Pada kelas Mandiri lebih banyak Mahasiswa Malaysia beretnis Cina dan India sedangkan yang beretnis Melayu tidak begitu banyak. Mahasiswa Malaysia
yang beretnis Melayu, dominan masuk melalui jalur Internasional. Jalur Internasional ini dominan bahkan bisa dikatakan seluruhnya anak
Melayu. Mereka yang masuk melalui jalur ini adalah anak-anak pintar yang dipilih dan diberikan beasiswa oleh Pemerintah Malaysia. Pemerintah Malaysia
menunjuk Acims sebagai penyelengara atau pengurus mahasiswa terpilih selama kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Acims yang akan
menyediakan asrama dan mencarikan rumah kontrakan, mengurus transportasi, biaya hidup, buku dan lainya. Jadi mahasiswa yang masuk melalui jalur
Internasional lebih akrab dipanggil ‘anak Acims’. Berikut adalah hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan peneliti
terhadap dua puluh tiga subjek penelitian yang terbagi dalam empat kategori yang terbagi dalam dua kelompok.
a. Kelompok Perempuan
Kategori I: KELOMPOK PEREMPUAN DENGAN LAMA TINGGAL LEBIH DARI SATU TAHUNDAN TINGGAL DI RUMAH KONTRAKAN.
1. NAMA
: MADINAH JENIS KELAMIN
: P ASAL
: JOHOR SEMESTER
: VI Enam ALAMAT TEMPAT TINGGAL : JLN. DR.SOFYAN NO 34.
Subjek penelitian ini yang pertama kali peneliti wawancarai. Saat ditemui
pertama kali di kelas, responden ini terlihat berbaur dengan mahasiswa Indonesia, walaupun terlihat pendiam tapi Dina tampak tak canggung bergabung bersama
Universitas Sumatera Utara
temannya yang bukan Melayu. Menurut pengamatan peneliti, Dina termasuk orang yang bisa dinilai dari bahasa nonverbalnya. Sebab saat ditemui pertama kali
hingga saat diwawancarai beberapa hari kemudian, Dina seolah menunjukkan keheranannya. Mimik muka yang Dina tampilkan seolah orang yang merasa tak
nyaman. Menyadari hal tersebut, peneliti berusaha menjelaskan dan mengurangi sedikit perasaan ketidaknyamanan Dina tersebut. Dina, peneliti wawancarai di
rumah kontraknya. Berhubung Dina adalah responden pertama yang diwawancarai, maka
peneliti berusaha mengumpulkan sebuah gambaran awal tentang mahasiswa Malaysia. Dari penuturan Dina diketahui bahwa dia tinggal bersama sepuluh
temannya yang pasti juga beretnis Melayu. Dina menjelaskan bersama sepuluh temannya, juga turut tinggal keluarga yang menjaga mereka. Yang mana, Bapak
penjaga rumah tersebut adalah supir bus Acims yang akan mengantar dan menjemput mereka sedangkan ibu penjaga rumah tersebut yang akan memasak
ataupun membantu membersihkan rumah. Dari pengamatan peneliti, bisa terlihat Dina termasuk Muslimah taat, hal
itu terlihat dari upayanya dalam menutup aurat. Di rumah tersebut, rumah untuk para mahasiswi agak terpisah dengan ruangan keluarga penjaga rumah, jadi ketika
Dina keluar dari area aman atau area di mana hanya ada dia dan teman-temannya, Dina berusaha memakai jilbab dan menutup auratnya agar tidak terlihat Bapak
penjaga rumah maupun tamu laki-laki yang datang. Saat ditanyai mengenai nilai Melayu, Dina tidak mengerti apa arti nilai.
Namun, setelah dijelaskan mengenai pengertian nilai, Dina menuturkan sebagai
Universitas Sumatera Utara
salah seorang yang bertenis Melayu Malaysia, nilai-nilai yang dipegangnya adalah menjunjung tinggi nilai sopan santun, seperti jika berjalan di depan orang yang
lebih tua, menunduk atau membungkkan badan, lalu jika bertemu teman, bersalaman dan jika ada teman dalam kesusahan, saling tolong-menolong.
Menyangkut wujud konkret yang akan dilakukannya untuk menunjukkan identitasnya sebagai Melayu Malaysia, Dina menjawab bahwa inti nilai etnis
Melayu Malaysia, adalah adab timur, jadi Dina akan bertutur lembut serta menghormati orang lain , dan menggunakan baju kurung sebagai identitas utama
sebagai perempuan Melayu Malaysia. Sedangkan bayangan Dina mengenai masa depan etnis Melayu Malaysia,
dia hanya menjawab singkat dan optimis, bahwa etnis Melayu Malaysia akan terus berkembang. Makna atau arti identitas etnis sendiri dipahami Dina sebagai
pegangan atau nilai dan identitas tersebut tentu amat penting dibawanya di negeri orang.
Penilaian Dina mengenai etnis lain, hanya ditujukan pada etnis Batak, menurutnya Batak itu kasar, bukan hanya karena penilaiannya tapi juga karena
pengakuan temannya yang beretnis Batak. Selama masa tinggal di Medan, Dina mengaku pengetahuannya tentang etnis tidak bertambah, artinya tidak ada upaya
untuk mengukuhkan komitmen atau peningkatan wawasan mengenai etnis. Dina mengaku hanya menjelaskan apa yang ia tahu mengenai etnisnya kepada
temannya yang lain dan mendalaminya tanpa ada upaya untuk menambah wawasan etnisnya.
Universitas Sumatera Utara
Pergaulan Dina cukup terbuka, dia berinteraksi dengan siapa saja, dan merasa nyaman dengan temannya yang di luar etnis Melayu.
‘’Ya berinteraksi dengan siapa saja..dengan semua, jadi nyaman dengan semua la, sebab teman dekat pun dari beda etnis pun ada.’’
Dina mengakui memiliki teman dekat di luar etnis Melayu Malaysia
khususnya temannya yang beretnis asli Indonesia seperti Batak atau pun Minang. Secara umum, Dina menilai temannya di luar etnis Melayu khususunya temannya
yang dinilainya sebagai anak Indonesia akan dianggapnya semua beretnis Batak. Dina sendiri tak memilih teman berdasarkan etnis, namun dari segi intensitas dan
frekuensi, Dina tetap lebih banyak berinteraksi dengan temannya yang seetnis, karena temannya satu kos semua beretnis Melayu.
Dina merasa masih ada perbedaan budaya namun dia menyadari bahwa penerimaan ataupun toleransi amat diperlukan, jadi perbedaan tak menjadi
masalah. Dina bahkan bisa menceritakan masalah pribadinya dengan teman dekatnya yang berbeda etnis.
Mengenai out-group dan in-group, Dina mengakui bahwa hal tersebut pasti ada, karena secara sederhana hal tersebut bisa dilihat dari penampilan. Dari
penampilan, mahasiswa Melayu Malaysia cukup berbeda, jadi dari penampilan luar tersebut bisa digunakan sebagai penilaian out-group dan in-group. Namun
menurut Dina sendiri, identifikasi tersebut tidak menghambat komunikasinya. Selama ada kecocokan maka Dina berusaha untuk berkomunikasi dengan yang
lain other culture. Selama Dina berinteraksi dengan yang teman yang berbeda etnis, Dina
tetap mempertahankan adab Melayu. Artinya dia tetap berusaha menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
identitasnya sebagai seorang beretnis Melayu Malaysia dengan tetap bertutur lembut dan menutup aurat serta nilai-nilai kesopanan lainnya. Penerimaan Dina
pada perbedaan yang ada dengan temannya yang berbeda etnis sebatas pada yang sejalan dengan nilai yang Dina anut. Artinya apabila masih bisa diterima, maka
Dina akan menghargai hal tersebut. Secara tersirat hal ini dimaknai bahwa Dina hanya bisa menerima nilai-nilai umum yang tidak melanggar nilai agama dan
adatnya. Sejauh pengamatan peneliti, kebanyakan mahasiswi Melayu Malaysia membatasi pergaulan dengan laki-laki dalam artian bersentuhan atau sekadar
bersalaman pun mereka jaga. Jadi, selama temannya yang berbeda etnis memiliki nilai-nilai baik maka akan Dina terima dan Dina pun akan tetap menjaga nilai-
nilai yang dibawanya. Secara umum, Dina merasa tidak mempunyai masalah saat berinteraksi
dengan teman yang berbeda etnis. Bahkan Dina merasa selama ini komunikasinya cukup lancar tanpa ada kesalahpahaman karena perbedaan budaya. Bahkan Dina
sudah merasa nyaman dan tidak merasakan Culture Shock karena menurutnya Indonesia dan Malaysia satu rumpun sehingga nilai-nilai yang ada pun tidak jauh
berbeda. Sebagai seorang yang beretnis Melayu, Dina tidak terlalu bermasalah
dengan keadaan di Medan, walaupun sedikit banyak perbedaan pasti ada. Upaya untuk mencari kesamaan dilakukan responden dengan ikut dalam persatuan
Malaysia di Fakultas Kedokteran dan ia cukup berminat dalam kelompok tersebut. Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia sempat terganggu
dengan beberapa kali kasus yang menyebabkan hubungan tersebut merenggang
Universitas Sumatera Utara
bahkan memanas. Yang paling hangat tentunya kasus klaim Malaysia terhadap beberapa hasil budaya Indonesia. Dan Dina sendiri menangggpinya tentu
menggunakan pandangannya sebagai warga Malaysia. Pandangannya tentu cukup berpihak, menurutnya Batik adalah hasil budaya bersama, antara Indonesia dan
Malaysia. Namun Batik Malaysia memiliki corak yang lebih berwarna. Berdasarkan pandangan tersebut, Dina menilai tak perlu memperebutkan hak
Batik, dan ia lebih menyalahkan media, dan yang pastinya media Indonesia karena telah membesar-besarkan masalah tersebut, masalah yang sebenarnya bukan
masalah karena dinilainya pemerintah kedua Negara pun tak menanggapi ini sebagai masalah.
‘’ Kita kan satu rumpun, kalau kita bilang batik ini punya ini, batik tu punya itu, Batik tu kepunyaan bersama, kalau Batik Indonesia warnanya beda,
batik Malaysia coraknya warna-warni, jadi tak perlu la digadoh-gadoh. Itu kan media yang membesar-besarkan, kita lihat pun penguasa Negara pun tak ada
masalah.’’
Dan kasus tersebut tak memberikan dampak apa pun khusunya interaksi Dina dengan teman-teman Medan karena menurut Dina teman-teman Indonesia
tidak menunjukkan reaksi negatif disebabkan kasus tersebut. Motivasi sebagai komponen dasar dalam kompetensi komunikasi, disadari
oleh responden penting untuk mendorongnya bergaul dengan teman yang berbeda budaya. Walaupun Dina tidak memiliki kesadaran yang cukup mengenai apa yang
dibutuhkan untuk berkomunikasi secara efektif dengan yang berbeda budaya, namun responden tetap merasa perlu untuk memahami etnis yang ada di Medan.
Dan Dina menutup wawancara dengan menuturkan bahwa ia mampu berkomunikasi efektif dengan teman beda etnis.
Universitas Sumatera Utara
2. NAMA
: SITI NABILAH BORHAN JENIS KELAMIN
: P ASAL
:MELAKA SEMESTER
: IV EMPAT ALAMAT TEMPAT TINGGAL : PINTU 4 USU
Responden ini, peneliti temui saat dirinya usai mengikuti pengajian
kelompok kecil di Mushola Fakultas Kedokteran. Nabilah sendiri dengan ramah menerima peneliti dan dari pengamatan peneliti, Nabilah aktif dalam dakwah
kampus. Pakaian yang digunakan responden saat ditemui peneliti, tidak menggunakan baju kurung tapi baju gamis yang secara umum, hampir mirip
dengan baju kurung. Yang dikatakan baju kurung sendiri adalah baju dengan panjang selutut dan rok hingga menutupi mata kaki. Satu hal lagi yang ciri umum
baju kurung adalah berwana terang dan bermotif bunga atau lainnya. Dari pengamatan peneliti, Nabilah merupakan perempuan Melayu
Malaysia yang masih menjaga salah satu nilai Melayu yaitu menutup aurat. Jika dibanding dengan kebanyakan mahasiswi Melayu Malaysia lainnya, Nabilah bisa
dikatakan lebih syar’i dalam berbusana, dengan menggunakan baju yang longgar dan jilbab yang besar hingga menutupi dada dan panjangnya hingga di atas
pinggang. Karena selama peneliti melakukan pengamatan, lebih banyak mahasiswi Melayu Malaysia yang menggunakan jilbab dengan panjang yang
standar¸ artinya tidak terlalu besar. Nabilah menyatakan bahwa nilai utama yang dipegangnya lebih banyak
nilai Islam dan Nabilah hanya menjelaskan nilai-nilai umum adab Timur sebagai nilai Melayu Malaysia, seperti berbudi bahasa. Berbudi bahasa dapat dipahami
Universitas Sumatera Utara
sebagai perbuatan yang lemah lembut, bertutur lembut, dan berbudi sopan serta bertoleransi. Dalam upaya untuk menunjukkan identitas Melayu Malaysia, yang
pasti baju kurung adalah hal utama dalam penanda identitas serta logat bicara. Nabilah juga menjelaskan bahwa tepat di depan Fakultas kedokteran ada tempat
makan yang menyediakan makanan Malaysia, jadi dapat dipastikan bahwa semua yang makan di tempat tersebut adalah mahasiswa asal Malaysia.
Melayu sendiri seolah hilang manisnya, atau hilang budinya, karena perubahan zaman sekarang, membuat nilai-nilai Melayu sudah mulai terkikis dan
dilupakan, itulah yang dituturkan Nabilah. Membayangkan masa depan etnis, sebenarnya Nabilah sendiri berharap petuah P. Ramlee benar bahwa tak akan
hilang Melayu di dunia, tapi menurut pendapat seorang profesor, Melayu akan hilang 60 tahun lagi dimakan zaman, jadi sedikit banyaknya Nabilah sendiri
cukup merasa prihatin. Berdasarkan peribahasa Melayu, bahwa biar mati anak, jangan mati adat, yang artinya bagaimanapun adat harus dijunjung tinggi, namun
kenyataannya generasi sekarang seolah mengikut zaman. ‘’ Kalau kami sering bicarakan Melayu karena orang Melayu hilang
manisnya, hilang budinya...kalau seperti kata P.Ramlee, tak akan hilang Melayu di dunia, atau seperti peribahasa, biar mati anak, jangan mati adat, sebab kalau
mati adat macam... sebab orang tua lebih menekankan adat daripada hukumnya sendiri kan, terus orang muda ni sekarang di Malaysia terperosok dalam zaman.
Menurut falasafah professor, Melayu kan hilang 60 tahun lagi ditenggelami zaman, tak tahu la tu.’’
Jadi arti identitas Melayu Malaysia bagi Nabilah adalah pegangan. Nabilah menyadari bahwa Melayu berdasarkan sejarah banyak dipengaruhi oleh adat
Orang Arab yang notabene adalah orang Islam, jadi menurutnya tak heran kalau nilai Melayu banyak berasal dari nilai Islam.
Universitas Sumatera Utara
Nabilah sendiri mengakui bahwa selama tinggal di Medan, alur komunikasinya cukup berubah, jika di Malaysia dia jarang berkomunikasi dengan
etnis lain karena ada gap, namun setelah kuliah di Medan, dia merasa tak perlu lagi ada gap dan mempermasalahkan etnis. Hal ini khususnya ditujukan pada
interaksinya dengan etnis India dan Cina. Mengingat di Malaysia, etnis Melayu adalah etnis Mayoritas dan etnis India serta Cina termasuk sering berkelompok
namun selama kuliah di Medan, mereka jadi bisa berbaur. Hampir dua tahun tinggal di Medan membuat Nabilah cukup terbiasa dan
bahkan beradaptasi dengan nilai di Medan. Hal itu memang bisa dilihat dari pakaian Nabilah yang cenderung mengikut pada busana perempuan tarbiyah, yang
sering dipakai oleh perempuan Indonesia yang aktif dalam gerakan dakwah Islam. Sebagai seorang yang hampir dua tahun tinggal di Negara lain yang berbeda
bahasa dengan Negara asal, Nabilah termasuk lambat beradaptasi soal hal tersebut. Karena saat diwawancarai, Nabilah masih cukup kental berlogat Melayu
bahkan kadang-kadang menggunakan istilah Melayu yang tidak dimengerti peneliti. Nabilah bahkan mengakui bahwa dirinya merasa enjoy selama tinggal di
Medan. Interaksi Nabilah cukup terbuka, dia berinteraksi dengan teman Malaysia
senegara yang berbeda etnis seperti India dan Cina, dan yang pasti dengan teman satu etnis. Frekuensi komunikasi responden dengan teman Indonesianya juga
cukup tinggi, ‘’Karena kami belajar di Indonesia, maka kami berinteraksi dengan orang
sini kan, sini banyak orang Batak kan, tapi kalau berinteraksi dengan mereka, agak ikut la, sebab saya merasa di sini ada juga nilai Melayu yang diterapkan.
Universitas Sumatera Utara
Banyaknya komunikasi tergantung, sebab teman dekat banyaknya yang India dan Melayu.’’
Tema pembicaraan Nabilah dengan teman yang berbeda etnis bukan hanya seputar kuliah, hal-hal di luar kuliah pun sering dibicarakan. Tapi pembicaraan di
luar kuliah hanya ditujukan pada teman dekat. Dan teman dekat yang berbeda etnis adalah teman senegara Nabilah. Sebab Nabilah sendiri mengaku, tidak
terlalu akrab dengan teman Indonesia. Seperti dikatakannya, di Malaysia, Melayu sebagai etnis mayoritas dan etnis ‘’istimewa’’, sehingga ada gap yang cukup
disadari antara etnis Melayu dan dua etnis lainnya yaitu India dan Cina. Begitupun selama di Medan, bagaimanapun perbedaan pasti tetap terasa, tapi upaya untuk
mengurangi kecemasan karena perbedaan budaya dilakukan Nabilah dan temannya yang berbeda etnis dengan tidak terlalu melihat perbedaan dan berusaha
saling menghargai. ‘’Perbedaan ada juga, tapi kami gak merasa seperti perbedaan, kami
menghargai masing-masing, kalau saya sholat pun mereka menghargai saya, kalau ada waktu-waktu tenggang untuk beribadah mereka mengerti, saya senang la.’’
Mengenai identikasi in-group dan out group, Nabilah sendiri mengakui hal itu tidak dilakukannya, karena tak memberikannya manfaat. Walaupun nilai
toleransi dijunjung tinggi, namun bukan berarti identitas etnis dilupakan. Identitas etnis akan selalu dipertahankan, misalnya nilai yang berkaitan dengan nilai agama
Islam tentang apa yang boleh dimakan dan tidak, dan mengenai persentuhan laki- laki dan perempuan. Nilai Melayu secara umum dipengaruhi oleh Islam hingga
bisa dikatakan secara substantif nilai Melayu sama dengan nilai Islam. Jadi responden akan tetap bertoleransi dengan temannya yang beda etnis dan tetap
menujukkan identitasnya sebagai perempuan melayu yang muslimah. Penerimaan
Universitas Sumatera Utara
terhadap etnis lain dilakukan selama tidak melanggar nilai yang dianut, nilai-nilai baik dari etnis lain tentu akan bisa diterima, dan Nabilah menghargai temannya
dan budayanya, dan tetap memilah mana yang bisa diterima untuk dicontoh dan mana yang tidak perlu.
Tak ada hal yang menjadi masalah selama responden berinteraksi dengan yang berbeda etnis, bahkan komunikasi pun berjalan lancar karena tak pernah ada
kesalahpahaman karena perbedaan nilai budaya, kecuali masalah bahasa yang selalu menjadi kendala utama saat pertama kali tinggal dan berada dalam fase
adaptasi dan masalah perbedaan bahasa lambat laun disesuiakan dan dipelajari Nabilah untuk bisa dimengerti. Namun kemudian Nabilah menjelaskan
keterkejutannya Culter Shock karena perbedaan nilai. Responden mengakui pandangannya yang berbeda mengenai pakaian dengan beberapa temannya yang
merupakan anak Medan. Nabilah yang menggunakan baju kurung ataupun gamis yang menutupi aurat dan tak membentuk tubuh, dianggap ‘’aneh’’ oleh temannya.
Dan untuk meredam rasa saling terkejut baik oleh dirinya karena perbedaan pengunaan pakaian dan juga oleh temannya yang memiliki pandangan lain
mengenai gaya berpakaian, maka Nabilah mengaitkannya dengan nilai agama. ‘’Masa awal ya la, dari segi pemakaian kan, kalau saya tak belajar di sini,
saya tak tahu Medan seperti ini, mereka tekejut lihat cara pemakaian saya, ‘ kenapa kamu pakai baju kurung, kenapa saya kamu tak gunakan tren sekarang
seperti pakai jins ketat?’, mereka bilang tu tren orang Medan kalau tak pakai tu tak begaya, tak orang Medan. Shock juga la.’’
Upaya untuk mencari kesamaan diakui Nabilah dilakukannya. Walaupun ada teman dekat yang berbeda etnis, Nabilah tetap menemukan kenyamanan
dengan kelompok etnisnya. Kesamaan bahasa, nilai dan pola perilaku kultural merupakan alasan utama mengapa banyak mahasiswa Melayu Malaysia banyak
Universitas Sumatera Utara
yang memilih untuk tertutup dan berkelompok. Bahkan Nabilah sendiri menyatakan ikut serta dalam Persatuan mahasiswa Malaysia adalah sebuah
kewajiban. Kata kewajiban tentu cukup punya penekanan dan aksentuasi bahwa Nabilah berminat dalam kelompok tersebut.
Kasus-kasus yang terjadi yang menimbulkan ketegangan anatara Indonesia dan Malaysia, dipandang Nabilah sebagai kesalahan pihak Indonesia
khususunya masyarakat Indonesia yang terlalu berpihak, percaya pada berita tersebut dan tak berusaha mendengar pendapat Malaysia sebagai tertuduh.
‘’Ya Allah.., bukan saya nak bersalah sangka dengan orang Indonesia kan, ketertutupan mereka akrab sangat, terlalu tidak terbuka, mereka menengok
satu pendapat saja, mereka tak melihat dua pendapat, saya astaghfirullah pada diri saya sendiri, sebab saya di sini kan...tapi alhamdulillah orang sini ok la.’’
Namun disyukuri oleh Nabilah bahwa teman Indonesia tetap terbuka dan tidak melakukan tindakan represif, bahkan memberikan ruang bagi Nabilah dan
temannya dari Malaysia untuk sharing memberikan pendapat mereka sebagai warga Malaysia tentang kasus klaim atas hasil budaya Indonesia.
Di Malaysia, semua etnis Melayu beragama Islam dan dapat dibedakan mana yang beragama Islam dan mana yang bukan Islam, secara tersirat responden
sebenarnya juga bingung dan shock karena selama tinggal di Medan tidak bisa membedakan mana yang Islam dan yang bukan Islam. Sebab menurutnya
penampilan orang Medan tidak bisa mencerminkan realitas agamanya. Motivasi Nabilah untuk berkomunikasi secara efektif dengan teman yang
beda etnis cukup tinggi, Nabilah menyadari dia berada di luar Negara, dan penting untuknya memahami orang-orang di Negara baru. Walaupun upayanya
untuk berkomunikasi secara terbuka dengan mahasiswa Indonesia tidak
Universitas Sumatera Utara
memberikannya keputusan untuk akrab dengan mahasiswa Indonesia namun setidaknya motivasi tersebut bisa membuktikan bahawa Nabilah bisa bergaul
dengan yang berbeda etnis, dan motivasi tersebut sedikit banyak mendorong Nabilah untuk mencari tahu seperti apa orang-orang di Medan.
‘’ Melayu dan Batak beda kan, sebab mula saya datang ke sini, saya gak tahu la macam mana di sini, saya lihat orang Batak, orang yang tegas, macam punya
ilmu hitam, jadi saya agak takut la, kalau lihat orang Batak, saya mula menghindarkan diri ..tapi lama-lama saya mengerti la, sebab tak ada da sistem
orang seperti tu kan, sistem orang baik semua.’’
3. NAMA
:IZZATUL SYAZWANI ISMAIL JENIS KELAMIN
: P ASAL
:KEDAH SEMESTER
: IV EMPAT ALAMAT TEMPAT TINGGAL : JLN SEI MARTEBING NO 2 A
Responden yang akrab dipanggil Izza ini peneliti temui di rumahnya. Seperti halnya Dina, Izza pun tinggal bersama tiga belas temannya, dan tentunya
juga bersama keluarga penjaga rumah. Berbeda dengan Dina, keluarga yang menjaga Izza dan teman-temannya memang ditugaskan untuk membersihkan
rumah, mencuci baju, sedangkan supir yang mengantar jemput Iza dan teman- temannya adalah supir yang sama dengan Dina dan teman-temannya.
Dalam pengamatan peneliti, rumah Izza memang jauh lebih besar karena banyaknya yang tinggal dalam rumah tersebut. Pada rumah ini pun, bagian
ataupun area untuk penjaga rumah terpisah dengan area khusus untuk para mahasiswi Malaysia. Jadi ketika mereka keluar rumah, misalnya ke halaman,
mereka akan memakai jilbab.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai seorang beretnis Melayu, Izza menuturkan nilai-nilai utama yang dipengangnya yaitu saling menghormati, gotong royong, dan berbuat baik. Dan
upaya yang dilakukannya untuk menujukkan ‘’ke-Melayuan-nya’’ tentu saja dengan memakai baju kurung dan jilbab. Untuk jilbab pun, memang bisa dilihat
dan diamati bahwa jilbab yang digunakan warga Malaysia, biasanya memang berbeda dengan jilbab Indonesia bahkan cara memakainya pun sedikit berbeda.
Selain itu, menurut Izza, sebagai pendatang tentunya untuk menujukkan identitas sebagai warga Malaysia yang baik adalah dengan menghormati orang dan budaya
di sini. Baju kurung sebenarnya adalah pakaian yang kebangsaan yang pada
mulanya digunakan perempuan-perempuan Melayu Malaysia kemana pun terlebih lagi pada acara formal. Namun sekarang setelah zaman lambat laun makin
berubah dan budaya luar pun masuk ke Malaysia, baju kurung sudah mulai jarang dipakai, dan jika dipakai hanya pada majelis-majelis formal saja. Orang Melayu
identik dengan Islam, jadi salah satau adab orang Melayu khususnya perempuan akan menutup aurat dan menggunakan jilbab, namun sekarang sudah mulai
banyak perempuan Melayu yang tidak menggunakan jilbab. Begitulah Izza menggambarkan etnisnya sekarang dan mungkin masa depannya kelak, akan jauh
lebih buruk. Identitas Melayu Malaysia dipahami responden sebagai identitas agama.
‘’ Melayu tu di Malaysia sama dengan Islam sebab banyak nilai Melayu itu sama dengan Islam. Sebab lahir sebagai Melayu Malaysia, jadi apa yang ada di
Melayu seiring dengan Islam, jadi tak perlu la ditinggalkan, kita kan..pegang agama dulu baru adat.
Universitas Sumatera Utara
Penilaian Izza terhadap etnis di Medan, khususnya Batak yang dianggap kasar dan Melayu Deli yang tak punya identitas. Jika Melayu Malaysia masih
bisa dilihat dari baju kurungnya, sedangkan Melayu Deli, seolah tak terlihat dan berbaur dalam komunitas etnis lainnya, sehingga tak bisa dibedakan. Namun Izza
sendiri menganggap memang begitulah watak dan pertuturan etnis Batak. Izza menilai bahwa secara general mahasiswa Medan masih terlihat kekanak-kanakan.
‘’Secara general, kita nampak masyarakat Indonesia, dia masih punya perilaku seolah masih kekanak-kanakan..kalau kami di Malaysia, jika sudah di
university, tak ada lagi yang jerit-jerit di kelas...heboh..jadi di Malaysia, yang di Universiti lebih matang la.’’
Memahami perbedaan antara Negara sendiri dan negeri orang membuat,
Izza merasa sense of belongingnya makin kuat. Di Malaysia, selama kita Islam dan warga Negara Malaysia walaupun bukan beretnis Melayu, biasanya kita tetap
dianggap Melayu, karena penilaian Melayu biasanya dinilai dari agama, Islam atau bukan. Jadi ketika Izza kuliah dan tinggal di sini, dia baru mengetahui kalau
Melayu dan Jawa adalah etnis yang berbeda, karena di Malaysia Melayu dan Jawa dianggap sama selama ia Islam.
Intensitas dan frekuensi komunikasi Izza lebih banyak dengan teman satu etnis. Alasannya, perbedaan bahasa membuat dirinya merasa lebih nyaman
berkomunikasi dengan sesama Melayu, jadi dengan pasti dia menuturkan keakrabannya dengan kelompok etnis Melayu. Jika berkomunikasi dengan yang
berbeda etnis, Izza mengakui pembicaraan hanya seputar masalah kuliah seperti tugas dan materi kuliah.
Universitas Sumatera Utara
Yang menjadi masalah saat berkomunikasi dengan teman beda etnis bukan hanya bahasa, tapi juga nilai, Izza mengakui saat berkomunikasi dengan yang
berbeda etnis dirinya masih menyadari ada nilai-nilai yang berbeda. ‘’Di Malaysia, Melayu Islam tu, antara laki dan perempuan tak boleh
salaman.. nah di sini kan tak begitu..jadi sempat takut juga la, mereka.. anak-anak Indonesia ada juga yang complain, kenapa anak Malaysia tu tak mau
salaman…begitu la mereka cakap kan.. lalu saya jelaskan la, memang kami tak boleh salaman.. ya jadi mereka sikit ngerti la, padahal tu kan nilai Islam..macam
tu la, terasa bedanya, beda nilai kan..’’
Mengingat komunikasi Izza yang cenderung terbatas, maka tak heran ada
klasifikasi in group dan out group. Tapi hal tersebut tak menghambatnya untuk berkomunikasi, tapi hanya mengklasifikasikan siapa yang bagian dari
kelompoknya saja. Dengan gambaran, komunikasi yang terbatas dan ada klasifikasi in group
dan out group membuat Izza semakin kuat dalam mempertahankan adat Melayu yang dipegangnya, bahkan keinginan untuk menampilkan citra Melayu yang jauh
lebih baik pun selalu makin mendorongnya untuk mempertahankan identitas etnik.
‘’Mempertahankan adat Melayu la, seperti tak boleh salaman,..terus macam, kalau di Malaysia kan.. student tu ada tak ada guru tak boleh bising.. tapi
kalo di sini bising sangat..jadi nilai-nilai kita tu, kita tetap jaga…kita tunjukkan seperti apa Melayu tu.’’
Walaupun Izza merasa nyaman dengan kelompoknya dan sedikit merasa berbeda dengan yang lain, Izza tetap menghargai budaya yang ada di Medan.
‘’ Kita tetap la menghargai budaya orang kan ,tapi tetap pegang budaya kita, ya berusaha menerima aja la, sejauh nilai-nilai mereka tak buruk kan..tapi
tentu nilai kita, utama Islam yang kita pegang..’’
Universitas Sumatera Utara
Culture Shock sempat dirasakan Izza, pada awalnya hanya masalah bahasa karena cara mengeja abjad pun berbeda sehingga Izza harus belajar lagi
untuk memahami bahasa Indonesia. Kemudian kemacetan dan suara klakson yang membuat keributan di jalan raya juga membuat Izza shock. Reaksi dari Culture
Shock sampai membuatnya homesick. Namun Izza membiasakan diri dengan keadaan di Medan.
Diakui Izza, dirinya selama tinggal di Medan memang selalu berupaya mencari kesamaan dan lebih merasa nyaman dalam kelompoknya. Sebisa
mungkin, dirinya akan tetap berinteraksi dengan kelompoknya. Dan bahkan dirinya juga cukup berminat untuk bergabung dalam Persatuan Mahsiswa
Malaysia di Fakultas Kedokteran. Pendapat Izza mengenai kasus-kasus ketegangan antara Indonesia dan
Malaysia tidak terlalu menyudutkan pihak mana pun atau tidak emosional. ‘’Misalnya case Batik, Batik Malaysia dan Indonesia beda la, tak sama
corak batik nya. Tapi kalau soal rendang itu ..mungkin la datang dari Indonesia tapi kita kan satu nusantara.’’
Bahkan kasus-kasus tersebut tidak memberikan dampak atau masalah dalam hubungan Izza dengan teman-teman di kampusnya khususnya mahasiswa
Medan. Motivasi Izza untuk berkomunikasi dengan temannya yang berbeda etnis,
sebenarnya ada, namun tidak menjadikannya terdorong untuk membuat komunikasi yang intens dan akrab. Motivasi Izza berasal dari eksternal, dari
pandangannya saat melihat teman seetnisnya yang bisa akrab dengan mahasiswa Medan Indonesia. Motivasi itu belum datang dari kesadarannya sendiri untuk
memulai sebuah komunikasi yang efektif dengan yang lain other cultures. Dan
Universitas Sumatera Utara
kesadaran Izza tentang apa yang dibutuhkan untuk berkomunikasi secara efektif dengan yang lain other cultures, masih sebatas pemahamannya mengenai
penggunaan bahasa Indonesia saat berkomunikasi agar dipahami oleh dosen dan mahasiswa Indonesia, belum sampai pada pemahaman yang lebih dalam lagi. Dan
Izza mengakui bahwa memang susah berkomunikasi dengan yang beda etnis, tapi dia berusaha untuk belajar berkomunikasi dengan berbeda etnis.
Dari ketiga responden di atas, masing-masing memberikan gambaran yang berbeda. Kita bisa menyimpulan seara personal terlebih dahulu,
Kesimpulan Kasus
1. Dina, secara umum, memiliki identitas etnis yang cukup tinggi, Dina
meyakini bahwa sebagai Melayu penting untuknya untuknya menjaga nilai Islam yang juga dipercayanya sebagai bagian dari nilai Melayu. Mengenai identitas etnis
sendiri Dina secara yakin bisa mengidentifikasi in-groupnya, tentu hal tersebut membuktikan Dina mampu mengidentifikasi etnisnya dan mengidentifikasi
perbedaan yang ada antara kelompok etnisnya dengan kelompok lain, tapi Dina belum mampu untuk mengidentifikasi etnis lain, memastikan yang temannya yang
beretnis Batak, Melayu dan sebagainya. Komitmen dan sense of belonging Dina cukup tinggi, tapi ia belum memiliki pemahaman mengerti rasa kecintaan
tersebut. Penjelasan Dina, cukup meyakinkan bahwa ia selalu memberikan evaluasi positif pada etnisnya. Masa depan etnisnya, ditanggapinya dengan
optimis. Dan intekasi Dina cukup besar pada kelompoknya dan ia cukup berminat
Universitas Sumatera Utara
di dalam kelompok baikkelompok kecilnya maupun kelompok besarnya yaitu Persatuan Mahasiswa Malaysia.
Mengenai interaksi, Dina cukup terbuka, walaupun tingkat interaksi dengan kelompoknya lebih besar dibanding dengan teman non Melayu. Dina
berusaha untuk tidak kaku dalam menilai identitas etnisnya, identitas etnis yang ada dibuatnya sebisa mungkin untuk mendorong komunikasinya. Dina mengaku
ia lebih tertarik berinteraksi dengan teamn Indonesia disbanding dengan teman senegara beda etnis misalnya etnis India. Dengan identitas etnis yang cukup
tinggi, maka Dina sering menyandarkan komunikasinya berdasarkan identitas etnis. Dina secara pasti mengetahui ‘’siapa dia’’ dalam hal etnisitas, sehingga
pada waktu yang sama ia juga bisa memastikan orang-orang bukan dalam kelompok etnisnya.
Kompetensi komunikasi antarbudaya yang dimiliki Dina ialah Unconcious competence karena komunikasinya berjalan cukup lancar tapi tidak
dalam proses yang disadarinya.hal tersebut bisa disimpulkan dari komponen- komponen kompetensi yang dimiliki Dina. Dina sudah memiliki motivasi untuk
berkomunikasi dengan etnis yang berbeda, hal itu bisa dilihat dari penjelasannya yang menggambarkan perasaan dan dorongannya untuk mempertahakan
komunikasi yang harmonis dengan temannya berbeda etnis. Pada faktor motivasi, Dina sudah sadar pada ranah identitasnya, artinya dia tahu siapa yang Melayu dan
yang bukan, tahu nilai Melayu tapi dia tidak menafikan kebutuhan identitas yaitu untuk diadu atau dikomunikasikan untuk menghasilkan peneguhan identitas.
Bagiamanapun, identitas kita sebagai etnis apa pun tentu perlu dikomunikasikan
Universitas Sumatera Utara
dengan orang lain sehingga kita bukan hanya tahu ‘siapa saya dan seperti apa saya’ dari pandangan sendiri tapi juga tahu ‘siapa saya’ dari pandangan orang lain.
Dan Dina pun sadar akan adanya kecenderungan etnosentrisme, seperti ungkapannya mengenai Batik yang juga hak milik Malaysia, artinya Dina cukup
menyadari bahwa etnosentrisme memang ada dan digunakannya untuk menjelaskan ke-Malaysia-annya. Lalu mengenai faktor pengetahuan, Dina
mempunyai nilai kultural yang secara personal dipercaya dan diamalkannya, artinya Dina cukup mengetahui seperti apa nilai-nilai Melayu. Lalu Dina pun
mengetahui batas In-group dan out-group, dan melakukan pengembangan relasi, artinya menyadari perlunya pengembangan relasi antaretnis sebagai tindakan
supaya memiliki kompetensi secara antarbudaya. Dina pun cukup sadar untuk melakukan adaptasi antarbudaya, khusunya adaptasi bahasa. Dan faktor
kecakapan, mungkin Dina belum terlalu cakap dalam komunikasi antarbudaya, karena Dina belum tahu kinerja perilaku yang sebenarnya yang dirasakan efektif
dan pantas dalam konteks komunikasi, tapi dari komponen komunikasi yang mungkin cukup menonjol dari Dina adalah kecakapannya dalam menyesuaikan
diri. 2.
Nabilah juga memiliki nilai identitas etnis ynag cukup tinggi. Namun Nabilah lebih sering membawa identitas budaya dalam hal ini yaitu agama Islam.
Bagi orang Melayu, Islam dipahami sebagai nilai budaya sebab banyak nilai Islam yang diadopsi Melayu. Nabilah mempunyai identitas etnis dan identitas budaya
yang cukup tinggi sehingga memungkinkannya untuk menyesuiakan penggunaan kedua identitas tersebut. Identitas etnis Nabilah berisi evaluasi postif pada
Universitas Sumatera Utara
kelompok dan etnis, berminat dan turut serta dalam aktivitas kelompok, sense of belonging serta harapan akan masa depan etnis Melayu. Walaupun Nabilah
mengakui ia tidak terlalu berminat dalam mengidentifikasi in-groupnya, tapi ia tetap mampu mengidentifikasi etnisnya dan yang bukan temasuk dalam etnisnya.
Mengenai interaksi, Nabilah cukup berbeda dengan Dina, Nabilah memiliki keterbukaan komunikasi antarbudaya yang lebih besar. Selain dengan
teman Indonesia, Nabilah juga cukup akrab dengan teman senegaranya yang berbeda etnis India dan Cina bahkan lebih akrab dibanding teman Indonesianya.
Identitas budaya atau agama akan digunakan Nabilah saat berkomunikasi dengan teman beda etnisnya yang juga berbeda agama, sedangkan identitas etnis, lebih
digunakanannya pada teman seetnis yang seagama, sebab menurut Nabilah hal tersebut akan membantunya untuk menjaga kedua identitas yang dimiliknya.
Memang lebih memungkinkan bagi Nabilah lebih menonjolkan identitas agamanya ketimbang identitas etnisnya saat berkomunikasi dengan etnis India dan
Cina. Hal itu disebabkan, realitas agama yang dianutnya berbeda dengan temannya yang berbeda etnis, jadi lebih baik bagi dirinya menjaga nilai agama
ketimbang nilai Melayu. Nabilah memiliki kelebihan dalam kecakapan komunikasi dibanding
Dina, Nabilah mampu berkomuniksi dengan etnis tersebut dan juga etnis Batak atau pun etnis lain di Medan, namun seperti diakui Nabilah dia tidak terlalu rapat
dengan mahsiswa Indonesia tapi setidaknya jangkauan komunikasi Nabilah sedikit lebih lebar dibanding Dina. Sama halnya dengan Dina, Nabilah memiliki
mindful atau kesadaran terhadap ranah identitas, hal tersebut menyangkut
Universitas Sumatera Utara
perasaan Nabilah mengenai apa yang masuk dalam ranah identitas yang dibawanya, Nabilah memiliki dorongan untuk menyadari apa yang masuk dalam
ranah identitasnya. Dan seperti penjelasan yang secara tersirat Nabilah jelaskan bahwa nilai Agama masuk dalam ranah identitas yang dibawanya. Jadi melalui
mindful terhadap ranah identitas, Nabilah mampu memutuskan untuk mendorong dirinya dalam memenuhi kebutuhan identitas yaitu untuk dikonstruksikan, dialami
dan dikomunikasikan dalam suatu situasi interaksi yang partikular. Nabilah pun memiliki kecenderungan etnosentris, hal teresebut tentu bisa dilihat dari
pandangannya mengenai kasus antara Indonesia dan Malaysia. Jadi faktor motivasi tidak hanya dilihat sebagai dorongan tapi juga menyangkut afektif dan
kognitif. Perihal faktor pengetahuan, Nabilah tahu tentang dirinya Melayu dan
tapi tidak terlalu merasa perlu untuk mengetahui tentang temannya yang berbeda etnis. Motivasinya untuk berkomunikasi tidak mendorongnya mencari tahu
seperti apa etnis lain. Yang Nabilah tahu, temannya termasuk etnis apa, tapi tidak terlalu mempersoalkan bagaiamana nilai etnis temannya tersebut. Tapi yang jelas,
dari segi faktor pengetahuan, Nabilah mengakui dia menerima nilai-nilai di Medan karena hampir sama dengan nilai di Malaysia. Jadi Nabilah mempunyai
adaptasi antarbudaya yang cukup baik, dan mampu mengembangkan relasi antaretnisnya. Nabilah lebih mampu mengembangkan relasi antaretnisnya bukan
hanya pada yang teman beda etnis dari Negara yang sama tapi juga dengan teman beda etnis yang berbeda Negara Indonesia. Walaupun Nabilah mengaburkan
batasan in-group dan out-group nya tapi hal tersebut memberikan penilaian positif
Universitas Sumatera Utara
juga negatif. Positifnya, Nabilah tidak terkekang dalam lingkaran interaksi sesama etnis Melayu dan lebih bijaksana dalam manajemen konflik, misalnya melakukan
sharing dengan teman Indonesianya dalam membahas masalah Indonesia- Malyasia. Dan negatifnya, Nabilah kurang memiliki perasaan kepemilikan pada
kelompok teman Melayunya. Sedangkan perihal kecakapan Nabilah, Nabilah memiliki kecakapan menyesuaikan diri dan memiliki kecakapan konflik
konstruktif, empati dalam mendengarkan, hal itu dilihat dari usahanya untuk mencari tahu atau mengurangi kecemasan karena kasus Indonesia-Malaysia. Jadi
Nabilah bisa dinilai sebagai orang dengan tataran kompetensi komunikasi, conscious competence, yaitu pada level di mana ia sudah bisa terus memperbaiki
komunikasinya menjadi lebih baik. 3.
Izza, juga sangat menyadari pengaruh identitas etnis dalam dirinya. Kekuatan identitas etnis Izza juga tinggi. Izza mampu mengidentifikasi siapa yang
termasuk dalam kelompoknya, memiliki komitmen serta sense of belonging yang cukup besar akan etnisnya, Izza sangat berminat dalam kelompoknya dan harapan
akan masa depan etnis Melayu. Izza, dengan pilihannya untuk menutup diri dari komunikasi antar budaya,
menjadikan identitas etnisnya kaku. Karena Izza tidak pernah berkomunikasi secara terbuka dan akrab dengan etnis lain, maka identitas etnisnya hanya
digunakannya untuk menilai perbedaan dan pada akhirnya perbedaan pasti akan menjadi besar. Izza secara sadar ataupun tidak, sebenarnya tidak terlalu
menujukkan identitas etnisnya, karena alur interaksinya selalu berputar dalam kelompoknya temannya satu etnis. Jadi identitas etnis Izza hanya untuk
Universitas Sumatera Utara
membuat pemahaman mengenai siapa dia dan orang lain, siapa Melayu dan siapa yang bukan. Alhasil interaksi Izza diakuinya sangat terbatas dan porsi
komunikasinya sangat besar dengan kelompoknya teman seetnis, karena Izza merasa kebutuhan komunikasinya cukup terpenuhi dalam kelompok.
Nilai kompetensi komunikasi Izza menjadi sangat rendah yaitu, conscious incompetence. Izza sebenarnya sadar bahwa komunikasi tidak berjalan
lancar dan merasa bahwa ada perbedaan tapi tidak tahu dan tidak mau mencari tahu apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki hal tersebut. Karena Izza
merasa sudah menemukan kenyamanan dengan temannya yang Melayu, Izza kurang menyadari pentingnya komunikasi antarbudaya. Masalah perbedaan
bahasa dan nilai dijadikan Izza sebagai alasan untuk memutuskan dorongan komunikasinya yang sebenarnya sudah mulai timbul. Izza belum menyadari
pentingnya intensitas komunikasi yang menyangkut bagaimana perlu dan keharusan identitas untuk dikomunikasikan kepada orang lain. Jadi identitas etnis
yang dimilikinya khususnya mengenai in-group dan out-group, pengetahuan tentang nilai etnik dan perasaan kepemilikan terhadap kelompok, makin
mendorong Izza untuk menutup diri. Jika pun Izza berkomunikasi dengan yang lain, komunikasi tersebut hanya seputar hal-hal mendasar yang tidak mengarah
pada perubahan pemahaman untuk mau memulai berkomunikasi secara efektif . Kesimpulan secara keseluruhan:
Jika bisa disusun berdasarkan kekuatan identitas etnis maka yang oaling kuta dalam mendefinisikan kesamaannya dengan kelompok etnisnya adalah Izza,
kenudia Dina dan terkahir Nabilah, sedangkan dalam hal interaksi dan kompetensi
Universitas Sumatera Utara
antarbudaya tentu saja Nabilah yang paling baik diantara ketiganya dan Izza yang buruk mengenai hal tersebut.
Kesamaan ketiga responden di atas adalah dalam memaknai nilai Islam sebagai nilai utama sebagai orang Melayu. Keidentikkan Melayu dengan Islam,
menjadikan adanya bias, sehingga mereka sulit secara gamblang menjelaskan mana yang murni nilai Melayu. Mengenai perilaku yang akan dilakukan untuk
menujukkan Identitas Melayu, ketiganya sepakat hal yang mudah untuk dilakukan adalah memakai baju kurung. Ketiganya juga sepakat untuk selalu
mempertahankan nilai Melayu yang mereka anut khususnya bagi Nabilah dan Dina yang sering berinteraksi dengan etnis lain.
Jika dilakukan cek, ternyata Dina dan Izza adalah mahasiswa dari Jalur Internasional dan Nabilah, dari jalur Mandiri, jadi tidak heran, Nabilah sedikit
lebih baik kemampuan komunikasinya karena biasanya mahasiswa Mandiri lebih bebas dan mandiri dalam berkomunikasi, sedangkan mahasiswa Internasional
akan selalu ‘bertemu’ dan ‘seakan terpasung’ dalam komunikasi sesama etnis.
Kategori II: KELOMPOK PEREMPUAN DENGAN LAMA TINGGAL LEBIH DARI SATU TAHUN DAN TINGGAL DI ASRAMA Jalur Internasional
1. NAMA
: NUR AFIFAH JENIS KELAMIN
: P ASAL
: PERAK SEMESTER
:VI ENAM ALAMAT TEMPAT TINGGAL : JLN. MERCHANT
Responden yang akrab dipanggil Afifah ini, ditemui saat selesai bermain futsal dalam acara temu ramah Mahasiswa-mahasiswi Malaysia.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Afifah nilai yang dimilikinya sebagai seorang Melayu Malaysia, hanya berkisar pada saling menghormati, sopan santun, selebihnya Afifah merasa
dirinya lebih banyak membawa nilai Islam. Perilaku konkret yang akan dilakukan Afifah pun seperti pada umumnya perempuan Malaysia lakukan yaitu menutup
aurat, memakai baju kurung dan jilbab. Namun ada hal menarik yang ditambahkan Afifah yaitu memakai baju kurung Kedah dan memakai kebaya.
Tentunya pernyatan Afifah mengenai pemakaian Kebaya cukup membuat peneliti heran. Selain Batik, ternyata Malaysia juga memiliki kebaya dengan gaya dan
khasnya sendiri. Bayangan Afifah mengenai masa depan etnis Melayu Malaysia akan kekal
sesuai pepatah ‘Tak akan Hilang Melayu di Dunia’, dan makna Melayu bagi Afifah, bahwa Melayu dan Islam tidak bisa dipisahkan. Menurutnya, Melayu
sudah pasti Islam tapi kalau Islam, belum tentu Melayu. Pandangannya tentang Melayu lebih pada pengaruh dan nilai Islam di dalamnya. Jadi Afifah lebih merasa
bangga karena Melayu identik dengan nilai Agama Islam. Etnis Melayu lebih baik dari etnis lain karena perpaduan atau dominasi Islam.
Penjelasan Afifah mungkin cukup mencengangkan, pergaulannya benar- benar terbatas pada etnis Melayu, alasan yang dikemukakannya, karena dia
tinggal di asrama dan hal tersebut menyebabkannya tidak bergaul dengan etnis lain.
‘’Sebab saya tinggal di asrama kan, jadi saya gak begaul dengan orang lain, hanya orang Melayu Malaysia aja. Jadi gak tahu la bagaimana etnis lain.’’
Tapi keadaan dan situasi Afifah yang selalu berinteraksi dengan etnis Melayu, ternyata tidak menyulutkan sense of belonging Afifah pada etnis Melayu.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun selama di Medan, dirinya selalu berinteraksi dengan etnis Melayu dan seolah berada di Negara sendiri karena dikelilingi teman yang beretnis Melayu,
nyatanya rasa rindu pada kampung halaman tak pernah surut. Afifah mengakui bahwa dirinya menemukan kenyamanan dengan pola
komunikasinya yang tertutup dan terbatas pada teman yang seetnis. Di asrama dan di kelas, Afifah mengakui selalu bersama dengan teman Melayu. Jadi, untuk
pembicaraan seputar hal pribadi atau komunikasi yang intensif selalu dilakukannya dengan sesama etnis. Dengan yang berbeda etnis, pembicaraan ynag
terjadi hanya seputar kuliah saja. ‘’Sebab saya susah rapat dengan orang ..jadi, masalah kuliah aja la…tak
ada masalah pribadi.’ Kesadaraan akan perbedaan tetap dirasakannya, khususnya masalah
bahasa. Mungkin hal itu pula yang menjadi alasan bagi Afifah untuk memilih menghindari komunikasi dengan etnis lain Indonesia. Namun, sebenarnya cukup
aneh mengingat mahasiswa dari Malaysia bukan hanya Melayu, tapi nyatanya, Afifah tetap merasa tidak menemukan kecocokan dengan etnis India maupun Cina
Malaysia. Padahal jika Afifah mempunyai dorongan untuk terbuka, barangkali komunikasinya tidak sedemikan kakunya.
Secara sederhana Afifah mengetahui mana yang Melayu dan mana yang bukan, artinya mana yang bisa dijadikan teman dan mana yang tidak. Identifikasi
tersebut tentu bermuara pada in-group dan out-group. Identitas etnis Melayu akan tetap dipertahankan Afifah misalnya nilai
menutup aurat beraju kurung tapi saat Afifah berkomunikasi dengan mahasiswa Indonesia, biasanya Afifah berusaha menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa
Universitas Sumatera Utara
Melayu hanya digunakan dengan sesama Melayu atau dengan teman senegara India dan Cina. Pilihannya untuk menggunakan bahasa Indonesia jika dijabarkan
maksudnya adalah menggunakan bahasa yang sama-sama dimengerti antara Afifah sebagai orang Malaysia dan temannya sebagai orang Indonesia. Sebab
biasanya mahasiswa Melayu Malysia yang tertutup dan jarang berkomunikasi dengan mahasiswa Indonesia masih terlihat fasih berbahasa Melayu, dan bahasa
Indonesianya masih belum cukup jelas. Biasanya orang-orang dengan tipe seperti Afifah menurut pengamatan peneliti akan mencampur bahasa Melayu dan bahasa
Indonesia. ‘’Kalau dari segi percapakan, sebab saya di Negara orang, jadi saya perlu
memakai bahasa mereka kan, tapi kalau Melayu dengan Melayu atau Malaysia dengan Malaysia, mesti pake bahasa melayu la, tapi kalau pakaian, ya saya
tertapkan la…saya stick dengan Islam..tak ubah-ubah.’’
Kalimat ‘saya stick dengan Islam’ menekankan bahwa Afifah menyamakan nilai Islam sebagai nilai Melayu. Nilai yang dipertahankan adalah
nilai Melayu yang sejalan dengan nilai Islam. Komunikasi Afifah yang kaku dan ekslusif membuatnya tidak berusaha
untuk mengurangi kecemasan karena perbedaan budaya. Melayu yang logat dan tutur katanya lembut dan pelan tentu berbeda dengan tutur orang Medan yang
kasar dan keras. Afifah memberi stereotip pada etnis Batak karena kasar, tapi Afifah tidak berusaha untuk mengurangi penilaian tersebut. Upaya mengurangi
stereotip hanya sekadar membiasakan diri dengan tutur kasar orang Batak. Dengan lama tinggal hampir tiga tahun tidak lantas menjadikan Afifah
punya pengalaman komunikasi antarbuadaya yang cukup, bahkan termasuk minim. Afifah tidak tahu siapa yang beretnis Btak atau Minang, semua teman
Universitas Sumatera Utara
kuliahnya yang bukan dari Malaysia khususnya yang terlihat beretnis pribumi misalnya bukan Cina akan nilainya sebagai orang beretnis Batak.
Kesalahpahaman karena perbedaan budaya tidak pernah Afifah alami, bahkan dia menyatakan tidak begitu merasakan Culture Shock. Mencari
kesamaan pasti dilakukannya, dengan komunikasinya yang ekslusif memang menunjukkan dia selalu mencari kesamaan similarities dan merasakan aman
dalam kelompoknya. Pendapat Afifah mengenai ketegangan Indonesia-Malaysia, menurutnya
kesalahan kedua belah pihak yangtidak saling berkomunikasi. ’’Itukan hal yang sepele, masing-masing mempertahankan diri sendiri tak
ada berbincang, kalau dibincangkan tak ada itu. Hanya macam diheboh-hebohkan ja. Padahal gak ada apa-apa.’’
Dampak dari ketegangan tersebut tak dirasakan Afifah, menurutnya tidak ada perlakuan kasar diakibatkan kasus-kasus Indonesia-Malaysia yang begitu
banyaknya. Ketika ditanya perihal motivasi komunikasi, Afifah hanya menjawab
singkat, jawaban singkatnya semakin menggambarkan bahwa niat atau dorongan kecil memang tidak ada dalam dirinya untuk memulai berkomunikasi dengan etnis
lain. Jika motivasi pun tidak ada, maka dengan lebih menyakinkan lagi Afifah menjelaskan dia tidak merasa perlu mencari apa yang dibutuhkan untuk
berkomunikasi secara efektif. Jadi, tentu saja Afifah tidak mampu berkomunikasi dengan teman yang berbeda etnis.
Universitas Sumatera Utara
2. NAMA
: FARAH AQILA JENIS KELAMIN
: P ASAL
: SELANGOR SEMESTER
: VI ENAM ALAMAT TEMPAT TINGGAL : JALAN INTAN
Aqila juga peneliti temui saat pertemuan anak Malaysia di Village Futsal.
Gadis berkontak lens ini, menyambut ramah dan berkenan diawawancarai. Pembawaan Aqila lebih ceria dan santai, dia lebih cepat terbuka dan menerima
orang baru dibanding Afifah. Aqila mampu menjelaskan lebih banyak penjelasan dibanding Afifah.
Aqila menjelaskanbahwa nilai-nilai Melayu yang dianutnya seperti menghormati orang tua, sopan santun dan tata tertib bertutur.
‘’ Melayu tu dia lebih kepada adab. Menghormati orang tua..dia macam… kebanyakan dia, mengutamakan yang lebih tua daripada yang muda, seolah-olah
yang lebih tua dihornati, yang muda disayangi terus.Tata tertib bertutur, contohnya kalau orang sedang becakap, kita mendengar, kalau kita menjawab,
kita jawab dengan perkataan yang menyenangkan hati orang yang bertanya.’’
Dan Aqila menuturkan bahwa memang Melayu identik dengan Islam, jadi
orang Melayu biasanya membawa nilai-nilai Islam. Jadi wujud konkret yang dilakukan Aqila untuk menunjukkan identitas Melayu dengan menujukkan citra
baik orang Melayu, sebagai kaum yang bersopan santun dan menjalankan nilai- nilai Islam. Nilai Islam yang sejalan dengan upaya Aqila untuk menujukkan
identitasnya adalah menutup aurat dan tentu saja menggunakan baju kurung. ‘’ Sememangnya orang Melayu tu kan dia lebih dekat dikatakan dengan
Islam, kalau saya mengartikan bahwa saya coba menunjukkan orang Melayu tu bersopan santun, menggunakan baju kurung, menutup aurat…kalau orang Melayu
Universitas Sumatera Utara
lama, dia akan macam menggubah baju kurung ke arah sesuatu yang menarik tapi saya lebih kuat dengan Melayu Islam, jadi bagi saya bebaju kurung bila sopan.’’
Pandangan Aqila mengenai masa depan etnis Melayu cukup representatif. Jawabannya cukup untuk menggambarkan bagaimana pemahamannya mengenai
Melayu. Pandangan Aqila jauh berbeda dengan pandangan optimistik yang berharap Melayu akan tetap ada dan pandangan pesimistik yang merasa Melayu
akan tinggal nama. Aqila memandang Melayu sebagai etnis yang suka mencampuradukkan nilai yang dirasa baik dan menarik, dan di masa mendatang
Melayu akan kehilangan identitas Malaysianya. Ia menjelaskan bahwa Melayu bukan hanya ada di Malaysia, bahwa Melayu bukan hanya ada satu tapi akan ada
banyak jenis Melayu. ‘’Kalau orang melayu di Malaysia, dia terbedung dengan ibu bapak, tapi
kalau dia semakin belajar di luar Negara, dilokasikan di tempat lain untuk belajar, maka Melayu akan bercampur, dia akan jadi Melayu Inggris, Melayu Cina,
Melayu Brunei, Melayu Indonesia sebab orang kata, Melayu ni suka mencampuradukkan sesuatu yang dia rasa menarik dari orang lain.’’
Dengan singkat Aqila mengatakan bahwa artinya identitas Melayu
Malaysia adalah bersopan santun. Hampir tiga tahun tinggal di Medan, membantu Aqila membuat penilaian
bahwa Melayu Deli berbeda dengan Melayu Malaysia, dari segi petuturan, bahkan identitas pakaian, sedangkan Batak, menurut Aqila walaupun kasar tapi
Aqila merasa senang berteman dengan etnis Batak karena etnis Batak biasanya tidak suka menyimpan dendam seperti etnis Jawa yang dinilainya sopan tapi
ternyata menyimpan dendam. ‘’Pendapat saya, saya kan berjalan-jalan di Indonesia kan. Kalau Batak itu
Melayu ke? Gak kan, sebab Melayu di sini pun berbeda juga, gaya dia…lain la…bisa dibedakan…dari cara pemakaian, petuturan. Kalau orang Batak agak
Universitas Sumatera Utara
tegas-tegas, sukanya berkawan dengan orang Batak dia tak ambil hati, kalau dengan orang Jawa, kita cakap sopan santun, tapi disimpan dalam hati.’’
Aqila merasa selama tinggal di Medan, karena sering mendengar orang
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, sehingga terkadang ketika dia berada di asrama dia sudah merasa seperti di rumah Malaysia. Jadi dalam masa tinggal di
Medan, dia menemukan rasa kecintaannya pada kampungnya makin meningkat. Walaupun tinggal di asrama, tidak lantas membuat Aqila menutup diri,
walaupun kebanyakan teman akrabnya adalah etnis Melayu, namun Aqila tetap berinteraksi dengan yang berbeda etnis. Hal-hal yang sering diceritakannya
dengan temannya yang berbeda etnis, biasanya selain masalah kuliah seperti tugas juga berkisar pertukaran informasi kebudayaan. Aqila senang bercerita tentang
budaya Malaysia dengan teman-teman Indonesianya, dan dia pun merasa mendapat tambahan informasi mengenai kebudayaan Indonesia.
Aqila menuturkan perbedaan yang paling terasa baginya adalah bahasa dan adab.
‘’Kebanyakan kami sebut benda lain, dia sebut benda lain dan kalau adab pun begitu…misalnya kami pangggil kereta tu motor, tapi di sini, motor tu
kereta.’’ Aqila menjelaskan bahwa tak ada yang menghambat komunikasinya,
identifikasi in-group dan out-group tak begitu diperhatikannya. Yang paling penting baginya, saat berkomunikasi dengan etnis lain, dia kan tetap membawa
nilaiadab Melayu, dalam komunikasi, Aqila selalu menjaga tutur kata agar tak menyinggung perasaan lawan bicaranya, sebab baginya orang Melayu benar-benar
harus bersopan santun. Aqila biasanya akan merasa sejalan menerima dan bisa membaur dengan etnis lain, asal seagama dengannya, sebab Aqila merasa bila
Universitas Sumatera Utara
dengan sesama Muslim paling tidak ada kesamaan nilai agama yang bisa menjadi alasannya baginya untuk memulai komunikasi.
Kesalapahaman karena perbedaan nilai juga pernah dialami Aqila, karena perbedaan nilai tutur, dia terkadang salah paham, karena tidak mengetahui
maksud baik temannya anak Medan, karena tutur yang dia dengar seolah kasar dan ingin membuat pertengkaran.
‘’Salah paham, lebih kepada bahasa kan, kadang-kadang kita tak sangka dia nak cakap sesuatu yang baik, kita dengar seperti kasar, kita rasa nak gaduh.
kalau kita pikirkan, kita di negara orang kan, jadi kita harus hormat orang kan.’’ Tapi biasanya Aqila akan berusaha untuk menanyakan kembali apa
kesalahan dia, baik menyangkut kesalahan pengertian atau perbedaan maksud akan suatu pesan, dan juga perbedaan adab.
Hal yang membuatnya terkejut pada masa awal tinggal di Medan, adalah kemacetan. Tapi yang paling membuatnya terkejut adalah perilaku ataupun tabiat
orang Medan. ‘’ Pada mulanya, kalau macet nya tu pasti..tapi yang paling buat saya
terkejut, orang disini marahnya tu... marah sangat, tapi esoknya dia tegor saya baik-baik, macam seolah-olah tadi tu dia tak marah..macam dia meluapkan
sesuatu yang kita salah, tapi tak disimpan dalam hati..’’
Upaya untuk berkumpul bersama dengan sesma etnis dirasa Aqila masih cukup tinggi, sebab selalu ada rasa nyaman yang diperolehnya saat berinteraksi
dengan orang-orang yang sama sama etnis. Aqila pun cukup berminat dalam perkumpulan atau persatuan mahasiswa Malaysia yaitu sebuah organisasi kecil
yang merupakan wadah bagi para mahasiswa untuk berkumpul dan melakukan aktivitas bersama.
Universitas Sumatera Utara
Kasus antara Indonesia dan Malaysia ditanggapi Aqila sebagai usaha untuk waspada, dia menganggap jika tak ada tindakan negatif yang dilakukan
kepada dirinya dan teman-temannya maka dia pun akan diam, tapi jika ada tindakan semacam demo atau boikot, maka Aqila pun merasa dia akan mampu
untuk melawan. ‘’ Selagi orang yang di sisi saya tak disakiti saya diam, tapi kalau macam
ada pengumpulan orang yang nak marah-marah tu, saya akan tegakkan keadilan la.’’
Aqila merasa dirinya memiliki motivasi untuk mau berkomunikasi dengan teman yang berbeda etnis khususnya yang Indonesia, motivasi itu mendorongnya
untuk sharing tapi pada akhirnya Aqila merasa bahwa dirinya tidak begitu mampu berkomunikasi secara efektif dengan yang berbeda etnis.
‘’Sebab kami ramai…perasaan tuk dekat dengan orang lain tu susah…kalau yang tinggal di asrama lebih dekat dengan yang Malaysia, tapi yang
di kos, mereka lebih dekat dengan anak Indonesia.’’
3. NAMA
: KHAIRUNNISA JENIS KELAMIN
: P ASAL
: PERAK SEMESTER
:VI ENAM ALAMAT TEMPAT TINGGAL : JLN INTAN
Perempuan yang akrab dipanggil Nisa ini, terlihat ramah dan bersedia panjang lebar menjawab pertanyaan peneliti.
Nisa merasa sebagai orang yang datang ke Negara orang, ia harus menjaga tingkah lakunya, menjaga sopan santun. Sebagai seorang Melayu Malaysia, sopan
santun amatlah penting. Sebagai Mahasiswa yang dibiayai pemerintah Malaysia, Nisa merasa, ia adalah duta kecil, ia harus menjaga nama baik negaranya, sebab ia
merasa itu adalah tanggung jawabnya. Selain itu, Nisa menganggap, bahwa etnis
Universitas Sumatera Utara
Melayu adalah etnis yang mampu bertoleransi serta mampu bergaul dengan masyarakat.
Wujud konkret yang dilakukannya untuk menunjukkan identitas sebagai Melayu Malaysia hanya menggunakan baju kurung. Bahasa Melayu sendiri
digunakannya saat bersama teman seetnis. Tapi dari pengamatan peneliti, logat Melayu Nisa masih cukup terasa dan kadang ada penggunaan istilah Melayu.
‘’Kalau dari segi pakaian kami memang gunakan baju kurung kan, kalau pergi kuliah..kalau logat kami guna di antara kami saja, sebab kalau seimbang
dengan kawan-kawan yang di sini, susah mau paham, lagi pun kita mesti menghormati orang punya bahasa kan, jadi kita macam cuba sama-sama
berkomunikasi dengan bahasa yang orang boleh paham la.’’
Menanggapi masa depan etnis Melayu, Nisa sendiri merasa sedikit
pesimis. Melihat pengaruh modernisasi, menurutnya makin sedikit orang yang mengamalkan adat dan nilai Melayu dan pengamalan nilai dan adat Melayu lebih
banyak dilakukan remaja di kawasan luar Bandar kota yaitu daerah di luar Kota Perak.
‘’ Sekarang kan macam lebih ke arah ke moderanan kan, budaya tu makin kurang la. Kalau saya sendiri tengok, banding antara anak-anak yang di Bandar
dan kawasan yang di luar Bandar. kalau anak-anak yang di luar Bandar tu lebih mengamalkan adat-adat, adat-adat lebih diterapkan…sama ja, kalau kita dimana-
mana pun, kalau kita jaga identity tu, akan coba kita pertahankan supaya tidak pupus tapi bukan saya kata semua ya..tapi ada juga yang mempertahankan tapi
sudah kurang.’’
Identitas Melayu dipahami Nisa sebagai orang yang beradab dan pandai
menjaga kelakuan. Penilaian Nisa pada etnis lain, ditujukannya pada etnis Batak. Menurutnya
gaya bicara orang Batak yang kasar, seolah-olah seperti orang yang marah ‘’Kalau yang paling saya nampak secara ketara tu orang Batak tu la,
lain…gaya becakap nya tu mungkin lebih lantang-lantang, kuat-kuat kan, kalau
Universitas Sumatera Utara
kita bebicara dengan dia, kita rasa macam dia mau marah kita kan tapi itu sebenarnya itu cara mereka, jadi kita sepatut terima la…tapi yang lain-lainnya,
biasa-biasa aja.’’
Nisa menilai bijak mengenai komitmen dan sense of belongingnya pada etnis Melayu.
’’Di mana-mana pun kamu duduk, kalau kamu duduk di tempat orang asing, kamu akan cuba pertahankan negara kamu la, kamu akan cuba jaga nama
baik Negara kamu kan..as Malaysian u should protect ur identity…’’ Selama tinggal di Medan, Nisa mengakui bahwa kadang ada situasi
dimana dia berbaur dengan etnis lain, seperti di ruang kelas. Di kampus, Nisa bergaul dengan etnis India dan Cita juga dengan temannya yang beretnis Batak.
Menurutnya melalui pergaulannya dengan teman-temannya yang berbeda etnis, maka akan ada proses saling berbagi dan saling menutupi kekurangan. Tema
pembicaraannya dengan yang berbeda etnis, kebanyakan seputar masalah kuliah namun terkadang Nisa juga sering sharing dengan mereka.
Jika dinilainya dengan siapa dia lebih sering bertinteraksi, Nisa mengakui dia lebih akrab dengan teman satu etnis sebab dia lebih bertemu dan punya waktu
dengan teman-temannya yang satu etnis. Hal itu bisa dipahami karena dia tinggal di asrama yang memungkinkannya untuk selalu berinteraksi dengan yang satu
etnis. Disadari Nisa, dia masih merasa ada perbedaan budaya, walaupun dia
sudah hampir tiga tahun di Medan. Tapi Nisa tetap berusaha untuk beradaptasi, menyesuaikan diri dengan keadaan di Medan.
‘’Mesti ada beda la walau tak banyak pun, ada sikit kita nampak lain dari dia, tapi kita cuba untuk masuk la, sebab kita duduk di sini, kita mesti tuk
sesuaikan diri dengan tempat ini kan...bukan tempat ini sesuaikan diri dengan kita kan..’’
Universitas Sumatera Utara
Mengenai In-group dan out-group, Nisa berusaha untuk tidak terlalu mempermasalahkan batasan atau identifikasinya mengenai siapa yang Melayu dan
siapa yang bukan. Nisa berusaha melihat kesamaan yang ada antara Indonesia dan Malaysia misalnya bahasa dan makanan, dengan cara seperti itu, sekarang Nisa
merasa sudah bisa jalan-jalan have fun dengan temannya yang Indonesia. Selama Nisa berinteraksi dengan teman yangberbeda etnis, dirinya tetap
mempertahankan identitas Melayu, misalnya dengan tetap menggunakan baju kurung dan adab Melayu lainnya. Tapi Nisa berusaha untuk membaur dengan
teman Indonesia, walaupun dia mempertahankan identitasnya, Nisa berusaha menggunakan bahasa Indonesia, walaupun masih kental dengan logat Melayu.
‘’Kalau dari segi pakaian saya bangga dengan baju kurung saya, itu identitas kami kan, tak semua orang boleh pertahankan identitas itu tapi kalau
bahasa ya, macam kami kalau antara temen-temen, ada yang berbahasa Melayu, ada yang berbahasa Inggris jadi ada gap juga la kalau kita mau becakap Bahasa
Inggris tak semua orang paham kan, jadi kita sebagai manusia, kita hidup kan perlu hormati orang kan..kalau kita becakap tapi orang tak paham, seolah-olah
macam tak sopan kan jadi kalau dari segi bahasa, saya menggunakan bahasa Indonesia la.’’
Penerimaan Nisa pada yang bukan Melayu, lebih diupayakan Nisa untuk mencari kesamaan identitas lain. Artinya bila secara etnisitas berbeda, Nisa akan
lebih mencari dan memilih teman yang sama identitas agamanya. ‘’ Kalau kita dari segi agama kita bersaudara kan, apalah bangsa itu kan,
kita dah tau kita muslim tu bersaudara kan…kenapa kita nak bezakan antara satu sama yang lain, just because of bangsa..jadi rasanya tak salah..’’
Pengalaman Nisa pada awal tinggal di Medan, membuatnya sempat memiliki stereotip dengan etnis Batak.
‘’Mungkin masa-masa awal saya tak tahu, kenapa dia macam ni ya, macam tak berapa nak hormati kita kan tapi sekarang kita dah paham sikap dia
memang begitu, kenapa dia begitu, contohnya saya tak tahu Batak apa tak, mungkin Batak kan, biasanya Batak yang cakap kuat kan? kenapa dia cakap kuat
Universitas Sumatera Utara
kan, sebab kita tak cakap kuat..tapi bila kita dah lama, kita paham itu memang gaya dia kan, dia tak bisa ubah kan..jadi kita la yang sesuaikan diri kan..’’
Tapi sterotip tersebut sudah tidak dipermasalahkannya lagi, Nisa sudah mengerti dan mulai terbiasa dengan gaya bicara orang Batak. Dijelaskan Nisa,
selama dia tinggal di Medan, dirinya belum pernah mengalami kesalahpahaman karena perbedaan budaya. Dan yang mulanya, membuatnya Culture Shock karena
perbedaan nilai, seperti apa yang boleh dan yang tidak di sini. Nisa menyebutnya semacam banta larang. Tapi lambat laun, Nisa mulai mengerti sedikit mengenai
adat yang ada di Medan. ‘’Banyaknya dari segi budaya la, macam banta larang…kita kurang tau
banta larang orang kan, kadang-kadang kita lepas buat kan…’’ Upaya untuk mencari kesamaan dilakukan Nisa dengan intensitas dan
frekuensi berinteraksi yang lebih banyak dengan teman sesama Melayu. Namun walaupun begitu, dirinya tidak terlalu menutup diri, Nisa masih mau berinteraksi
dengan yang berbeda etnis khususnya dengan teman Indonesia. Hal itu dibuktikannya dengan menjelaskan bahwa ia pun mau jalan-jalan hang out
dengan teman Indonesia nya. Mengenai kasus Indonesia-Malaysia, Nisa menganggap bahwa kasus-
kasus yang ada hanyalah isu kecil dan tak perlu dibesar-besarkan, karena hanya kan membuat gap. Ditambahkannya, Indonesia dan Malaysia bersaudara jadi
harusnya masalah yang ada bisa diselesiakan dengan baik. Dampak dari kasus ketegangan Indonesia-Malaysia, biasanya akan terasa
pada awal kasus tersebut bergulir, biasanya akan terlihat ada gap, namun Nisa
Universitas Sumatera Utara
berusaha untuk diam dan tidak tidak mau menambah panas keadaan, sebisanya Nisa bereusaha untuk menjelaskan.
Nisa mengakui dirinya mempunyai motivasi untuk berkomunikasi dengan teman yang bukan Melayu. Motivasi tersebut digunakannya untuk belajar bahasa
Indonesia agar teman-teman nya bisa paham apa yang dia maksud. Walaupun bahas Indonesia Nisa belum lancar, tapi dirinya memberanikan diri untuk mau
berkomunikasi, sebab dari kesalahannya dalam berbahasa Indonesia, ia kan bisa belajar dan teman-temannya pun akan memabntunya untuk belajar dan mengerti
bahasa Indonesia. Menurut Nisa, yang paling penting untuk dipahaminya adalah mengenai
karakter orang Medan. Melalui pemahaman tersebut akan membantunya untuk mengerti nilai di Medan dan cara berinteraksi dengan orang di Medan.
‘’Kita tanya la dengan teman-teman, kenapa dia begini..adakah memang sikapnya begini, memang kita tanya la, sebab kita kan tak tau apa orang punya
cara di sini..kita la mesti mau tau supaya dia posese sama kita.’’ Dan Nisa merasa ia cukup mampu berkomunikasi dengan yang berbeda
etnis. Walaupun ada saatnya ia merasa tidak paham, tapi ia berusaha untuk bisa memahami.
Dari ketiga responden dalam kelompok ini, masing-masing memiliki karakter dan kompetensi komunikasi yang berbeda.
Kesimpulan Kasus
1. Afifah memiliki nilai identitas etnis yang cukup tinggi. Ia mampu
mengidentifikasi in-group dan out-group secara jelas, komitmen dan sense of belongingnya pada kelompok dan etnisnya sangat tinggi, dan tentu hal tersebut
Universitas Sumatera Utara
mendorongnya berminat di dalam kelompok dan sering terlibat dalam aktivitas kelompok, dan Afifah juga memahami akan rasa kecintaannya pada kelompok dan
budaya sebagai suatu yang mendorongnya untuk mempertahankan nilai Melayu yang dimilikinya dan Afifah memberikan harapan positif tentang masa depan
etnisnya. Dengan identitas etnis yang sangat tinggi memberikan masalah dalam
komunikasi antarbudaya Afifah. Masalah yang dihadapinya adalah upayanya mencari kesamaan mendorongnya untuk terus nyaman dengan ‘’orang-orang yang
sama’’ seetnis, akhirnya ia menarik diri dari interaksi antarbudaya, dan jika ia tidak dalam kelompok, kecemasan yang dirasakannya cukup tinggi, bahkan Afifah
masih merasakan kecemasan karena perbedaan budaya khususnya perbedaan bahasa dan nilai. Akhirnya, komunikasi Afifah sangat terbatas pada kelompoknya
dan ia tidak terlalu berminat berinteraksi dengan etnis lain. Afifah memiliki tingkat kompetensi komunikasi yang rendah. Dan hal
tersebut disadarinya. Mungkin hal tersebut secara langsung ataupun tidak dipengaruhi oleh lingkungan Afifah, di mana dirinya selalu berada dalam kondisi
bersama dengan mereka yang sama dengan dirinya Melayu. Afifah sudah merasa nyaman dan menemukan semua kebutuhan komunikasinya dalam
kelompoknya. Wajar memang, Afifah tidak terlau merasakan Culture Shock dan dampak dari ketegangan kasus Indonesia–Malaysia, sebab dirinya selalu berupaya
‘’berlindung’’ dalam kelompok, sehingga Culture Shock pun bisa saja diatasi, karena dirinya masih merasa dalam kelompok. Terlebih lagi mengenai kasus
Indonesia-Malaysia, Afifah tentu tak merasakan dampak apa pun karena
Universitas Sumatera Utara
komunikasinya yang tertutup, sehingga membuat dirinya acuh tak acuh terhadap kasus tersebut.
Afifah menjadikan permasalah perbedaan bahasa dan nilai sebagai alasan kenapa dia tak menemukan kenyamanan komunikasi, padahal, jika pun hak
tersebut alasannya, Afifah bisa belajar dan mencoba atau barangkali memilih berkomunikasi dengan teman senegaranya yang berbeda etnis, misalnya etnis
India dan Cina, namun hal tersebut juga tak dilakukannya. Namun alasan Afifah yang paling jitu untuk menjelaskan komunikasinya yang terbatas tersebut karena
dia memang susah untuk bisa akrab dengan orang lain. Motivasi untuk berkomunikasi sebenarnya ada dalam diri Afifah, namun
sayang, motivasi tersebut tidak dijadikannya tenaga untuk mau mencari tahu apa yang seharusnya diketahuinya sehingga dia punya pemahaman dalam
berkomunikasi secara efektif dengan etnis lain. Alhasil, dirinya pun tak mampu berkomunikasi dengan etnis lain. Masalah utama yang melingkupi Afifah adalah
upaya menarik diri dari komunikasi antarbudaya dan pencarian kesamaan. Afifah merasa dia mendapatkan kepastian dan keamanan dalam kelompok yang
didasarkan atas kesamaan etnis dan akhirnya dia menarik diri dari interaksi dengan yang mereka yang berbeda budaya. Maka bisa dikatakan bahwa Afifah
berada pada tataran Unconcious Incompetence yaitu pada level di mana seseorang tidak begitu menyadari atau untuk Afifah barangkali lebih tepatnya tidak mau
menyadari adanya perbedaan dan merasa tidak perlu untuk melakukan sesuatu untuk mengatasinya.
Universitas Sumatera Utara
2. Aqila, juga memiliki identitas etnis yag cukup tinggi sama dengan Afifah.
Aqila mengakui ia tak terlalu kaku dalam nmengidentifikasi in-groupnya, tapia tetap mampu mengidentifikasi in-group dan out-group, komitmen dan sense of
belongingnya pada kelompok dan etnis Aqila juga sangat tinggi, dan tentu hal tersebut mendorongnya berminat di dalam kelompok dan sering terlibat dalam
aktivitas kelompok, dan Aqila juga memahami akan rasa kecintaannya pada kelompok dan budaya sebagai suatu yang mendorongnya untuk mempertahankan
nilai Melayu yang dimilikinya dan Aqila memberikan harapan positif tentang masa depan etnisnya bahkan Aqila mampu memberikan evaluasi positif tentang
etnisnya. Mengenai interaksi, Aqila cukup termotivasi untuk berkomunikasi dengan
teman beda etnis khususnya teman Indonesianya yang dinilainya semua beretnis Batak. Intensitas dan frekuensi komunikasi Aqila masih sangat besar pada
kelompoknya tetapi ia berusaha untuk tidak terlalu menutup diri walaupun akhirnya ia merasa lebih nyaman dengan teman seetnis.
Aqila, memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik daripada Afifah. Aqila memiliki pertimbangan lain dalam menerima teman yang berbeda
etnis, dia akan berusaha menerima dan mau berkomunikasi dengan teman yang berbeda etnis selama ada kesamaan nilai yaitu agama. Aqila sendiri sebenarnya
sudah memiliki motivasi untuk berkomunikasi dengan mereka yang berbeda etnis. Namun yang berbeda etnis ini memang sedikit dibatasi Aqila pada mereka
yang satu agama. Walaupun dia tetap mencari kesamaan dan juga sering bersama kelomponya, Aqila masih mau berusaha untuk terbuka dan memenuhi hasrat
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan identitasnya, yaitu kebutuhan untuk dikomunikasikan dan dipertukarkan. Aqila mengakui senang bercerita mengenai budaya dengan teman
Indonesianya. Melalui pembicaraan tersebut tentu akan membantu Aqila untuk menyadari dan mengetahui ranah identitasnya dan makin menyadarkannya akan
etnosentrisme. Etnosentrisme yang dimiliki Aqila masih dalam batas wajar, namun meyakinkannya untuk mau membela dan berani, hal tersebut diketahui
dari penjelasannya tentang kasus Indonesia-Malaysia yang ditanggapinya dengan cukup emosional.
Aqila mengakui ia cukup sering bertukar informasi budaya dengan teman Indonesianya, namun hal tersebut tidak menjadikannya memiliki pengetahuan
yang cukup mengenai nilai budaya lain. Hasil dari pertukaran informasi yang didapatnya malah membuatnya menemukan perbedaan. Sebenarnya untuk
berkomunikasi secara efektif, kita memang harus mengerti dengan jelas perbedaan antara kelompok kita dengan kelompok lain. Menyadari perbedaan
kadang memfasilitasi komunikasi yang efektif Gundy kunst Kim, 2007: 281, namun sayang hal tersebut tidak diasari Aqila sebagai upaya untuk memperkokoh
identitas etnisnya. Kesadaran tersebut justru dimaknai Aqila sebagai ketidakmampuannya menghadapi perbedaan dan tida tahu harus berbuat apa untuk
memperbaiki hal tersebut. Sehingga Aqila tidak memiliki kemampuan untuk mau mengamati, dan mau menyesuaikan diri. Jadi bisa disimpulkan Aqila berada
pada tataran concious Incompetence, yaitu pada level di mana seseorang menyadari adanya perbedan, menyadari sesuatu tidak berjalan dengan lancar
Universitas Sumatera Utara
dalam interaksi namun tidak yakin kenapa hal tersebut terjadi dan tidak tahu harus melakukan apa untuk mengatasinya.
3. Nisa, juga memiliki identitas etnis yang cukup tinggi, Nisa mengakui ia
tak terlalu kaku dalam mengidentifikasi in-groupnya, walaupun ia mampu mengidentifikasi in-group dan out-group, tapi sebisa mungkin ia tak mau terlalu
mempermasalahkan hal tersebut, agar tak mengahambat komunikasinyai. Nisa juga memiliki komitmen dan sense of belongingnya pada kelompok dan etnis
yang sangat tinggi, dan tentu hal tersebut mendorongnya berminat di dalam kelompok dan sering terlibat dalam aktivitas kelompok, dan dengan memahami
rasa kecintaannya pada kelompok dan budaya, Nisa terdorong untuk mempertahankan nilai Melayu yang dimilikinya. Walaupun ia pesimis
membayangkan masa depan etnisnya, tapi Nisa berusaha memberikan evaluasi positif pada etnisnya.
Interaksi Nisa juga masih sangat besar dengan kelompoknya. Namun hampir tiga tahun tinggal di Medan, lambat laun, mendorongnya untuk mau
berkomunikasi dengan etnis dan tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan yang ada. Dan sekarang, Nisa mengakui ia mulai bisa terbuka dengan teman beda etnis,
bahkan kadang ia melakukan aktivitas bersama teman beda etnisnya misalnya jalan-jalan. Nisa memiliki pertimbangan lain dalam menerima teman yang
berbeda etnis yaitu kesamaan identitas agama. Nisa sendiri mengakui dirinya termotivasi untuk terbuka dengan teman
beda etnis khususnya mahasiswa Medan Indonesia. Motivasi tersebut mendorongnya belajar bahasa Indonesia komuniksi verbal agar bisa
Universitas Sumatera Utara
membantunya untuk berkomunikasi dengan lancar. Motivasinya membuatnya sadar sadar akan ranah identitasnya artinya siapa yang Melayu dan non Melayu
dan sadar akan kebutuhan identitasnya yaitu untuk dikomunikasikan. Motivasinya membuatnya menambah pengetahuan dan pemahamannya
mengenai apa yang dibutuhkan saat berkomuniksi dengan steman Indonesianya yaitu bahasa Indonesia. Jadi faktor pengetahuan membuatnya mau untuk belajar
dan menjadikannya memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia dan sadar akan kebutuhan untuk menyesuaikan diri. Pengetahuannya mengenai perbedaan
kelompok, mendorongnya untuk mencari tahu kesamaan personal. Nisa sebenarnya memiliki kesadaran, pengetahuan yang cukup, namun sayangnya hal
tersebut tidak terlalu disadari dan diasahnya, sehingga alur interaksi Nisa masih lebih banyak dengan teman satu etnis. Jadi Nisa masih berada pada tataran
Unconcious competence yaitu pada level, di mana dia belum menyadari kemampuan komunikasinya.
Kesimpulan secara keseluruhan, ketiganya memiliki identitas etnis yang sama tinggi, namun untuk interaksi dan kompetensi komunikasi, Nisa yang paling
baik mengenai hal tersebut. Nilai kompetensi komunikasi antarbudaya Nisa yang paling tinggi dibanding dengan Afifah dan Aqila. Dan Afifah berada pada tingkat
kompetensi yang paling rendah di antara ketiga responden. Ketiganya memberikan penjelasan yang tidak terlalu berbeda mengenai
nilai-nilai Melayu yang mereka miliki. Semua penjelasan mereka akan bisa disimpulkan menjadi gambaran nilai orang Melayu adalah saling menghormati
dan sopan santun, adab bertutur dan berprilaku dan nilai Islam-nilai Islam.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai wujud konkret untuk menunjukkan identitas ketiganya sepakat bahwa perempuan Melayu harus menutup aurat dan menggunakan baju kurung.
Selain itu, logat Melayu saat mereka berkomunikasi dengan teman beda etnis juga menjadi tanda bahwa mereka Melayu. Mengenai upaya mempertahankan
identitas etnisnya, ketiganya sepakat akan hal tersebut. Secara umum, ketiganya akan tetap menjaga nilai Melayu, namun tetap berupaya menggunakan bahasa
Indonesia ketika berkomunikasi dengan teman Indonesia mereka.
Kategori III: KELOMPOK PEREMPUAN LAMA TINGGAL KURANG DARI 1 TAHUN, TINGGAL DI ASRAMA Jalur Internasional
1. NAMA
: Suraya Binti Mazlan JENIS KELAMIN
: P ASAL
:Penang SEMESTER
:II Dua ALAMAT TEMPAT TINGGAL : Jln Intan
Saat berbincang dengan Suraya, peneliti menemukan suatu pengetahuan baru, bahwa Melayu tidak selalu kental dengan akses ‘’e’’ di tiap ujung kata.
Barangkali, orang Melayu seperti Suraya memiliki kemampuan untuk beradaptasi bahasa Indonesia.
Ditemui peneliti saat acara temu ramah perkumpulan Mahasiswa Malaysia di Village Futsal, tampilan Suraya cukup berbeda dan tidak begitu mennunjukkan
identitas Melayu. Saat pertandingan Futsal, kebanyakan mahasiswi Melayu menggunakan baju berlengan panjang, Suraya malah memilih menggunakan baju
berlengan pendek tanpa menggunakan manset. Jadi tangan yang notabene
Universitas Sumatera Utara
termasuk aurat, dibiarkan Suraya terlihat. Padahal setahu peneliti, gadis Melayu akan sangat aware dengan auratnya.
Ditanya tentang nilai Melayu yang dibawanya, Suraya hanya menjelaskan singkat, menurutnya nilai Melayu sama dengan nilai yang dianut orang Timur
kebanyakan seperti saling menghormati. Penjelasan Suraya mengenai perilaku untuk menunjukkan identitas
etniknya cukup berbeda dengan responden sebelumnya, di mana Suraya menjelaskan bahwa bahasa adalah ciri utama identitas Melayunya. Namun bahasa
yang dimaksudnya lebih mengesankan bahwa ia membawa identitas Melayu Penang yaitu dengan logat yang agak lebih kasar dibanding Melayu di daerah lain,
dengan aksen ‘’a’’. Dan tentunya pada umumnya gadis Melayu, Suraya pun akan menggunakan baju kurung untuk memperlihatkan identitas Melayu, ditambah lagi
mengenai batasan pergaulan laki-laki dan perempuan. Dari penjelasan Suraya, bahwa di seluruh Malaysia menegakkan adab tak boleh bersalamanbersentuhan
bagi yang bukan muhrim dan hal tersebut tentunya akan mencari ciri juga bagi Suraya sebagai gadis Melayu jika hal tersebut dipertahankannya selama di sini.
’’Pertama bahasa la, bahasanya beda kan, kalau Penang ni bahasanya agak kasar kan, ujungnya ‘’a-a’’ kalau KL kan ‘’e-e’’..kalau Malaysia selalu pakai baju
kurung la, mengenai kalau tak boleh salaman.. tu seluruh Malaysia. Memang dalam agama banyak mahzab kan, dalam mahzab kami, laki dan perempuan tak
boleh pegang-pegang..haram kan.’’
Menurut Suraya, nilai-nilai utama Melayu sudar pudar seperti tata
berpakaian yaitu menggunakan baju kurung bagi wanita dan berkata sopan dan lemah lembut. Arti identitas Melayu dipahami Suraya sebagai pegangan.
Universitas Sumatera Utara
Pegangan pada adab Timur, seperti sopan santun, lemah lembut, hormat menghormati, dan batasan pergaulan laki-laki dan perempuan.
Suraya mengakui, dirinya tidak mengetahui etnis yang ada di Medan, semua masih dinilainya sebagai Melayu, yang membawa adab Timur, namun dia
menilai pergaulan di Medan jauh lebih bebas. ‘’Tak kenal pula etnis-etnisnya, bekawan aja, tapi mungkin nilai tak jauh
beda, kita sama-sama Melayu kan, ada adab timur, sopan santun, cuma itu bedanya, kalau di sini lebih bebas begaul laki dan perempuan.’’
Walau Suraya belum setahun tinggal di Medan, tapi perasaan jauh dari
Negara asal, membuatnya makin merasakan rindu, dan rasa rindu tersebut makin membuatnya kuat tekad untuk memegang dan mempertahankan adat Melayu. Di
tengah pergaulan di Medan yang jauh berbeda dengan di Malaysia, membuatnya berusaha untuk tidak terpengaruh. Suraya membatasi diri mengenai apa yang bisa
diikutinya dan apa yang perlu dijauhinya. Pergaulan Suraya memang tidak terlalu tertutup dan dibatasi pada yang
Melayu saja, dengan teman yang berbeda etnis pun Suraya bisa bercanda dan tidak monoton membicarakan masalah kuliah saja. Tapi diakuinya, dia masih
lebih merasa ‘’klik’’ dengan yang seetnis, karena teman dekatnya lebih banyak yang Melayu, dan untuk menceritakan masalah pribadi pun tentunya Suraya
hanya akan menceritakan pada temannya yang Melayu. Pergaulan di Medan yang dirasa Suraya terlampau bebas membuatnya
kadang merasa berbeda. Menurutnya pergaulan seperti hal tersebut bukanlah nilai yang dinutnya, jadi saat berinteraksi dengan teman-teman Indonesia, Suraya
terkadang merasakan perbedaan dalam etika berinteraksi.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai in-group dan out-group, Suraya tidak terlalu mengidentifikasi siapa yang termasuk Melayu dan siapa yang bukan, namun identifikasi tersebut
hanya digunakannya untuk memahami siapa teman terdekat dan siapa yang bukan. Tapi Suraya tetap berusaha untuk berteman dengan yang berbeda etnis.
Jika Suraya berkomunikasi dengan teman Indonesianya, ia berusaha menggunakan bahasa Indonesia agar mudah dipahami, namun pada saat yang
sama sebagai seorang beretnis Melayu, Suraya akan tetap berusaha mempertahankan nilai yang dipeganganya seperti batasan antara laki-laki dan
perempuan. Surya berusaha menerima perbedaan budaya dan tetap bergaul dengan
teman yang berbeda etnis, namun tetap menjaga nilai Melayu yang dibawanya. Kesalahapahaman karena perbedaan budaya selain karena perbedaan etika
pergaulan laki-laki dan perempuan, bahasa juga terkadang sering membuatnya misscommunication. Namun hal tersebut, selalu mampu diperbaikinya dengan
bertanya pada temannya. Pada masa aawal tinggal di Medan, bahasa juga yang membuatnya sedikit
Culture Shock. Namun lambat laun, Suraya mulai mengerti dan paham bahasa Indonesia.
Suraya menjelaskan bahwa pertemuan dan kesempatan interaksinya dengan yang berbeda etnis hanya berada di area kelas khususnya dan kampus.
Sedangkan kesempatan untuk berinteraksi dengan teman seetnis jauh lebih banyak dan terbuka kapan saja. Selain itu, upaya untuk mencari kesamaan juga
Universitas Sumatera Utara
dilakukannya dengan mengikuti Persatuan Mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran.
Penjelasan mengenai kasus Indonesia-Malaysia pun diberikannya secara singkat.
‘’Semua itu hanya politik, kita tak perlu pikirkan politik.’’ Dampak dari ketegangan tersebut hanya dirasakannya pada masa kasus
Nordin M.Top menjadi topik pembicaraan hangat di Indonesia. ‘’ Pada awal-awal soal Nordin M.Top, agak terasa juga kadang-kadang
dibilang ’’kamu ini hati-hati, jangan jadi teroris’’ tapi lama-lama sudah hilang... perkara ini sekajap ja, sebentar ilang.’’
Suraya selalu memotivasi dirinya untuk mau berkomunikasi dengan mereka yang berbeda budaya dengannya. Pemahaman mengenai etnis lain, yang
Suraya mengerti hanya mengenai marga etnis Batak, tidak sampai pada tataran nilai etnis Batak. Dan Suraya merasa belum cukup mampu untuk berkomunikasi
secara efektif dengan teman yang berbeda budaya, tapi dia merasa ada sedikit kemampuan.
2. NAMA
:RIZQI FIRMAN SUDEIS BINTI IBRAHIM JENIS KELAMIN
: P ASAL
:KELANTAN SEMESTER
:II Dua ALAMAT TEMPAT TINGGAL : JLN INTAN
Perempuan yang akrab dipanggil Rizki ini, terlihat punya penampilan yang
berbeda dengan mahasiswi Melayu Malysia lainnya. Sebab hanya Rizki, yang peneliti temui, mahasiswi Melayu yang tidak menggunakan jilbab.
Universitas Sumatera Utara
Nilai-nilai Melayu yang dimiliki Rizki berkisar pada nilai dan batasan pergaulan laki-laki dan perempuan dan menurutnya di Kelantan khususnya, nilai-
nilai Agama dilebihkan daripada nilai adat. Bagi Rizki sendiri, cara untuk menunjukkan identitas Melayu, tidak seperti perempuanmahasiswi Melayu
lainnya yang menekankan pentingnya menutup aurat dan menggunakan baju kurung. Baginya pembawaan diri yang tetap bersopan santun dan mau bergaul
dengan yang lainnya juga bisa dijadikan cara untuk menunjukkan identitas etnis. Dan diakui Rizki dia hanya kadang-kadang saja menggunakan baju kurung.
Mengenai masa depan etnis Melayu sendiri, tak bisa dibayangkan Rizki sepenuhnya.
’’Insya Allah, bergantung ya, kalau generasi muda tu pandai membawa, pandai menjaga, pasti nilai-nilai tu tak akan pudar kan.’’
Bagi Rizki, identitas Melayu dipahaminya sebagai pelaksanaan norma
susila, artinya selalu berpegang pada batas-batasnorma yang ada. Gadis yang ternyata memiliki darah Melayu Deli ini, menyatakan tidak
terlalu terkejut dengan keadaan Medan, karena sudah beberapa kali dirinya berkunjung ke Medan jauh sebelum dirinya kuliah di Medan. Ibu Rizki sendiri
ternayata perempuan Melayu Deli, yang menikah dengan pria Melayu Malaysia. Jadi Rizki beranggapan tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok antara Melayu
Deli dengan Melayu Malaysia. Sedikit banyak pengalamannya berlibur ke Medan dulu, membuatnya mengetahui bagiamana watak orang Medan yang terkenal
kasar tutur katanya. Namun walaupun memiliki darah Indonesia, Rizki lebih menikmati ‘darah
Melayu Malaysia’, karena dia lahir dan dibesarkan di Malaysia. Alhasil, Rizki
Universitas Sumatera Utara
tetap saja masih menemukan sedikit ada yang beda, dan perasaan itu membuatnya berkomitmen pada nilai Melayu Malaysia. Komitmen untuk menjaga dan
mempertahankan nilai Melayu dan sense of belonging yang makin kuat. Pengalamannya yang sering berkunjung ke Medan, dan Ibunya yang masih
sering menggunakan bahasa Indonesia membuat Rizki memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang cukup baik. Sesuai pengamatan peneliti, Rizki
berbahasa Melayu dengan teman seetnis, dan berbahasa Indonesia dengan teman Indonesianya. Dan hasilnya, Rizki mampu berkomunikasi dengan teman yang
berbeda etnis. ‘’Gak sama temen seetnis ja, semua nya juga..kalau di tutorial, kami rame
orang Batak.’’ Tapi tetap saja Rizki lebih banyak berkomunikasi dengan teman seetnis,
karena waktu dan ruang yang disediakan lebih banyak bersama teman seetnis. ‘’Karena temen 1 kos, orang satu etnis, jadi lebih sering dengan teman satu etnis
la.’’ Rizki bisa membicangkan hal lain di luar masalah kuliah dengan temannya
yang berbeda etnis Indonesia, sampai masalah pribadi pun Rizki bisa saja membicangkannya dengan teman beda etnis tapi tentunya dengan teman beda
etnis yang akrab sahabat dengannya saja. Perbedaan dengan teman yang berbeda etnis pun tidak lagi
dipermasalahkan Rizki karena dirinya merasa perbedaan etnis tidak menghalanginya untuk akrab.
Identifikasi Rizki tentang siapa yang Melayu dan siapa yang bukan, dijadikan Rizki sebagai klasifikasi kelompok etnis bukan afiliasinya. Artinya in-
group dan out-group tersebut hanya membantunya untuk mengidentifikasi etnis
Universitas Sumatera Utara
Melayu, bukan mengidentifikasi siapa yang termasuk kawan dan bukan. Jadi, identifikasi tersebut tidak menghalangi untuk membuka komunikasinya dengan
etnis lain. ‘’gak la, sebab kami bekawan, ramaian orang Batak, jadi gak sampai
menghambat la, buktinya saya pun bisa juga bekawan dengan mereka.’’ Walaupun Rizki akrab dengan temannya yang beretnis Batak, namun
dirinya tetap mempertahankan nilai Melayu yang dibawanya. Rizki tetap menerima perbedaan yang ada, penerimaanya pada nilai budaya yang ada,
mendorongnya untuk bertoleransi. Selama Rizki berinteraksi dengan teman yang berbeda etnis, Rizki selalu
mencari keistimewaan dari temannya tersebut. Sehingga mudah baginya untuk mengenali karakter temannya tersebut seperti apa.
‘’Masing-masing punya keistimewaan, punya pembawaan sendiri, jadi harusnya kita mengenali, orang ini kayak mana, orang tu kayak mana, jadi tak ada
masalah.’’ Tapi Rizki mengakui kesalahpahaman tetap saja dihadapinya.
Kesalahpahaman biasanya terjadi karena perbedaan maksud pesan karena perbedaan bahasa. Namun karena proses belajar, tentunya Rizki bisa memahamai
bahasa dan watak orang Medan. ‘’Udah hampir satu tahun di sini kan, karena kita di tempat orang kan, jadi
harusnya kita belajar orang di sini kayak mana, walaupun kita menjaga apa yang kita bawa, tapi kan gak salah kalu kita belajar yang punya orang juga..’’
Barangkali karena sudah sering berkunjung ke Medan, pengalaman
tersebut dijadikan Rizki untuk membantunya cepat beradaptasi dan tidak terlalu merasakan Culture Shock.
Universitas Sumatera Utara
Rizki sendiri akhirnya memutuskan kenyamanan tetap lebih didapatnya saat bersama teman satu etnis. Jadi terkadang, selain bergaul dengan teman beda
etnis, Rizki sering berkumpul dengan teman satu etnis, sebagai bentuk mencari kenyamanan dalam kesamaan. Rizki juga sering terlibat dalam Persatuan
Mahasiswa Malaysia. ‘’ Gimana ya, kita begaul juga dengan yang lain, cuma memang agak lebih
ke yang satu etnis.’’ Mengenai kasus yang memperkeruh hubungan Indonesia-Malaysia,
ditanggapi Rizki tanpa memihak. ‘’Itu seharusnya gak terjadi kan. kita kan sudah saudara, jadi kalau isu-isu
kayak gitu harusnya ga terjadi, kita kan udah dekat, jadi harusnya lebih dekat, bukan harusnya menjauh karena isu-isu seperti tu..’’
Kasus tersebut hanya membuat Rizki sedikit kewalahan menghadapi pertanyaan temannya
‘’ ..tapi ada juga temen-temen di kelas nanya-nanya kan jadi kita bilang, kita gak tau soal tu, kita kan disini tujuannya tuk belajar. Jadi kalau isu-isu kayak
gitu harusnya dibicarakan la, karena jadi sensitif, jadi marah kan.’’
Rizki mengakui dia selalu termotivasi untuk berkomunikasi dengan mereka yang berbeda budaya. Dan motivasi tersebut, membantunya untuk
mengumpulkan informasi mengenai watak etnis Batak, yang ternyata tidak sesuai dengan sterotipe yang dia percaya. Stereotip yang dipercaya Rizki bahwa Batak
pasti kasar ternyata salah setelah Rizki berinteraksi dan menilai sendiri seperti apa etnis Batak yang sebenarnya. Jadi Rizki meyakini dirinya mampu berkomunikasi
dengan teman yang berbeda etnis.
Universitas Sumatera Utara
3. NAMA
:NORATIQAH AISYAH JENIS KELAMIN
: P ASAL
:Kedah SEMESTER
:II Dua ALAMAT TEMPAT TINGGAL : Jln Intan
Berbeda dengan dua responden sebelumnya, Atika lebih terlihat identitas
Melayunya. Jika dua responden sebelumnya, jarang menggunakan baju kurung, Atika terlihat nyaman menggunakan baju kurung. Dalam beberapa kesempatan
mengamati Atika, dia selalu menggunakan baju kurung saat kuliah. Sopan santun dan saling menghormati merupakan nilai utama yang dibawa
Atika. Dijelaskannya lebih lanjut, dalam Melayu, ada adab yang mengatur hubungan orang tua dengan yang lebih muda. Yaitu bagiamana yang orang yang
lebih tua memperlakukan yang lebih muda dan sebaliknya. Atika menambahkan sebenarnya banyak nilai Melayu, namun yang yang terpenting baginya semua
nilai baik dan nilai Islam adalah nilai Melayu. Perilaku yang akan dilakukan Atika untuk menunjukkan identitas etnisnya
adalah dengan membawa identitas agamanya dan tentunya dengan menggunakan baju kurung, serta membatasi pergaulan dengan laki-laki dan menjaga emosi
karena menurut Atika, orang Melayu jika marah selalu berusaha untuk membatasi nafsu emosionalnya tersebut.
Melihat keadaan zaman yang terus berubah, Atika merasa nilai dan adab Melayu pun ikut berubah, makin pudar dan terasa tak terkendalikan. Atika
berharap hal tersebut bisa ditangani. Kekhawatirannya tersebut membuatnya merasa perlu untuk terus mempertahankan nilai Melayu dan semakin menguatkan
komitmen serta sense of belongingnya terhadap Melayu.
Universitas Sumatera Utara
Identitas Melayu diartikan Atika sebagai nilai tambah dan kebanggaan karena menurutnya orang Melayu selalu bersemangat, saling menghormati dan
mampu bertoleransi. ‘’Kalau Melayu orangnya bersemangat, saling menghormati, saling
bertolak angsur bertoleransi.’’ Atika tidak memberikan penilaian terhadap etnis tertentu, tapi Atika
memberikan penilaian positif untuk teman-teman Indonesianya, yang secara umum dinilainya bersemangat, ramah, baik dan bisa dekat dengan dosen.
‘’Kalau dilihat di tutorial tu beda la, kalau di tutorial, orang Indonesia, mereka tu bersemangat, tapi mereka mau mengontrol, terus kalau di luar mereka
tu baik, kalau bertegur macam senyum..manis kan orangnya…kalau sama dosen baguslah, rapat.’’
Atika sendiri merasa lebih nyaman dan dekat dengan teman-teman satu
etnis. Bahkan dari pengamatan peneliti, walaupun Atika, mahasiswi dari jalur masuk Internasional Acims, Atika juga bisa akrab dengan teman Melayunya
yang masuk melalui jalur Mandiri. Sebab, biasanya, berdasarkan pengamatan dan adat yang dipeoleh peneliti, terlihat ada gap antara mahasiswa Internasional dan
Mahasiswa Mandiri. Di kampus, Atika bisa bercampur dengan teman yang beda etnis, dan
diakui Atika dia juga memiliki teman dekat yang berbeda etnis yang biasa dijadikannya temapt bercerita hal pribadi. Jadi selain memiliki teman dekat
seetnis, Atika juga mempunyai teman dekat yang berbeda etnis. Biasanya ketika berbincang dengan temannya ynag berbeda etnis, Atika senang bercerita tentang
Malaysia, bagaiman keadaan Malaysia pada tempo dulu hingga pada zaman sekarang.
Universitas Sumatera Utara
Terkadang, Atika masih merasa ada perbedaan budaya saat dia berinteraksi dengan teman yang berbeda etnis dan biasanya Atika akan berusaha
menerima perbedaan budaya temannya selama masih ada persamaan agama dengannya. Karena dengan begitu, dia masih bisa merasa nyaman dan tetap
mempertahankan nilai Melayu yang sebenarnya lebih banyak berasaskan Islam. Namun, Atika merasa dia tidak membuat semacam identifikasi In-group dan Out-
group. Selam hampir satu tahun tinggal di Medan, Atika merasa dia tidak
memiliki masalah saat berinteraksi dengan teman yang berbeda etnis. Bahkan Atika merasa tidak ada prasangka ataupun stereotip yang harus dipercayanya
mengenai etnis tertentu. Masalah yang dihadapi Atika selama berkomunikasi antarbudaya
khususnya dengan teman Indonesianya, hanya masalah bahasa. Bahasa yang berbeda yang terkadang membuatnya perlu belajar agar komunikasinya lancar.
Pada awal tinggal di Medan, Atika merasa tidak terlalu terkejut apalagi sampai merasakan gegar budaya.
Atika tetap merasa perlu untuk mencari kesamaan dan berkumpul dalam kelompok etnisnya. Teman-teman satu asramanya adalah kelompok terkecil bagi
Atika untuk mencari kesamaan. Dan selain itu, Atika juga mengikuti Persatuan Mahasiswa Malaysia sebagai kelompok terbesarnya untuk berbagi kesamaan.
Bagi Atika, kasus ketegangan anatara Indonesia-Malaysia ditanggapinya sebagai masa bagi warga negara kedua belah pihak untuk bisa saling bertoleransi
dan seharusnya bisa sama-sama mencari solusi.
Universitas Sumatera Utara
‘’Sebenarnya kita tak harus berantem la, kita harus berbincang, harus bertolak angsur..trus itu kan masalah yang kecil, tak harus dibesar-besarkan,
jangan mengapi-apikan, mencari solusinya ja.’’ Dan bagi Atika sendiri, tak ada masalah baginya dikarenakan kasus-kasus
Indonesia-Malaysia, tapi dirasakan Atika, masalah dan perasaan yang kurang menyenangkan hanya ada pada teman-teman Indonesianya.
Motivasi untuk berkomunikasi dengan teman yang berbeda etnis dirasa Atika dimiliki, dan motivasi tersebut sering mendorongnya untu bercerita dan
bertukar informasi budaya. Atika akui, dia lebih termotivasi berhubungan dengan anak Indonesia ketimbang teman senegaranya yang berbeda etnis misalnya etnis
India dan Cina. Dan Atika merasa dirinya cukup memiliki kemampuan komunikasi
antarbudaya.
Dari ketiga responden di atas, bisa kita analisis menjadi kesimpulan sebagai berikut:
Kesimpulan Kasus
1.
Suraya, memiliki identitas etnis yang cukup tinggi. Hal tersebut bisa disimpulkan secara sederhana dari kemampuannya dalam mengidentifikasi
kelompoknya, walaupun hal tersebut tidak membuatnya terlalu memegang in- group. Terlalu berpatokan pada group in-group
membutanya takut tidak mampu berkomunikasi denagn teman etnis lain. Suraya juga memiliki pengetahuan
tentang etnis, baik mengenai bahasa, serta nilai Melayu. Suraya juga memiliki rasa kepemilikan yang cukup kuat terhadap etnis dan kelompoknya.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai mahasiswi jalur Internasional, cukup membuat Suraya merasa berada dalam sebuah kelompok yang besar sehingga ia masih merasa lebih
nyaman dengan kelompoknya, dan ia akui interaksinya sangat besar pada kelompoknya,karena waktu dan ruang lebih banyak mempertemukannya dengan
teman-teman seetnis tapi Suraya tetap berminat berkomunikasi dengan etnis lain. Perasaan mengenai perbedaan bahasa, nilai dan pola perilkau kultural yang
mendorong Suraya untuk tidak terlalu aktif dalam komunikasi antarbudaya. Walaupun begitu, Suraya selalu berusaha untuk berinteraksi dengn etnis lain.
Upaya mencari kesamaan bagi Suraya cukup penting mengingat dia merasa kurang nyaman dengan pergaulan Medan, dan baginya akan lebih baik untuk
berbagi dengan teman seetnis. Di mana dia merasa, teman-teman seetnis tentu memiliki kebiasaan dan perilaku serta nilai yang tak jauh berbeda dengannya.
Jadi, sebenarnya Suraya sudah memiliki motivasi untuk mau berkomunikasi dengan yang lain, sudah ada kesadaran Suraya untuk mau
memenuhi kebutuhan identitasnya, dan Suraya pun sangat bisa mengenali siapa yang ada dalam kelompoknya batas in-group dan out group. Dari faktor
pengetahuan, Suraya belum mampu mengembangkan relasinya dan belum bisa mengadaptasi antarbudaya tapi sebenarnya ia telah memiliki pengetahuan
perbedaan kelompok, tapi pengetahuan tersebut tidak digunakannya secara maksimal. Dan Suraya pun, belum memiliki kecakapan menyesuaikan diri dan
tidak mindful dalam pengamatan, karena dia belum mengenali secara jelas etnis temannya yang berbeda budaya. Jadi nilai kompetensi komunikasi antarbudaya
Suraya adalah pada tataran Concious Incompetence karena Suraya sebenarnya
Universitas Sumatera Utara
sudah menyadari adanya perbedaan namun tidak merasa perlu untuk melakukan apa pun untuk memperbaiki pemhamanannya mengenai komunikasi
antarbudayanya.
2.
Rizki
j
uga memiliki identitas etnis yang cukup tinggi, walaupun ia tidak seperti gadis Melayu lainnya yang mempertahankan ciri perempuan Melayu
dengan baju kurung, tapi Rizki berusaha mempertahankan nilai Melayu lainnya yaitu membatasi pergaulan laki-laki dan perempuan. Rizki juga mempunyai rasa
kepemilikan yang dirasanya makin bertambah selama ia tinggal di Medan, dan secara jelas ia juga bisa mengidentifikasi siapa yang termasuk dalam kelompok
etnisnya. Komponen dasar dari identitas etnis yaitu identifikasi diri, pengetahuan tentang etnis dan rasa kepemilikan, dimiliki Rizki ditambah lagi keterikatannya
pada kelompoknya yang juga cukup tinggi serta harapannya agar nilai Melayu tetap bertahan.
Interaksi Rizki tidak terbatas pada teman seetnis. Rizki juga memiliki teman dekat dari etnis lain. Rizki punya kemampuan yang lebih baik daripada
Suraya. Rizki mau dan mampu berkomunikasi secara intens dengan teman beda etnis, khusunya Batak. Pada dasarnya Rizki pun sudah termotivasi untuk
berkomunikasi dengan yang berbeda etnis, itu artinya Rizki mengetahui kebutuhan identitasnya. Dari segi faktor pengetahuan, Rizki sudah mengenal jelas
Batas in-group dan out-group, memiliki kemampuan bahasa Indonesia komunikasi verbal yang cukup baik sebagai modal baginya untuk
berkomunikasi, serta dia mampu mengembangkan relasi dan adaptasi antarbudaya. Rizki juga memiliki pengetahuan dalam mengumpulkan informasi
Universitas Sumatera Utara
tentang budaya lain khususnya teman Indonesia nya, Rizki bisa sharing dengan teman-temannya tentang nilai-nilai budaya. Selain itu, Rizki juga secara jelas
mengetahui perbedaan kelompok yaitu antara kelompok etnis Melayu Malaysia dan yang bukan.
Dari pengamatan peneliti, ketika Rizki berbicara dengan teman Indonesianya, bahasa Indonesia Rizki cukup fasih dan tidak begitu kental logat
Melayu, namun ketika berkomunikasi dengan yang sesama etnis, Rizki dengan gampang pula berbahasa Melayu. Rizki sudah mampu menilai perbedaan
kelompok dan pengetahuan mengenai kesamaan personal, hal tersebut mendorong Rizki memiliki kecakapan menyesuaikan diri, mampu untuk sadar akan perbedaan
budaya. Namun terkadang keinginannya untuk berkumpul dengan kelompok untuk mencari kesamaan masih cukup besar. Masih ada yang dirasanya
menghalangi komunikasi antarbudayanya. namun bila Rizki mampu mengatasi hal tersebut tentu kompetensi komunikasinya akan lebih baik. Jadi Rizki, sudah
berada dalam tataran concious Competence, artinya secara keseluruhan sebenarnya Rizki mampu berkomunikasi secara efektif dan mampu memikirkan
kelanjutan komunikasinya secara analitik dan holistik. Kemampuan Rizki dalam berkomunikasi sudah di atas rata-rata mahasiswa lainnya, apalagi Rizki belum
genap setahun tinggaldi Medan, tapi sudah mampu berkomunikasi secara efektif dengan yang berbeda etnis.
3.
Sedangkan Atika, identitas etnisnya juga cukup tinggi, ia bisa dinilai sebagai responden yang paling mampu mempertahankan identitas etnisnya.
Penjelasan Atika mengenai upayanya dalam menunjukkan identitas etnisnya lebih
Universitas Sumatera Utara
bisa dibuktikannya, sebab dua responden lainnya, tidak terlalu menunjukkan identitas etnisnya. Atika bisa membuktikan upayanya dalam mempertahankan dan
menunjukkan identitas etnisnya dengan menggunakan baju kurung, sementara dua responden lainnya, tidak terlau sering menggunakan baju kurung. Namun dari
kasus kelompok ini, bisa dipahami bahwa Suraya dan Rizki memahami identitas etnis mereka sebagai sesuatu yang tak perlu ditonjolkan.
Atika sebenarnya juga sudah memiliki dorongan untuk berkomunikasi antarbudaya, hal itu bisa dibuktikannya melalui pengakuannya yang memiliki
teman dekat berbeda etnis. Bahkan motivasinya tersebut juga mampu mendorongnya untuk mencari informasi tentang budaya Indonesia khususnya
budaya dari etnis yang ada di Medan. Namun Atika masih merasa kemampuannya belum terlalu besar. Atika masih menyadari ada keterbatasannya
tapi Atika tetap berusaha untuk mau berkomunikasi antarbudaya. Jadi jika dinilai, motivasi Atika sudah membuatnya sadar tentang ranah
identitasnya, dan kebutuhan identitasnya. Atika menyadari, bagaimanapun sebagai pendatang dengan identitas etnis yang berbeda, Atika tetap merasa perlu untuk
mengkomunikasikan identitasnya. Dan dilihat dari faktor pengetahuan Atika sudah memiliki pengetahuan dalam mengumpulkan informasi melalui saling
bertukar cerita kebudayaan yang sering dilakukannya, dan Atika juga sudah mengetahui perbedaan kelompok utamanya etnis Melayu dengan yang bukan
walaupun Atika mengakui tidak membuat identifikasi in-group dan out-group. Tapi Atika belum memiliki pengetahuan dalam melakukan adaptasi antarbudaya.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan faktor kecakapan, Atika sudah mampu memberikan perhatian dengan budaya orang lain, mindful dalam mendengarkan cerita budaya serta yang paling
penting Atika mampu dalam mengelola kecemasannya walaupun sebenarnya masih diakui Atika dia masih seting merasa berbeda. Jadi Atika juga lebih
tepatnya bearda pada level Unconcious Competence.
Dan sebagai kesimpulan untuk kelompok ini, maka bisa ditarik kesimpulan Rizki yang paling baik interaksi antarbudaya dan kompetensi
komunikasi antarbudayanya sedangkan Suraya yang paling rendah tingkat interaksi antarbudaya dan kompetensi komunikasi antarbudayanya. Jika dinilai
kekuatan identitas etnis yang mereka miliki, ketiganya bisa dikatakan memiliki identitas etnis yang cukup kuat, namun bagi Rizki khususnya, selain identitas
etnis, Rizki juga membawa identitas budayanya. Artinya jika Rizki merasa perlu dan terdesak untuk menunjukkan identitas etnisnya, maka ia akan menunjukkan
identitas etnisnya, sedangkan jika ia sudah merasa nyaman dan tak ada gangguan dalam komunikasi ia lebih senang membawa identitas budayanya, yaitu identitas
sebagai orang Timur. Begitupun dengan Atika, ia mampu membuat identitas etnis yang dimilikinya tidak dipahami secara kaku, walupun ia tetap merasa nyaman
dengan kelompoknya. Atika dan Rizki mampu menekan atau menutupi identitas etnis mereka, jika mereka merasa hal tersebut tidak perlu ditunjukkan. Namun
bagi Atika, yang lebih tinggi loyalitasnya pada nilai Melayu, karena Atika sering ataupun hampir selalu menggunakan baju kurung, maka terkadang walaupun ia
tidak bermaksud menunjukkan identitas etnisnya, baju kurung menjadi ‘’tanda’’ Kesimpulan:
Universitas Sumatera Utara
bagi orang lain, bahwa ia adalah seorang Melayu Malaysia. Sedangkan Suraya, terlalu sering mengidentifikasi kesamaaanya dengan kelompoknya sehingga
identitas etnis yang dia miliki digunakannya untuk mengukuhkan identitasnya sebagai orang Melayu dalam komunitas kampus.
Dari ketiga responden di atas memberikan penjelasan yang hampir sama mengenai nilai Melayu. Ketiganya menyoroti hal yang sama yaitu mengenai
batasan pergaulan laki-laki dan perempuan yang harus mereka pertahankan selama di Medan. Pada dasarnya cara mereka untuk menunjukkan identitas etnis
hampir sama, yaitu menggunakan baju kurung. Tapi seperti dijelaskan di atas, bagi Suraya hal terpenting untuk menunjukkan identitas etnisnya adalah tetap
mempertahankan batasan pergaulan laki-laki dan perempuan dan menggunakan logat Melayu, sedangkan bagi Rizki, hal terpenting baginya untuk menunjukkan
identitas etnis adalah dengan menunjukkan etika orang Melayu yang selalu bersopan santun dan mau bergaul. Dan penilainnya yang berbeda, diberikan Atika,
sebab baginya baju kurung baginya, identitas penting sebagai perempuan Melayu. Penilaian in-group dan out-group dipahami secara berbeda oleh ketiganya.
Bagi Suraya in-group dan out-group diguanakannya untuk untuk memahami siapa teman terdekat dan siapa yang bukan sedangkan Rizki, menggunakan in-
group dan out-group hanya untuk mengidentifikasi siapa ynag termasuk dalam kelompok etnisnya, dan Atika, tidak terlalu mempermasalahkan in-group dan out-
group. Ketiganya sering mengalami kesalahpahaman karena bahasa. Namun, ketiga responden tersebut sadar dan mau untuk belajar bahasa Indonesia.
Sebenarnya ketiga responden ini memiliki kesamaan, ketiganya merasa bisa
Universitas Sumatera Utara
berkomunikasi dengan teman Indonesianya ketimbang teman senegaranya yang berbeda etnis.
Dari ketiga responden di atas, ketiganya masih sering menggandengkan nilai Islam dalam identitas etnisnya, sehingga bagi mereka identitas etnis yang
mereka miliki secara langsung juga identitas personal mereka sebagai Muslimah.
Kategori IV: KELOMPOK PEREMPUAN DENGAN LAMA TINGGAL KURANG DARI SATU TAHUN, TINGGAL DI KOS DAN JALUR MANDIRI
1. NAMA
: NURDINI BT ZAKARIA JENIS KELAMIN
: P ASAL
: Perak SEMESTER
:II Dua ALAMAT TEMPAT TINGGAL : JLN DR.MANSYUR NO 39.
Gadis manis ini lebih akrab dipanggil Dini. Dari pengamatan peneliti, gaya
berbusana Dini cukup berbeda dari kebanyakan mahasiswi Melayu Malaysia. Jilbab yang digunakan Dini jauh lebih lebar dan panjang. Bahkan Jilbab yang
digunakan Dini panjangnya hingga paha. Tentu dirasa jauh berbeda dengan gadis Melayu Malaysia lainnya yang menggunakan jilbab hanya sampai menutupi dada.
Nilai-nilai yang dimiliki Dini sebagai Melayu Malaysia hampir sama dengan penjelasan responden lainnya yaitu sopan santun, hormat orang tua,
namun Dini mengakui dalam keluarganya yang lebih ditekankan adalah nilai Islam, jadi Dini lebih banyak membawa dan mengamalkan nilai Islam. Sehingga
ia terlalu mengerti nilai Melayu, dan ditambahkannya, nilai Melayu yang juga dipegangnya yaitu gotong royong.
Universitas Sumatera Utara
Menggunakan baju kurung, menggunakan logat Melayu dan lemah lembut dalam bertutur, hal tersebutlah yang dijelaskan Dini yang sering dilakukannya
untuk menunjukkan identitas etnisnya. ‘’Mungkin dari segi pakaian, pakai baju kurung, mungkin tulah yang
paling selalu orang kenal, kalau baju kurung tu orang Melayu terus dari segi bahasa, dari segi lenggok percakapannya, mungkin yang saya tau tu, Melayu tu
percakapannya agak lembut sikit.’’
Dini sebenarnya tidak pernah memikirkan masa depan etnis Melayu
khusunya di Malaysia, namun menurutnya jika memang harus dipikirkan, ia termasuk orang yang pesimis, tentang kelanjutan pengamalan nilai Melayu.
‘’ Gak pernah dipikir, ya, mungkin kalau masa depan tu kalau dilihat sekarang, adat-adatnya, sebenarnya tu bukan adat, sepatutnya dalam Islam harus
begitu, macam menghormati orang tua, disebabkan modernisasi dan sebagainya adat-adat tu sudah agak berkurang, kalau kita lihat kehidupan di kampong kita
banding dengan kehidupan di KL, di KL tu sendiri-sendiri, kadang jiran pun tak dikenal, mungkin karena sibuk dan surrondingnya yang memang begitu
menyebabkan nilai-nilai tu dah berkurang, cemana lagi masa depan.’’
Dan identitas etnis baginya adalah sebuah pengenal, karena siapa pun akan
mudah dikenali melalui identitas yang ditunjukkannya. Dini menilai etnis Batak sebagai orang yang agresif, dan Dini menyoroti
pergaulan atau pun batasan antara laki-laki dan perempuan di Medan masih terlihat belum benar. Berbeda dengan responden lain yang cenderung menyoroti
pergaulan laki dan perempuan secara umum, tapi Dini sebagai perempuan yang cukup aktif dalam kegiatan dakwah kampus, melihat batasan laki-laki dan
perempuan yang aktif di gerakan dakwah kampus pun belum sebagaimana mestinya.
‘’ O, mungkin kalau dari segi percakapan, mungkin ada yang lain ada yang lebih agresif, macam Batak, tapi bukan maksud mereka kasar, tapi kehidupan di
mana dididik dia begitu. Cuma satu benda baru yang saya belajar, makanan di sini
Universitas Sumatera Utara
agak pedas, sampai saya sakit perut la, tapi sedap, dari segi kalau dari Islam, tapi kalau di Malaysia tu, kalau yang ilmu agamanya masih kukuh, pergaulan antara
laki dan perempuan tu masih dijaga, persentuhan antara laki dan perempuan tu masih belum berluasa tapi kalau di sini, apa yang saya lihat kalau dilihat dari
karakteristiknya, bagus akhlaknya, mungkin aktif dalam kerja-kerja dakwahnya, tapi kalau antara laki dan perempuan tu masih belum..masih bertepuk tampar
lagi.’’
Komitmen Dini lebih dikhususkannya dalam mempertahankan nilai Islam
yang selama ini diamalkannya, tapi sense of belonging Dini terhadap Melayu juga dimilikinya. Bagi Dini selama nilai-nilai etnis lain baik dan melanggar nilai-nilai
Islam yang dianutnya, maka ia akan mencontoh nilai-nilai baik tersebut dan begitu pun sebaliknya.
Dini mengakui ia memiliki teman dekat yang berbeda etnis. Tinggal di kos bersama etnis lain, membuat dirinya termotivasi untuk dekat dengan etnis lain.
Dini memiliki teman India, Kadarzan, bahkan Punjabi, dan dari Indonesia, Dini memiliki teman yang beretnis Minang dan Batak. Dan Dini merasa porsi interaksi
dan komunikasinya sama, baik antara teman seetnis maupun dengan yang bukan Melayu.
Mengenai hal yang dibicarakannya dengn teman yang berbeda etnis, Dini menjelaskan semuanya tergantung pada tingkat keakrabannya dengan temannya
tersebut. Dengan teman kos, Dini merasa sangat akrab walaupun ketiga temannya sekos adalah etnis yang berbeda yaitu etnis Punjabi, Kadarzan dan India. Jadi dia
bisa menceritakan semua hal. Bagi Dini, perbedaan budaya tidak lagi dirasakannya selama ia merasa
akrab dengan temannya yang berbeda etnis. Bagi Dini, saat ia menceritakan
Universitas Sumatera Utara
masalah pribadi khususnya tentunya tidak akan terasa lagi adanya perbedaan budaya.
Tapi bagaimanpun Dini merasa akrab dengan temannya yang berbeda etnis, Dini tetap mengetahui batas in-group dan out-group kelompok etnisnya. Tapi
identifikasi tersebut sama sekali tidak dirasakan Dini sebagai penghambat dalam komunikasi antarbudaya yang dilakukannya.
Bagi Dini, penting untuk mempertahankan nilai Melayu dan Islam yang dipegangnya tapi tidak menutup kemungkinan Dini akan membaur dan
mengambil nilai-nilai baik dari etnis lain. ‘’Tu seperti saya cakap, kalau ada nilai dari suku lain yang lebih baik tuk
kita ikut, apa salah kita ikut, tapi kadang-kadang kita harus tetap ikut nilai etnis kita, kita tetap pertahankan yang baik dari etnis kita, baju kurung, batasan-batasan
tadi yang saya cakap la.’’
Dini merasa ia bisa menerima temannya yang berbeda etnis tanpa melihat
agama. Yang jelas Dini selalu menghormati nilai-nilai etnis temannya. ‘’ya saya bisa terima nilai-nilai baik dari dia, kan tak pandang agama, tapi
nilai-nilai yang saya belajar dari teman Kadarzan Sabah ni, bukan tergantung pada etnis tapi pada individu tu sendiri, tergantung pada latar belakang dia
dibesarkan, macam dia lebih cheerfull, confident tinggi, mungkin yang India tu, yang satu lagi, ketika ada masalah, dia luahkan kalau ada masalah dengan kawan-
kawan, mungkin kawan-kawan tak bisa bantu, tapi paling tidak jadi berkurang, tu lah yang bisa saya ambil, tapi saya tak tahu la, tu tergantung etnis atau gak.’’
Dini merasa tidak ada masalah yang mengganggu komunikasinya dengan
teman beda etnis. Kesalahpahaman yang terjadi bahkan lebih sering karena perbedaan agama dan perbedaan bahasa.
‘’Mungkin karena masalah beda agama la, misalnya macam, yang India tu, dia ada patung Dewa kan, mungkin salah paham, tapi karena sebab kan dah rapat,
ya dia bilang tak boleh duduk dekat dengan Tuhannya kan. Salah paham mungkin
Universitas Sumatera Utara
dalam tempo yang sebentar la. Kalau dengan teman Indonesia tu masalah bahasa la tapi salah paham yang membuat orang kan ketawa, tapi saya dah lupa.’’
Masalah bahasa diatasi Dini dengan berusaha untuk belajar berbahasa
Indonesia. Dini terdorong untuk belajar Bahasa Indonesia karena Dini merasa sulit berkomunikasi dengan bahasa Melayu, Dini merasa susah untuk membuat orang
paham apa yang dikatakannya sehingga akhirnya Dini termotivasi untuk terus belajar bahasa Indonesia.
Pada mula datang ke Medan, Dini tidak terlalu merasa terkejut, perbedaan yang ada dinilainya sebagai tantangan baginya untuk mampu beradaptasi.
Makanan di Medan yang dinilainya terlalu pedas serta bahasa yang dinilainya perlu ia adaptasi. Dan pada awal tinggal di Medan, Dini merasa takut karena ia
merasa sendiri tanpa ada keluarga dan belum memiliki teman. Rasa takut tersebut tentu mendorongnya dalam mencari kesamaan, tapi
menurut Dini dia tidak selalu berkumpul dengan teman satu etnis. Dini juga sering ikut aktivitas dalam Persatuan Mahasiswa Malaysia yang kebanyakan anggotanya
adalah mahasiswa Melayu. Dini mengatakan cara yang dilakukannya untuk mengurangi Culture
Shock dengan berpikir positif walaupun di Malaysia terasa lebih baik. Dini menganggap masa-masa dia tinggal di Medan sebagai sebuah hal baru, semua
yang dirasanya berbeda, Dini nikmati sebagai sesuatu yang menarik dan tak pernah dialaminya.
Kasus antara Indonesia dengan Malaysia ditanggapi Dini secara netral. Dini hanya berharap agar kedua Negara tetap menjaga hubungan yang baik.
Universitas Sumatera Utara
‘’Tergantung pada individu tu sendiri kan, susah ya, siapa yang salah, siapa yang betul, apa yang kami harap, kami kan di Indonesia kan, kami harap
keduanya baik-baik saja kan, jadi orang Indonesia di sana baik, orang Malaysia di sini pun baik juga, tu la, saya tak tahu siapa yang betul, saya positive thinking
aja la.’’
Tapi dari penjelasan Dini mengenai dampak kasus yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia, cukup terlihat pula emosional Dini dan secara tak
langsung juga menunjukkan etnosentrisme yang dimiliki Dini. ‘’Ada waktu tu ada case tarian Reog ya..ada dosen kebudayaan, dia bagi
cerita, Malaysia klaim ini-ini, ada la bunyi-bunyi sindiran tu tapi anak Malaysia, pura-pura tak tahu ja la, tak apa la...teman Indonesia, ada juga yang bertanya,
kenapa Malaysia begitu...kok dia nanya kami pula kan..soalnya tu kan benda kecil kan, tarian ja, kami jelaskan ja, kami pun kurang tahu, terus saat tu pihak
Malaysia ada mohon maaf kan, jadi kami bilang ja, mungkin kesalahaan ada di pihak Malaysia.’’
Dini merasa selalu ada motivasi baginya untuk berkomunikasi dengan yang berbeda etnis. Tapi Dini tidak terlalu merasa perlu untuk mengumpulkan
informasi mengenai etnis lain walaupun begitu Dini tetap merasa ia punya kemampuan dalam berkomunikasi dengan teman yang berbeda budaya.
2. NAMA
: NUR AIN NAJWA JENIS KELAMIN
: P ASAL
:PERAK SEMESTER
: II DUA ALAMAT TEMPAT TINGGAL : JLN. SETIA BUDI.
Responden berikutnya adalah Ain, gadis bertubuh mungil ini, terlihat
ramah dalam menyambut peneliti. Ditemui seusai pengajian kelompok di Mushola Fakultas Kedokteran, Ain menyempatkan untuk berbincang dengan peneliti.
Nilai yang dimiliki Ain sebagai Melayu Malaysia, juga hampir sama dengan nilai yang dimiliki responden lain. Bagi Ain, nilai Melayu
Universitas Sumatera Utara
mengajarkannya untuk hormat pada yang lebih tua, menutup aurat, memakai baju yang berukuran cukup besar sehingga tidak membentuk tubuh, jika melewati
orang yang lebih tua, menundukkan badan dan kalau orang tua berbicara, maka yang muda tidak boleh ikut campur. Intinya, Melayu mengajarkan Ain untuk
bersopan santun. Bagi Ain, cara utama yang akan dilakukannya untuk menunjukkan
identitasnya adalah dengan menggunakan baju kurung. Sebab, baju kurung adalah tanda termudah bagi orang lain untuk mengenali mana yang Melayu dan mana
yang bukan Melayu. Ain membayangkan masa depan etnis Melayu Malaysia dengan cukup
optimis jika para orang tua terus mendidik anak-anak dengan nilai Melayu, maka masih ada kemungkinan untuk terwujudnya Masyarakat Melayu Malaysia
seutuhnya, tapi jika saja, budaya Barat yang justru lebih banyak diikuti maka Ain merasa pesimis dan merasa nilai-nilai kebaikan Melayu akan makin terkikis.
Bagi Ain, identitas etnis dirasanya sebagai norma dan nilai yang mengajarkan sopan santun, petuturan yang lembut, kebaikan hingga nilai
berbusana yang baik. Ain menilai pakaian yang digunakan temannya yang beretnis India
Malaysia, terlalu meniru Barat, dan kurang mencerminkan Melayu. ‘’Cemana ya, kalau dari segi..saya pun ada kawan, sahabat yang orang
India, dia baik, tak ada masalah, everything’s ok la. Penilaian negatif? mungkin dari segi pemakaian yang berbeda la, kalau apa yang saya lihat apa yang mereka
pakai kurang Melayu la, agak meniru Barat.’’
Dalam menggambarkan sense of belonging yang dimilikinya Ain
menjelaskannya betapa ia sangat rindu dengan Malaysia, terlebih lagi pada
Universitas Sumatera Utara
masakan khas Malaysia, bahkan terkadang Ain rela memburu kuliner khas Malaysia yang ada di Medan.
Ain mengakui bisa bergaul dengan siapa saja baik dengan teman senegaranya yang berbeda etnis maupun dengan mahasiswa Indonesia. Tapi Ain
lebih sering berinteraksi dengan teman senegaranya baik yang Melayu maupun bukan. Pembicaraan yang sering terjadi antara Ain dengan teman yang berbeda
etnis, lebih banyak seputar kuliah dan tidak sampai pada hal pribadi. Selama hampir satu tahun tinggal di Medan, Ain selalu merasa ada ynag
kurang dan terasa berbeda. Dia tak menemukan ‘’Melayu’’ selama di Medan. Padahal bayangan Ain, Medan merupakan tanah Melayu, tapi rasa ‘ada yang
berbeda’ selalu dirasakan Ain selama di Medan. Ain mengakui ia tak pernah membuat identifikasi Melayu dan Non-
Melayu sebab baginya ia tak pernah memilih teman berdasarkan etnis bahkan terkadang Ain justru tak bisa membedakan mana yang Melayu dan mana yang
bukan. Yang terpenting baginya ia akan tetap mempertahankan nilai-nilai Melayu. Ain tetap bisa menerima perbedaan budaya bahkan tanpa melihat adanya
kesamaan agama. Ain merasa ia bisa akrab dengan teman beda budaya yang sekaligus berbeda agama. Tak masalah baginya berteman baik dengan siapa saja.
‘’Pergaulan kita dengan mereka pun pasti ada beda dengan teman India, tapi ada yang bisa diterima, sepanjang mereka baik dan tak melanggar ajaran
agama aja. Cemana pun ada yang bisa kita makan, tak bisa mereka makan, mereka pun gitu..tapi mereka ada toleransi.’’
Bahkan Ain merasa tidak ada kesalahpahaman yang terjadi antara dirinya
dengan teman-temannya yang berbeda budaya.
Universitas Sumatera Utara
Yang membuatnya sedikit Shock hanya masalah budaya dan bahasa, tapi Ain selalu berusaha menjalaninya dengan baik dan belajar bahasa Indonesia.
Biasanya mahasiswa Malaysia di Medan khususnya Melayu akan merasa makanan di Medan terlalu pedas dan tidak sesuai dengan lidah mereka tapi tidak
bagi Ain, ia justru suka dengan masakan yang ada di Medan. Perasaan berbeda terkadang mendorong Ain untuk mencari kesamaan,
biasanya untuk hal itu, Ain akan berusaha berkumpul dengan teman-teman Melayunya karena ada nilai yang sama yang selalu bisa dibagi dengan teman
seetnis. Ain juga sering terlibat dalam Persatuan Mahasiswa Malaysia. Pada awal kasus antara Indonesia-Malaysia terjadi, Ain merasa atmosfir di
kampus cukup panas bahkan sebagai akibatnya, mahasiswa Malaysia sering menerima sindiran.
‘’Mula-mula topik itu berlaku, keadaannya sangat panas,di kuliah pun disebut-sebut, saya sebagai rakyat Malaysia, agak kecewa la, kenapa orang yang
berbuat kami yang kena hukuman. Kami kan ke sini datang untuk belajar.’’ Hukuman yang mereka terima bahkan hingga terjadi sindiran di depan
kelas, dan dipandang lain, bahkan sindiran pun bukan hanya terjadi di kampus, di luar kampus pun Ain menyebutkan sering ada juga menyindir mereka. Khususnya
bagi orang-orang yang bisa mengenal identitas mereka sebagai Warga Malaysia, misalnya tukang becak dan lainnya. Tapi ada pula temannya yang langsung
menanyakan mengenai kasus yang terjadi dan biasanya Ain akan berusaha menceritakan apa yang ia tahu mengenai kasus tersebut.
Ain merasa ia sudah memiliki motivasi sebagai komponen utama dalam kompetensi komunikasi. Ain juga merasa perlu suntuk meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
pemahamannya mengenai etnis lain, dan biasanya hal itu dilakukannya dengan bertukar informasi tentang budaya. Dan Ain merasa ia memiliki kemampuan
dalam berkomunikasi secara efektif dengan teman beda etnis.
3. NAMA
: AIN SYAFIKAH BT MASROM JENIS KELAMIN
: P ASAL
:JOHOR SEMESTER
: II DUA ALAMAT TEMPAT TINGGAL : JLN SETIA BUDI
Syaf juga peneliti temui di mushola Fakultas Kedokteran. Di sela
kesibukannya berkuliah Syaf menyempatkan ikut dalam kegiatan dakwah kampus. Sebagai seorang Melayu Malaysia Syaf menganggap semua nilai Islam
adalah nilai Melayu. ‘’Kalau yang saya miliki, seperti yang saya tahu, kalau orang Melayu ini kan
macam kaum kan, bukan macam budaya, tapi kalau nilai-nilai, Melayu ni selalu dikaitkan dengan Islam la, nilai-nilai Islam tu nilai-nilai Melayu juga. Macam
hormat orang tua.’’
Yang akan dilakukan Syaf untuk menunjukkan identitas etnisnya seperti
berbuat baik, sopan, berbudi bahasa, menghormati orang yang lebih tua serta tentu saja menggunakan baju kurung. Ditambahkan Syaf ciri lain, orang Melayu adalah
selalu taat pada peraturan, baik peraturan adat, Islam dan peraturan yang ada di Masyarakat. Jadi, Syaf juga akan menaati peraturan sebagai usaha untuk
menunjukkan identitas etnisnya. Syaf menjelaskan masa depan etnis Melayu bukan perkara mengamalkan
nilai Melayu tapi mengamalkan nilai Islam. Bagi Syaf, nilai-nilai Islam sangat penting untuk diamalkan orang Melayu, sebab identitas orang Melayu adalah ke-
Universitas Sumatera Utara
Islaman-nya. Harapan Syaf, orang Melayu kembali mengamalkan ajaran Islam sebab menurutnya sekarang sudah banyak orang Melayu yang tak menunjukkan
ke-Islaman-nya. Bagi Syaf, identitas etnis bermakna sebagai pengamalan nilai budaya.
Selama Syaf tinggal di Medan, Syaf mempunyai penilaian mengenai etnis lain, Syaf memberikan evaluasi positif pada etnis-etnis tersebut.
‘’Kalau orang Cina tu rajin-rajin, yang India tu ramah-ramah, yang Batak pun rajin.’’
Syaf malah menjelaskan dirinya rindu dengan Malaysia tapi komitmen dan sense of belonging dengan Melayu tetap tidak mengalami peningkatan. Syaf
merasa tidak ada yang jauh berbeda antara di kampung halaman dengan di Medan, secara keseluruhan seperti cuaca, siklus, dan beberapa nilai budaya pun hampir
sama. Syaf mengatakan ia juga sering berinteraksi dengan teman yang berbeda
etnis, tapi untuk yang berbeda etnis, sama seperti Ain, Syaf juga lebih dekat dengan teman senegara yang beretnis India. Teman-teman dekat Syaf kebanyakan
beretnis Melayu dan India. Dengan teman yang berbeda etnis, selama Syaf merasa akrab dan dekat,
Syaf biasanya tidak selalu membahas masalah tugas kuliah, terkadang Syaf juga menceritakan masalah pribadi. Syaf merasa tidak ada perbedaan budaya yang
terlau mencolok yang membuatnya merasa berbeda jauh dengan teman yang berbeda etnis.
Syaf sendiri mengerti mana yang Melayu dan mana yang bukan, tapi Syaf tidak terlau paham cara membedakan temannya beretnis Batak dengan yang
Universitas Sumatera Utara
bukan Batak hingga terkadang Syaf menganggap semuanya Batak, atau setiap yang Islam beretnis Melayu Deli. Yang jelas, selama berkomunikasi dengan
teman-teman Indonesianya, Syaf akan berusaha menggunakan bahasa Indonesia, walaupun selama ini sering terjadi kesalahapahaman karena perbedaan bahasa,
tapi Syaf merasa menggunakan bahasa Indonesia lebih mudah untuk saling dipahami antara dirinya dan temannya dan tentunya Syaf merasa ia perlu terus
belajar bahasa Indonesia. Sedangkan Bahasa Melayu hanya diperuntukkan komunikasi dengan teman seetnis. Bagi Syaf yang terpenting selama ia
berinteraksi dengan etnis lain adalah mempertahankan nilai yang ia punya. Syaf tak terlalu memikirkan perbedaan yang ada, bahkan jikapun
temannya selain berbeda etnis, juga berbeda agama, maka Syaf akan tetap berusaha menerima perbedaan. Menurut Syaf, selalu ada nilai yang bisa
diambilnya walaupun berbeda etnis dan agama, yaitu nilai saling tolong menolong dan bekerja sama.
Syaf pun tak pernah memikirkan hal negatif dari etnis lain, Sterotip dan prasangka tak dimiliki Syaf. Semua etnis sama saja baginya. Culture Shock
sebagai fase yang akan dialami orang-orang yang masuk ke tempat baru, ditanggapi Syaf sebagai hal biasa, dan Syaf tidak terlalu menggangap Culture
Shock yang dihadapi sebagai sebuah masalah besar. ‘’Ya karena tak jauh beda, Culture Shock nya tak begitu berlebihan dan
terlalu lama.’’ Berkumpul dan berbagi kesamaan memang hal yang penting bagi orang-
orag yang masuk ke tempat baru yang berbeda budaya. Dan hal itu diakui Syaf kadang dilakukannya, dan memberikannya kenyamanan dalam kelompok etnis
Universitas Sumatera Utara
Melayu. Selain itu, Syaf juga aktif dalam kegiatan Persatuan Mahasiswa Malaysia di kampus, sebagai upaya dalam menemukan dan berkumpul dengan kelompok
yang lebih besar. Penjelasan Syaf mengenai Kasus yang menganggu hubungan Indonesia
dan Malaysia sangat bijak, Syaf tidak terlalu menunjukkan emosionalnya dalam menanggapi kasus tersebut.
‘’Karena tu kan disebabkan orang Indonesia yang tidak suka dengan Malaysia, tu mereka yang sengaja dan orang Malaysia yang tidak suka dengan
Indonesia, atau orang Malaysia yang belum pernah ke Indonesia..mereka kan sama-sama belum paham Negara lain, salah paham karena mereka tidak tahu
bagaimana orang di Negara yang dikatakan, sama-sama belum ‘’merasa’’ tempat lain kan, tu la jadi masalah.’’
Dampak dari kasus tersebut yang dirasakan Syaf hanya rasa terkejutnya ketika ditanya mengenai kasus yang terjadi oleh teman Indonesianya. Dan Syaf
berusaha menjelaskan sejauh ia mengetahui masalahnya. Syaf menjelaskan motivasi untuk berkomunikasi dengan yang berbeda
etnis membuatnya selau ingin tahu, dan membuatnya selalu bertanya dengan temannya. Dan Syaf merasa tidak ada masalah selama ia berkomunikasi dengan
yang berbeda etnis, dan Syaf merasa mampu berkomunikasi dengan baik dengan mereka yang berbeda etnis.
Dari ketiga responden diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Kesimpulan Kasus
1. Dini, secara umum lebih memahami identitas budayanya. Dini lebih
memegang nilai Islam sebagai nilai budayanya ketimbang nilai Melayu.
Universitas Sumatera Utara
Dibesarkan dalam keluarga yang memegang teguh agama, membuat Dini lebih menjiwai pengamalan nilai agama. Walaupun demikian, Dini tetap mengerti
identitas etnis, namun identitas etnis hanya digunakan Dini untuk membantu dirinya mengenal ‘siapa dia’ dalam hal karakteristik etnis. Komponen secara
umum ketiganya cukup terbuka dalam menjelaskan pengalaman mereka. Dilihat dari komponen identitas etnis, Dini memiliki identitas kemampuan dalam
mengidentifikasi etnisnya in-group dan etnis lain out-group serta memiliki pengetahuan etnis yang memadai dan rasa kepemilikan pada kelompok dan etnis.
Interaksi Dini cukup berimbang antara teman satu etnis dengan teman yang berbeda etnis. Bahkan walaupun Dini termasuk gadis yang taat pada agama,
namun hal tersebut tidak menjadikannya enggan untuk berinteraksi dengan teman beda etnis yang berbeda agama. Dini merasa nyaman berinteraksi dengan teman
beda etnis. Bagi Dini yang terpenting adalah ia berteman dengan orang yang baik sehingga ia tetap bisa mempertahankan nilai yang dipercayanya.
Dini sudah memiliki motivasi untuk berkomunikasi secara efektif, Dini sudah memiliki kebutuhan untuk menghindari kecemasan karena perbedaan
budaya dan kebutuhan untuk menopang konsep diri. Hal itu, disimpulkan dari penjelasan Dini yang memiliki teman beda etnis, dan merasa selalu ada nilai baik
yang bisa diambilnya dari teman yang berbeda etnis. Selain itu, Dini juga sudah mindful terhadap ranah identitas artinya seperti apa identitas etnis, untuk apa dan
siapa yang termasuk di dalamnya dan Dini juga sudah mindful terhadap kebutuhan identitas untuk dikomunikasikan agar bisa dipertukarkan dan bisa membantu Dini
untuk lebih memahami dirinya seperti apa. Dan yang pasti, Dini juga sudah
Universitas Sumatera Utara
mindful terhadap kecenderungan etnosentrisme, dari penjelasannya mengenai kasus Indonesia dan Malaysia, Dini menunjukkan hal tersebut.
Mengenai faktor pengetahuan, Dini merasa ia tidak butuh untuk mengumpulkan informasi tentang etnis lain, hal itu bisa dimengerti karena
menurut Dini, usahanya untuk berteman dan terbuka dengan siapa saja tidak memerlukan pemahaman apa pun mengenai etnisnya, yang paling penting ia
merasa nyaman dengan pribadi temannya. Jika dianalisa sebenarnya Dini sudah memiliki pengetahuan perbedaan kelompok dan pengetahuan mengenai kesamaan
personal. Sedangkan kecakapan, Dini sudah memiliki kemampuan dalam bertoleransi pada ambiguitas, dan dalam mengelola kecemasan. Hal itu bisa
disimpulkan dari bagaimana Dini memulai hubungannya dengan teman etnis, dan bagaimana akhirnya Dini bisa menerima perbedaan yang ada antara Medan dan
kampung halaman. Jadi jika disimpulkan Dini sudah masuk pada level, conscious Competence yaitu terjadi pada saat seseorang sudah menyadari kemampuannya
dan berusaha untuk terus memperbaiki kemampuannya terus-menerus melalui proses belajar dan pikiran analitik.
2. Nilai identitas etnis yang dimiliki Ain juga cukup baik. Ain bisa
mengidentifikasi perbedaan kelompok etnisnya dengan kelompok lain, Ain juga memiliki rasa kepemilikan yang cukup tinggi pada etnisnya dan ia juga memiliki
pengetahuan tentang etnisnya yang menyangkut bahasa, nilai dan pola perilaku kultural.
Interaksi antarbudaya yang dilakukan Ain juga cukup berimbang antara teman seetnis dan teman beda etnis. Diakui Ain ia masih merasakan ada
Universitas Sumatera Utara
perbedaan budaya yang kadang mengganggu komunikasinya dan membuatnya merasa tidak nyaman dengan komunikasi antarbudaya. Walaupun hal tersebut
sering terjadi, tidak lantas menyurutkan motivasi komunikasi antarbudaya Ain. Motivasi untuk berkomunikasi antarbudaya tetap ada, dan Ain juga mampu
menggunakan motivasi tersebut untuk mau berkomunikasi. Motivasi yang Ain miliki, membuktikan bahwa mindful terhadap
kebutuhan identitas dan mindful terhadap kecenderungan etnosentrisme. Motivasi yang ia punya secara sadar ataupun tidak, sudah mampu membuatnya sadar
bahwa penting untuk mengkomunikasikan identitas, saling bertukar identitas. Dan dari segi pengetahuan, Ain sudah memiliki pengetahuan tentang perbedaan
kelompok hal itu disimpulkan dari penjelasannya tentang bagaimana ia merasakan berbeda dengan etnis lain. Dan faktor kecakapan, yang Ain miliki
masih terbatas pada usahanya untuk mengembangkan relasi. Ain masih belum bisa menghilangkan kecemasan serta bertoleransi terhadap ambiguitas. Sehingga
membuatnya terkadang belum bisa menyesuiakan diri. Jadi Ain secara sadar merasa ada yang berjalan belum baik dalam interaksi dan lingkungannya sehingga
Ain masih berada pada level Concious Incompetence, tapi berbeda dengan orang yang sebelumnya juga masuk dalam level ini, Ain memiliki poin lebih yaitu
keterbukaannya dengan etnis lain, hanya saja perasaannya ynag berubah-ubah dalam menilai perbedaan lingkungan masih mebuatnya belum matang untuk bisa
masuk pada level yang baik. Jika perasaan ‘’kurang’’ atau ‘’berbeda’’ sudah bisa diatasinya maka Ain pasti sudah masuk pada level Unconscious Competence dan
Universitas Sumatera Utara
bisa menghilangkan kecemasannya sehingga pada akhirnya bisa masuk pada level tertinggi yaitu conscious Competence.
3. Syaf juga memiliki identitas etnis yang cukup memadai namun sama
halnya dengan Dini, Syaf lebih sering dan lebih senang membawa identitas budaya, khususnya identitas agama, sebab bagi Syaf, nilai agama adalah nilai
budaya karena nilai agama sangat dominan dalam Melayu. Pengetahuan tentang etnis, rasa kepemilikan pada etnis serta kemapuan dalam mengindentifikasi
perbedaan etnisnya dengan etnis lain juga dimiliki Syf sebagai bentuk identitas etnis.
Interaksi Syaf juga tidak tertutup pada teman seetnis, Syaf merasa tidak ada masalah yang mengganggu komunikasi antarbudaya yang dilakukannya,
bahkan hal tersebut dibuktikannya dengan kedekatannya dengan teman beda etnis. Syaf mengakui ia bisa akrab dengan teman beda etnis bahkan yang juga berbeda
agama sekalipun. Keterbukaan Syaf dalam komunikasi juga diakuinya dengan intensitas dan keintiman komunikasi antarbudaya yang dilakukannya.
Syaf memiliki motivasi dalam berkomunikasi dengan teman yang berbeda etnis. Dari segi motivasi, Syaf sudah memiliki kebutuhan untuk menghindari
penyebaran kecemasan, hal itu terbukti, dari ketiga responden dalam kelompok ini, Syaf yang paling baik kemampuannya dalam menghindari kecemasan yang
berlebihan. Jadi Syaf mindful terhadap ranah identitas, yaitu apa yang menjadi bagian dalam identitasnya nilai dan identifikasi in-group serta mindful terhadap
kebutuhan identitas, artinya secara sadar Syaf menyakini penting bagi dirinya untuk memenuhi kebutuhan identitasnya untuk dikomunikasikan. Dari faktor
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan, Syaf mengetahui perbedaan kelompok serta pengetahuan tentang pengembangan relasi dan adaptasi antarbudaya. Hal itu membuktikan bahwa Syaf
memiliki kemampuan dalam mengadaptasi antarbudaya, karena Syaf yang paling cepat dan mudah mengatasi masalah kesulitan dalam beradaptasi. Syaf merasa tak
ada yang jauh berbeda sehingga ia pun dengan cepat bisa beradaptasi. Syaf juga mampu menghilangkan kecemasan dan bertoleransi terhadap ambiguitas. Secara
keseluruhan, Syaf juga dapat disimpulkan berada pada level conscious Competence.
Maka diantara ketiga responden tersebut, Ain yang berada di level yang paling rendah dalam hal interaksi dan kompetensi komunikasi antarbudaya. Hal
tersebut dikarenakan Ain yang masih terlalu kuat dalam mengidentifikasi kesamaannya dengan kelompok etnisnya sehingga ia sering merasa ‘’ada yang
berbeda’’ dalam interaksinya. Sedangkan dua responden lainnya, bisa membuka komunikasinya bahkan merasa nyaman dalam menceritakan hal pribadi dengan
teman dekat yang berbeda etnis. Dan dalam hal rasa kepemilikan terhadap etnis, sebenarnya ketiganya merasa tidak terlalu ada peningkatan signifikan terhadap
hal tersebut. Sedangkan dalam masalah beradaptasi, Syaf yang paling cepat dan mudah mengatasi masalah kesulitan dalam beradaptasi. Syaf merasa tak ada yang
jauh berbeda sehingga ia pun dengan cepat bisa beradaptasi, dan Dini juga memiliki kemampuan adaptasi yang cukup baik, tapi Ain berada pada level yang
paling bawah. Ain masih sering merasa tak menemukan rasa ‘’Melayu’’ yang diharapkannya. Ketiganya juga sering termotivasi untuk berkumpul dan berbagi
Kesimpulan:
Universitas Sumatera Utara
kesamaan dengan teman satu etnis. Mereka masih merasakan lebih nyaman dalm kelompok yang dipenuhi ‘’orang -orang yang beridentitas sama’’. Dan
barangkali, Ain yang pasti lebih merasa membutuhkan hal tersebut, untuk meredam rasa ketidaknyamanannya pada lingkungan baru.
Secara umum ketiga sepakat, untuk menunjukkan identitas etnis mereka adalah dengan menggunakan baju kurung serta berbudi bahasa atau lemah lembut
dalam bertutur. Sedangkan masa depan etnis Melayu Malaysia, ketiganya juga cukup sama dalam membayangkan hal tersebut dengan pesimis, tapi Syaf lebih
memfokuskan pada nilai Islam yang akan ditinggalkan orang Melayu, sedangkan dua responden lain lebih menekankan pada nilai Melayu yang akan pudar ditelan
zaman. Dalam memaknai arti identitas etnis, ketiganya memiliki pandangan yang
berbeda. Dini menganggap identitas adalah pengenal, sedangkan Syaf menilai identitas etnis sebagai pengamalan nilai etnis dan Ain justru melihat identitas etnis
sebagai norma. Tanggapan mengenai kasus Indonesia dengan Malaysia, ditanggapi secara
berbeda oleh ketiganya. Dini menilainya dengan cukup emosional dan terkesan menyalahkan pihak Indonesia begitupun Ain. Perasaan mendapat hal yang tidak
sepantasnya seperti sindiran dan pandangan lain membuat Dini dan Ain lebih merasa emosional dan membangkitkan etnosentrismenya, tapi Syaf justru lebih
tenang dan memberikan penjelasan dengan lebih bijak. Hal itu mungkin juga terjadi karena Syaf tidak terlau merasa ada hal yang mengganggunya selama kasus
tersebut terjadi.
Universitas Sumatera Utara
Dari ketiga responden ini, tentang ataupun kekuatan identitas etnisnya cukup tinggi, tapi untuk Syaf dan Dini, keduanya mampu mengecilkan identitas
etnisnya saat bergaul dengan teman atau bahkan sahabatnya yang berbeda etnis, karena keduanya lebih senang membawa identitas budaya ataupun identitas
Agama. Syaf dan Dini, memiliki kekuatan identitas etnis dan identitas budaya yang sama kuatnya, sehingga mereka mendasarkan komunikasinya tergantung
pada situasi. Ketika mereka merasa lebih baik bagi mereka untuk menunjukkan identitas budayaagama saat dengan teman beda etnis dan juga beda agama maka
mereka akan lebih suka untuk membawa nilai budayaagama. Sedangkan ketika mereka terdesak ataupun perlu menunjukkan identitas etnis misalnya saat ada
kasus Indonesia-Malaysia, maka mereka akan menggunakan identitas etnis mereka. Sedangkan Ain, ia secara umum lebih senang menggunakan identitas
etrnisnya dalam mendasarkan komunikasinya.
Untuk kelompok ini terlihat bahwa mereka menyadari identitas etnis, hal tersebut diakui mereka. Kesemua responden untuk kelompok ini sepakat
menggunakan baju kurung dan bertutur bahasa dengan lembut adalah cara untuk menunjukkan identitas etnis mereka. Ditambah dengan menjaga kelakuan dan
bersopan santun. Bagi perempuan akan sangat mudah menunjukkan identitas etnisnya.
Kesimpulan Kasus Untuk Kelompok Perempuan:
Sembilan dari dua belas responden tersebut menunjukkan kesensitifan mereka mengenai identitas mereka sebagai Melayu Malaysia. Mereka memiliki
Universitas Sumatera Utara
etnosentrisme yang cukup tinggi, hal itu disimpulkan dengan ungkapan mereka mengenai kasus Indonesia dan Malaysia cukup emosional dan terkesan
menyalahkan Indonesia. Sedangkan tiga responden lainnya bisa memberikan penjelasan yang bijak dan tidak terlalu emosional. Tiga responden tersebut adalah
Nisa, Atika, Syaf. Dari kelompok ini bisa disimpulkan bahwa tempat tinggal sangat
berpengaruh bagi responden dalam membangun identitas etnis. Jalur internasional adalah jalur masuk bagi mahasiswa dan mahasiswi Melayu yang mendapat
beasiswa dari pemerintah Malaysia, sehingga biasanya mereka akan ditempatkan dalam asrama, dan jika keluar dari asrama dan memilih tinggal di rumah
kontrakan, mereka akan tetap ditempatkan bersama dengan kelompoknya mahasiswamahasiswi Internasional artinya mereka tidak mungkin lepas dari
kelompoknya. Dan dari penjelasan tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa asrama ataupun rumah kontrakan bagi mahasiswi jalur Internsional adalah sama saja, dan
tak jauh berbeda. Tinggal bersama teman seetnis dan berinteraksi dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi membuat mahasiswi jalur Internasional dalam
hal ini responden menemukan kesamaan dan kenyamanan dalam kelompok. Sedangkan mahasiswi yang masuk melalui jalur Mandiri, biasanya akan bebas
menentukan tinggal dimana dan bersama etnis apa. Jadi, responden yang tinggal di kos ataupun rumah kontrakan dengan jalur masuk Mandiri akan memiliki
kompetensi komunikasi antarbudaya yang lebih baik dibanding responden yang tinggal di asrama atau rumah kontrakan dengan jalur masuk Internasional. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
tentu bisa dipahami bahwa dengan siapa kita tinggal atau lingkungan kita akan mempengaruhi identitas etnis kita.
Para responden yang tinggal di asrama dan rumah kontrakan dengan jalur masuk Internasional akan terbiasa dalam kelompok, sehingga mereka sering
berbagi kesamaan dan akhirnya merasa ada perbedaan dengan etnis lain dan hal tersebut mengakibatkan mereka kurang termotivasi untuk berkomunikasi
antarbudaya, hal ini misalnya terjadi pada Afifah, Aqila, Suraya, Izza. Dan ada beberapa responden dari jalur masuk Internasional yang berusaha cukup keras
untuk mau membuka komunikasinya dan akhirnya bisa akrab dengan etnis lain tapi tetap merasakan kenyamanan dan berinteraksi dengan intensitas yang tinggi
dengan kelompoknya, misalnya Rizki, Atika, Nisa dan Dina. Dan berbeda halnya dengan responden dengan jalur masuk Mandiri, mereka biasanya berusaha sendiri
dalam mencari tempat tinggal dan teman, dan hal tersebut mendorong mereka untuk menjadikan identitas etnis mereka sebagai pengenal, mereka menyadari diri
mereka sebagai etnis Melayu dan identitas etnis tersebut mendorong mereka untuk mau berkomunikasi dengan etnis lain. Dari empat responden dengan jalur masuk
Internasional, menunjukkan bahwa mereka bisa berkomunikasi dengan siapa saja, bahkan mereka memiliki teman dekat yang berbeda etnis, selain itu mereka juga
mampu menerima teman beda etnis yang berbeda agama. Dari keempatnya hanya Ain yang terkadang masih menemukan gangguan dalam komunikasi sedangkan
tiga responden lain seperti Nabilah, Dini dan Syaf, komunikasi antarbudaya mereka sudah cukup lancar. Jadi, seperti apa laingkungan kita tinggal cukup
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi identitas etnis kita. Peneliti menemukan kesimpulan bahwa jalur masuk lah yang menjadi faktor yang akan mempengaruhi identitas etnis.
b. Kelompok Laki-Laki