Pengertian Islam Modern dan Cita-citanya

telah digariskan dalam khittah dakwah nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits yang menyatakan : سﺎ ﻢﻬ ﻔ أ سﺎ ا ﲑﺧ “Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”.

B. Islam Modern Dan Isu-Isunya

1. Pengertian Islam Modern dan Cita-citanya

Kemunculan kaum modernis dalam Islam sebenarnya merujuk pada polarisasi model keberagamaan dalam Islam yang mengemuka pada pergantian abad ke-19. Islam modern ini berasal dari gerakan sosial-politik dan keagamaan yang diprakarsai oleh Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha di Mesir. Mereka melakukan modernisasi terhadap Islam disebabkan karena mereka ingin membebaskan ummat Islam dari penjajahan Barat 24 . Kemudian, untuk meneruskan cita-cita gerakan Jamaludin Al-Afghani, maka Abduh melakukan reformasi terhadap paham keagamaan yang telah dipraktikkan oleh sebagian besar masyarakat muslim. Sedangkan Rasyid Ridha yang juga sebagai murid dari Muhammad Abduh menjabarkan ide-ide kedua pendahulunya itu kedalam sesuatu yang lebih bersifat praktis. Seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan dan sebagainya. Modernisasi yang telah dilakukan oleh al-Afghani, M. Abduh dan Rasyid Ridha tersebut sebenarnya bukanlah suatu gerakan baru. Dua nama besar yakni Taqiyuddin dan Ibn Taimiyyah juga telah melakukan reformasi Islam sebelumnya. Kedua tokoh ini telah merevisi paham keagamaan yang dipraktikkan 24 Nikkie. R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writing of Sayyid jamal ad-Din al-Afghani Los Angles, University of California Press, 1983 oleh sebagian besar masyarakat muslim pada masanya. Gerakan pembaharuan tajdid yang mereka lakukan itu terletak pada upaya mengevaluasi paham keagamaan yang ada dalam rangka menemukan titik-titik kelemahan, baik berupa penyimpangan, ketidaksesuaian serta pencampuradukan dengan unsur-unsur dari luar Islam, kemudian ditetapkannya sebagai bentuk islah agama yang berada pada garis yang benar. Berangkat dari pemikiran kedua tokoh tersebut, kritik dan sangkalan-sangkalan pun muncul sebagai gerakan purifikasi Islam. Gerakan ini dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Ia menilai kerangka modernisasi Islam yang dilakukan oleh kalangan tersebut di atas adalah bentuk penyimpangan- penyimpangan baru sepanjang sejarah Islam. Gerakan yang diprakarsai oleh Wahhab ini kemudian dikenal sebagai gerakan Wahhabiah, atau masyarakat Indonesia menyebutnya sebagai kaum Wahhabi. Abdul Wahhab menyerang praktik-praktik keagamaan popular seperti pemujaan terhadap guru-guru sufi, taqlid atau tawassul. Menurut gerakan dan konsep yang dibangunnya praktik keagamaan semacam itu telah melenceng dan patut dikatakan bid’ah, karena telah menyebabkan degradasi moral. Maka, pendapatnya menganjurkan kepada ummat Islam pada waktu itu untuk tidak tenggelam dalam suasana tahayyul dan khurafat. Gerakan yang dibawa oleh Abdul Wahhab ini telah mendapatkan dukungan politis dari penguasa Dariyah, Saudi Arabia yakni Muhammad ibn Saud. Maka, Abdul Wahhab menyebarkan gagasan-gagasannya dengan keras, bahkan keduanya tidak segan-segan mengerahkan kekuatan militer untuk melawan mereka yang dianggap musuh-musuh dakwahnya. Secara riil, gerakan dakwah yang dibawa oleh Abdul Wahhab tersebut berhasil menguasai sebagian besar Jazirah Arab, bahkan gerakan ini telah menjadi aliran keagamaan yang resmi di kerajaan Arab Saudi 25 . Sementara, yang terjadi di Indonesia bahwa Islam modern tumbuh dan berkembang tidak jauh akibat dari pergulatan wacana Islam di Timur Tengah. Akan tetapi tidaklah sepenuhnya sama pemikiran Islam modern di Indonesia dengan para tokoh modernis di Timur tengah. Pada awal abad ke-19 khazanah Wahhabiah dan Ibnu Taimiyah telah memasuki Indonesia, dan akibat dari munculnya beberapa paham keagamaan modern ini, muncul pergolakan sosial- politik di Indonesia. Hal tersebut didasarkan atas pemahaman masyarakat muslim di Indonesia yang dipengaruhi oleh tradisi dan budaya. Sebagian masyarakat menilai bahwa Islam yang digariskan oleh pemikiran Wahhabiah dan Ibnu Taimiyah adalah bentuk pergeseran budaya bangsa serta arabisasi Islam di Indonesia. Sedangkan yang berbeda dengan kelompok tradisional tersebut memandang Islam modern Wahhabi dan Ibnu Taimiyah adalah bentuk pemurnian ajaran Islam dalam perihal ibadah, syari’ah dan muamalah. Di tengah semakin derasnya arus pemikiran Islam modern di kalangan intelektual muslim di Indonesia, melahirkan beberapa pandangan baru terhadap modernisasi Islam dengan tidak mengusik tradisi dan budaya bangsa. Salah satu contoh adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1912, Muhammadiyah, telah menggariskan secara komprehensif bahwa Islam modern pada prinsipnya memiliki cara beragama dengan mengutamakan akal, menentang taqlid, menganjurkan Ijtihad, kembali pada Qur’an dan Hadits, anti tahayyul, bid’ah dan khurafat. Ciri-ciri tersebut juga merupakan cara pandang Islam modern menurut 25 James P. Piscatori, Islam in the Political Process, Cambridge: Cambridge University Press, 1989 Muhammad Abduh, tetapi dalam perbandingannya kaum Muhammadiyah lebih senada dengan kaum Wahhabi ketimbang M. Abduh. Sebagai organisasi Islam modern terbesar di Indonesia, Muhammadiyah memiliki Majlis Tarjih, yang secara khusus menangani persoalan keagamaan 26 . Selain sebagai paham keagamaan, istilah tradisionalis-modernis juga dipandang sebagai identitas budaya. Tentu saja ini merupakan dimensi non- keagamaan, dan nampaknya lebih penting diperhitungkan dalam polarisasi tradisionalis-modernis 27 . Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern terbesar di Indonesia memulai aktivitasnya bukan pada sisi keagamaan, melainkan sosial, pendidikan, dan ekonomi. Hal ini telah dibuktikan dengan hasil karyanya seperti panti asuhan, sekolah-sekolah, rumah sakit, poliklinik, universitas dan koperasi masyarakat. 28 Munculnya paradigma Islam modern ini diukur dari keadaan ummat Islam yang pernah terjajah oleh bangsa-bangsa Eropa. Apalagi bagi mereka yang pernah merasakan kejayaan Islam, maka akan merasa seperti diinjak-injak bahkan hilang harga dirinya karena ummat Islam tengah dijajah oleh bangsa Eropa. Islam modern yang dibangun atas dasar perkembangan, kemajuan dan peradaban manusia bukanlah suatu tujuan akhir dalam menciptakan masyarakat beragama, namun pada komposisinya, Islam modern mengajak masyarakat untuk berpikir maju dan mengamalkan ajaran-ajaran pokok Islam dalam kehidupan 26 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos, 1995 27 Hendro Prasetyo, dkk. Islam dan Civil Society; pandangan muslim di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002 28 Ibid., h. 44 sehari-hari. Fazlur Rahman berpendapat bahwa Islam modern merupakan sebuah tuntutan beragama dengan melibatkan unsur fikriyah sebagai interpretasi Al- Qur’an dan Hadits. Lebih lanjut ia mengatakan “Islam modern mengarah pada cara-cara berpikir baru pada umat Islam yang terbelakang jumud dengan merombak cara Islam diinterpretasikan” 29 Modernisme kini sudah menjadi sebuah paham dalam dimensi sosial yang mensyaratkan pada peranan akal yang dominan. Ini berarti mengharuskan cita-cita sosial kepada arah kemajuan dan peradaban baru. Adalah benar bahwa kemodernan memiliki kapasitas berpikir yang panjang dan luas. Oleh karenanya, karakter-karakter yang terbentuk pun tidak jauh dari rasionalitas akal pikiran seseorang atau cara berpikirnya. Berkaitan dengan hal ini, Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan karakteristik kemodernan, diantaranya adalah : - Rasional Ilmiah Dalam dimensi sosial, kehidupan masyarakat modern telah disandarkan pada cara berpikir dalam menilai dan menentukan sesuatu. Segala sesuatu harus disandarkan kepada ilmu dan dipertimbangkan melalui logika. Di era modern, masyarakat Islam harus mampu menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam maupun yang berkaitan dengan kehidupan sosial melalui nalar rasional-ilmiah. Pendapat-pendapat yang tidak dilandasi dengan cara berpikir ilmiah tidak akan dapat diterima oleh masyarakat modern. Islam pun senada dengan cara berpikir demikian. Karena pada dasarnya, Islam tidak menerima prinsip-prinsip mistisisme yang kerap dilakukan oleh paranormal dan Islam mengkategorikan tindakan ini sebagai tindakan kufur dan syirik yaitu menyekutukan kekuatan Allah SWT. 29 Mohamed Imran Mohamed Thaib, Fazlur Rahman: Perintis Tafsir Kontekstual, Makalah Diskusi Yayasan Mendaki. Dengan demikian, karakter masyarakat Islam modern merubah pola pikirnya dengan mengedepankan rasional-ilmiah. Selain itu, Al-Qur’an juga mendeklarasikan peperangan melawan kejumudan dan taklid kepada nenek moyang, pembesar-pembesar kaum serta kepada masyarakat awam. 30 - Pembaruan tajdid Karakteristik kemodernan yang kedua adalah pembaruan tajdid. Pembaruan ini merupakan bentuk kondisi masyarakat modern. Umumnya, masyarakat muslim modern selalu berpikir menatap ke arah masa depan. Mereka tidak tinggal diam menghadapi problematika baru dengan penyelesaian dari pendapat-pendapat lama yang cenderung membeku. Islam melarang adanya pembekuan dalam kehidupan, pemikiran, keilmuan, dan ijtihad. Dan sebaliknya, Islam menghendaki seseorang untuk terus mengupayakan adanya regenerasi dan perubahan-perubahan peradaban manusia, serta untuk melakukan ijtihad terkait dengan persoalan-persoalan baru yang dihadapi dalam kemodernan. Pembaruan yang dimaksud dalam modernisme Islam adalah pembaruan dalam hal cara berpikir masyarakat yang menyertakan pada prinsip rasional- ilmiah, serta gerakan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Lebih lanjut, Dr. Yusuf Qardhawi mengingatkan kepada masyarakat modern bahwa pembaruan bukan berarti memungkiri yang lama. “Ingat, bahwa pembaruan yang dimaksudkan tidak berarti menginterupsi hubungan dengan turats, dan mengingkari yang lama. Karena tidak semua yang lama adalah buruk, sebagaimana tidak semua yang baru adalah baik. Berapa banyak hal yang lama dan terus bermanfaat secara signifikan, dan membawa berkah secara melimpah. Dan berapa banyak hal yang baru tidak membuahkan kebaikan bahkan mengandung bahaya laten dan nyata. Permasalahan baru dan lama adalah relatif, yang 30 Dr. Yusuf Qardhawi, Retorika Islam, terj. Abdillah Noor Ridlo, Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2007 cet. 2 dianggap lama pada hari ini sebenarnya adalah baru pada waktu lalu, dan yang dianggap baru hari ini ia menjadi lama esok lusa. ” 31 Begitu pun dengan apa yang telah diprinsipkan oleh Nahdlatul Ulama NU bahwa menjaga sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang benar adalah perbuatan terpuji 32 . Dengan demikian, prinsip pembaruan tidak akan mengacak-acak pendapat lama. Inilah yang kemudian dimaksud dengan pembaruan tajdid.

2. Pengertian Isu dan Isu Islam Modern