Interaksionisme Simbolik .1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik

askripsi penting untuk membantu kita memahami bagaimana kesan dapat menimbulkan konflik Martin Thomas, 2007: 158 Pengakuan sendiri dipahami sebagai proses di mana individu memerankan diri mereka sendiri sedangkan askripsi adalah proses di mana orang lain mengatribusikan identitas tertentu pada mereka. Identitas yang berbeda digunakan tergantung individu yang terlibat dalam komunikasi. Artinya bisa saja saat kita berinteraksi dengan lawan jenis, maka identitas yang muncul adalah identitas gender dan saat kita bertemu dan berinteraksi dengan orang yang berbeda etnis, identitas yang muncul adalah identitas etnis. Ininya, perspektif interpretif beranggapan bahwa identitas dan khususnya identitas etnis diekspresikan secara komunikatif melalui core symbols , label, dan norma. Core Symbols nilai budaya memberitahukan tentang kepercayaan fundamental dan konsep sentral yang memberi definisi identitas tertentu, yang dibagikan di antara anggota kelompok budaya. II.3 Interaksionisme Simbolik II.3.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik: James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey, Wiliam I.Thomas dan George Herbet Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling popular sebagai peletak dasar teori tersebut. Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an dan 1930-an ketika ia menjadi g professor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan- Universitas Sumatera Utara gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dankuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, yakni: Mind, Selg and Society 1934 yang terbit tak lama setelah Mead meninggal dunia. Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga berlangsung melalui interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan para mahasiswanya, terutama Herbert Blumer. Justru Blumer-lah yang menciptakan istilah ‘’interaksi simbolik’’ pada tahun 1937 dan mempopulerkannya di kalangan komuniitas akademik Mulyana, 2001: 68. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer mengintegrasikan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisannya, terutama pada tahun 1950-an dan 1960-an, diperkaya dengan gagasan-gagasan dari John Dewey, Wiliam I.Thomas dan Charles H. Cooley Mulyana, 2001: 68. Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Menurut Natanson, pandangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjektif sebagai terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Ia mengakui bahwa George Herbert Mead, William I. Thomas, dan Charles H. Cooley, selain Mahzab Universitas Sumatera Utara Eropa yang dipengaruhi Max Weber, adalah representasi Perspektif fenomenologis ini. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksionisme simbolik dan etnometodologi Mulyana, 2001: 59. Selama dekade-dekade awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di belakang dominasi teori fungsionalisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950-an dantahun 1960-an mengakibatkan interaksionisme simbolik muncul kembali ke permukaan dan berkembang pesat hingga saat ini. Selama tahun 1960-an tokoh-tokoh interaksionisme simbolik seperti Howard S.Becker dan Erving Goffman menghasilkan kajian-kajian interpretif yang menarik dn menawarkan pandangan alternative yang sangat memikat mengenai sosialisasi dan hubungan antara individu dan masyarakat Mulyana, 2001: 59. Menurut Meltzer, sementara interaksionisme simbolik dianggap relatif homogen, sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mahzab berdasarkan akar historis dan intelektual mereka yang berbeda. Aliran-aliran interaksionisme simbolik tersebut adalah Mahzab Chicago, Mahzab Iowa, Pendekatan Dramaturgis, dan Etnometodologi. Mahzab Chicago dan Mahzab Dramaturgis tampaknya memberikan pemahaman lebih lengkap mengenai realitas yang dikaji. Kedua pendekatan itu tidak hanya menganalisis kehadiran manusia di antara sesamanya, tetapi juga motif, sikap, nilai yang mereka anut dalam privasi mereka Mulyana, 2001: 59-60. Universitas Sumatera Utara Sebagian pakar berpendapat, teori interaksionisme simbolik, khususnya dari George Herbert Mead, seperti teori etnometodologi dari Harold Garfinkel yang juga berpengaruh di Amerika, serta teori fenomenologi dari Alfred Schutz yang berpengaruh di Eropa, sebenarnya berada di bawah paying teori tindakan sosial yang dikemukakan filosof dan sekaligus sosiolog Jerman, Max Weber Mulyana, 2001: 59-60. Sebagaimana diakui Paul Rock, interaksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa abad-19, meskipun interaksionisme simbolik tidak punya hak waris atasnya atau dianggap sebagai tradisi ilmiah tersendiri. Dengan kata lain, George Herbet Mead tidaklah secara harfiah mengembangkan teori Weber atau bahwa teori Mead diilhami oleh teori Weber. Hanya memang ada kemiripan dalam pemikiram kedua tokoh tersebut mengenai tindakan manusia. Pemikiran Mead sendiri diilhami beberapa pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme. Ada kemiripan antara pandangan Mead dengan pandangan Schutz. Sejumlah interaksionis memang menekankan dimensi fenomenologis dengan mensintesiskan karaya mereka dengan gagasan Alfred Schutz dan para pengikutnya Mulyana, 2001: 59- 60. Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan di sini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut.menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh Universitas Sumatera Utara berdasarkan makan subjektifnya yang diberikan individu atau individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku oaring lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannya. Sedangkan interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang pasif yang aperilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksi lah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama. Senada dengan asumsi di atas, dalam fenomenologi Schutz, pemahaman atas tindakan, ucapan, dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapa pun. Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap-muka dengan orang lain. kategori pengetahuan kedua adalah berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut oleh semua anggota budaya Mulyana, 2001: 61-62. Interaksionisme simbolik Mahzab Iowa menggunakan metode saintifik positivistik dalam kajian-kajiannya, yakni untuk menemukan hukum-hukum universal mengenai perilaku sosial yang dapat diuji secara empiris, sementara Universitas Sumatera Utara Mahzab Chicago menggunakan pendekatan humanistik. Dan Mahzab yang popular digunakan adalah Mahzab Chicago Mulyana, 2001: 69. Bersama anggota-anggota Mahzab Chicago, Blumer mengkonseptualisasikan manusia sebagai menciptakan atau membentuk kembali lingkungannya, sebagai ‘’merancang dunia objek-nya, dalam aliran tindakannya– alih-alih sekadar merespons pengharapan kelompok.’’ Mulyana, 2001: 70. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanyalah berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Tidak mengherankan bila frase-frase ‘’definisi situasi’’, ‘’realitas terletak pada mata yang melihat,’’ dan ‘’bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil dalam konsekuensinya’’sering dihubungkan dengan interksionisme simbolik. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegaskan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses Universitas Sumatera Utara interaksi, dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial Mulyana, 2001: 70. Universitas Sumatera Utara BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Penelitian III.1.1 Metode Penelitian Kualitatif Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekato problem dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengakaji topik penelitian. Metodologi dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teoritis yang kita gunakan untuk melakukan penelitian, sementara perspektif teoritis itu sendiri adalah suatu kerangka penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami data dan menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situsi lain. Sebagaimana perspektif yang merupakan suatu rentang dari yang sangat objektif hingga sangat subjektif,maka metodologi pun sebenarnya merupakan suatu rentang juga, dari yang sangat kuantitatif objektif hingga yang sangat kualitatif subjektif Mulyana, 2001: 145-146. Seperti juga teori, metodologi diukur berdasarkan kemanfaatannya, dan tidak bisa dinilai apakah suatu metoe benar atau salah. Untuk menelaah hasil penelitian secara benar, kita tidak cukup sekadar melihat apa yang ditemukan peneliti, tetapi juga bagaimana peneliti sampai pada temuannya berdasarkan kelebihan dan keterbatasan metode yang digunakannya Mulyana, 2001: 146. Metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau metode statistik. Pembicaraan yang sebenarnya, Universitas Sumatera Utara isyarat, dan tindakan sosial lainnya adalah bahan mental untuk analisis kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi entitas- entitas kuantitatif Mulyana, 2001: 150. Dalam penelitian kuantitatif, pengamatan berperan-serta, wawancara mendalam, dan analisis dokumen juga dikenal, tetapi tidak dianggap terlalu penting, sementara dalam penelitian kualitatif ketiga metode tersebut bersifat fundamental dan sering digunakan bersama-sama, seperti dalam studi kasus. Jelasnya penelitian kualitatif bertujuan memperoleh pemahaman yang otentik mengenai pengalaman orang-orang, sebagaimana dirasakan orang-orang bersangkutan. Oleh karena itu, salah satu ciri penelitian kualitatif adalah bahwa tidak ada hipotesis yang spesifik pada saat penelitian dimulai;hipotesis justru dibangun selama tahap-tahap penelitian, setelah diuji atau dikonfrontasikan dengan data yang diperoleh peneliti selama penelitian tersebut Mulyana, 2001: 155-156. III.1.2 Studi Kasus Penelitian ini bersifat kualitatuf dengan menggunakan metode studi kasus. Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi komunitas, suatu program, atau suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti Mulyana, 2001: 201. Pengertian lain studi kasus adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data Universitas Sumatera Utara sebanyak mungkin data yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, orgnisasi, atau peristiwa secara sistematis Kriyantono, 2007: 66. Seorang peneliti harus mengumpulkan data setepat-tepatnya dan selengkap- lengkapnya dari kasus tersebut untuk mengetahui sebab-sebab yang sesungguhnya bilamana terdapat aspek-aspek yang perlu diperbaiki Nawawi, 1995:72. Penelitian dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian di lokasi penelitian. Semua hasil pengamatan dituangkan dalam pembahasan. Hasil wawancara nantinya akan dianalisis dan dipilih jawaban yang paling mendekati dan berkaitan dengan tujuan penelitian. Tujuan studi kasus adalah meningkatkan pengetahuan mengenai peristiwa- peristiwa komunikasi yang nyata dalam berbagai konteks. Pertanyaan tentang bagaimana dan mengapa hal-hal tertentu terjadi dalam sebuah situasi tertentu, atau apa yang terjadi disini. Pada hakikatnya, peneliti sedang mencoba menghidupkan nuansa komunikasi dengan menguraikan kenyataan. Peneliti akan melakukannya dengan cara: 1. Melakukan analisis mendetail mengenai kasus dan situasi tertentu. 2. Berusaha memahaminya dari sudut pandang orang-orang yang bekerja di sana. 3. Mencatat bermacam-macam pengaruh dan aspek-aspek hubungan komunikasi dan pengalaman. 4. Membangkitkan perhatian pada faktor-faktor tersebut berhubungan satu sama lain Daymon, 2007:162. Universitas Sumatera Utara Sebagai suatu metode kualitatif, studi kasus memiliki beberapa keuntungan. Keistimewaan studi kasus meliputi hal-hal berikut: 1. Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni menyajikan pandangan subjek yang diteliti. 2. Studi kasus menyajikan uraian yang meyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami oarang dalam kehidupan. 3. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara peneliti responden 4. Studi Kasus memberikan uraian tebal yang diperlukan bagi penilaian atas transfer abilitas. 5. Studi kasus terbuka bagi penelitian atas konteks yang turut berperan bagi pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut. Karakteristik studi kasus adalah sebagai berikut: 1. Eksplorasi mendalam dan menyempit. 2. Berfokus pada peristiwa nyata dalam konteks kehidupan sesungguhnya. 3. Dibatasi oleh ruang dan waktu. 4. Bisa hanya merupakan kilasan atau riset longitudinal tentang peristiwa yang sudah maupun sedang terjadi. 5. Dari berbagai sumber informasi dan sudut pandang. 6. Mendetail. 7. Pandangan menyeluruh, menyelidiki hubungan dan keterpautan. Universitas Sumatera Utara 8. Fokus pada realitas yang diterima apa adanya maupun realitas yang penting dan tidak biasa. 9. Bermanfaat untuk membangun sekaligus menguji teori Daymon, 2007:164. Setiap analisis kasus mengandung data berdasarkan wawancara, data berdasarkan pengamatan, data dokumenter, kesan dan pernyataan orang lain mengenai kasus tersebut. Pendekatan studi kasus menyediakan peluang untuk menerapkan prinsip umum terhadap situasi-situasi spesifik atau contoh-contoh, yang disebut kasus-kasus. Contoh-contoh dikemukakan berdasarkan isu-isu penting, sering diwujudkan dalam pertanyaan-pertanyaan. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan, analisis studi kasus menunjukkan kombinasi pandangan, pengetahuan, dan kreativitas dalam mengidentifikasi dan membahas isu-isu relevan dalam kasus yang dianalisisnya, dalam menganalisis isu-isu ini dari sudut pandang teori dan riset yang relevan, dan dalam merancang strategi yang realistik dan layak untuk mengatasi situasi problematik yang teridentifikasi dalam kasus Mulyana, 2001: 202 Menurut Ragin dalam Mulyana 2001, metode berorientasi kasus … bersifat holistik-metode ini menganggap kasus sebagai entitas menyeluruh dan bukan sebagai kumpulan bagian-bagian atau kumpulan skor mengenai variabel. Jadi, hubungan antara bagian-bagian dalam keseluruhan itu dipahami dalam konteks keseluruhan, bukan dalam konteks pola-pola umum kovariasi antara variabel-variabel yang menandai anggota-anggota suatu populasi unit-unit yang sebanding. Kedua, hubungan sebab-akibat dipahami sebagai perkiraan. Akibat Universitas Sumatera Utara dianalisis berdasarkan persimpangan berbagai kondisi, dan biasanya diasumsikan bahwa hubungan mana pun mungkin menimbulkan suatu akibat. Sifat ini dan sifat lain metode berorientasi kasus memungkinkan peneliti menafsirkan kasus-kasus secara historis dan merumuskan pernyataan mengenai asal-mula perubahan kualitatif yang penting dalam situasi-situasi yang spesifik Mulyana, 2001: 203.

III. 2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara USU yang beralamat di Jalan Dr. Mansyur No.5, Medan 20155, dengan no telepon : +62-61-8211045; 8210555. Terkadang peneliti juga menyesuaikan dengan kesediaan waktu dan tempat responden, sehingga peneliti mengikuti kehendak responden dalam menentukan tempat untuk melakukan wawancara. Jadi tempat wawancara juga terjadi di kos, atau rumah kontrakan responden.

III. 3 Subjek Penelitian

Riset kualitatif tidak bertujuan untuk membuat generalisasi hasil riset. Hasil riset lebih bersifat kontekstual dan kausistik, yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu sewaktu riset dilakukan karena itu pada riset kualitatif tidak dikenal istilah sampel. Sampel pada riset kualitatif disebut informan atau subjek riset, yaitu orang-orang yang dipilih untuk diwawancarai atau diobservasi sesuai tujuan riset. Disebut subjek riset – bukan objek- karena informan dianggap aktif Universitas Sumatera Utara mengkonstruksi realitas, bukan sekadar objek yang hanya mengisi kuesioner. Kriyantono, 2006:163. Untuk studi kasus, jumlah informan dan individu yang menjadi informan dipilih sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitia. Orang-orang yang dapat dijadikan informan adalah orang yang memiliki pengalaman sesuai dengan penelitian, orang-orang dengan peran tertentu dan tentu saja yang mudah diakses. Melalui metode kualitatif kita dapat mengenal orang subjek secara pribadi dan melihat mereka mengembangkan definisi mereka sendiri tentang dunia dan komunikasi yang mereka lakukan. Kita dapat merasakan apa yang mereka alami dalam pergaulan masyarakat mereka sehari-hari. Melalui metode ini memungkinkan kia menyelidiki konsep yang dalam pendekatan lainnya akan hilang Bodgan,1992:5. Maka subjek penelitian ini adalah Mahasiswa Kedokteran USU asal Malaysia yang dibatasi pada etnis Melayu. Berdasarkan data yang diperoleh dari bagian pendidikan Fakultas Kedokteran USU, jumlah mahasiswa asal Malaysia, pada stambuk 2007 adalah 177 orang, stambuk 2008 sebanyak 133 orang, dan 2009 sejumlah 118 orang. Namun tidak ada data yang spesifik mengenai data Mahasiswa yang etnis Melayu, Tamil atau Cina, karena data yang ada hanya menunjukkan status mereka sebagai Warga Negara Asing. Pembatasan ini dimaksudkan untuk menspesifikkan pada etnis melayu Malaysia. Pemilihan subjek dilakukan dengan teknik perumusan karakteristik subjek yaitu berdasarkan: Universitas Sumatera Utara 1. Asal subjek 2. Lama tinggal subjek 3. Tempat tinggal subjek 4. Jenis kelamin subjek. Asal subjek dibatasi pada tiga asal kotaNegara bagian Malaysia yaitu:A, B, C, artinya diusahakan subjek berasal dari kota yang berbeda. Lama tinggal subjek dibagi menjadi dua yaitu: satu tahun dan lebih dari satu tahun. Tempat tinggal subjek juga dibagi dua yaitu; rumah kontrakan dan asrama. Sedangkan jenis kelamin yaitu Laki-laki dan perempuan. Penentuan kategori ini tentunya ingin melihat apakah terdapat pengaruh asal, lama tinggal, tempat tinggal serta jenis kelamin terhadap identitas etnis. Jadi, 24 orang yang akan menjadi subjek dengan rumusan sebagai berikut: 1. Laki-laki, asal A, tinggal 1 tahun di Asrama 2. Laki-laki, asal A, tinggal 1 tahun di rumah kontrakan 3. Laki-laki, asal A, tinggal lebih dari 1 tahun, dan di Asrama 4. Laki-laki, asal A, tinggal lebih dari 1 tahun, dan di rumah kontrakan 5. Perempuan, asal A, tinggal 1 tahun, di Asrama 6. Perempuan, asal A, tinggal 1 tahun, di rumah kontrakan 7. Perempuan, asal A, lebih dari 1 tahun, dan di Asrama 8. Perempuan, asal A, lebih dari 1 tahun, dan di rumah kontrakan 9. Laki-laki, asal B, tinggal 1 tahun di Asrama 10. Laki-laki, asal B, tinggal 1 tahun di rumah kontrakan 11. Laki-laki, asal B, tinggal lebih dari 1 tahun, dan di Asrama 12. Laki-laki, asal B, tinggal lebih dari 1 tahun, dan di rumah kontrakan Universitas Sumatera Utara 13. Perempuan, asal B, tinggal 1 tahun, di Asrama 14. Perempuan, asal B, tinggal 1 tahun, di rumah kontrakan 15. Perempuan, asal B, lebih dari 1 tahun, dan di Asrama 16. Perempuan, asal B, lebih dari 1 tahun, dan di rumah kontrakan 17. Laki-laki, asal C, tinggal 1 tahun di Asrama 18. Laki-laki, asal C, tinggal 1 tahun di rumah kontrakan 19. Laki-laki, asal C, tinggal lebih dari 1 tahun, dan di Asrama 20. Laki-laki, asal C, tinggal lebih dari 1 tahun, dan di rumah kontrakan 21. Perempuan, asal C, tinggal 1 tahun, di Asrama 22. Perempuan, asal C, tinggal 1 tahun, di rumah kontrakan 23. Perempuan, asal C, lebih dari 1 tahun, dan di Asrama 24. Perempuan, asal C, lebih dari 1 tahun, dan di rumah kontrakan Dengan rumusan sederhana, maka dua puluh empat responden akan dibagi menjadi delapan kategori. Dan empat kategori untuk kelompok perempuan, empat kategori untuk kelompok laki-laki, dengan jabaran sebagai berikut: a. Kelompok Perempuan: Kategori I: Perempuan dengan lama tingal lebih dari satu tahun dan tinggal di rumah kontrakan masing-masing berasal dari tiga kota berbeda. Kategori II: Perempuan dengan lama tingal lebih dari satu tahun dan tinggal di asrama masing-masing berasal dari k tiga ota berbeda. Kategori III: Perempuan dengan lama tingal kurang dari satu tahun dan tinggal di rumah kontrakan masing-masing berasal dari tiga kota berbeda. Universitas Sumatera Utara Kategori IV: Perempuan dengan lama tingal kurang dari satu tahun dan tinggal di asrama masing-masing berasal dari tiga kota berbeda. b. Kelompok laki-laki: Kategori I: Laki-laki dengan lama tingal lebih dari satu tahun dan tinggal di rumah kontrakan masing-masing berasal dari tiga kota berbeda. Kategori II: Laki-laki dengan lama tingal lebih dari satu tahun dan tinggal di asrama masing-masing berasal dari tiga kota berbeda. Kategori III: Laki-laki dengan lama tingal kurang dari satu tahun dan tinggal di rumah kontrakan masing-masing berasal dari tiga kota berbeda. Kategori IV: Laki-laki dengan lama tingal kurang dari satu tahun dan tinggal di asrama masing-masing berasal dari tiga kota berbeda. III.4 Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Penelitian Lapangan Field Research

Dokumen yang terkait

Peran Identitas Etnis Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan

3 59 147

Identitas Budaya Dan Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara)

10 110 264

Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa (Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara).

5 75 211

Culture Shock Dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Universitas Sumatera Utara)

9 145 187

Stereotip Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya

1 16 172

PERAN IDENTITAS SUKU JAWA DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Peran Identitas Suku Jawa Dalam Komunikasi Antarbudaya (Studi Deskriptif Kualitatif Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Putri yang ada di Demak).

0 1 14

Peran Identitas Etnis Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan

0 0 42

PERAN IDENTITAS ETNIS DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA KOMUNITAS TAMIL DI KAMPUNG MADRAS KOTA MEDAN SKRIPSI

0 0 13

NEGOSIASI IDENTITAS PENDATANG DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DENGAN ETNIS MADURA (Studi Interpretif Komunikasi Antarbudaya Pendatang dan Etnis Madura di Kamal Bangkalan) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 12

IDENTITAS ETNIS PEGAWAI BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN ILMU PELAYARAN (BP2IP) BAROMBONG (STUDI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA)

0 0 100