Gerakan dakwah dalam konsteks islam modern menurut Prof.Dr.Din Syamsuddin
Makhsis Sakhabi, DJ
Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam Modern Menurut Din Syamsuddin
Gerakan dakwah Islam adalah serangkaian aktivitas, metode, strategi dakwah yang dilakukan berdasarkan perencanaan untuk mengajak manusia kepada jalan kebaikan, kemaslahatan, serta menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagian masyarakat Islam beranggapan bahwa dakwah Islam adalah tugas pokok atau kewajiban ummat Islam secara individu dan sebagian lain menganggapnya sebagai kewajiban kolektif. Dakwah Islam kini tengah dihadapkan pada dua persoalan. Pertama, tafsir sosiologis masyarakat terhadap pengertian dakwah yang dianggap sebagai aktivitas mimbar, tabligh semata sehingga konteks sosiologisnya terabaikan dari dinamika kehidupan modern. Kedua, dakwah Islam membutuhkan tafsir ulang atas pengertian dan implementasinya dalam kehidupan masyarakat Islam maupun manusia secara keseluruhan. Sehingga dibutuhkan penyeragaman pengertian dan implementasi dakwah Islam sebagai titik penyebaran agama Islam dan pengamalan nilai-nilai kehidupan masyarakat di tengah arus modernisasi.
Kajian ini mencoba mengulas gerakan dakwah Islam dalam konteks kemodernan serta mendalami pemahaman dakwah Islam modern menurut Din Syamsuddin, sebagai bagian dari upaya menyeragamkan implementasi dakwah Islam agar tercapai sasaran dakwah tepat pada medannya. Oleh karenanya, pertanyaan yang mendasari kajian ini adalah bagaimana dakwah Islam menghadapi isu-isu Islam modern?, bagaimanakah gerakan dakwah Islam menjadi solusi bagi krisis spiritual, moral dan sosial bangsa?, serta bagaimana format ideal gerakan dakwah Islam modern?. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjelaskan secara akademis tentang dakwah Islam.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan upaya pendefinisian ulang terhadap pengertian dakwah Islam di masyarakat secara universal, serta ingin mengetahui bagaimana pandangan dakwah Islam modern dalam kacamata Din Syamsuddin, serta mengetahui format ideal gerakan dakwah Islam modern.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif melalui pendekatan sosio-historis yaitu, mengungkap latar belakang tokoh yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini, guna mengetahui pokok-pokok pikiran tokoh tersebut tentang bagaimana gerakan dakwah Islam dalam konteks Islam modern.
Pemahaman dakwah Islam merupakan aspek dasar yang harus dipahami setiap muslim secara universal dalam menjalankan kewajiban dakwah. Mengingat dakwah dipahami sebagian besar masyarakat sebagai aktifitas mimbar belaka. Begitu juga dengan frame dakwah modern yang harus dipahami seperti apa, kajian ini juga meliputi pandangan tokoh dakwah Islam modern Din Syamsuddin dalam pandangannya terhadap dakwah Islam.
(2)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dakwah merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam menjalankan ajaran Agama Islam. Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an surat An-Nahl, 16 :125, :
☺
☺
☺
☺
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. An-Nahl, 16 : 125)
Dari berbagai pandangan ulama-ulama Mufassir, tentang kewajiban dakwah yang tertuang dalam Al-Qur’an tersebut di atas, bahwa ayat tersebut memberikan pesan perintah, yaitu Ud’u, yang memiliki ciri kalimat perintah
(Fi’lul Amri). Maka, ayat tersebut telah mewajibkan kaum muslimin untuk selalu melakukan aktivitas dakwah di kehidupan sehari-hari. Selain ayat tersebut di atas, ada ayat lain yang berisi tentang perintah dakwah, seperti pada surat Ali ‘Imran, 3:104, :
(3)
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali “Imran,3 : 104)
Hal ini pulalah yang kemudian menyebabkan beberapa perbedaan pendapat tentang kewajiban dakwah. Sebagian ulama mengatakan perintah dakwah adalah kewajiban individu (fardhu ‘ain), sedangkan sebagian ulama lain mengatakan kewajiban dakwah merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Tentunya masing-masing pendapat memiliki argumentasi yang kuat.
Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, menjelaskan bahwa : “Perintah dakwah adalah ditujukan bagi setiap muslim. Tetapi, walaupun demikian harus ada sebagian golongan / kelompok ummat yang menekuni kegiatan dakwah secara profesional, baik individual maupun institusional”.1
Sementara itu, permasalahan yang kerap muncul juga pada sisi aktivitas dakwah itu sendiri. Beberapa pandangan para pegiat dakwah telah meramaikan kondisi dan wacana dakwah baik dalam bidang keilmuan maupun pada tataran aktivitasnya. Pada aktivitasnya, dakwah hari ini tentu berbeda dengan dakwah yang terjadi di masa Nabi saw. Dimana Nabi saw. Memulai dakwahnya dengan jalan sembunyi-sembunyi (sirri) hingga dengan jalan terang-terangan. Dakwah pada masa Nabi saw. Dibagi dalam dua periode, yaitu periode Makkah dan
1
(4)
periode Madinah. Periode Makkah disebut juga sebagai periode pembinaan Kerajaan Allah dalam hati manusia, sedangkan periode Madinah disebut juga sebagai pembinaan Kerajaan Allah dalam masyarakat manusia2.
Dewasa ini, khususnya di Indonesia terdapat banyak organisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang dakwah. Mulai dari Islam garis keras (ekstrem),
Islam fundamental sampai pada Islam liberal. Tentunya semua itu memiliki konsep dan pandangan yang berbeda-beda terhadap dakwah.
Tetapi, satu yang penulis pahami dari perbedaan pandangan gerakan dakwah yang dimotori oleh beberapa organisasi yang bergerak di bidang dakwah adalah kesemuanya menginginkan agar masyarakat mengikuti kehendaknya, bukan kehendak Islam sebagai rahmat.3 Jika pada awal prosesnya saja dakwah bertolak dari konsepsi iman dan amal shaleh, apakah kemudian dewasa ini yang kerap dikenal dengan periode modern, konsepsi dakwah Islam akan tetap berpangkal dengan dasar pokok keimanannya? ataukah akan menjadi berkotak-kotak dakwah Islam di era modern ini?
Diakui bahwa dewasa ini organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga dakwah sudah sangat banyak, tetapi harus diakui pula bahwa sebagian besar dari semua itu juga tidak membuahkan hasil yang signifikan bagi perkembangan gerakan dakwah Islam di era modern ini. Boleh jadi permasalahannya adalah kurangnya militansi lembaga-lembaga dakwah terhadap gerakan dakwah Islam secara kaffah (totalitas).
2
Prof. Hasjmi, Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h. 281
3
Yaitu Islam sebagaimana diturunkannya untuk ummat manusia agar mengimani Allah SWT. yang mengedepankan kemaslahatan ummat, tanpa diskriminasi sepihak.
(5)
Sementara itu, tokoh muslim Indonesia yakni Prof. Dr. Din Syamsuddin memberikan pandangan yang berbeda tentunya mengenai aktivitas gerakan dakwah dalam konteks kemodernan. Istilah modern ini lebih banyak yang mengartikan kemajuan zaman.4 Secara eksplisit dapat dipahami memang bahwa istilah modern ini ditujukan kepada perbedaan kurun waktu antara yang telah lalu dan yang sekarang atau yang akan datang.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S Poerwadarminta, kata modern memiliki arti “yang terbaru”.5 Berarti konteks kemodernan di sini diistilahkan hal-hal yang bersifat baru dan memiliki kemajuan.
Salah satu pandangan Islam mengenai gerakan dakwah yaitu proses penyampaian ajaran Allah yang menggunakan metode tertentu untuk kemaslahatan ummat. Kemudian, pemahaman tersebut telah banyak memberikan pengertian baru yang bermacam-macam pula. Sebagian orang memahami gerakan dakwah yang seharusnya dilakukan adalah dengan jalan jihad, yaitu menaklukkan orang-orang yang kufur terhadap Allah dengan jalan kekerasan sekalipun, maka tidak sedikit dari mereka yang memiliki pemahaman seperti itu berani melakukan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai tindakan provokatif serta terorisme. Selain itu, pandangan lain pun muncul bahwa gerakan dakwah seharusnya dilakukan dengan jalan damai, toleran, pluralis. Sehingga mereka lebih menjaga keharmonisan hubungan antaragama dan kepercayaan ketimbang dengan sesama kaum muslim yang berbeda dengannya.
4
Kemajuan zaman meliputi kemajuan berpikir, teknologi, budaya, sosial, politik dan ekonomi.
5
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Edisi III, Cet. 4, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007) h. 773
(6)
Prof. Dr. Din Syamsuddin merupakan sosok tokoh dakwah Islam modern yang namanya tidak hanya terdengar di pelosok nusantara tetapi juga di mata Internasional. Aktivitasnya yang selalu tidak lepas dari kegiatan dakwah, membuat penulis ingin menelusuri pemikiran, pemahaman sekaligus penerapan konsep dakwah dalam konteks Islam modern. Dalam hal kemodernan yang beliau rumuskan dalam keberagamaan, yaitu tajdid (pembaharuan) pola pikir masyarakat telah digariskan bahwa Islam akan selalu relevan dengan situasi zaman apapun. Maka, memasuki zaman yang sudah terlalu canggih ini, bukan lagi dalam bidang teknologi tetapi juga dalam hal pemikiran Islam, dakwah nampaknya harus dapat menerapkan prinsip-prinsip serta pemahaman yang disesuaikan dengan karakter dan pengetahuan masyarakat muslim modern.
Meminjam istilah Abdul Basit, M. Ag dalam bukunya yang berjudul Wacana Dakwah Kontemporer, dakwah di Indonesia antara kajian yang bersifat akademik dengan relitas dakwah yang ada di masyarakat belum menunjukkan hubungan yang sinergis dan fungsional. Di kalangan akademisi dan para pakar di bidang dakwah, mereka lebih banyak mengkaji dakwah melalui sumber-sumber normatif yaitu Al-Quran dan Hadits. Demikian juga dengan para aktivis dakwah yang ada di masyarakat yang selalu memberikan materi dakwah lebih banyak dengan metode ceramah atau mimbar. Pada lembaga-lembaga keagamaan yang bergerak di bidang dakwah juga belum memberikan arti penting secara substansial bagi kelangsungan Islam di era modern ini. Mereka lebih banyak mementingkan dari sisi kuantitasnya saja dari pada kualitas masyarakatnya.
Perubahan yang begitu cepat pada masyarakat akan membawa dampak besar terhadap perubahan pola pikir, karakter, serta sikap masyarakat Islam.
(7)
Dalam beberapa kajian Islam modern, muncul pembahasan-pembahasan baru pula yang akan menjadi tanggung jawab aktivis dakwah Islam di zaman modern ini. Seperti pembahasan HAM, bagaimana Islam memandang dan menjawab permasalahan-permasalahan di dalamnya, juga masalah Demokrasi yang sampai hari ini para aktivis dakwah belum secara total memasukkan materi tersebut dalam aktivitas dakwah, kemudian persoalan Kesetaraan Gender, Pluralisme, Sekulerisme, Liberalisme, serta isu Terorisme yang belakangan ini menjadi perbincangan masyarakat luas. Oleh karena itu, diharapkan kajian ini akan memberikan arti penting bagi pemahaman gerakan dakwah Islam modern. Penulis tertarik dengan pemikiran-pemikiran yang digagas oleh Prof. Dr. Din Syamsuddin tentang dakwah Islam. Maka, kemudian penulis mengangkat judul “GERAKAN DAKWAH DALAM KONTEKS ISLAM MODERN MENURUT PROF. DR. DIN SYAMSUDDIN” sebagai tugas skripsi di akhir studi S1 Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
Dalam pembahasan ini, penulis hanya ingin memberikan gambaran pokok tentang pemikiran dan aktivitas tokoh Islam Modern yaitu Prof. Dr. Din Syamsuddin terhadap dinamika gerakan dakwah yang terjadi di era modern ini dalam konteks Islam modern.
Oleh karenanya, penulis ingin membatasi kajian ini pada wilayah :
- Pemikiran gerakan dakwah Islam dan kaitannya dengan isu-isu Islam modern menurut Din Syamsuddin
(8)
Selebihnya adalah informasi-informasi yang bersumber dan sesuai dengan judul ini.
Adapun masalah-masalah yang telah penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah gerakan dakwah Islam menghadapi isu-isu Islam modern menurut Din Syamsuddin?
2. Bagaimanakah gerakan dakwah Islam modern menjadi solusi terhadap krisis spiritual, moral dan sosial bangsa menurut Din Syamsuddin?
3. Bagaimanakah format ideal gerakan dakwah Islam modern menurut Din Syamsuddin?
Dari rumusan-rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis akan dapat menjelajah pengetahuan secara objektif tentang gerakan dakwah dalam konteks Islam modern. Beberapa hal yang tertulis tersebut di atas adalah acuan dasar penulisan skripsi ini.
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan kejelasan tentang gerakan dakwah dalam konteks Islam modern menurut Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA.
Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kepada dua aspek penting, yaitu :
1. Kegunaan Akademis
- Menambah khazanah keilmuan dakwah dan komunikasi - Menambah referensi kepustakaan tentang gerakan dakwah - Mengembangkan pemikiran dakwah secara luas dan ilmiah
(9)
2. Kegunaan Praktis
- Memberikan acuan bagi pegiat dakwah dalam berdakwah - Sebagai referensi bagi para aktivis dakwah
- Memberikan pemahaman terkini tentang Gerakan Dakwah pada masyarakat Islam modern
- Sebagai strategi berdakwah pada masyarakat modern
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan Sosio-Historis, yaitu mengetahui sejarah dan latar belakang tokoh yang kemudian dijadikan sebagai suatu analisa deskriptif dari pemikiran, aktivitas dan latar belakang tokoh tersebut.
Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan sosio historis ini akan mengungkap sisi latar belakang tokoh dalam kehidupan sosial, pendidikan, karir dan keilmuan yang dimiliki sampai sekarang. Dengan melihat sosio-historis dari tokoh yang diamati, penelitian ini akan mengungkapkan fakta pemikiran dan aktivitas tokoh yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Oleh karenanya, penelitian ini melibatkan langsung tokoh tersebut dalam proses pengumpulan data. Hal tersebut sama dengan yang didefinisikan oleh Taylor tentang metode penelitian kualitatif yaitu “cara yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati”.6
6
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda karya, 1989), cet. Ke-11
(10)
Melalui pendekatan sosio-historis, metode dalam penelitian ini akan mengumpulkan data-data deskriptif yaitu pemaparan atau penjabaran pokok-pokok pikiran dari Prof. Din Syamsuddin tentang konsepsi gerakan dakwah Islam modern yang kemudian dilakukan observasi guna mengukur dan membandingkan atas teori-teori yang sudah muncul dan berlaku bagi penelitian kualitatif. Kemudian, data-data tersebut akan diolah dan dilakukan pengembangan untuk kemudian mengembangkan teori pada pengamatan yang dilakukan.
2. Subjek Dan Objek Penelitian
Begitu juga dengan subjek dan objek penelitian, penulis mengemukakan bahwa subjek penelitian ini adalah Prof. Dr. Din Syamsuddin, sedangkan yang menjadi objek penelitian ini adalah gagasan dan pemikiran Din Syamsudin terhadap fenomena gerakan dakwah Islam modern yang terjadi di Indonesia. Karena penulis memandang bahwa Din Syamsuddin adalah salah satu tokoh Islam modern di Indonesia yang memiliki perhatian khusus terhadap dakwah Islam masa kini.
3. Data Dan Sumber Data
Adapun data-data yang akan penulis kumpulkan antara lain adalah data
deskriptif mengenai pemikiran Din Syamsudin tentang konsep gerakan dakwah dalam konteks Islam modern, data tentang isu-isu dalam Islam modern serta data-data pendukung lainnya yang memiliki keseragaman dan relevansi dengan penelitian ini.
(11)
a. Sumber data primer, antara lain : buku-buku tentang dakwah Islam kontemporer, tulisan-tulisan Din Syamsuddin, keterangan atau pendapat langsung Din Syamsuddin.
b. Sumber data sekunder, antaralain : Majalah, surat kabar, internet dan buku-buku umum Islam yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah dengan cara:
a. Observasi
Observasi ini dilakukan di perpustakaan UIN Jakarta dan di kediaman Din Syamsuddin yang memuat tulisan-tulisan Din Syamsuddin dan tulisan-tulisan pendukung lainnya.
Observasi ini dilakukan sebagai pencatatan dan pengamatan langsung dari fenomena dan perilaku yang diteliti.
b. Wawancara
Wawancara ini merupakan percakapan langsung antara peneliti dengan tokoh yang diwawancarai dengan disertai pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan oleh penulis sebelumnya. Wawancara ini ditujukan kepada Prof. Dr. Din Syamsuddin.
c. Dokumentasi
Mengumpulkan data melalui dokumentasi seperti yang diambil dari buku-buku, surat kabar, majalah, internet, dan lain-lainnya sebagai informasi tambahan guna melengkapi data-data yang diperoleh.
(12)
5. Tekhnik Analisis Data
Dalam proses analisa data, penulis menggunakan analisa data deskriptif, yaitu mengungkapkan data dan fakta secara alamiah dan objektif. Data yang diteliti merupakan data yang dihasilkan dari observasi, wawancara dan dokumentasi. Ketiga perolehan data tersebut dipadukan dan kemudian dideskripsikan.
6. Pedoman Penulisan
Tata cara penulisan skripsi ini menggunakan pedoman yang berlaku di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan mengacu pada buku
Panduan Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) terbitan CeQDA 2007.
E. Tinjauan Pustaka
Mengamati dari bebarapa skripsi yang memperbincangkan dakwah Islam, sampai saat ini belum didapatkan tema-tema yang mencakup studi perilaku dakwah era modern ini, terutama kaitannya dengan pemahaman Gerakan Dakwah Islam Modern. Tentu saja kajian ini sangat diperlukan di era sekarang ini, mengingat banyaknya pemahaman ajaran Islam yang melahirkan kegiatan atau aksi radikal dengan ideologi dakwahnya. Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam Modern tidak hanya sebagai judul skripsi tetapi juga sebagai kajian konsisten yang tentu akan mengisi dan melengkapi kepustakaan seputar wacana dakwah kontemporer, yang tidak membatasi pada wilayah normatif saja tetapi lebih komprehensif dan universal.
Adapun mengenai buku-buku ataupun penelitian yang pernah penulis tinjau dalam pra-penulisan skripsi ini antara lain :
(13)
1. “Wacana Dakwah Kontemporer” karangan Abdul Basith, M. Ag diterbitkan oleh STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
2. “Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an” karangan Prof. Hasjmi, diterbitkan oleh Bulan Bintang Press, Jakarta.
3. “Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan yang Qur’ani”
karangan Totok Jumantoro, diterbitkan oleh Amzah press, Jakarta.
4. “Banishing Violence from the World: Faiths and Cultures in Dialogue”
Makalah Din Syamsuddin pada Pertemuan Internasional Tokoh Muslim Dunia untuk Perdamaian, Naplez, 21-23 Oktober 2007
Salah satu buku karya Abdul Basith, M. Ag yang berjudul “Wacana Dakwah Kontomporer” merupakan bagian dari kajian ini. Isinya yang melengkapi referensi kajian pemahaman dakwah secara modern begitu menjadikan pembacanya tahu bahwa dakwah Islam memiliki arti yang sangat luas, tidak sebatas kegiatan mimbar dari satu masjid ke masjid yang lain. Tetapi melahirkan ide dan gagasan baru dalam rangka menjalankan tugas manusia sebagai khalifah fil ardh. Begitu penulis menginginkan Prof. Dr. Din Syamsuddin sebagai pemikir Dakwah Islam Modern, maka kajian ini akan melibatkan beliau dengan perannya sebagai pelaku dakwah yang memiliki wawasan kemodernan serta institusi-institusi yang memiliki perhatian secara konsisten di bidang dakwah. Beberapa karya yang lain seperti Syaikh Ali Mahfudz dalam Hidayatul Mursyadin-nya, Prof. Hasjmi dalam Dutsur Dakwah Menurut Al-Quran, beliau memberikan pesan dalam kedua buku tersebut tentang fenomena gerakan dakwah yang berkembang
(14)
seiring zaman dan situasinya. Jadi, betapa pentingnya wawasan baru tentang gerakan dakwah Islam modern.
Wacana ini juga merupakan apresiasi penulis sekaligus kritik atas apa yang dikemukakan oleh Abdul Basith dalam Wacana Dakwah Kontemporer. Beberapa pandangannya mengenai gerakan dakwah era modern telah memisahkan antara refleksi nyata akibat aktivitas dakwah dengan aktivitas dakwah dalam proses penyampaiannya. Jika refleksi nyata atas apa yang sedang terjadi, yaitu modernisasi pemikiran Islam dewasa ini dijadikan belenggu bagi proses perkembangan aktivitas dakwah maka dakwah itu sendiri akan hilang secara perlahan dari aktivitasnya.7 Sedangkan secara garis besar, Islam telah menggariskan kewajiban dakwah ini bagi umat Islam selama ia menjalankan kehidupannya. Nampaknya aneh memang, jika konteks dakwah selalu dikonotasikan dengan aktivitas mimbar atau rutinitas yang syarat akan kegiatan hari besar Islam atau lebih dikenal dengan istilah PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) saja, maka sesungguhnya dakwah telah diberi arti yang sangat sempit. Sesungguhnya dakwah merupakan aktivitas mengajak untuk berbenah diri (sebagai insan) menuju kepada sesuatu yang baik dan lebih baik, bahkan secara luas lagi dakwah diartikan sebagai transfomasi nilai-nilai sosial.
Meskipun demikian, Abdul Basith dengan sistematis telah menjabarkan kelemahan-kelemahan da’i yang menyampaikan ajaran Islam dengan tidak melihat aspek keberhasilan seta hambatannya. Tentu saja hal ini akan memberikan makna positif bagi kelangsungan kajian dakwah baik dari segi teoritis maupun
7
Lih. Abdul Basith, M. Ag dalam Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta : STAIN Purwokerto Press dan Pustaka Pelajar, 2005), cet. 1
(15)
praktisnya. Jika saja pesan itu tidak ada, maka para da’i akan merasa lepas-lalu saja setelah memberikan materi dakwah di hadapan mad’u-nya.
Selain itu, ia juga telah memaparkan bagaimana menyusun strategi dakwah agar tepat sasaran kepada masyarakat modern. Sepeti yang ia kutip dari Larry Poston, bahwa terdapat dua bentuk strategi dakwah dalam gerakannya di masyarakat, yaitu strategi Internal-Personal dan strategi External-Institutional. Pada strategi pertama, fokus pembangunan atau pengembangannya adalah individu. Seperti pada masyarakat modern yang selalu mengisi waktunya dengan kesibukan urusan pekerjaan sehingga sangat minim waktu yang diluangkan untuk memberikan perhatiannya kepada dakwah Islam. Sedangkan strategi yang kedua memfokuskan pada institusi atau lembaga yang memiliki kapasitas untuk bidang dakwah. Di Indonesia telah banyak berdirinya lembaga-lembaga dakwah Islam dengan corak dan bentuk yang bermacam-macam, tetapi semuanya memiliki satu tujuan yaitu membentuk pribadi dan masyarakat muslim yang baik. Walaupun demikian, sering didapati gejolak perbedaan pendapat akan konsepsi dakwah yang disampaikan, dank arena ini pulalah sering terjadi kesenjangan ideologi atau cara pandang mereka masing-masing dalam hal dakwah.
Kemunculan paham-paham pemikiran Islam secara modern tentu saja akan menjadikan dakwah Islam harus semakin luas dan memasuki ruang rasio masyarakat modern. Di kalangan cendekiawan, beberapa pandangan dan pemikiran Islam seperti Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Gender sudah menjadi kajian Islam secara komprehensif dan berimbang dalam kegiatan dakwah, baik pada lembaga maupun individu. Kajian dan wawasan Islam modern seperti itu tidaklah mudah didapati pada masyarakat tradisional yang masih
(16)
melanjutkan kajian-kajian Islam yang menurut mereka merupakan tradisi belajar ulama-ulama klasik.
Aktivitas dakwah yang selalu menelusuri problematika masyarakat, tentu saja harus memiliki integritas keilmuan yang matang untuk menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat muslim modern serta menjaga bagaimana perbedaan cara berdakwah agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara sesama muslim. Secara historis, dakwah yang dilakukan oleh Nabi saw. Selalu mengikuti perkembangan dan situasi masyarakat. Beliau tidak penah mengikuti atas kehendak serta kemampuannya untuk membumikan Islam. Padahal, baginya sangatlah mudah untuk bisa menanamkan nilai-nilai aqidah pada masyarakat Quraisy pada waktu itu. Tetapi beliau tetap melakukannya dengan penyesuaian situasi dan kondisi serta kompetensi masyarakat yang diberikan dakwahnya.
Seyogyanya demikian, agenda dakwah pada masyarakat Indonesia, khususnya dan ummat Islam pada umumnya harus disesuaikan dengan kompetensi dan perilaku yang ada pada masyarakatnya. Jika melihat fenomena yang terjadi hari ini adalah dakwah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga maupun individu nampak terlihat dengan jelas arah dan tujuannya hanya bersandar pada apa yang dipahaminya sebagai suatu kebenaran. Maka disini, dilihat sudut pandang dan pengertian terhadap kajian komprehensif gerakan dakwah yang selama ini dilakukan oleh masing-masing lembaga maupun individu.
Maka, dengan demikian bentuk apapun yang dilakukan dan dirumuskan pada setiap lembaga dakwah sebetulnya merujuk pada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits, hanya saja perspektif memandang dan memahaminya yang
(17)
berbeda-beda. Dan, akibat dari perbedaan itu timbullah perelisihan paham yang kerap menimbulkan perselisihan ideologi, bahkan sampai pada tingkat kekerasan fisik. Oleh karena itu, pemahaman universal terhadap gerakan dakwah sangat diperlukan guna meminimalisir konflik perbedaan yang muncul.
Melihat sejenak karakter yang ditunjukkan oleh lembaga-lembaga dakwah di Indonesia yang beragam dan komprehensif, menambah lengkap khazanah dan pemikiran terhadap kajian dakwah. Perkuliahan yang memuat Ilmu Dakwah sangat efektif jika kajian ini terus diberlanjutkan sampai terbentuk pandangan masyarakat klasik maupun modern bahwa aktivitas dan gerakan dakwah merupakan kewajiban kolektif sebagai tugas dan tanggung jawab ummat Islam. Selain itu, pemahaman universal terhadap gerakan dakwah pun menjadi bagian penting dari sisi keagamaan dan kebudayaan masyarakat Islam Indonesia.
Selain itu, Totok Jumantoro juga telah memberikan kontribusi penting dalam kajian dakwah dewasa ini. Ia memaparkan aktivitas dakwah dari sudut psikologinya. Dalam bukunya Psikologi Dakwah Dengan Aspek-aspek Kejiwaan yang Qur’ani, ia menulis : “Aktivitas dakwah hakikatnya tidak jauh berbeda dengan proses komunikasi. Sebab, pada dasarnya dakwah merupakan penyampaian informasi agama atau penyebaran ajaran Islam melalui proses komunikasi baik dengan personal approach, family approach, ataupun social approach”.8
8
Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-aspek Kejiwaan yang Qur’ani, (Jakarta : Amzah, 2001), cet. 1
(18)
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini mengikuti sistematika sebagai berikut :
BAB I : Merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II : Membahas tentang tinjauan teoritis dari dakwah Islam yang meliputi pengertian gerakan dakwah Islam modern dan Isu-isu Islam modern.
BAB III : Membahas tentang riwayat hidup Din Syamsuddin, meliputi latar belakang keluarga, pendidikan, serta aktivitasnya di bidang dakwah yang meliputi pandangannya tentang dakwah Islam dan kemodernan.
BAB IV : Merupakan pembahasan tentang Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam Modern menurut Prof. Dr. Din Syamsuddin, yang meliputi tentang dakwah Islam menghadapi isu-isu aktual, dakwah sebagai solusi krisis spiritual, moral dan sosial bangsa, dakwah kultural dan struktural, serta format ideal gerakan dakwah Islam modern.
BAB V : Merupakan penutup yang mencakup kesimpulan dan saran-saran yang juga disertai daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
(19)
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Gerakan Dakwah Islam
1. Pengertian Gerakan Dakwah Islam
Memahami arti dari pada gerakan dakwah tidaklah cukup mengetahui kata per kata saja melainkan dibutuhkan pula konteks pemahaman gerakan dakwah secara partikular. Hal tersebut meliputi konteks zaman dan keilmuan. Secara terpisah, kata gerakan dakwah tersusun dari dua kata yang masing-masing memiliki arti berbeda. Kata gerakan memiliki arti perbuatan atau keadaan bergerak1. Dalam istilah dakwah, gerakan dapat diartikan sebagai aktivitas tindakan, berbuat menuju ke arah sesuatu yang memiliki nilai baik. Istilah ini seringkali muncul pada suatu fenomena yang dianggap memiliki pengaruh kuat bagi situasi ataupun lingkungan sekelilingnya. Sedangkan kata dakwah terambil dari bahasa Arab, yaitu bentuk mashdar dari da’a-yad’u-da’watan yang berarti seruan, panggilan2. Kata dakwah seringkali diistilahkan sebagai suatu ajakan kepada manusia untuk menuju kepada kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Syaikh Ali Mahfudz dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin menjelaskan bahwa dakwah memiliki arti :
ﻦ
ﻲﻬﻨ او
فوﺮ ﺎﺑ
ﺮ ﻻاو
ىﺪﻬ او
ﺮﻴﺨ ا
ﻰ
سﺎﻨ ا
ﺚﺣ
ﺎ ﺴﺑ
زﻮﻔﻴ
ﺮﻜﻨ ا
ﺟﻻاو
ﺟﺎ ا
ةد
1
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007) Cet. 4
2
Prof. Dr. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990) Cet.8
(20)
Artinya : Mendorong (memotivasi) manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, memerintahkan mereka berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.3
Dakwah dalam Islam juga memiliki arti mengajak, mendorong dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan Allah serta berjuang bersama meninggikan agama-Nya. Dikatakan bahwa ajakan ataupun seruan yang dimaksud dari pengertian dakwah Islam ini merupakan suatu tindakan komunikasi antara yang mengajak (da’i) dengan yang diajak (mad’u).
Dan tentu saja isi materi ajakannya adalah jalan menuju Allah serta kebaikan-kebaikan yang diajarkan-Nya melalui kitab suci Al-Quran. Meskipun demikian, telah banyak pengertian dakwah Islam yang semuanya akan menjadikan pengertian tersebut di atas kuat dan memiliki kesamaan maksud, diantaranya adalah :
- Prof. Hasjmi (1974) menjelaskan bahwa “dakwah Islamiyah itu mengajak orang untuk meyakini dan mengamalkan akidah dan syariah Islamiyah yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah sendiri”.4
- Prof. Dr. Abu Bakar Aceh (1971) menulis : “Dakwah ialah perintah mengadakan seruan kepada semua manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik”.5
3Syaikh Ali MAhfudz, Hidayatul Mursyidin, (Kairo: Daarul Qutub al-Arabiyah, 1952)
4
Prof. Hasjmi, Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
5
(21)
- Toha Yahya Oemar (1976) mengatkan bahwa “dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat”.6
- Drs. H.M. Arifin, M. Ed (1977) memberi batasan dakwah dengan pengertian :
“sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun secara kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan, serta pengamalan terhadap ajakan agama sebagai message yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan.”7
Pengertian-pengertian tersebut di atas senantiasa mengisyaratkan suatu ajakan kepada manusia untuk menuju kepada jalan yang dikehendaki Allah SWT. Maka, dapat diambil pengertian dakwah Islam secara istilah yaitu mengajak, menyeru, memotivasi manusia untuk menuju ke jalan yang dikehendaki Allah SWT. Serta menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar agar tercapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Pada tahun 1873, Max Muller, seorang intelektual Barat telah memperkenalkan sistem klasifikasi agama, yaitu agama terbagi menjadi dua kategori : agama dakwah (missionary) dan agama non-dakwah (non-missionary).8 Klasifikasi tersebut telah memberikan arti dakwah sebagai tabligh dan juga sebagai pengelolaan dan pengajaran ajaran Islam. Jadi, dapat dikatakan bahwa
6
Thoha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1971)
7
Drs. Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan Yang Qur’ani,
(Jakarta : Amzah press, 2001), cet.1, h.18
8
Larry Poston, Islamic Da’wa in the West, Muslim : Missionary Activity and the Dynamics Convertion to Islam, (New York: Oxford University Press, 1992), h.3-4
(22)
dalam konteks keagamaan, dakwah memiliki makna sebagai tabligh, tatbiq, dan juga tandhim. Tabligh berarti penyampaian, tatbiq berarti pengamalan dan
tandhim berarti pengelolaan.9 Ketiga anashir tersebut haruslah berjalan seirama agar dapat memenuhi kelengkapan dan kesempurnaan gerakan dakwah Islam.
Setelah melakukan penelaahan terhadap pengertian-pengertian dakwah Islam, maka istilah gerakan dakwah memiliki posisi yang sangat penting dengan pengertian dasar dakwah Islam. Gerakan dakwah Islam diartikan sebagai aktivitas dakwah Islam seseorang atau kelompok yang dilakukan melalui individu maupun institusi kepada ummat untuk mencapai keberhasilan menyampaiakan ajaran Allah SWT.
2. Pola-pola Gerakan Dakwah Islam
Seringkali kita melihat fenomena dakwah di masyarakat yang selalu mengkaitkan kegiatan dakwah dengan ceramah tabligh melalui mimbar. Ceramah tabligh merupakan salah satu dari bentuk-bentuk aktivitas dakwah Islam, namun bukanlah satu-satunya bentuk dakwah yang ada di dalam kegiatan dakwah. Persepsi yang telah sekian lama melekat di masyarakat tersebut tidaklah salah, akan tetapi perlu adanya evaluasi terhadap masyarakat untuk tidak selalu mengkonotasikan kegiatan dakwah sebagai ceramah tabligh.
Selain dari pada itu, gerakan dakwah Islam memiliki pola-pola yang mengemas aktivitas dakwah menjadi teratur, terencana dan tercapai. Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul Retorika Islam, menjelaskan :
“Dakwah kepada Allah dapat dilakukan dengan menulis buku-buku, mempresentasikan ceramah-ceramah di perguruan tinggi atau pusat
9
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah; Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
(23)
keilmuan, atau menyampaikan khutbah Jumat, pengajian dan pengajaran agama, di masjid dan tempat-tempat lain. Dan, ada juga yang melakukan dakwah dengan kalimat Thayibah, pergaulan yang baik dan keteladanan. Dan ada lagi, orang yang berdakwah dengan menyediakan fasilitas-fasilitas material demi kemaslahatan dakwah; memberi infak untuk para dai, atau menyebarkan produktivitas dakwah, atau membangun pusat aktivitasnya.”10
Begitu banyak bentuk-bentuk dakwah yang bisa dilakukan oleh setiap orang ataupun kelompok. Dan tidak juga harus menjadi pelaku dakwah tetapi pendorong dan penyedia sarana dakwah pun bisa dikatakan berdakwah. Dalam ceramahnya pada penyelenggaraan Muktamar ke-VI menteri-menteri wakaf dan urusan Islam di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 1997, Abdullah Ibn Abdul Muhsin Atturki11 mengungkapkan prinsip-prinsip serta pola dalam berdakwah, antara lain :
- Hanya menyembah Allah semata
Ia percaya bahwa berdakwah dengan mengikuti pola-pola Nabi Muhammad SAW. maka akan tersyiar kebaktian kepada Allah SWT. semata. Tidak ada yang lain selain diri-Nya. Dengan hanya karena Allah SWT, maka dakwah Islam dimanapun, kapanpun, dalam situasi apapun akan berjalan dengan harapan dan kejayaan.
- Percaya dengan teguh kepada Al-Qur’an.
Selain ikhlas berdakwah karena Allah SWT. semata, Abdullah Ibn Abdul Muhsin Atturki juga menegaskan untuk selalu percaya teguh pada Al-Qur’an, kemudian Sunnah serta tata hukum yang dihasilkan para imam dan
10
Yusuf Qardhawi, Retorika Islam, terj. Abdillah Noor Ridho, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004)
11
Abdullah Ibn Abdul Muhsin Atturki adalah Menteri Urusan Islam, Zakat, Dakwah dan Bimbingan Kerajaan Arab Saudi dan delegasi Kerajaan Arab Saudi pada Muktamar VI Menteri-menteri Wakaf dan Urusan Islam pada tanggal 29 Oktober-01 November 1997, di Jakarta.
(24)
mujtahid terdahulu. Menurutnya, ini akan menjadikan dakwah Islam memiliki kekuatan hukum dan sumber materi dakwah yang jelas dan tidak ada keraguan.
- Ketulusan, kerendahan hati dan kehalusan budi.
Seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. ketika beliau berdakwah senantiasa menunjukkan sikap ketulusan dan kerendahan hati serta kehalusan budi. Dengan demikian, dakwah Islam akan menjadi santun dan dengan mudah diterima oleh masyarakat.12
Berdasarkan pola-polanya, gerakan dakwah Islam memiliki macam-macam bentuk dalam pelaksanaannya, antara lain :
a. Dakwah Bil Hal
Sejalan dengan yang disampaikan Allah SWT. dalam QS. An-Nahl (16) : 125 bahwa dakwah dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti dengan Hikmah, Ketauladanan serta Berdialog (Mujadalah). Beberapa peristiwa penting dalam sejarah dakwah Nabi Muhammad saw. telah menggariskan bahwa pencapaian dakwah memiliki tugas dan fungsi dalam pembinaan ummatnya atau yang disebut dengan mad’u. Salah satu tugas dan fungsi pencapaian dakwah yang telah Rasulullah saw. contohkan adalah penegakan persatuan dan kesatuan ummat. Pembentukan kesatuan ummat telah menjadi tujuan dakwah, dan hal ini telah terjadi sejak zamannya dakwah Rasulullah saw. sampai sekarang. Rasulullah saw. sebagai seorang Nabi juga sebagai seorang kepala negara. Beliau membangun pemerintahan di kota Yatsrib sesudah beliau meninggalkan kota tersebut dan
12
Abdullah Ibn Abdul Muhsin Atturki, Da’wah Islam dan Rencana Kerja Untuk Meningkatkan Dai dalam Draft Muktamar VI Menteri-Menteri Wakaf dan Urusan Islam di Jakarta pada tanggal 29 Oktober – 01 November 1997.
(25)
berpindah menuju kota yang hendak disampaikannya ajaran Islam. Di kota Yatsrib Rasulullah saw. telah membentuk suatu pemerintahan yang memiliki tentara, perwakilan diplomatik, peraturan-peraturan, serta dutsur dan majelis syura’. Dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. tidaklah menggunakan cara-cara kekerasan ataupun paksaan melainkan dengan halus dan mengutamakan kesantunan. Orientasi dakwah Rasulullah adalah untuk menyatukan ummat dari perpecahan dan memeluk agama Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Dengan demikian, setiap orang akan memperoleh kemerdekaan penuh untuk memeluk agama yang diinginkannya. Oleh karena itu, Allah SWT. berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah,2:256 :
⌧
☺
☺
⌧
¸
Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut13 dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2:256)
Rasulullah saw. selalu menganjurkan dakwah Islam dilakukan dengan jalan damai dan penuh toleransi sesama ummat manusia. Nampaknya, anjuran beliau kini sudah banyak yang telah melupakannya sehingga yang ada hanyalah egoisme kelompok dan tidak jarang kita menemukan aksi dakwah yang cenderung
13
(26)
provokatif dan mengadu domba. Sebagai ummat nabi Muhammad SAW. kita harus senantiasa menjaga dan melestarikan cara berdakwah yang dicontohkan nabi. Dakwah-dakwah yang pernah dilakukan Nabi Muhammad saw. sangatlah dekat dengan ummat dan mengutamakan perdamaian sehingga Islam tumbuh di hati para pemeluknya sebagai agama yang ramah, damai, selamat, serta saling menghargai.
Dakwah bil hal disebut juga sebagai dakwah dengan memberikan contoh suri tauladan (mau’idzoh) yang baik kepada masyarakat. Pada hakekatnya, dakwah bil hal merupakan pola singkat, tidak sulit dan mudah dilakukan di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Pada prinsipnya dakwah bil hal adalah suatu keharusan yang dilakukan oleh setiap dai. Karena dalam setiap menyampaikan dakwah Islam kepada masyarakat, seorang dai harus lebih dulu mengamalkan dan mencontohkannya kepada masyarakat yang didakwahinya.14 Meminjam istilah Abdul Basith, dakwah bil hal juga merupakan kajian utama dari pengembangan masyarakat Islam.15 Maka di perguruan tinggi Islam terdapat studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) pada fakultas dakwah dan komunikasi sebagai agenda pengembangan pola dakwah Islam dalam bentuk bil hal. Selain itu ia merupakan pola gerakan dakwah yang menonjolkan amal saleh.
b. Dakwah Bil Qalam
Pola gerakan dakwah Islam yang termuat dalam bentuk dakwah bil qolam
memiliki kriteria yang berbeda dengan pola-pola lainnya. Pertama, dakwah bil
14 Drs. Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan Yang
Qur’ani, (Jakarta : Amzah press, 2001)
15
Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, 2006) cet.1, hal. 20
(27)
qolam tidak bisa dilakukan oleh semua kalangan. Hanya kalangan tertentu saja yang dapat melakukannya, seperti akademisi, guru, penulis buku, cendekiawan, ulama, serta orang-orang yang memiliki kemampuan dalam berbahasa tulisan. Karena caranya menggunakan tulisan, dakwah bil qolam pun tidak bisa didapat oleh semua kalangan, apalagi pada masyarakat pedesaan yang jauh dari perkembangan teknologi informasi.
Pola gerakan dakwah bil qolam biasanya lebih banyak dilakukan pada masyarakat urban, di kota-kota besar dan pada masyarakat modern, yang sudah dimasuki perkembangan teknologi dan informasi. Bentuk dan jenisnya bisa bermacam-macam, antara lain ; buku, majalah, surat kabar, internet, dan semacamnya.
Kedua, dakwah bil qolam tidak memiliki dampak ke semua lini. Hal ini disebabkan tidak lain adalah karena dakwah bil qolam lebih beredar dan dilakukan oleh masyarakat terbatas saja. Seperti pada masyarakat kota, perumahan, dan semacamnya. Dan, sebaliknya ia tidak beredar di masyarakat tradisional, pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh dari perkembangan teknologi informasi. Ketiga, pola ini memiliki struktur penerima (mad’u). Tidak semua masyarakat kota memiliki akses informasi yang cepat meskipun faktor teknologinya sangat mendukung. Hal ini bisa saja terjadi karena faktor kemauan dan kesadaran individu yang rendah untuk membaca dan menggali informasi. Dan, masyarakat kota semacam ini lebih suka mendengarkan dari pada membaca, seperti halnya masyarakat tradisional.
Di zaman Rasulullah saw. dakwah dengan model seperti ini seringkali digunakan untuk mengajak para raja memeluk agama Islam diantaranya adalah
(28)
Kaisar Romawi Herkules, Qubaz kisro Persia dan Negus kaisar Etiopia. Itu artinya, Rasulullah saw. menggunakan pola dakwah seperti ini hanya untuk kalangan tertentu saja, tidak semua masyarakat diberikan dakwah dengan cara ini. Melalui cara demikian, Rasulullah saw. bisa berhasil meluluhkan hati para raja untuk memeluk agama Islam.16
Meskipun sangat terasa dampak positifnya bagi masyarakat kota (red. modern), dakwah bil qolam justeru tidak memiliki tempat di masyarakat pedesaan (tradisional). Hal ini pulalah yang menjadikan perbedaan masyarakat kota dan masyarakat desa dalam berdakwah sehingga pada masyarakat desa cenderung memahami dakwah sebagai aktivitas ceramah tabligh, karena itulah dakwah bil qolam tidak memiliki pengaruh secara merata bagi semua kalangan.
c. Dakwah Bil Lisan
Dakwah bil lisan disebut juga sebagai dakwah bil qaul. Aktivitasnya yang selalu menggunakan komunikasi lisan, dakwah semacam ini sering kali ada di majelis taklim, masjid-masjid, khutbah hari raya, khutbah Jumat, dan semacamnya.
Dakwah bil lisan ini merupakan pola yang sering digunakan untuk berdakwah di tengah kehidupan masyarakat. dakwah bil lisan memang bisa dilakukan di semua kalangan masyarakat. baik masyarakat kota maupun masyarakat desa, modern maupun tradisional. Akan tetapi, dakwah semacam ini pun tidak bisa dilakukan dengan sembarang bicara. Rasulullah saw. menyampaikannya dalam sebuah hadits shahih :
16
Prof. Muhamad Mustafa Atha’, Sejarah Dakwah Islam, penerj. Drs. HM. Asywadie Syukur, Lc, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982) cet.1, h.138
(29)
ﻢﳍﻮ
رﺪ
ﻰ
سﺎ ا
اﻮﺒﻃﺎﺧ
“Ajaklah manusia berbicara sesuai dengan tingkat pemahamannya”Dari sabda Nabi Muhammad saw. tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan yaitu setiap masyarakat memiliki kadar pemahaman atas sesuatu. Hal ini akan berpengaruh pada pola dakwah Islam yang menggunakan metode ceramah. Maka dari itu, penyesuaian terhadap masyarakat (mad’u) sangatlah penting guna mencapai tujuan dakwah secara baik dan merata. Dalam kaitannya, Allah SWT. berfirman dalam Qur’an surat Ibrahim, : 4 :
Artinya : “Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya17, supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (QS. Ibrahim, 14:4)
Dari keterangan-keterangan Rasulullah saw. serta firman Allah SWT. di dalam Al-Qur’an memberitahukan kepada siapa saja yang melakukan dakwah Islam haruslah menyesuaikan dengan kemampuan si penerima dakwahnya (mad’u). Sehingga pencapaian dakwah dapat berjalan dan terlaksana sesuai dengan tujuannya.
Pola gerakan dakwah Islam seperti ini telah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Dari mulai guru, politisi, pengusaha, akademisi dan juga profesional. Mereka semua menggunakan pola dakwah ini dalam keseharian dan aktivitas mereka. Melalui penyampaian lisan, seorang da’i dapat dengan langsung berdialog dengan para jamaahnya. Sehingga para jamaahnya pun dapat secara langsung menerima pesan dari da’i nya, dan jika ada sesuatu yang tidak dipahami
17
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab itu bukanlah berarti bahwa A-Qur’an diperuntukkan bagi bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh ummat manusia.
(30)
mad’u, maka mad’u dapat dengan langsung bertanya kepada da’i nya. Pola ini banyak digunakan oleh para da’i dalam menyampaikan ajaran Islam.
3. Gerakan Dakwah Islam Klasik dan Islam Modern
a. Gerakan Dakwah Islam Klasik
Periode dakwah Islam klasik dimulai sejak abad ke-18 sampai abad ke-19. Pada waktu itu, pesantren merupakan pusat kegiatan dakwah yang sering digunakan sebagai media dakwah oleh masyarakat Islam. Selain sebagai pusat transformasi ilmu-ilmu agama, pesantren juga sebagai tempat dakwah dan musyawarah bagi masyarakat.
Dari lingkungan terbatas di pesantren, orang dapat melihat perkembangan Islam di Indonesia dalam bentuk gerakan yang terorganisasi dan terlembagakan yang mendasari munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang lebih besar lagi di awal abad ke-20. Di akhir abad ke-19, gerakan-gerakan keagamaan yang lahir dari pesantren maupun dengan perkembangan literatur Islam, maka Islam Indonesia menjadi lebih baik dan berada pada tahap menuju kemurniannya, sebagaimana yang diajarkan oleh sumber-sumber doktrin yang asli.
Gerakan dakwah Islam klasik tidak serta merta menempatkan pesantren sebagai pusat dakwah. Selain itu, kesenian dalam tradisi masyarakat jawa seperti wayang golek, syair-syair jawa, serta adat istiadat masyarakat Indonesia juga dijadikan sebagai media dakwah Islam pada saat itu.
b. Gerakan Dakwah Islam Modern
Seiring dengan pekembangan zaman dan pola pikir masyarakat muslim di abad ke-20 ini telah melahirkan suatu peradaban baru, zaman baru di dunia Islam yaitu pembaharuan Islam di Indonesia. Pembaharuan Islam di Indonesia ditandai
(31)
dengan kompleksitas literatur-literatur Islam yang tidak hanya mengkaji Islam dari sisi syariat dan ibadah saja tetapi juga teologi, filsafat, tasawuf, moralitas, dan lain-lainnya.
Perkembangan Islam di abad ke-20 ini telah banyak melahirkan paradigma baru yang bekaitan dengan gerakan pemurnian agama atau yang disebut sebagai purifikasi Islam. Maka kemudian, cita-cita dakwah Islam pun harus mampu menjadi pelopor dalam rangka purifikasi Islam tersebut.
Di Indonesia, gerakan dakwah Islam modern ditandai dengan agenda sosial politik yang oleh kalangan modernis diakui sebagai suatu jalan menuju masyarakat yang berkeadilan, sejahtera, pluralis, demokratis, rasionalis, inklusive dan toleran.18 Ada tiga agenda penting dalam gerakan dakwah Islam modern, yaitu :
1. Membentuk Masyarakat Madani
Prof. Dr. Azyumardi azra menyebut masyarakat madani atau “civil society” sebagai agenda penting pasca orde baru. Bahwa kondisi Islam saat ini tengah berada pada kemajuan juga sekaligus kemunduran. Masyarakat Islam di Indonesia hari ini mengalami kemajuan dalam hal berpikir, berperadaban dan berkemanusiaan tetapi sedang mengalami kemunduran pada sisi ekonomi, politik dan sosial. Setelah kurang lebih selama 32 tahun gerakan-gerakan Islam di Indonesia merasa terkunci dalam lubang kekuasaan orde baru, maka setelahnya Islam kembali muncul dengan berbagai macam bentuk wajahnya. Hal ini
18
Amrullah, Achmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Prima Duta, 1983).
(32)
disebabkan akibat dari tekanan penguasa orde baru terhadap gerakan-gerakan Islam. Dalam hal ini Prof. Dr. Azyumardi Azra menjelaskan :
“The Soeharto new order regime at least in the period of 1970’s and 1980’s was not on good terms with muslims political forces in general. In fact, there was a lot of mutual suspicion and hostilities between the two sides, president Soeharto took very harsh measures against any expression of Islamic extremism. But at the same time, it is widely believed that certain military generals such as Ali Murtopo and Benny Murdani recruited ex DI/TII to form “Komando Jihad” (Jihad Command), conducting subversive activities, in order to discredit Islam and Muslims.”19
(Rezim Orde Baru Soeharto di akhir masa 1970 dan 1980 secara umum telah berada pada kondisi kekuatan politik ummat Islam yang tidak baik. Sebenarnya terdapat banyak saling kecurigaan dan permusuhan diantara kedua pihak, Presiden Soeharto mengambil langkah keras melawan ekspresi Islam garis keras. Tetapi pada saat yang sama, Presiden Soeharto mempercayai penuh bahwa jenderal militer yang dapat dipercaya seperti Ali Murtopo dan Benny Murdani telah direkrut mantan DI/TII untuk membentuk Komando Jihad, melaksanakan aktivitas gerakan bawah tanah, dengan maksud mendiskreditkan Islam dan masyarakatnya.)
Sangat terlihat tajam pada kekuasaan orde baru pada saat itu gerakan Islam yang kerap dianggap menghalau jalannya kekuasaan maka spontanitas dilakukan penghentian oleh kekuatan Soeharto. Jadi, aktivitas dakwah Islam pun menjadi rapuh dan tidak memiliki ruang bebas di hadapan publik.
Konsep masyarakat madani tentu saja dekat dengan historikal intelektual dan sosial Eropa Barat. Wacana ini di Indonesia kemudian disebut sebagai masyarakat madani, yang menekankan pada penolakan terhadap segala jenis otoritarianisme dan totalitarianisme.20 Pada era orde baru, di Indonesia memang dikenal sebagai era pengekangan terhadap gerakan-gerakan sosial politik
19
Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militant Movements In Indonesia, makalah Simposium Internasional, Institute Of Asian Culture Studies, Tokyo, 2005.
20
Hendro Prasetyo, dkk., Islam dan Civil Society; Pandangan Muslim di Indonesia,
(33)
masyarakat yang dilakukan oleh penguasa. Dan tentu saja berpengaruh pada proses pembentukan masyarakat madani sebagai bagian dari upaya kalangan modernis untuk menunjukkan kearifan dan keragaman kerukunan beragama dan berbangsa di Indonesia ini.
Pergumulan wacana civil society di Indonesia menjadikan masyarakat muslim sangat penting untuk dipertimbangkan, karena ia adalah salah satu kelompok agama mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu, upaya pengembangan
civil society di Indonesia tidak lepas dari peranan ummat Islam. Ummat Islam merupakan basis perubahan politik dan sosial di Indonesia, dan ia pun memiliki potensi sangat besar dalam menentukan format dan kehidupan politik di Indonesia. Apalagi melalui jalur lembaga-lembaga dakwah yang dianggap sebagai kendaraan pilihan masyarakat Indonesia dalam membentuk kesejahteraan masyarakat selain partai politik.
Civil society merupakan agenda dakwah Islam dikarenakan untuk menekan angka kemajuan dan kesejahteraan masyarakat muslim khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini tidak lepas dari peranan para da’i sebagai bagian dari unsur pelaksanaan dakwah. Dengan memasukkan materi tersebut sebagai bahan informasi menuju masyarakat berkeadilan, sejahtera, pluralis, demokratis, rasionalis, dan sebagainya.
Gerakan civil society yang terus diwacanakan ini telah menadapatkan perhatian banyak kalangan, diantaranya adalah Nucholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Amien Rais, Kuntowijoyo, Abdurrahman Wahid, Din Syamsuddin serta tokoh-tokoh lainnya. Lalu kemudian, mereka merumuskannya kembali dalam istilah masyarakat madani. Di awal tahun 1990-an, tokoh-tokoh tersebut terus
(34)
mengupayakan untuk menyebarkan visi dari masyarakat madani tersebut diantaranya adalah membentuk masyarakat muslim menjadi modern, rasional, cerdas.
2. Melembagakan kegiatan dakwah (Institutionalized)
Bahwa dakwah yang dilakukan kalangan muslim abad 20 ini telah memasuki dinamika kehidupan yang kompleks dan syarat akan nilai-nilai agama dan budaya. Jika pada periode klasik pesantren dijadikan sebagai pusat kegiatan dakwah, maka hari ini dakwah Islam telah mendapatkan banyak tempat untuk mengembangkan dan menyebarluaskan aktivitasnya. Tidak hanya melalui pesantren tradisional saja tetapi juga pada pesantren-pesantren modern, atau bahkan pada lembaga-lembaga yang dengan sengaja dikhususkan sebagai pusat kegiatan dakwah Islam. Seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), Majelis Tarjih Muhamadiyah, dan organisasi-organisasi lainnya yang memiliki visi-misi dakwah Islam.
Selain dari pada itu, dakwah Islam kini tengah memasuki pada aspek kajian akademik. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya Fakultas Dakwah di berbagai perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta. Upaya untuk melembagakan kegiatan dakwah Islam merupakan aplikasi dari Al-Qur’an Surat Al-Mudatsir (74) ayat 1-7 :
☺
(35)
Artinya : “Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah peringatan!. Dan Tuhanmu agungkanlah!. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”(QS. Al-Mudatsir, 74:1-7)
Ayat tersebut di atas merupakan bekal dakwah Rasulullah saw. untuk yang pertama kalinya. Dakwah Rasulullah saw. pertama kali diawali dengan cara sembunyi-sembunyi kurang lebih selama tiga tahun.21 Setelah itu, baru kemudian Rasulullah mendapat wahyu berikutnya untuk menjalankan dakwah Islam dengan terang-terangan :
☺
☺
Artinya : “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr, 15:94)
Perintah dakwah Islam tersebut selanjutnya diemban oleh Rasulullah saw. selama dua puluh tahun.22
Oleh karena itu, dakwah Islam harus sudah berada pada tingkat profesionalitas.23 Surat Al-Mudatsir dan surat Al-Hijr tersebut memberikan pesan bahwa dakwah Islam harus mengalami kemajuan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman. Mula-mula Allah memerintahkan dakwah kepada Nabi Muhammad saw. dengan sembunyi-sembunyi lalu kemudian memerintahkannya dengan terang-terangan. Artinya, bahwa kegiatan dakwah
21
Muhammad Abu Al-Fath Al-Bayanuni, Al Madkhal Ila ‘Ilm Ad Da’wah, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1991), h. 76
22
Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, 2005), h. 34
23
(36)
dewasa ini akan lebih terarah dan tercapai tujuannya melalui lembaga dakwah yang terorganisasi. Dengan demikian, kegiatan dakwah di era modern ini akan lebih sempurna dan terencana jika ada lembaga yang secara konsisten mengarahkan dakwah Islam.
3. Transformasi Sosial (social transformation)
Selanjutnya adalah dakwah Islam sebagai transformasi kehidupan sosial. Dakwah Islam memang tidak lepas dari perundingan sosial, dimana setiap gerakan yang digelontorkan akan membentuk suatu pola dan tatanan kehidupan masyarakat. Ini merupakan agenda khusus lembaga-lembaga dakwah dalam upayanya menjadikan masyarakat sejahtera, adil dan takwa kepada Allah SWT.
Sisi lain dakwah sebagai transformasi sosial adalah dapat membentuk etika dan moral masyarakat menjadi baik dan saling menjadi tauladan. Di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa orang yang dipandang sebagai “public opinion” atau sebagai tokoh masyarakat. Seseorang yang dipandang berpengaruh di masyarakat memiliki potensi untuk menyampaikan pesan-pesan agama. Maka, kebanyakan orang menyebutnya sebagai ustadz, kiyai atau yang lebih umum lagi adalah tokoh masyarakat.
Dakwah sebagai transformasi nilai-nilai sosial dikarenakan materi dakwah sangat dekat dengan problematika umat dan bangsa. Proyeksi kemudian adalah terbentuknya pribadi muslim yang taat beragama dan selalu menjalankan perintah Allah SWT. melalui aktivitas dakwah inilah kemudian terpancar energi positif yang membentuk sifat, karakter dan kebiasaan masyarakat yang baik, dan akan saling menjadi bagian satu sama lainnya di masyarakat. Jika ini sudah terlaksana maka konsep “manusia bermanfaat” akan terasa di masyarakat. Hal ini memang
(37)
telah digariskan dalam khittah dakwah nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits yang menyatakan :
سﺎ
ﻢﻬ ﻔ أ
سﺎ ا
ﲑﺧ
“Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”.
B. Islam Modern Dan Isu-Isunya
1. Pengertian Islam Modern dan Cita-citanya
Kemunculan kaum modernis dalam Islam sebenarnya merujuk pada polarisasi model keberagamaan dalam Islam yang mengemuka pada pergantian abad ke-19. Islam modern ini berasal dari gerakan sosial-politik dan keagamaan yang diprakarsai oleh Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha di Mesir. Mereka melakukan modernisasi terhadap Islam disebabkan karena mereka ingin membebaskan ummat Islam dari penjajahan Barat24. Kemudian, untuk meneruskan cita-cita gerakan Jamaludin Al-Afghani, maka Abduh melakukan reformasi terhadap paham keagamaan yang telah dipraktikkan oleh sebagian besar masyarakat muslim. Sedangkan Rasyid Ridha yang juga sebagai murid dari Muhammad Abduh menjabarkan ide-ide kedua pendahulunya itu kedalam sesuatu yang lebih bersifat praktis. Seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan dan sebagainya.
Modernisasi yang telah dilakukan oleh al-Afghani, M. Abduh dan Rasyid Ridha tersebut sebenarnya bukanlah suatu gerakan baru. Dua nama besar yakni Taqiyuddin dan Ibn Taimiyyah juga telah melakukan reformasi Islam sebelumnya. Kedua tokoh ini telah merevisi paham keagamaan yang dipraktikkan
24
Nikkie. R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writing of Sayyid jamal ad-Din al-Afghani (Los Angles, University of California Press, 1983)
(38)
oleh sebagian besar masyarakat muslim pada masanya. Gerakan pembaharuan
(tajdid) yang mereka lakukan itu terletak pada upaya mengevaluasi paham keagamaan yang ada dalam rangka menemukan titik-titik kelemahan, baik berupa penyimpangan, ketidaksesuaian serta pencampuradukan dengan unsur-unsur dari luar Islam, kemudian ditetapkannya sebagai bentuk islah agama yang berada pada garis yang benar. Berangkat dari pemikiran kedua tokoh tersebut, kritik dan sangkalan-sangkalan pun muncul sebagai gerakan purifikasi Islam. Gerakan ini dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Ia menilai kerangka modernisasi Islam yang dilakukan oleh kalangan tersebut di atas adalah bentuk penyimpangan-penyimpangan baru sepanjang sejarah Islam. Gerakan yang diprakarsai oleh Wahhab ini kemudian dikenal sebagai gerakan Wahhabiah, atau masyarakat Indonesia menyebutnya sebagai kaum Wahhabi. Abdul Wahhab menyerang praktik-praktik keagamaan popular seperti pemujaan terhadap guru-guru sufi,
taqlid atau tawassul. Menurut gerakan dan konsep yang dibangunnya praktik keagamaan semacam itu telah melenceng dan patut dikatakan bid’ah, karena telah menyebabkan degradasi moral. Maka, pendapatnya menganjurkan kepada ummat Islam pada waktu itu untuk tidak tenggelam dalam suasana tahayyul dan khurafat. Gerakan yang dibawa oleh Abdul Wahhab ini telah mendapatkan dukungan politis dari penguasa Dariyah, Saudi Arabia yakni Muhammad ibn Saud. Maka, Abdul Wahhab menyebarkan gagasan-gagasannya dengan keras, bahkan keduanya tidak segan-segan mengerahkan kekuatan militer untuk melawan mereka yang dianggap musuh-musuh dakwahnya. Secara riil, gerakan dakwah yang dibawa oleh Abdul
(39)
Wahhab tersebut berhasil menguasai sebagian besar Jazirah Arab, bahkan gerakan ini telah menjadi aliran keagamaan yang resmi di kerajaan Arab Saudi25.
Sementara, yang terjadi di Indonesia bahwa Islam modern tumbuh dan berkembang tidak jauh akibat dari pergulatan wacana Islam di Timur Tengah. Akan tetapi tidaklah sepenuhnya sama pemikiran Islam modern di Indonesia dengan para tokoh modernis di Timur tengah. Pada awal abad ke-19 khazanah Wahhabiah dan Ibnu Taimiyah telah memasuki Indonesia, dan akibat dari munculnya beberapa paham keagamaan modern ini, muncul pergolakan sosial-politik di Indonesia. Hal tersebut didasarkan atas pemahaman masyarakat muslim di Indonesia yang dipengaruhi oleh tradisi dan budaya. Sebagian masyarakat menilai bahwa Islam yang digariskan oleh pemikiran Wahhabiah dan Ibnu Taimiyah adalah bentuk pergeseran budaya bangsa serta arabisasi Islam di Indonesia. Sedangkan yang berbeda dengan kelompok tradisional tersebut memandang Islam modern Wahhabi dan Ibnu Taimiyah adalah bentuk pemurnian ajaran Islam dalam perihal ibadah, syari’ah dan muamalah.
Di tengah semakin derasnya arus pemikiran Islam modern di kalangan intelektual muslim di Indonesia, melahirkan beberapa pandangan baru terhadap modernisasi Islam dengan tidak mengusik tradisi dan budaya bangsa. Salah satu contoh adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1912, Muhammadiyah, telah menggariskan secara komprehensif bahwa Islam modern pada prinsipnya memiliki cara beragama dengan mengutamakan akal, menentang taqlid,
menganjurkan Ijtihad, kembali pada Qur’an dan Hadits, anti tahayyul, bid’ah dan
khurafat. Ciri-ciri tersebut juga merupakan cara pandang Islam modern menurut
25
James P. Piscatori, Islam in the Political Process, (Cambridge: Cambridge University Press, 1989)
(40)
Muhammad Abduh, tetapi dalam perbandingannya kaum Muhammadiyah lebih senada dengan kaum Wahhabi ketimbang M. Abduh. Sebagai organisasi Islam modern terbesar di Indonesia, Muhammadiyah memiliki Majlis Tarjih, yang secara khusus menangani persoalan keagamaan26.
Selain sebagai paham keagamaan, istilah tradisionalis-modernis juga dipandang sebagai identitas budaya. Tentu saja ini merupakan dimensi non-keagamaan, dan nampaknya lebih penting diperhitungkan dalam polarisasi tradisionalis-modernis27. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern terbesar di Indonesia memulai aktivitasnya bukan pada sisi keagamaan, melainkan sosial, pendidikan, dan ekonomi. Hal ini telah dibuktikan dengan hasil karyanya seperti panti asuhan, sekolah-sekolah, rumah sakit, poliklinik, universitas dan koperasi masyarakat.28 Munculnya paradigma Islam modern ini diukur dari keadaan ummat Islam yang pernah terjajah oleh bangsa-bangsa Eropa. Apalagi bagi mereka yang pernah merasakan kejayaan Islam, maka akan merasa seperti diinjak-injak bahkan hilang harga dirinya karena ummat Islam tengah dijajah oleh bangsa Eropa.
Islam modern yang dibangun atas dasar perkembangan, kemajuan dan peradaban manusia bukanlah suatu tujuan akhir dalam menciptakan masyarakat beragama, namun pada komposisinya, Islam modern mengajak masyarakat untuk berpikir maju dan mengamalkan ajaran-ajaran pokok Islam dalam kehidupan
26
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995)
27
Hendro Prasetyo, dkk. Islam dan Civil Society; pandangan muslim di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002)
28
(41)
sehari-hari. Fazlur Rahman berpendapat bahwa Islam modern merupakan sebuah tuntutan beragama dengan melibatkan unsur fikriyah sebagai interpretasi Al-Qur’an dan Hadits. Lebih lanjut ia mengatakan “Islam modern mengarah pada cara-cara berpikir baru pada umat Islam yang terbelakang (jumud) dengan merombak cara Islam diinterpretasikan”29
Modernisme kini sudah menjadi sebuah paham dalam dimensi sosial yang mensyaratkan pada peranan akal yang dominan. Ini berarti mengharuskan cita-cita sosial kepada arah kemajuan dan peradaban baru. Adalah benar bahwa kemodernan memiliki kapasitas berpikir yang panjang dan luas. Oleh karenanya, karakter-karakter yang terbentuk pun tidak jauh dari rasionalitas akal pikiran seseorang atau cara berpikirnya. Berkaitan dengan hal ini, Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan karakteristik kemodernan, diantaranya adalah :
- Rasional Ilmiah
Dalam dimensi sosial, kehidupan masyarakat modern telah disandarkan pada cara berpikir dalam menilai dan menentukan sesuatu. Segala sesuatu harus disandarkan kepada ilmu dan dipertimbangkan melalui logika. Di era modern, masyarakat Islam harus mampu menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam maupun yang berkaitan dengan kehidupan sosial melalui nalar rasional-ilmiah. Pendapat-pendapat yang tidak dilandasi dengan cara berpikir ilmiah tidak akan dapat diterima oleh masyarakat modern. Islam pun senada dengan cara berpikir demikian. Karena pada dasarnya, Islam tidak menerima prinsip-prinsip mistisisme yang kerap dilakukan oleh paranormal dan Islam mengkategorikan tindakan ini sebagai tindakan kufur dan syirik yaitu menyekutukan kekuatan Allah SWT.
29
Mohamed Imran Mohamed Thaib, Fazlur Rahman: Perintis Tafsir Kontekstual, Makalah Diskusi Yayasan Mendaki.
(42)
Dengan demikian, karakter masyarakat Islam modern merubah pola pikirnya dengan mengedepankan rasional-ilmiah. Selain itu, Al-Qur’an juga mendeklarasikan peperangan melawan kejumudan dan taklid kepada nenek moyang, pembesar-pembesar kaum serta kepada masyarakat awam.30
- Pembaruan (tajdid)
Karakteristik kemodernan yang kedua adalah pembaruan (tajdid). Pembaruan ini merupakan bentuk kondisi masyarakat modern. Umumnya, masyarakat muslim modern selalu berpikir menatap ke arah masa depan. Mereka tidak tinggal diam menghadapi problematika baru dengan penyelesaian dari pendapat-pendapat lama yang cenderung membeku. Islam melarang adanya pembekuan dalam kehidupan, pemikiran, keilmuan, dan ijtihad. Dan sebaliknya, Islam menghendaki seseorang untuk terus mengupayakan adanya regenerasi dan perubahan-perubahan peradaban manusia, serta untuk melakukan ijtihad terkait dengan persoalan-persoalan baru yang dihadapi dalam kemodernan.
Pembaruan yang dimaksud dalam modernisme Islam adalah pembaruan dalam hal cara berpikir masyarakat yang menyertakan pada prinsip rasional-ilmiah, serta gerakan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Lebih lanjut, Dr. Yusuf Qardhawi mengingatkan kepada masyarakat modern bahwa pembaruan bukan berarti memungkiri yang lama.
“Ingat, bahwa pembaruan yang dimaksudkan tidak berarti menginterupsi hubungan dengan turats, dan mengingkari yang lama. Karena tidak semua yang lama adalah buruk, sebagaimana tidak semua yang baru adalah baik. Berapa banyak hal yang lama dan terus bermanfaat secara signifikan, dan membawa berkah secara melimpah. Dan berapa banyak hal yang baru tidak membuahkan kebaikan bahkan mengandung bahaya laten dan nyata. Permasalahan baru dan lama adalah relatif, yang
30
Dr. Yusuf Qardhawi, Retorika Islam, terj. Abdillah Noor Ridlo, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007) cet. 2
(43)
dianggap lama pada hari ini sebenarnya adalah baru pada waktu lalu, dan yang dianggap baru hari ini ia menjadi lama esok lusa. ”31
Begitu pun dengan apa yang telah diprinsipkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) bahwa menjaga sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang benar adalah perbuatan terpuji32. Dengan demikian, prinsip pembaruan tidak akan mengacak-acak pendapat lama. Inilah yang kemudian dimaksud dengan pembaruan (tajdid).
2. Pengertian Isu dan Isu Islam Modern
Sebelum lebih jauh membicarakan isu-isu Islam modern. terlebih dahulu kita memahami isu sebagai apa, dari siapa dan untuk siapa. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kata isu memiliki arti “kabar yang tidak jelas asal usulnya dan tidak terjamin kebenarannya” atau dalam arti lainnya adalah kabar angin, desas-desus.33 Dalam konteks isu Islam modern, isu diistilahkan sebagai suatu fenomena
problematika Islam yang menimpa masyarakat. Dengan demikian, isu merupakan fenomena masalah yang terjadi di permukaan masyarakat. Sifatnya belum dikatakan sebagai keputusan tetapi ia adalah pergeseran wacana. Isu datang dari persoalan masyarakat yang mengalami pergeseran wacana dari semula. Seperti Islam Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai Islam yang ramah, santun, bijaksana, arif dan toleran akan berubah menjadi keras, kasar, teroris disebabkan oleh aksi radikal yang dilakukan oleh segelintir masyarakat yang
31
Yusuf Qardhawi, Ibid., h. 169-170
32 Aceng Abdul Aziz, dkk., Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2006)
33
(44)
mengatasnamakan Islam. Sehingga kemudian munculah isu Islam Indonesia tidak lagi seperti yang tergambarkan dahulu melainkan radikal, teroris.
Dikarenakan sifatnya sebagai pergeseran wacana, maka isu dapat juga dijadikan sebagai momentum politik bagi sekelompok golongan yang hendak mencapai tujuan dan cita-citanya. Dengan demikian isu sangat rentan dengan wacana kajian dan dialog. Jadi, dakwah Islam mesti turut serta dalam menghadapi isu-isu Islam modern. berikut ini adalah isu-isu Islam modern yang melahirkan dialog dan literatur. Dengan demikian, dapat disederhanakan pengertian isu yang berarti gejala sosial yang menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan Isu Islam modern adalah gejala-gejala sosial masyarakat yang menjadi fenomena agama dan berkembang menjadi pengetahuan. Isu Islam modern bagian dari pergeseran wacana klasik ke dalam wacana modern. Ada banyak macam isu-isu Islam modern, diantaranya adalah Isu pluralisme, liberalisme, sekularisme, hak asasi manusia, kesetaraan gender, krisis sosial, moral, spiritual, dan isu terorisme, radikalisme, fundamentalisme.
3. Isu Fundamentalisme, Radikalisme, Terorisme
a. Fundamentalisme
Pasca peristiwa pengeboman gedung World Trade Center (WTC), 11 September 2001 di Amerika Serikat, posisi umat Islam semakin tersudutkan lantaran diketahui bahwa pelaku pemboman tersebut adalah kelompok jaringan Al-Qaeda, yaitu kelompok Islam yang berbasis ideologi keras (ekstrem). Terlebih lagi, di Indonesia menyusul serangan-serangan teroris yang diketahui pelakunya adalah dari kalangan muslim. Semakin menguatkan dunia internasional bahwa
(45)
Islam memiliki doktrin membunuh, menyerang dan melakukan tindakan terorisme.
Pada mulanya, kelompok Islam yang tergolong radikal ini memiliki konsep ideologi yang menekankan kepada ajaran berbakti kepada agama. Melalui pemahamannya terhadap Al-Qur’an dan Hadits ia tidak berusaha menjabarkan kandungan-kandungan ayat Al-Qur’an serta memberikannya tafsiran secara kontekstual dalam perilaku hidupnya, sehingga apa-apa yang tertulis di dalam teks Al-Qur’an dipandang sebagai keputusan mutlak dan tidak dapat boleh diberikan tempat untuk diadakan tafsir, pemaknaan secara kontekstual, dan semacamnya. Maka, dalam tindakan dan pengamalannya pun cenderung mutlak mengikuti teks Al-Qur’an tersebut. Seperti dalam Al-Qur’an :
☺
Artinya : “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah), ...”
(QS. Al-Baqarah,2:191)
Ayat tersebut jika dipahami berdasarkan teksnya saja tanpa mengetahui asbabun nuzulnya, konteksnya dalam hal apa, jelas akan memberikan pengertian bahwa umat Islam diperintahkan membunuh serta mengusir mereka (musuh-musuh Islam) dengan cara kekerasan. Kemudian ayat lain yang mendasari pemahaman kelompok fundamentalis-radikal, yaitu Surat Al-Baqarah (2) ayat 120 :
☺
(46)
Artinya : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah,2:120)
Ayat tersebut kemudian dijadikan sebagai patokan oleh kaum fundamentalis sebagai legitimasi permusuhan Islam dan Yahudi serta Nashrani.
Dalam hal ini William M. Watt mendefinisikan bahwa “fundamentalisme Islam adalah kelompok muslim yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh”.34 Sepertinya ada perbedaan pandangan diantara ulama-ulama modern dalam memberikan pengertian fundamentalisme Islam ini. Dalam kaitannya, Fazlur Rahman justeru tidak memiliki ketertarikan untuk menggunakan istilah fundamentalisme ini sebagai sebutan bagi kelompok muslim yang terbelakang, memiliki pemikiran jumud, baku.35 Ia lebih memilih menggunakan istilah revivalis Islam. Revivalis ini diartikannya sebagai “kelompok muslim yang cenderung memiliki arah terhadap gerakan purifikasi Islam, ajarannya untuk mengembalikan persoalan kepada Al-Qur’an dan Hadits”.36
Namun demikian, gerakan kaum fundamentalis cenderung konservative dan tidak mau menerima pendapat-pendapat hasil dari penafsiran terhadap
34
William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, (Jakarta: Grafindo Persada, 1997), h. 3-4
35Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam; Studi Tentang Fundamentalisme
Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009)
36 Ibid.
(47)
Qur’an yang disandarkan pada hermeneutika Al-Qur’an antar teks (inter-textual). Menurut Fazlur Rahman, Fundamentalis sejati adalah orang yang memiliki komitmen terhadap proyeksi rekonstruksi atau rethinking.37 Pemikirannya yang baku terhadap satu pengertian menjadikan kelompok ini sebagai kelompok yang tidak memiliki sikap keberanian menelaah dan menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits dalam menentukan hukum.
Prof. Dr. Azyumardi Azra mengkategorikan prinsip dasar fundamentalisme dalam agama sebagai berikut :
1. Oposisionalisme ; yaitu pemikiran yang mengharuskan perlawanan terhadap arus perubahan yang mengancam kemapanan ajaran agama.
2. Penolakan terhadap hermeneutika ; pada titik ini teks suci serta merta menjadi ruang yang kedap kritik.
3. Penentangan akan pluralisme sosial ; yaitu menghendaki agar masyarakat tidak boleh berbeda-beda dan diharuskan untuk seragam.
4. Pengingkaran terhadap perkembangan historis dan sosiologis umat manusia.38
b. Radikalisme
Di awal abad ke-20 hingga kini gerakan radikalisme Islam semakin menampakkan diri ke dalam arus perubahan modernisme, karenanya gerakan dakwah Islam harus mampu menjadi penyeimbang atas lahirnya gerakan-gerakan Islam yang memiliki sikap radikal dalam dakwahnya agar dakwah Islam tetap dalam pandangan santun dan bijaksana.
37
Fazlur Rahman, Ibid., h. 14
38
Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militants Movement in Indonesia, Makalah Simposium Internasional, CIU, Tokyo, 2005
(48)
Beberapa pengalaman telah mengukir sejarah Islam radikal yang kemudian dijadikan komoditas politik negara-negara yang berkepentingan dalam persoalan ini. Imam Khatami, seorang mantan Presiden Iran pernah mengkritik kelompok fundamentalis Islam di Iran yang dengan kaku mereka memahami prinsip-prinsip agama sebagai ramuan masa lalu. menurut Imam Khatami bahwa prinsip-prinsip agama telah terjadi sesuai dengan sosio-historis sendiri. Historis-sosiologis membentuk doktrin agama dengan menyesuaikan karakteristik konteks sosiologis yang melingkupinya.39 Sedangkan kelompok fundamentalis tidak menyadari hal tersebut. Dalm orasinya, Imam Khatami mengatakan bahwa fundamentalisme itu terbagi menjadi dua macam, yaitu :
- Ushuliyyah Mutharrifah (Fundamentalis yang berlebihan)
Fundamentalis seperti ini memiliki kapasitas memahami teks yang berlebihan tidak disertai pemaknaan secara kontekstual. Aksi-aksi yang dilakukannya cenderung menggunakan prinsip “ketegasan tanpa batas” dan pada akhirnya melahirkan aksi kekerasan (radikal).
- Ushuliyyah Mathlubah (Fundamentalis yang dikehendaki)
Dalam hal ini Islam memberikan apresiasi terhadap fundamentalis yang mengupayakan masyarakat untuk kembali kepada ajaran Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika memberikan fatwa atau hendak menghasilkan produk hukum fikih, merujuk kepada sumber utama ajaran Islam (Al-Qur’an) adalah sesuatu yang dinilai baik dan memiliki keutamaan dalam berpendapat. 40
39
Imam Khatami, petikan wawancara Harian al-Fagr, Edisi Sabtu, 31 Maret 2007
40
(49)
c. Terorisme
Terorisme merupakan isu yang hangat diperbincangkan di masyarakat sekarang ini. Aksi-aksinya sungguh sangat meresahkan masyarakat. Terorisme merupakan sebuah paham yang berlebihan terhadap konsep Jihad di dalam Islam.
Pada dasarnya pandangan terorisme ini bersumber dari sebuah racikan ideologi yang belebihan dalam memaknai konsep bejuang di jalan Allah SWT. Tindakan yang dilakukannya tersebut diyakini sebagai jalan jihad menuju ridha Allah SWT. Selain karena pemahamannya yang rigid terhadap teks kitab suci, kelompok teroris ini juga mendapatkan doktrin Jihad yang menurutnya dengan memerangi oang-orang kafir dengan cara-cara keras sekalipun41.
Selain itu, kelompok teroris juga menghendaki adanya pembaharuan (renewal)42 ajaran Islam yang menurutnya sudah melenceng jauh dari yang sebenarnya. Maka dengan demkian, mereka meyakini bahwa aksi-aksi yang dilakukannya adalah demi menegakkan ajaran Islam.
Gerakan terorisme ini akan sangat mengganggu hubungan Islam dengan agama-agama lainnya lantaran belakangan ini mereka (kelompok teroris) menamakan diri sebagai aksi Jihad di jalan Allah SWT. dalam memerangi orang-orang kafir.
4. Isu Pluralisme, Liberalisme, Sekularisme
a. Pluralisme
41
Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militan Movements in Indonesia, makalah simposium internasional, IACS, Tokyo, 2005
42
(50)
Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang layaknya agama-agama lain. Ia tidak sekedar menghendaki kerukunan bagi umat Islam saja tetapi bagi semua makhluk di dunia ini. Dan, Islam juga membenci kekerasan dan kemunafikan. Tak ada jaminan yang lebih jelas untuk menghindari kedua hal buruk tersebut kecuali ajakan Al-Qur’an kepada ummat manusia untuk menghormati keyakinan-keyakinan agama di dunia ini. Keragaman yang terjadi di dunia ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh siapapun dan kapanpun serta dimanapun. Nabi Muhammad saw. telah menggariskan perbedaan sebagai rahmat Allah SWT. untuk makhluk hidup di bumi.
Harold Coward dalam bukunya Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, menginventarisasi tantangan atas isu pluralisme keagamaan yang menghasilkan beberapa prinsip umum, diantaranya; pertama, pluralisme dapat dipahami dengan baik dan logis, jika dapat memahami al-Ahad berwujud dalam yang banyak. Hal ini memang bisa dimengerti bahwa Tuhan hanya Satu dan sama bagi semua agama. Maka hidup berdampingan dengan tanpa memperbandingkan secara timbal balik, masih dimungkinkan. Dan hambatan teologis dalam berbagai dialog keagamaan relatif tidak tampak. Kedua, adanya pengalaman bersama mengenal kualitas pengalaman agama partikular sebagai alat. Di sini dapat dimengerti bahwa agama sebagai alat kompetisi sehat, alat pengendali kehidupan manusia, dan sebagai alat untuk mencapai Tuhan yang sama. Dalam hal ini tentu juga harus diwaspadai soal kemungkinan munculnya faham relativisme43 dan liberalisme beragama. Karena pada dasarnya, sejauh mana pun seorang pluralis
43
Menurut WJS. Poerwadarminta, Relative itu sesuatu yang dapat berubah-ubah dan tidak mutlak.
(1)
pokok prinsipal dalam membangun kesejahteraan masyarakat atau yang oleh Azyumardi Azra disebut sebagai masyarakat madani52.
Beberapa pandangan yang membedakan dakwah kultural dan dakwah struktural dalam gerakan modern terlihat pada platform yang dibawa oleh organisasinya. Pada partai politik yang dikatakan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan tidak selamanya berada pada garis struktural. Pada saat tertentu cita-cita dakwahnya terhalang oleh kepentingan, sehingga tidak menutup kemungkinan akan mengorbankan platformnya sebagai partai yang membawa misi dakwah Islam. Memang, dalam partai politik terdapat tantangan-tantangan besar dalam membawa misi dakwahnya, begitu juga keberhasilannya dapat terukur dengan jelas melalui apa yang diperjuangkannya melalui birokrasi.
Adapun dalam dakwah kultural dinamika politiknya tidak begitu mempengaruhi kondisi dakwah. Walaupun terkadang sebagian ormas Islam memiliki hubungan struktural dengan partai politik tetapi sebatas dalam kapasitas kepentingan tertentu saja dan tidak mempengaruhi misi dakwah Islamnya.
Dalam pelaksanaannya, dakwah Islam tidaklah memisahkan semua aspek pelaksanaannya, baik meliputi unsur dakwah, metode serta pola-pola yang dilakukan. Hal ini juga dibenarkan oleh Syahrin Harahap bahwa dalam pelaksanaannya dakwah Islam mengalami kemajemukan otonom.53 Kemajemukan yang terjadi dalam dakwah Islam merupakan hubungan yang bersifat sistemik, yang masing-masing unsur merupakan bagian yang tak
52 Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militant Movements In Indonesia, makalah
Simposium Internasional, Institute Of Asian Culture Studies, Tokyo, 2005 53
Syahin Harahap, Islam; Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999)
(2)
terpisahkan dari sistem. Atau juga bersifat simbiotik, yaitu masing-masing saling memerlukan. Dakwah kultural, dakwah struktural, dakwah bil lisan, dakwah bil hal, dakwah bil qalam semuanya akan saling bergantung satu sama lainnya. Terlebih lagi dalam menghadapi masyarakat modern yang majemuk ini.
Pada bab II, dijelaskan bahwa agenda penting gerakan dakwah Islam modern ini meliputi pembentukan masyarakat madani (gerakan civil society), melembagakan kegiatan dakwah (institutionalized) dan transfomasi nilai-nilai sosial. Ketiga rumusan tersebut adalah bentuk pencapaian gerakan dakwah Islam.
Dengan demikian, gerakan dakwah Islam mampu menghadapi berbagai macam tantangan apapun. Dinamisasi pengalaman dan ilmu pengetahuan akan membantu gerakan dakwah yang substansif dan bersifat memperdayakan masyarakat dalam kondisinya. Sepanjang yang dapat diamati oleh kebanyakan orang bahwa salah satu problematika masyarakat modern adalah masalah kemiskinan. Untuk itu, Din Syamsuddin berpendapat bahwa gerakan dakwah Islam harus mampu menjabarkan teologi kemiskinan,54 yang memiliki intrik untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan keterbelakangan.
Dalam teologi kemiskinan ini Islam memiliki konsep etos kerja. Melalui peningkatan etos kerja yang dilakukan oleh setiap muslim, maka akan tercapai pencapaian kebutuhan ekonomi guna menunjang kehidupan masyarakat. Selain itu, Allah SWT. menjanjikan dengan tegas bagi siapa yang bekerja keras akan dibalas-Nya sesuatu yang membuat dia bahagia. Berikut Firman Allah SWT.
54
Din Syamsuddin, Tantangan Dakwah Masa Depan, makalah seminar satu abad Muhamamdiyah, UMS, 2009
(3)
Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut,29:69)
Kita harus memahami keja keras sebagai bagian dari jihad seseoang dalam mencari kehidupan. Dengan mengacu kepada teologi kemiskinan, etos kerja keras merupakan salah satu acuan untuk membeantas kemiskinan yang ada pada masyarakat.
(4)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Gerakan dakwah Islam dalam menghadapi isu-isu Islam modern harus dilakukan secara terpadu dan tepat sasaran. Serta harus menggunakan prinsip
tabligh (menyampaikan), tatbiq (mengamalkan) dan tandzhim (mengelola). Isu yang berkembang dalam khazanah Islam dewasa ini harus menjadi muatan materi dakwah Islam masa kini. Oleh karenanya, ketiga pinsip tersebut hendaknya menjadi pilar dalam dakwah di era modern.
2. Gerakan dakwah Islam modern sebagai solusi terhadap krisis spiritual, sosial dan moral bangsa harus memiliki orientasi terhadap pembentukan karakter jamaah. Hal ini bisa dilakukan dengan mengoptimalkan materi dakwah yang sesuai dengan kebutuhan jamaah.
3. Format ideal gerakan dakwah Islam modern harus dilakukan dengan mengupayakan kebutuhan jamaah. Selain dengan cara kultural dan struktural, dakwah Islam juga dilakukan dengan aplikasi/pengamalan ilmu secara langsung, seperti; membangun rumah sakit, balai pendidikan, lapangan kerja, dan semacamnya.
4. Para pegiat dakwah hendaknya selalu meningkatkan dan mengembangkan wawasan keilmuan dakwahnya guna mengetahui medan dakwah secara tepat dan jelas, khususnya dalam penguasaan materi isu Islam modern seperti; isu
(5)
fundamentalisme, radikalisme dan terorisme, isu pluralisme, liberalisme dan sekularisme, isu HAM, demokrasi dan gender, serta isu-isu Islam modern lainnya.
5. Gerakan dakwah Islam akan lebih baik terorganisir melalui organisasi yang memiliki peranan dan konsentrasi di bidang dakwah.
6. Gerakan dakwah Islam modern harus menunjukkan sikap santun, ramah, adil dan bijaksana.
Secara garis besar kajian gerakan dakwah Islam modern ini adalah bentuk kemajuan masyarakat Islam dalam menyampaikan pesan-pesan agama kepada umatnya. Ia juga merupakan sarana pendorong bagi masyarakat dan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan demi kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak. Dengan demikian, gerakan dakwah Islam modern sangat menentukan masa depan dakwah Islam menjadi dakwah yang berpilar pada aspek kemanusiaan (humanisme), kebijaksanaan, kemandirian, keberagaman, keadilan, kebebasan, toleransi, santun dan saling menghargai dan menghormati sesama manusia.
B. Saran
Dalam proses penelitian yang cukup panjang, penulis menegaskan bahwa dakwah Islam modern adalah upaya reformasi gerakan dakwah Islam dalam menghadapi kemajuan zaman dan arus modernisme yang sudah tidak terbendung lagi ini. Banyak pengetahuan-pengetahuan baru yang penulis dapatkan dalam studi ini, yang semuanya telah dijelaskan dalam pemaparan tulisan ini serta pada analisa yang cukup membuat kita semakin merasa kekurangan pengetahuan.
Oleh karenanya, penulis memberikan saran dan masukan kepada segenap civitas akademia UIN Syarif Hidayatullah, khususnya kepada Fakultas Ilmu
(6)
Dakwah dan Ilmu Komunikasi sebagai bagian dari keseriusan pendalaman studi dakwah guna terus dilakukan pendalaman pengetahuan tentang ilmu dakwah, yang meliputi aspek epistemologi, ontologi dan aksiologi. Secara singkat, dapat penulis berikan saran untuk perkembangan gerakan dakwah Islam selanjutnya, yaitu:
1. Gerakan dakwah Islam harus dimengerti secara luas mencakup kontekstual dan tekstual Al-Qur’an oleh masyarakat Islam
2. Hendaknya para da’i menghentikan pemuatan materi dakwah yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya, agar tidak terjadi pemakzulan dakwah Islam pada masyarakat
3. Gerakan dakwah Islam modern adalah upaya bersama dalam rangka memurnikan pemahaman masyarakat terhadap dakwah Islam, baik dalam aktifitasnya maupun pada materi substansinya
4. Gerakan dakwah Islam adalah upaya memberikan solusi bagi permasalahan bangsa dan masyarakat
5. Hendaknya kalangan akademis memberitahukan kepada masyarakat umum bahwa dakwah Islam memiliki relevansi dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, dan tidak sekedar ceramah mimbar belaka.
Sekiranya demikian saran yang disampaikan penulis sebagai wujud ekspresi dari fenomena yang terjadi di masyarakat tentang gerakan dakwah Islam modern.