Sephadex G-10 dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan fraksi yang terdapat dalam fraksi BM < 1000 Da dan bersamaan dengan itu sebagian besar garam dapat dipisahkan. Kolom yang dipack dengan Sephadex tersebut berukuran 1.5 x 60 cm (diameter x tinggi). Pemisahan fraksi dilakukan dengan eluen air bebas ion, suhu 2-5 ºC dan tekanan atmosfer. Untuk kecap ikan dengan flow rate 0.2 ml/menit, ikan asin jambal roti 0.4 ml/menit dan ikan peda

Prosedur fraksinasi dengan kromatografi filtrasi secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 6.


(45)

Fraksi BM < 1000 Da (kering beku)

¾

Ditimbang sebanyak 1.0 gram

¾

Dilarutkan dalam 5.0 ml air bebas ion

¾

Dimasukkan dalam kolom dengan bantuan pipet

¾

Dikumpulkan 50 tabung, masing-masing sejumlah 4 ml

¾

Dianalisis

- Absorbansi pada λ 240 nm - Kadar garam NaCl

¾

Dikumpulkan menjadi 5 fraksi

¾

Pengeringan beku

Gambar 6. Bagan Alir Fraksinasi Hasil Ultrafiltrasi Fraksi BM < 1000 Da dengan Kolom Sephadex G-10, panjang 60 dan diameter 1.5 cm

Dalam satu kali running, sampel hasil ultrafiltrasi Fraksi BM < 1000 Da yang telah dikeringbekukan ditimbang sebanyak 1.0 g dan dilarutkan dalam 5 ml air bebas ion. Larutan disaring terlebih dahulu menggunakan membran 0.45 μm pada kondisi vakum, baru dimasukkan ke dalam kolom dengan bantuan pipet. Kemudian dilakukan elusi menggunakan air bebas ion sebagai eluen. Eluat yang ditampung adalah sebanyak 50 tabung dengan volume masing-masing 4.0 ml. Eluat yang terdapat dalam masing-masing tabung diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 240 nm sehingga diperoleh grafik hasil kromatografi. Berdasarkan grafik maka ditentukan pembagian fraksi. Selain itu, dilakukan pula pengukuran kadar garamnya sehingga dapat dilihat tabung mana yang mengandung garam. Berat masing-masing fraksi keringbeku ditimbang beratnya dengan timbangan analitik.

Karakterisasi Kimia Fraksi-fraksi Hasil Kromatografi Kadar Garam

Analisis kadar garam dilakukan dengan metode Mohr (Apriyantono et al., 1989). Sampel dari masing-masing tabung dari proses fraksinasi dengan


(46)

Sephadex g-10 dipipet sebanyak 0.25 ml, kemudian ditambah 5 ml akuades dan 1 ml larutan Potasium kromat 5 %, selanjutnya dititrasi dengan larutan perak nitrat 0.1 M. Titik akhir titrasi ditandai dengan warna merah jingga. Kadar garam dapat dihitung dengan rumus:

% Garam NaCl = (Titer x M x 5.84)/ml sampel

Fraksinasi Fraksi Tergurih Menggunakan Solid Phase Extraction (SPE) Fraksi tergurih dari hasil kromatografi filtrasi gel Sephadex G-10 difraksinasi lebih lanjut menggunakan SPE (Solid Phase Extraction). Kolom yang dipakai pada SPE ini adalah C-18 (Supelclean LC-18) dalam bentuk Cartridge. Alat SPE yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Solid Phase Extraction (SPE)

Kolom yang akan dipakai untuk fraksinasi, dilakukan conditioning terlebih dahulu. Kolom dielusi dengan methanol 2 ml, kemudian dielusi dengan 2 ml air bebas ion. Sampel sebanyak 2 ml kemudian dimasukkan ke kolom dan didiamkan selama beberapa saat agar komponen-komponen yang terdapat pada fraksi terikat oleh kolom. Sisa sampel yang tidak terikat kemudian dibiarkan mengalir dan dinyatakan sebagai fraksi tidak tertahan.


(47)

Sampel kemudian dielusi dengan eluen 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40% ACN (acetronitrile) dalam air. Eluen yang keluar dari kolom beserta sampel dikoleksi dan dinyatakan sebagai fraksi peptida berdasarkan konsentrasi eluen tersebut. Proses SPE dapat dilihat pada gambar 8.

Cartridge dielusi dengan 2 metanol dan 2 ml air (conditioning)

2 ml sampel ditempatkan pada cartridge

Dibiarkan terikat dengan kolom

Dielusi dengan ACN 10%

Dielusi dengan ACN 15%

Dielusi dengan ACN 20%

Dielusi dengan ACN 25%

Dielusi dengan ACN 30%

Dielusi dengan ACN 35%

Dielusi dengan ACN 40%

Gambar 8. Diagram alir proses Solid Phase Extraction (SPE)

Karakteristik Sensori Fraksi-fraksi Hasil Solid Phase Extraction (SPE) Analisis sensori sampel menggunakan uji skoring untuk menggambarkan karakteristik sensori dari produk dalam bentuk matematis atau numerik.

Fraksi 1 Fraksi Tidak

Tertahan

Fraksi 2

Fraksi 3

Fraksi 7 Fraksi 6

Fraksi 4


(48)

Langkah-langkah yang dikerjakan dalam melakukan uji intensitas adalah sebagai berikut:

Seleksi Panelis

Pada tahap ini dicari calon panelis yang telah mengetahui atau pernah melakukan uji sensori secara umum. Dalam uji ini digunakan 60 orang calon panelis terlatih. Calon panelis yang terpilih diuji menggunakan uji deskripsi terhadap lima rasa dasar yaitu: 8.6 mM sukrosa (rasa manis), 9.97 mM NaCl (rasa asin), 0.74 mM kaffein (rasa pahit), 0.43 asam sitrat (rasa asam) dan rasa gurih menggunakan MSG 1.42 mM (Metode Jellinek, 1985). Kemudian panelis yang terpilih diminta persetujuannya untuk mengikuti serangkaian uji sensori yang dilakukan pada tahap selanjutnya. Contoh form seleksi panelis dan hasil uji tersebut dapat dilihat di Lampiran 1, 6 dan 7.

Pengujian Panelis

Calon panelis yang terpilih pada tahap seleksi awal sebanyak 30 calon panelis, diuji kepekaan dan konsistensi indera pencicipnya dengan

menggunakan uji segitiga dan uji rangking.

Pada pelaksanaan uji segitiga, uji difokuskan pada larutan sampel asin dan gurih. Pada masing-masing jenis larutan, calon panelis diberi tiga sampel dimana satu sampel memiliki karakteristik yang berbeda, dilakukan penyajian sebanyak lima kali dengan tiga kali ulangan. Konsentrasi larutan garam yang digunakan adalah 8.000 g/l dan 10.000 g/l, sedangkan larutan MSG yang digunakan 0.600 g/l dan 1.000 g/l.

Uji rangking dilakukan terhadap rasa asin dan gurih. Pada uji ini panelis diminta mencicipi satu set larutan garam atau larutan MSG, lalu

mengurutkannya dari yang kurang gurih sampai paling gurih. Konsentrasi larutan garam yang digunakan yaitu 2.000 g/l, 5.000 g/l, 8.000 g/l, 10.000 g/l dan 13.000 g/l. Sedangkan konsentrasi larutan MSG yang digunakan adalah 0.200 g/l, 0.600 g/l, 1.000 g/l, 1.600 g/l, dan 2.600 g/l. Contoh form uji segitiga dan rangking dapat dilihat di Lampiran 2, 3, dan 4.


(49)

Panelis dipilih adalah panelis yang dapat memberikan jawaban benar diatas atau sama dengan 80% untuk uji rangking (Carpenter, 2000) dan diatas atau sama dengan 60% untuk uji segitiga (Meilgaar et al., 1999). Selain itu, dipilih pula berdasarkan kekonsistenan panelis dalam tiga kali ulangan

pengujian dan kesediaannya dalam mengikuti tahap selanjutnya. Hasil dari uji tersebut dapat dilihat di Lampiran 7. Panelis yang telah dipilih sebanyak 17 orang.

Pelatihan Panelis

Panelis yang telah lulus dari pengujian, selanjutnya dilatih kepekaannya terhadap intensitas rasa gurih dan asin dalam campuran larutan dengan uji rangking. Uji tersebut dilakukan dengan mengkombinasikan larutan MSG yang konsentrasinya 0.5% (b/v), 0.2 % (b/v) dan 0.3 % (b/v) dengan larutan garam yang konsentrasinya 0.5 % (b/v), 1.0 (b/v) dan 1.5 % (b/v). Uji tersebut dilakukan sebanyak empat kali ulangan. Contoh Hasil pelatihan panelis dengan uji rangking dapat dilihat di Lampiran 8.

Selain itu, dilakukan pula pelatihan untuk mengenal sifat-sifat sensori sampel dengan uji intensitas. Uji intensitas dilakukan terhadapa rasa asin dan rasa gurih dari sampel dengan konsentrasi 0.1% (b/v), 0.5 % (b/v) dan 1.0 % (b/v). Pelatihan panelis dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada hari yang berbeda. Jumlah ulangan tersebut dianggap cukup hingga penilaian panelis terhadap satu sampel konsisten. Panelis diharapkan dapat menilai sampel dengan skor tinggi maupun skor rendah menurut konsentrasi sampel yang dibuat seperti diatas. Selain itu, penilaian tidak ekstrim dan berada pada rata-rata penilaian panelis. Contoh form pelatihan panelis tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan hasil penilaian uji tersebut dapat dilihat di Lampiran 10 dan 11. Pada uji intensitas dalam pelatihan panelis dan pengujian sampel, sampel diberikan standar untuk mempermudah justifikasi kisaran intensitas.


(50)

Pengujian sampel hasil fraksinasi dengan Solid Phase Extraction (SPE) yang telah dikeringbekukan dilakukan uji skoring. Dari hasil SPE diperoleh 8 fraksi dengan dua kali ulangan yang akan diuji organoleptik. Pengujian dilakukan terhadap sampel utuh hasil SPE tanpa modifikasi penyamaan kadar garam dan penyamaan total padatan. Standar yang digunakan sama dengan standar pelatihan panelis. Kemudian data diolah dengan menggunakan Program Windows Excel untuk mengukur mean dan standar deviasi. Contoh form Pengujian sampel tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan hasil penilaian uji tersebut dapat dilihat di Lampiran 12 sampai 13.

Pengamatan profil peptida hasil SPE dengan RP-HPLC

Pengamatan profil fraksi peptida hasil SPE dilakukan dengan RP-HPLC. Sampel hasil kromatografi gel dibandingkan dengan fraksi-fraksi hasil SPE sehingga bisa diketahui sejauh mana keefektifan pemisahan dengan menggunakan SPE. Sampel dielusi dengan campuran air dan acetonitrile dengan sistem gradien pada konsentrasi 2%-30% acetonitrile selama 30 menit.


(51)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ekstraksi dan Ultrafiltrasi Ikan Asin Jambal Roti

Penelitian yang dilakukan Saleha (2003) menunjukkan bahwa rasa gurih tertinggi pada ekstrak ikan asin jambal roti terdapat pada fraksi yang mempunyai BM< 1000 Da yang diduga merupakan peptida. Penelitian berikutnya yang dilakukan Rahmawaty (2004) menunjukkan bahwa fraksinasi terhadap ikan asin jambal roti lebih lanjut menggunakan kromatografi filtrasi gel Sephadex G-10, fraksi tergurih terdapat pada fraksi satu. Dalam penelitian ini juga digunakan sampel yang sama yaitu ikan asin jambal roti. Pemilihan sampel ikan asin jambal roti ini diperoleh melalui proses analisis sensori berdasarkan intensitas rasa gurih oleh 12 panelis terlatih oleh Saleha (2003).

Sampel yang dilakukan proses fraksinasi, terlebih dahulu dilakukan proses penggorengan karena sampel akan diuji sensori oleh panelis. Disamping itu, penggorengan juga dapat memunculkan aroma dan cita rasa yang khas dari ikan asin jambal roti. Sampel yang telah digoreng kemudian diekstrak dengan air, dengan perbandingan 1:2 kemudian dihomogenisasi. Untuk memisahkan komponen larut air dan komponen yang tidak larut air, dilakukan proses sentrifugasi pada kecepatan 20.000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC. Pemisahan ini pada dasarnya bertujuan untuk menghilangkan lemak yang terkandung pada sampel sehingga lemak tersebut tidak akan mempengaruhi intensitas rasa gurih pada saat dilakukan uji sensori.

Fraksinasi sampel dilakukan secara bertahap. Proses fraksinasi yang pertama adalah ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi merupakan teknik pemisahan zat terlarut berdasarkan perbedaan berat molekul dengan menggunakan membran semipermeabel dan tekanan. Komponen berberat molekul lebih besar dari cut-off membran akan tertinggal sebagai retentat sedangkan molekul yang lebih kecil akan melewati membran dan terkumpul sebagai ultrafiltrat (Smith, 1994).

Ultrafiltrasi dimulai dengan menggunakan membran 0.45 µm, untuk memisahkan komponen yang tidak larut. Filtrat yang diperoleh kemudian


(52)

difraksinasi lebih lenjut menggunakan tiga membran dengan Molecular Weight Cut Off (MWCO) berturut-turut 10.000, 3.000, dan 1.000 Da. Proses ultrafiltrasi ini menghasilkan fraksi yang mempunyai BM kurang dari 1000 Da. Adanya kandungan lemak yang masih terdapat pada sampel menyebabkan terganggunya pemisahan pada proses ultrafiltrasi. Retensi molekul yang mempunyai BM rendah selain dipengaruhi oleh ukuran, juga banyak dipengaruhi oleh faktor sterik, derajat hidrasi dan panjang ikatan.

B. Fraksinasi dengan Kromatografi Filtrasi Gel Sephadex G-10

Fraksinasi selanjutnya setelah didapat fraksi dengan BM<1000 Da adalah kromatografi filtrasi gel dengan Sephadex G-10. Prinsip pemisahan pada kromatografi filtrasi gel ini adalah pemisahan campuran senyawa berdasarkan berat molekulnya, molekul yang lebih besar dari ukuran pori pada gel akan turun lebih dulu baru diikuti oleh molekul yang lebih kecil. Proses eksklusi dapat dilihat pada Gambar. 9.

Gambar 9. Pemisahan molekul besar dan molekul kecil dalam kromatografi filtrasi gel.

Gel merupakan struktur tiga dimensi yang terbentuk karena adanya ikatan silang yang terbentuk karena adanya proses polimerisasi. Pada percobaan ini digunakan gel Sephadex G-10 dengan ukuran serbuk kering dengan variasi 10-40 μm, dapat mengikat air 4-6 ml/g kering, mampu memisahkan protein globular dan protein dekstran dengan berat molekul


(53)

Kromatogram Filtrasi Gel Sephadex G-10 dan Kadar Garam

0 2 4 6 8 10 12

1 7 13 19 25 31 37 43 49

Nomor Tabung A b so rb an s i

Kadar NaCl (%) Absorbansi 240 nm

Gambar 10. Hasil fraksinasi dari fraksi BM<1000 Da dari ikan jambal roti dengan kolom sephadex G-10, panjang 44.6 cm dan diameter 1.5 cm. pada absorbansi 240 nm.

kurang dari 700 (Hargis, 1988). Selain itu gel jenis ini banyak digunakan untuk pemisahan protein dan senyawa-senyawa berberat molekul besar. Sephadex dibuat dari polisakarida dekstran. Karena setiap residu glukosa mempunyai tiga gugus OH maka dekstran merupakan molekul yang polar. Pembentukan ikatan silang terjadi dengan epiklorohidrin.

Banyaknya ikatan silang dalam gel yang terbentuk akan sangat mempengaruhi proses eksklusi molekul-molekul yang akan dipisahkan. Selain ukuran pori pada gel, jenis gel juga berpengaruh pada proses pemisahan. Gel yang terbentuk dari dekstran yang mempunyai ikatan silang epiklorohidrin akan berinteraksi terhadap komponen aromatik dalam fraksi BM<1000 Da. Akibat dari interaksi ini fraksi yang lebih banyak mengandung komponen aromatik akan lebih lama ditahan oleh kolom (Hagel, 1998). Selain itu, kromatografi filtrasi gel juga dapat berfungsi untuk memisahkan garam yang terdapat pada sampel (Hagel, 1998). Pemisahan garam ini dilakukan untuk mencegah adanya efek sinergis garam terhadap rasa gurih pada saat dilakukan uji sensori.

Pemisahan sampel menggunakan kromatografi filtrasi gel Sephadex G-10 menghasilkan lima fraksi seperti yang ditunjukkan oleh Gambar G-10. Selanjutnya kelima fraksi tersebut disebut sebagai fraksi 1, fraksi 2, fraksi 3, fraksi 4, dan fraksi 5.


(54)

Penentuan fraksi ini didasarkan pada peak yang terbentuk dari hasil pengukuran absorbansi dari tabung-tabung pada kromatografi filtrasi gel pada panjang gelombang 240 nm dan adanya garam pada sampel. Karakterisasi fraksi yang dilakukan Rahmawaty (2004) mengungkapkan bahwa fraksi 1 hasil kromatografi filtrasi gel Sephadex G-10 dari ekstrak ikan asin jambal roti mempunyai kadar peptida terlarut tertinggi dan kadar α amino terendah dibanding fraksi-fraksi yang lain. Fraksi 1 yang dihasilkan dari kromatografi filtrasi gel banyak mengandung komponen berberat molekul lebih tinggi dibanding fraksi yang lain, hal ini disebabkan karena pada kromatografi filtrasi gel pemisahan antar senyawanya berdasarkan berat molekul. Dan molekul yang lebih besar akan keluar lebih dulu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rahmawaty (2004), fraksi 1 banyak mengandung komponen yang memiliki berat molekul yang lebih tinggi seperti peptida. Disamping itu fraksi 1 juga mengandung asam amino bebas, asam-asam volatil, dan garam-garam anorganik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hagel (1998) yang menyatakan bahwa pemisahan menggunakan Sephadex juga didasarkan pada sifat hidrofobisitas sampel dan interaksi antar komponen selain faktor berat molekul.

Pengukuran kadar garam bertujuan untuk mengetahui pengaruh keberadaan garam terhadap rasa gurih pada fraksi sehingga abiguitas rasa fraksi pada saat uji sensori dapat dicegah. Efektivitas proses fraksinasi pada kromatografi filtrasi gel juga dapat diketahui dari pengukuran kadar garam ini. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi yang mengandung garam muncul sebagai peak tunggal yang tajam yaitu terdapat pada fraksi dua. Garam ini rata-rata muncul pada tabung 7 sampai 10. Dari hasil tersebut maka pemisahan garam dengan menggunakan kromatografi filtrasi gel Sephadex G-10 cukup efektif karena garam hanya terdapat pada satu fraksi dan pada kisaran tabung yang pendek.

Mineral seperti sodium dan klorida memiliki peranan penting dalam memproduksi rasa spesifik. Penelitian yang dilakukan Konusu et al. (1978) dan Hayasshi et al. (1978) menunjukkan pada ekstrak sintetik yang kadar ion


(55)

sodiumnya rendah, mengalami penurunan rasa manis, gurih dan meningkatkan rasa pahit.

C. Fraksinasi dengan Solid Phase Extraction (SPE)

Fraksi satu dari hasil kromatografi filtrasi gel Sephadex G-10 yang merupakan fraksi tergurih, dilakukan fraksinasi lebih lanjut menggunakan SPE (Solid Phase Extraction). Fraksinasi ini dilakukan untuk mendapatkan fraksi peptida yang lebih murni.

Pemilihan fraksi satu sebagai fraksi tergurih ini diperoleh dari hasil uji sensori yang dilakukan Rahmawaty (2004). Kelima fraksi dari hasil kromatografi filtrasi gel Sephadex G-10 dilakukan uji sensori dengan dilakukan penyamaan total padatan, penyamaan kadar garam dari fraksi-fraksi tersebut, dan diperoleh bahwa fraksi tergurih adalah fraksi satu.

Metode SPE (Solid Phase Extraction) sebagai metode untuk isolasi dan fraksinasi lebih lanjut ini, pemisahan antar senyawa berdasarkan interaksi non polar dan interaksi ionic (Herraiz dan Casal., 1995). Metode ini cukup efisien karena praktis tidak memerlukan peralatan yang rumit, dan tidak membutuhkan waktu yang lama.

Pada penelitian ini fraksi peptida dielusi dengan eluen larutan asetonitril 10% sampai 40% (10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%) dalam air bebas ion secara gradient. Dari hasil fraksinasi dengan SPE ini diperoleh tujuh fraksi dan satu fraksi berupa fraksi tidak tertahan (FTT) yang diperoleh dari hasil SPE tanpa dielusi dengan asetonitril, fraksi ini di dapat karena sampel yang diinjekkan ke kolom sudah tidak mampu lagi diserap oleh kolom. Konsentrasi asetonitril yang digunakan sebagai eluen akan menyebabkan kepolaran eluen akan semakin kecil dengan meningkatnya konsentrasi asetonitril yang digunakan. Jadi, fraksi pertama yang keluar dari kolom merupakan senyawa yang lebih polar dibanding senyawa yang keluar berikutnya.

Kolom SPE yang dipakai pada penelitian ini berupa catridge C-18. Menurut Herraiz dan Casal (1995), peptida yang polar dapat difraksinasi menggunakan sorbent kolom SPE yang mempunyai kemampuan retensi yang


(56)

tinggi, seperti C-8, C-18 atau Sep-Pak plus C-18. kolom C-18 mempunyai interaksi hidrofobik yang lebih besar dibanding kolom C-8 karena ikatan karbonnya lebih banyak sehingga dapat memisahkan senyawa berdasarkan kepolaran yang lebih baik.

D. Karakterisasi Sensori Fraksi hasil SPE

Uji sensori ini untuk mengetahui pengaruh fraksinasi hasil SPE terhadap karakter sensori rasa asin dan rasa gurih dari fraksi-fraksi tersebut dan untuk mengetahui fraksi yang paling berperan terhadap rasa gurih. Intensitas rasa gurih dari ketujuh fraksi tersebut diperoleh melalui analisis sensori yang dilakukan 8 orang panelis terlatih dengan 3 kali ulangan. Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan intensitas rasa gurih dari fraksi yang diuji dengan intensitas rasa gurih dari standar.

Pengujian sampel dilakukan dengan uji skoring menggunakan system skala. Hasil uji skoring intensitas rasa gurih tanpa modifikasi atau sampel utuh menunjukkan bahwa Fraksi 1 merupakan sampel tergurih dengan skor 40.4, Kemudian diikuti Fraksi Tidak Tertahan (FTT) dengan skor 31.3. hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Hasil uji sensori terhadap rasa gurih sampel hasil SPE ekstrak ikan asin jambal roti tanpa modifikasi.

0

10

20

30

40

50

f1

f2

f3

f4

f5

f6

f7

ftt

fraksi

sk

o

r

skor gurih


(57)

Sampel yang digunakan saat fraksinasi dengan SPE merupakan sampel fraksi satu yang bebas garam, karena fraksi garam terkumpul pada fraksi dua. Tetapi, saat diuji sensori intensitas rasa asin pada fraksi-fraksi hasil SPE ternyata panelis masih dapat merasakan rasa asin pada sampel, seperti yang terlihat pada Gambar 11. Hal ini diduga karena timbulnya suatu rasa yang mirip dengan rasa NaCl yang diakibatkan keberadaan peptida rasa asin dan garam-garam anorganik lain seperti LiCl dan KCl.

E. Analisis Profil Peptida dengan RP-HPLC

Fraksi-fraksi ekstrak ikan asin jambal roti yang telah di SPE selain dilakukan uji sensori, juga dilakukan analisis profil peptidanya dengan menggunakan RP-HPLC (Reverse Phase - High Performance Liquid Chromatography). Proses pemisahan pada RP-HPLC didasarkan pada perbedaan kepolaran senyawanya. Eluen atau fase mobil yang digunakan adalah campuran antara air bebas ion dan acetonitrile dengan sistem gradien. Eluen sebelum digunakan harus dilakukan penghilangan gas. Hal ini bertujuan agar pada saat eluen dialirkan tidak terdapat gelembung-gelembung dalam aliran pelarut tersebut. Adanya gelembung yang masuk ke dalam kolom akan menyebabkan aliran menjadi diskontinyu, yang seterusnya dapat mengganggu kromatogram yang terbentuk, dan menyebabkan pergeseran garis dasar (Adnan, 1997). Proses pencegahan adanya gelembung pada air cenderung lebih susah dibanding dengan acetonitrile. Hal ini dikarenakan gelembung air cenderung menempel pada selang pemasukan eluen.

Kolom yang digunakan pada RP-HPLC ini mempunyai ukuran partikel fase stasionernya berukuran 5 µm. Ukuran partikel yang kecil ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemisahan karena luas permukaan areanya lebih besar, sehingga interaksi antara fase stasioner, sampel dan fase mobil menjadi lebih besar pula. Detektor yang digunkan adalah detektor UV pada panjang gelombang 214 nm, karena ikatan peptida menyerap kuat pada panjang gelombang ini.

Hasil pengujian yang diperoleh dari RP-HPLC menunjukkan bahwa peak-peak muncul pada awal running yaitu pada saat konsentrasi acetonitrile


(58)

masih rendah (2-4 %), sedangkan kondisi running adalah Acetonitrile 2%- 30% selama 30 menit. Dari hasil kromatogram tersebut senyawa-senyawa yang terdapat pada fraksi-fraksi yang dianalisis merupakan senyawa polar. Semakin tinggi konsentrasi acetonitrile berarti semakin nonpolar fase mobil yang digunakan, dan senyawa yang terelusi juga lebih bersifat nonpolar seiring turunnya kepolaran fase mobil.

Kromatogram fraksi tidak tertahan, fraksi 1 dan fraksi 2 masih terdapat peak yang cukup banyak, sedangkan pada kromatogram fraksi 3, 4, 5, 6 dan 7 hanya terdapat single peak. Single peak yang terdapat pada fraksi-fraksi tersebut diduga merupakan asam amino, bukan peptida karena hanya mempunyai satu retention tim. Gambar kromatogram dari kedelapan fraksi hasil SPE dan sampel hasil kromatografi filtrasi gel (Fraksi 1) dapat dilihat pada Gambar 12 sampai 20. dan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 14 sampai 22.

Pada fraksi tidak tertahan, fraksi 1 dan 2 mempunyai peak-peak yang cenderung bergabung, dan mempunyai kisaran retention time yang hampir sama. Pada kromatogram crude sample yaitu sampel yang menggunakan fraksi sebelum SPE (dari hasil Kromatografi filtrasi gel) peak-peak yang muncul juga tidak jauh berbeda dengan peak-peak pada fraksi tidak tertahan, fraksi 1 dan dua. Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan menggunakan SPE kurang efektif. Penggunaan cartridge yang berulang sampai tiga kali merupakan salah satu faktor penyebab kekurang efektifan tersebut. Disamping itu, proses elusi yang kurang sempurna juga bisa menyebabkan elusi senyawa sampel antar fraksi jadi bias karena kemungkinan tertahan oleh kolom pada fraksi sebelumnya.


(59)

(60)

(61)

(62)

(63)

(64)

(65)

(66)

(67)

Analisa profil peptida sampel fraksi-fraksi hasil SPE dengan RP-HPLC dilakukan dengan membandingkan profil kromatogram dari sampel dengan Retention Time dari standar asam amino. Retention Time beberapa asam amino standar dapat dilihat pada Tabel 4. Dan kromatogram selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 23 sampai 28.

Tabel 4. Retention Time beberapa asam amino standar

No. Asam amino Retention Time

1 Crn 2.193

2 Glu 2.415

3 His 2.853

4 Phe 4.717

5 Trp 8.777

6 Tyr 1.980

Fraksi 1 mempunyai peak yang mendekati Retention Time Glu (2.432) dengan Luas area 27.146% dan yang mendekati Retention Time Phe (4.872) dengan luas area 14.336%. Dari data tersebut diduga pada Fraksi 1 terdapat asam amino Glu dan Phe. Pada Fraksi 2 mempunyai peak yang mendekati Retention Time Crn (2.102) dengan luas area 48.720. Fraksi 3, Fraksi 4, Fraksi 5 dan Fraksi 7 tidak ada peak yang mendekati Retention Time asam amino standar pada Tabel 4. pada fraksi-fraksi tersebut tidak mengandung asam-asam amino yang ada pada Tabel 4. Fraksi 6 mempunyai peak dengan Retention Time Tyr (1.925) dengan luas area 5.683%. Fraksi Tidak Tertahan mempunyai peak yang mendekati Retention Time Phe (4.723) dengan luas area 9.159%.


(68)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Fraksi ekstrak air ikan asin jambal roti BM<1000 Da, setelah difraksinasi lebih lanjut dengan kolom Sephadex G-10 diperoleh lima fraksi, yaitu Fraksi 1, 2, 3, 4 dan Fraksi 5. Garam berada dalam fraksi tunggal, yaitu Fraksi kedua. Dengan demikian kromatografi filtrasi gel menggunakan Sephadex G-10 dapat digunakan secara baik untuk proses desalinasi, meskipun dalam hal ini garam tergabung dengan sebagian fraksi gurih (peptida atau asam amino rasa gurih) dari fraksi kedua.

Keberadaan peptida yang mempunyai rasa gurih pada ekstrak ikan asin jambal roti ditunjukkan oleh hasil sensori terhadap fraksi-fraksi hasil SPE dan profil peptidanya. Proses pemisahan dengan SPE ini berdasarkan kepolaran sampel terhadap interaksi pada kolom. Hasil uji sensori fraksi-fraksi hasil SPE menggunakan 8 orang panelis terlatih dengan tiga kali ulangan pada hari yang berbeda menunjukkan bahwa fraksi 1 mempunyai intensitas rasa gurih yang paling tinggi yaitu 40.4. Kemudian diikuti oleh Fraksi Tidak Tertahan 31.3. Selanjutnya berturut-turut F7, F4, F2, F5, F3, dan F6 dengan skor masing-masing adalah 31.2, 30.6, 30.1, 23.2, 19.4, dan 19.2.

Analisis profil fraksi-fraksi hasil SPE dengan menggunakan RP-HPLC menunjukkan bahwa komponen-komponen pada fraksi-fraksi tersebut adalah senyawa polar yang ditunjukkan oleh munculnya peak pada awal running. Hasil kromatogram sampel hasil kromatografi kolom filtrasi gel menunjukkan peak-peak yang keluar tidak berbeda jauh dengan fraksi tidak tertahan, Fraksi 1 dan Fraksi 2 hasil SPE, tetapi pada fraksi 3 sampai fraksi 7 menghasilkan single peak. Jadi, pada Fraksi 3 sampai Fraksi 7, komponen yang menyebabkan rasa gurih bukan merupakan peptida, tetapi asam amino. Sedangkan pada fraksi tidak tertahan, Fraksi 1 dan Fraksi 2 ada kemungkinan merupakan peptida yang memberikan rasa gurih pada fraksi tersebut.


(69)

Fraksi 1 diduga mengandung Glu dan Phe, Fraksi 2 mengandung Crn, Fraksi 3, Fraksi 4, Fraksi 5 dan Fraksi 7 tidak mengandung asam amino-asam amino standar (Glu, His, Tyr, Phe, Trp, Crn). Fraksi 6 diduga mengandung asam amino Tyr, sedangkan pada FTT diduga mengandung asam amino Phe.

B. SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap komponen-komponen yang berperan terhadap rasa gurih pada ikan asin jambal roti dan identifikasi senyawa berasa gurih baik peptida maupun asam amino, dengan memperbaiki sistem gradien kepolaran eluen dan penggunaan kolom RP-HPLC yang lebih nonpolar.


(70)

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi Untuk Analisis bahan Makanan. Penerbit ANDI Yoyakarta. Yogyakarta.

Afrianto, E. dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengelolaan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, S. Budijanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. IPB Press. Bogor.

Austen, B. 1988. Peptide Synthesis. di dalam New Protein Techniques. Vol. 3. J. M Walker (ed.). Humana Press. Clinton, New Jersey.

Bailey, P. D. 1990. An Introduction to Peptide Chemistry. John Wiley and Sons. Chichester, England.

Belter, P. A., E. L. Cussler, dan W. S. Hu. 1988. Bioseparation Down Stream Processing for Biotechnology. John Wiley and Sons. New York.

Burhanuddin, M. S. S., A. Djamali dan R. Moeljanto. 1984. Perikanan Komersial di Indonesia. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Nasional-LIPI. Jakarta.

Carpenter, R. P., D. H. Lyon dan T. A. Hasdell. 2000. Guidelines for Sensory Analysis in Food Product Development and Quality Control. 2 ed. An Aspen Publ. Gaithersburg, Maryland.

Castagnola, M., L. Cassiano, R. Rabino, dan D. Valeria. 1991. Peptide Mapping Through the Coupling of Capillary Electrophoresis and High Performance Liquid Chromatography: map Prediction of the Tryptyc Digest of Myoglobin. J. Chromatogr. 572: 51-58.

Desroiser, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan: M. Muljohardjo, Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Direktur Jendral Perikanan. 2002. Statistika Perikanan Indonesia 2002. Dirjen Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta.

Gritter, J. R., Bobbit, J. M., Schwarting, A. E. 1991. Pengantar Kromatografi. Terjemahan: Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung.


(71)

Haefeli, R. J., dan D. Glasser. 1990. Taste Responses and Threshold Obtained with the Primary Amino Acids in Humans. Lebensm. Wiss Technol. 23: 253-257.

Hagel, L. 1998. Gel Filtration. di dalam Protein Purification. 2 ed. J. C. Janson, L. Rayden (eds.). John Wiley and Sons Inc. Publ. New York.

Hargis, E.L.V. 1988. Acid Analysis By Pre-coloumn Derivatisation . Di dalam : New Protein Technicques. Vol.3. Walker, JM. (Ed.) Humana Press. Cliftone, New Jersey.

Hayashi, T., H. Kohta, E. Watanabe, K. Toyama. 1990. Sensory Study of Flavor Compounds in Extracts of Salted Salmon Eggs (Ikura). J. Sci. Food. Agric. 50: 343-356.

Herraiz, T. And Casal, V. 1995. Evaluation of Sholid-Phase Extraction Procedures in Peptide Analysis. Journal of Chromatography A. 708: 209-221.

Jellinek, G. 1985. Threshold Tests with Substances from the Four Basic Taste (with Intensity Exercises). di dalam Sensory Evaluation of Food. G. Jellinek (ed.).P 163-183. Ellis Horwood Ltd. Chichester, England.

Johnson, L D., Stevenson, R. 1991. Dasar Kromatografi Cair. Terjemahan: Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB. Bandung.

Kirimura, J., A. Shimizu, A. Kimizuka, T. Ninomiya, dan N. Katsuya. 1969. The Contribution of Peptides and Amino Acids to the Taste of Foodstuffs. J. Agric. Food Chem. 17 (4); 689-695.

Konosu, S. 1979. The Taste of Fish and Shellfish. Di dalam Food Taste Chemistry. ACS Symposium Series. No. 115 (J. C. Boudreau ed.). American Chemical Society. Washington, DC. 185-203.

Lehninger. 1988. Dasar-dasar Biokimia. Jilid I. Terjemahan. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Linden, G., dan D. Lorient. 1999. New Ingridients in Food Processing Biochemistry and Agriculture. Woodhead Publ. LTD. Cambridge, England. Lubis, A. 1989. Keadaan Umum Pengolahan Jambal Roti di Desa Pabean Udik,

Kec. Indramayu, kab. TK II Indramayu. Laporan Praktek Lapang Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(1)

10 Lampiran 23. Kromatogram standar Asam amino Crn


(2)

11 Lampiran 24. Kromatogram standar Asam amino Glu


(3)

12 Lampiran 25. Kromatogram standar Asam amino His


(4)

13 Lampiran 26. Kromatogram standar Asam amino Phe


(5)

14 Lampiran 27. Kromatogram standar Asam amino Trp


(6)

15 Lampiran 28. Kromatogram standar Asam amino Tyr