Interaksionisme Simbolik .1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik
askripsi penting untuk membantu kita memahami bagaimana kesan dapat menimbulkan konflik Martin Thomas, 2007: 158
Pengakuan sendiri dipahami sebagai proses di mana individu memerankan diri mereka sendiri sedangkan askripsi adalah proses di mana orang lain
mengatribusikan identitas tertentu pada mereka. Identitas yang berbeda digunakan tergantung individu yang terlibat dalam komunikasi. Artinya bisa saja saat kita
berinteraksi dengan lawan jenis, maka identitas yang muncul adalah identitas gender dan saat kita bertemu dan berinteraksi dengan orang yang berbeda etnis,
identitas yang muncul adalah identitas etnis. Ininya, perspektif interpretif beranggapan bahwa identitas dan khususnya identitas etnis diekspresikan secara
komunikatif melalui core symbols , label, dan norma. Core Symbols nilai budaya memberitahukan tentang kepercayaan fundamental dan konsep sentral yang
memberi definisi identitas tertentu, yang dibagikan di antara anggota kelompok budaya.
II.3 Interaksionisme Simbolik II.3.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik
Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik: James Mark Baldwin, William James, Charles H.
Cooley, John Dewey, Wiliam I.Thomas dan George Herbet Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling popular sebagai peletak dasar teori tersebut. Mead
mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an dan 1930-an ketika ia menjadi g professor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-
Universitas Sumatera Utara
gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dankuliah-kuliahnya, terutama melalui buku
yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, yakni: Mind, Selg and Society 1934 yang terbit tak lama setelah Mead meninggal dunia. Penyebaran
dan pengembangan teori Mead juga berlangsung melalui interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan para mahasiswanya, terutama Herbert
Blumer. Justru Blumer-lah yang menciptakan istilah ‘’interaksi simbolik’’ pada tahun 1937 dan mempopulerkannya di kalangan komuniitas akademik Mulyana,
2001: 68. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas
manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer mengintegrasikan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisannya,
terutama pada tahun 1950-an dan 1960-an, diperkaya dengan gagasan-gagasan dari John Dewey, Wiliam I.Thomas dan Charles H. Cooley Mulyana, 2001: 68.
Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau
perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial
yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Menurut Natanson, pandangan fenomenologis
atas realitas sosial menganggap dunia intersubjektif sebagai terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Ia mengakui bahwa
George Herbert Mead, William I. Thomas, dan Charles H. Cooley, selain Mahzab
Universitas Sumatera Utara
Eropa yang dipengaruhi Max Weber, adalah representasi Perspektif fenomenologis ini. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa dua pendekatan
utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksionisme simbolik dan etnometodologi Mulyana, 2001: 59.
Selama dekade-dekade awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di belakang dominasi teori fungsionalisme dari
Talcott Parsons. Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950-an dantahun 1960-an mengakibatkan interaksionisme simbolik muncul kembali ke permukaan
dan berkembang pesat hingga saat ini. Selama tahun 1960-an tokoh-tokoh interaksionisme simbolik seperti Howard S.Becker dan Erving Goffman
menghasilkan kajian-kajian interpretif yang menarik dn menawarkan pandangan alternative yang sangat memikat mengenai sosialisasi dan hubungan antara
individu dan masyarakat Mulyana, 2001: 59. Menurut Meltzer, sementara interaksionisme simbolik dianggap relatif
homogen, sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mahzab berdasarkan akar historis dan intelektual mereka yang berbeda. Aliran-aliran interaksionisme
simbolik tersebut adalah Mahzab Chicago, Mahzab Iowa, Pendekatan Dramaturgis, dan Etnometodologi. Mahzab Chicago dan Mahzab Dramaturgis
tampaknya memberikan pemahaman lebih lengkap mengenai realitas yang dikaji. Kedua pendekatan itu tidak hanya menganalisis kehadiran manusia di antara
sesamanya, tetapi juga motif, sikap, nilai yang mereka anut dalam privasi mereka Mulyana, 2001: 59-60.
Universitas Sumatera Utara
Sebagian pakar berpendapat, teori interaksionisme simbolik, khususnya dari George Herbert Mead, seperti teori etnometodologi dari Harold Garfinkel
yang juga berpengaruh di Amerika, serta teori fenomenologi dari Alfred Schutz yang berpengaruh di Eropa, sebenarnya berada di bawah paying teori tindakan
sosial yang dikemukakan filosof dan sekaligus sosiolog Jerman, Max Weber Mulyana, 2001: 59-60.
Sebagaimana diakui Paul Rock, interaksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa abad-19, meskipun
interaksionisme simbolik tidak punya hak waris atasnya atau dianggap sebagai tradisi ilmiah tersendiri. Dengan kata lain, George Herbet Mead tidaklah secara
harfiah mengembangkan teori Weber atau bahwa teori Mead diilhami oleh teori Weber. Hanya memang ada kemiripan dalam pemikiram kedua tokoh tersebut
mengenai tindakan manusia. Pemikiran Mead sendiri diilhami beberapa pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme. Ada kemiripan
antara pandangan Mead dengan pandangan Schutz. Sejumlah interaksionis memang menekankan dimensi fenomenologis dengan mensintesiskan karaya
mereka dengan gagasan Alfred Schutz dan para pengikutnya Mulyana, 2001: 59- 60.
Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku
tersebut. Tindakan di sini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda
setuju dalam situasi tersebut.menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan makan subjektifnya yang diberikan individu atau individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku oaring lain dan karenanya diorientasikan
dalam penampilannya. Sedangkan interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang
merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan
sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang pasif yang aperilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur
yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksi lah yang dianggap variabel penting yang
menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu
berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama. Senada dengan asumsi di atas, dalam fenomenologi Schutz, pemahaman atas
tindakan, ucapan, dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapa pun. Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan
unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap-muka dengan orang lain. kategori pengetahuan kedua adalah berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut
oleh semua anggota budaya Mulyana, 2001: 61-62. Interaksionisme simbolik Mahzab Iowa menggunakan metode saintifik
positivistik dalam kajian-kajiannya, yakni untuk menemukan hukum-hukum universal mengenai perilaku sosial yang dapat diuji secara empiris, sementara
Universitas Sumatera Utara
Mahzab Chicago menggunakan pendekatan humanistik. Dan Mahzab yang popular digunakan adalah Mahzab Chicago Mulyana, 2001: 69.
Bersama anggota-anggota Mahzab Chicago, Blumer mengkonseptualisasikan manusia sebagai menciptakan atau membentuk kembali
lingkungannya, sebagai ‘’merancang dunia objek-nya, dalam aliran tindakannya– alih-alih sekadar merespons pengharapan kelompok.’’ Mulyana, 2001: 70.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus
dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi
mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka.
Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanyalah berdasarkan
definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Tidak mengherankan bila frase-frase ‘’definisi situasi’’, ‘’realitas terletak pada mata
yang melihat,’’ dan ‘’bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil dalam konsekuensinya’’sering dihubungkan dengan interksionisme
simbolik. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer,
proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegaskan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan
kehidupan kelompok. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses
Universitas Sumatera Utara
interaksi, dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan
substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial Mulyana, 2001: 70.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Metode Penelitian III.1.1 Metode Penelitian Kualitatif
Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk
mendekato problem dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengakaji topik penelitian. Metodologi
dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teoritis yang kita gunakan untuk melakukan penelitian, sementara perspektif teoritis itu sendiri adalah suatu
kerangka penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami data dan menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situsi lain.
Sebagaimana perspektif yang merupakan suatu rentang dari yang sangat objektif hingga sangat subjektif,maka metodologi pun sebenarnya merupakan suatu
rentang juga, dari yang sangat kuantitatif objektif hingga yang sangat kualitatif subjektif Mulyana, 2001: 145-146.
Seperti juga teori, metodologi diukur berdasarkan kemanfaatannya, dan tidak bisa dinilai apakah suatu metoe benar atau salah. Untuk menelaah hasil
penelitian secara benar, kita tidak cukup sekadar melihat apa yang ditemukan peneliti, tetapi juga bagaimana peneliti sampai pada temuannya berdasarkan
kelebihan dan keterbatasan metode yang digunakannya Mulyana, 2001: 146. Metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika
matematis, prinsip angka, atau metode statistik. Pembicaraan yang sebenarnya,
Universitas Sumatera Utara
isyarat, dan tindakan sosial lainnya adalah bahan mental untuk analisis kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia
dan menganalisis kualitas-kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi entitas- entitas kuantitatif Mulyana, 2001: 150.
Dalam penelitian kuantitatif, pengamatan berperan-serta, wawancara mendalam, dan analisis dokumen juga dikenal, tetapi tidak dianggap terlalu
penting, sementara dalam penelitian kualitatif ketiga metode tersebut bersifat fundamental dan sering digunakan bersama-sama, seperti dalam studi kasus.
Jelasnya penelitian kualitatif bertujuan memperoleh pemahaman yang otentik mengenai pengalaman orang-orang, sebagaimana dirasakan orang-orang
bersangkutan. Oleh karena itu, salah satu ciri penelitian kualitatif adalah bahwa tidak ada hipotesis yang spesifik pada saat penelitian dimulai;hipotesis justru
dibangun selama tahap-tahap penelitian, setelah diuji atau dikonfrontasikan dengan data yang diperoleh peneliti selama penelitian tersebut Mulyana, 2001:
155-156.
III.1.2 Studi Kasus
Penelitian ini bersifat kualitatuf dengan menggunakan metode studi kasus. Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek
seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi komunitas, suatu program, atau suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak
mungkin data mengenai subjek yang diteliti Mulyana, 2001: 201. Pengertian lain studi kasus adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data
Universitas Sumatera Utara
sebanyak mungkin data yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu
program, orgnisasi, atau peristiwa secara sistematis Kriyantono, 2007: 66. Seorang peneliti harus mengumpulkan data setepat-tepatnya dan selengkap-
lengkapnya dari kasus tersebut untuk mengetahui sebab-sebab yang sesungguhnya bilamana terdapat aspek-aspek yang perlu diperbaiki Nawawi, 1995:72.
Penelitian dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian di lokasi penelitian. Semua hasil pengamatan dituangkan dalam
pembahasan. Hasil wawancara nantinya akan dianalisis dan dipilih jawaban yang paling mendekati dan berkaitan dengan tujuan penelitian.
Tujuan studi kasus adalah meningkatkan pengetahuan mengenai peristiwa- peristiwa komunikasi yang nyata dalam berbagai konteks. Pertanyaan tentang
bagaimana dan mengapa hal-hal tertentu terjadi dalam sebuah situasi tertentu, atau apa yang terjadi disini. Pada hakikatnya, peneliti sedang mencoba menghidupkan
nuansa komunikasi dengan menguraikan kenyataan. Peneliti akan melakukannya dengan cara:
1. Melakukan analisis mendetail mengenai kasus dan situasi tertentu.
2. Berusaha memahaminya dari sudut pandang orang-orang yang bekerja
di sana. 3.
Mencatat bermacam-macam pengaruh dan aspek-aspek hubungan komunikasi dan pengalaman.
4. Membangkitkan perhatian pada faktor-faktor tersebut berhubungan
satu sama lain Daymon, 2007:162.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai suatu metode kualitatif, studi kasus memiliki beberapa keuntungan. Keistimewaan studi kasus meliputi hal-hal berikut:
1. Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni
menyajikan pandangan subjek yang diteliti. 2.
Studi kasus menyajikan uraian yang meyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami oarang dalam kehidupan.
3. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan
antara peneliti responden 4.
Studi Kasus memberikan uraian tebal yang diperlukan bagi penilaian atas transfer abilitas.
5. Studi kasus terbuka bagi penelitian atas konteks yang turut berperan
bagi pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut. Karakteristik studi kasus adalah sebagai berikut:
1. Eksplorasi mendalam dan menyempit.
2. Berfokus pada peristiwa nyata dalam konteks kehidupan
sesungguhnya. 3.
Dibatasi oleh ruang dan waktu. 4.
Bisa hanya merupakan kilasan atau riset longitudinal tentang peristiwa yang sudah maupun sedang terjadi.
5. Dari berbagai sumber informasi dan sudut pandang.
6. Mendetail.
7. Pandangan menyeluruh, menyelidiki hubungan dan keterpautan.
Universitas Sumatera Utara
8. Fokus pada realitas yang diterima apa adanya maupun realitas yang
penting dan tidak biasa. 9.
Bermanfaat untuk membangun sekaligus menguji teori Daymon, 2007:164.
Setiap analisis kasus mengandung data berdasarkan wawancara, data berdasarkan pengamatan, data dokumenter, kesan dan pernyataan orang lain
mengenai kasus tersebut. Pendekatan studi kasus menyediakan peluang untuk menerapkan prinsip umum terhadap situasi-situasi spesifik atau contoh-contoh,
yang disebut kasus-kasus. Contoh-contoh dikemukakan berdasarkan isu-isu penting, sering diwujudkan dalam pertanyaan-pertanyaan. Dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan, analisis studi kasus menunjukkan kombinasi pandangan, pengetahuan, dan kreativitas dalam mengidentifikasi dan membahas isu-isu
relevan dalam kasus yang dianalisisnya, dalam menganalisis isu-isu ini dari sudut pandang teori dan riset yang relevan, dan dalam merancang strategi yang realistik
dan layak untuk mengatasi situasi problematik yang teridentifikasi dalam kasus Mulyana, 2001: 202
Menurut Ragin dalam Mulyana 2001, metode berorientasi kasus … bersifat holistik-metode ini menganggap kasus sebagai entitas menyeluruh dan
bukan sebagai kumpulan bagian-bagian atau kumpulan skor mengenai variabel. Jadi, hubungan antara bagian-bagian dalam keseluruhan itu dipahami dalam
konteks keseluruhan, bukan dalam konteks pola-pola umum kovariasi antara variabel-variabel yang menandai anggota-anggota suatu populasi unit-unit yang
sebanding. Kedua, hubungan sebab-akibat dipahami sebagai perkiraan. Akibat
Universitas Sumatera Utara
dianalisis berdasarkan persimpangan berbagai kondisi, dan biasanya diasumsikan bahwa hubungan mana pun mungkin menimbulkan suatu akibat. Sifat ini dan sifat
lain metode berorientasi kasus memungkinkan peneliti menafsirkan kasus-kasus secara historis dan merumuskan pernyataan mengenai asal-mula perubahan
kualitatif yang penting dalam situasi-situasi yang spesifik Mulyana, 2001: 203.