liberal dari dunia Islam. Menurut mereka yang kontradikitif terhadap isu liberalisme Islam ini adalah penistaan sekaligus dusta dalam agama Islam.
Dalam kajian akademik, isu pluralisme, liberalisme dan sekularisme memang tidak pernah mendapatkan kesepakatan umum terhadap pengertian
maupun pemahamannya. Melalui Musyawarah Nasional MUNAS VII Majelis Ulama Indonesia MUI telah memberikan pengertian yang membedakan antara
pluralisme dengan pluralitas, yaitu pluralisme dipahami sebagai “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain
salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.” Sedangkan pluralitas memiliki
pengertian bahwa “di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.”
50
c. Sekularisme
Atas dasar larangan MUI tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme itu maka masyarakat Islam Indonesia secara umum menolak paham-paham
tersebut sebagai bagian dari Islam. Terlepas dari pro-kontra, isu pluralisme, liberalisme, sekularisme tengah menjadi tantangan besar dakwah Islam modern
hari ini. terlebih lagi jika isu tersebut sampai pada wacana sekularisme, yang mendapat tentangan lebih keras lagi dari kalangan umat Islam. MUI memberikan
penjelasan mengenai sekularisme ini sebagai “suatu paham yang memisahkan urusan dunia dari agama, agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan
50
Draft Himpunan Fatwa MUI
pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial”.
51
Sekularisme menjadi perdebatan di kalangan umat Islam semenjak ada isu pemisahan urusan agama dan negara. Sejumlah ormas-ormas Islam di berbagai
daerah pun menyiapkan diri untuk menghadang paham tersebut jika menyebarluas di daerah-daerah Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah isu sekularisme ini hanya
sampai pada permukaan masyarakat kota saja tidak sampai ke pelosok nusantara. Bagi sebagian kalangan akademisi seperti Dawam Raharjo, Nurcholish Madjid
yang menganggap sekularisme sebagai pembenahan sistem beragama
52
memang diperlukan adanya untuk menegaskan kepada umat Islam bahwa urusan ibadah
syar’iyah tidak boleh dikaitkan dan dicampuradukan dengan urusan dunia atau negara. Namun oleh sebagaian lagi perjuangan Nurcholish dan teman-temannya
itu dianggap sebagai provokasi untuk membalikan pikiran umat Islam tentang negara dan agama.
Kini dakwah Islam dihadapkan pada tantangan isu tersebut. Selain diperlukan pendalaman pemahaman terhadap isu tersebut, lembaga dakwah Islam
harus mampu menjadi penengah atas pro-kontra isu pluralisme, liberalisme, sekularisme di kalangan umat Islam. Prof. Dr. Din Syamsuddin memandang
bahwa isu pluralisme, liberalisme dan sekularisme hanya berpengaruh pada masyarakat kota atau modern saja
53
karena sikap dan perilaku kelompok pluralis, liberalis, sekularis tidak diterima oleh kalangan masyarakat muslim di pedesaan
51
Ibid.
52
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995
53
Wawancara pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Februari 2010
atau tradisional. Dengan demikian, isu-isu tersebut menjadi tantangan bagi dakwah Islam yang berada di kota-kota besar dan di kalangan akademisi dan
cendekiawan.
5. Isu HAM, Demokrasi, Kesetaraan Gender