Teori Pengambilan Kebijakan Pemerintah atau Kebijakan Publik

c. Berbagai altenatif untuk memecahkan masalah diteliti secara saksama. d. Akibat-akibat biaya dan manfaat yang ditmbulkan oleh setiap altenatif yang dipilih diteliti. e. Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya, dapat diperbandingkan dengan alternatif-altenatif lainnya. f. Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat-akibatnya yang dapat memaksimasi tercapainya tujuan, nilaisasaran yang telah digariskan. 2. Teori Inkremental The Incramental Theory Teori inkramental atau teori perevisian dibuat sebagai upaya untuk menyederhanakan teori keputusan yang mengabaikan banyak masalah dari teori rasional-komprehensif. Charles Lindblom 1977 mengatakan bahwa teori incremental menunjukan bahwa keputusan merupakan hasil dari proses “memberi dan menerima”, di antara persetujuan bersama beberapa stakeholders dalam proses pengambilan keputusan. 49 Teori ini dapat dirunut sebagai berikut: 1. Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis empiris dari tindakan yang diperlukan untuk mencapainya lebih bersifat saling menjalin dari pada terpisah-pisah satu dengan lainnya. 2. Pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang berhubungan dengan permasalahnnya, dan hal ini akan dibedakan hnaya yang bersifat menambah dari kebijakan yang ada. 49 Ibid., h. 161 3. Untuk masing masing alternatif hanya akibat konsekuensi yang penting yang akan dievaluasi. 4. Permasalahan yang dihadapi pembuat keputusan secara kontinyu didefinisikan kembali. 5. Tidak ada keputusan tunggal atau pemecahan yang benar untuk suatu masalah. 6. Pembuatan keputusan yang bersifat penambahan sesungguhnya merupakan perbaikan dan lebih sesuai untuk saat ini, lebih menunjukan ketidaksempurnaan sosial yang konkrit daripada peningkatan sosial dimasa mendatang. 50 3. Teori Pengamatan Terpadu Mixed-Scanning Theory Teori ini dikemukakan oleh Amitai Et ioni sebagai penyempurna dari teori sebelumya yaitu teori incrementalisme, setelah beliau mengemukakan beberapa kelemahan dari teori incrementalisme karena dalam teori ini memperhitungkan baik keputusan fundamental teori rasional komprehensif maupun incremental. Dalam teori mixed-scanning pengambil keputusan dimungkinkan menggunakan baik teori rasional-komprehensif maupun terori incremetalisme dalam keadaan yang berbeda. Mixed-scanning juga memperhitungkan kemampuan pembuat keputusan yang berbeda. Karena semakin tinggi kemampuan pembuat keputusan dalam memberikan kekuasaan untuk melaksanakan keputusannya, maka semakin banyak scanning yang 50 Ibid. secara realistis diikutsertakan. Oleh karena itu mixed-scanning teori dapat dikatakan sebagi pendekatan ”kompromi” yang menggunakan kombinasi dari rasionalisme dan incrementalisme. 51 Sedangkan S. P. Siagian menyebutkan ada empat model atau teknik pengambilan keputusan publik yaitu: 52 1. Model optimasi, sasaran yang ingin dicapai dengan model optimasi ialah bahwa dengan mempertimbangkan keterbatasan yang ada, organisasi berusaha memperoleh hasil terbaik yang paling mungkin dicapai. Hasil terbaik itu dapat beraneka ragam bentuknya seperti keuntungan bagi statu organisasi niaga, peningkatan penjualan, meningkatnya semangat verja para karyawan dan lain- lain. Sikap pengambil keputusan, norma-norma serta kebijaksanaan organisasi berperan penting dalam menentukan kriteria apa yang diamksud dengan hasil terbaik yang mungkin dicapai itu. 2. Model satisficing, ide pokok dari model ini ialah bahwa usaha ditujukan pada apa yang mungkin dilakukan “sekarang dan di sini” dan bukan pada sesuatu yang mungkin optimal tetapi tidak realitas dan oleh karenanya tidak tercapai. Model satisficing pada intinya sama dengan teori inkremental yang telah disebutkan di atas, yaitu suatu tindakan dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan alternatif terendah minimal dengan maksud bahwa usaha dipusatkan pada pengurangan dampak negatif suatu 51 Ibid. 52 Siagian, Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan, h. 53 situasi problematik dan tidak untuk menghilangkan situasi problematik tersebut. 53 3. Model mixed scanning, scanning berarti usa mencari, mengumpulkan, memperoses, menilai dan menimbang-nimbang informasi dalam kaitannya dengan menjatuhkan pilihan tertantu. Model mixed scanning berart setiap kali seorang pengambil keputusan menghadapi dilema dalam memilih suatu langkah tertentu, suatu keputusan pendahuluan harus dibuat tentang sampai sejauh mana berbagai sarana dan prasarana organisasi akan digunakan untuk mencari dan menilai berbagai fungís dan kegiatan yang akan dilaksanakan. 54 4. Model heuristic, pada hakikatnya model ini berarti bahwa faktor-faktor internal yang terdapat dalam diri seseorang pengambil keputusan lebih berpengaruh daripada faktor-faktor eksternal. Dengan kata lain, seorang pengambil keputusan lebih mendasarkan keputusannya pada konsep-konsep yang dimilikinya, berdasarkan persepsi sendiri tentang situasi problematik yang dihadapi. 55 53 Ibid. 54 Ibid., h. 61 55 Ibid., h. 62 63

BAB IV PENGARUH FATWA MUI DALAM LAHIRNYA SKB 3 MENTERI

TENTANG ALIRAN AHMADIYAH DAN UU NO.21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI’AH Sejak berdirinya pada tahun 1975 sampai tahun 2010 MUI telah menge- luarkan lebih dari 80 buah fatwa. Tanggal 26 Juli 2010, MUI genap berusia 35 tahun. Dalam kurun waktu 35 tahun tersebut, banyak hal yang telah dilakukan baik yang berkaitan dengan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan maupun yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas umat dalam bidang dakwah, ukhuwah, tarbiyah, ekonomi dan kesejahteraan. Demikian pula fatwa-fatwa di bidang ilmu pengetahuan. 1 Dalam buku Himpunan Fatwa MUI yang diterbitkan tahun 2010, dapat diketahui bahwa isi fatwa itu dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori; pertama, tentang aqidah dan aliran keagamaan; kedua, tentang masalah ibadah; ketiga, tentang masalah sosial budaya; serta keempat, tentang Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika dan Ilmu pengetahuan dan Teknologi. 2 MUI terus berupaya meningkatkan fungsi dan peranannya dalam upaya meningkatkan kualitas umat di berbagai bidang kehidupan sesuai dengan tuntutan aman dan seirama dengan semakin lajunya derap pembangunan. Meskipun fatwa 1 Himpunan Fatwa MUI, Jakarta: Sekretariat MUI, 2010, h. v 2 Ibid., h. xi MUI tidak mengikat secara hukum, namun seringkali dijadikan rujukan berperilaku oleh masyarakat dan pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Jika diperhatikan, hal tersebut mengindikasikan bahwa antara agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Bahkan adakalanya perjuangan politik membutuh-kan dukungan agama, sebagaimana kedudukan agama di suatu Negara dan Daerah secara publik akan menguat dengan adanya dukungan politik dalam berbagai bentuk. Politik dan agama jika menyatu secara signifikan bagaikan dua sisi yang berbeda dari satu mata uang yang sama yang memberikan nilai dan harga two sides of the same coin. 3 Indonesia dengan menempatkan ideologi Pancasila sebagai Dasar Negara untuk hidup bermasyarakat, urusan agama memang diatur oleh negara, kebebasan beragama dalam koridor kesatuan dan per-satuan masyarakat. Mengingat sensitifitas agama sangat tinggi, maka persoalan agama bisa sebagai pemicu dan pemacu konflik antar dan inter umat beragama. Oleh karenanya, di Indonesia terdapat Departemen Agama yang memiliki fungsi “polisionil” melalui kebijakan kenegaraan. Pentingnya urusan agama ini kemudian dilembagakan secara resmi dan kedudukannya diatur terpusat dan salah satu fungsi kepemerintahan yang tidak dilimpahkan kepada Daerah. Otonomi Daerah tidak menerima desentralisasi fungsi urusan agama, oleh karenanya tidak ada Badan atau Dinas Agama yang ada adalah Kantor Wilayah Departemen Agama di Provinsi 3 Syamsul Bahrum, Fatwa MUI Bukan Penetrasi Agama dalam Politik Praktis, artikel diakses dari http:google.com.syamsulbahrum.web.id?p=1416 pada tanggal 01 Maret 2011 dan Kantor Departemen Agama di Kabupaten dan Kota. Pada dasarnya negara ikut mengatur secara administratif operasional dan kebijakan kepemerintahan dalam keagamaan. Namun pada hakekatnya, urusan “inti dan isi keagamaan” justru berada pada MUI yang dengan kekuatan “fatwa”nya menyentuh sisi kepemerintahan, dimensi pembangunan dan kondisi kemasyarakatan. Banyak sekali fatwa MUI yang ditujukan untuk menjawab suatu persoalan sosial, namun terkadang ada juga fatwa menimbulkan keraguan dan kontroversi di kalangan umat Islam sendiri. Misalnya ada beberapa fatwa MUI yang menimbulkan polemik di masyarakat, seperti dikeluarkannya fatwa tentang menggunakan hak pilih dalam pemilu 1999, fatwa halalnya pembudidayaan kodok, fatwa sesatnya Ahmadiah dan lain-lain. Terkadang dengan dikeluarkannya suatu fatwa oleh MUI tidak hanya menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat, bahkan dengan dikeluarkannya fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiah oleh sebagian kalangan disinyalir menjadi faktor pemicu tindak kekerasan dan anarkis terhadap jamaah Ahmadiah di berbagai tempat di Indonesia. 4

A. Lahirnya Surat Keputusan Bersama SKB Tentang Keberadaan Jama’ah Ahmadiyah

Ahmadiyah adalah Jamaah Muslim yang didirikan oleh Mir a Ghulam Ahmad 1835-1908 pada tahun 1889 di sebuah desa kecil yang bernama Qadian, 4 Uli Parulian Sihombing, dkk., Menggugat Bakor Pakem: Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia, Jakarta: ILRC, 2008, cet. I, h. 67 Punjab, India. Penyebaran Ahmadiyah di Indonesia bermula dari kedatangan Mir a Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad ke Jogjakarta pada Maret 1924 untuk menghadiri Kongres Ke-13 Muhammadiyah. Mereka dipersilakan berbicara dalam kesempatan tersebut. Beberapa pemikiran Ahmadiyah menarik perhatian banyak orang, terutama yang berkaitan dengan isu kedatangan Mesias atau Al- Masih. 5 Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI terdaftar sebagai badan hukum berdasarkan Penetapan Menteri Kehakiman RI Nomor: JA.52313 tanggal 13 Maret 1953 yang dimuat dalam Tambahan Berita Negara Nomor: 26 tanggal 31 Maret 1953. JAI juga terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan di Departemen Dalam Negeri dengan Nomor: 75D.IVI2003 tanggal 5 Juni 2003. 6 Dalam perkembangannya kehadiran JAI mendapat penolakan dari umat Islam, karena ajaran JAI dianggap berbeda dengan pokok-pokok ajaran agama Islam. MUI sendiri pada tahun 1980 pernah mengeluarkan fatwa sesat kepada Ahmadiyah. Kemudian pada tahun 2005 MUI menegaskan kembali melalui fatwa terbarunya yang juga menyatakan bahwa ahmadiyah itu sesat dan menyesatkan. Menyusul kemudian fatwa yang sama juga dikeluarkan oleh MUI didaerah, seperti MUI Aceh, MUI Sumatera Utara, MUI Riau. Dan beberapa organisasi Islam seperti PBNU Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan lain-lain. Bahkan beberapa pemerintah daerah melalui Tim Pakemnya masing- masing telah melakukan pelarangan terhadap ajaran Ahmadiyah seperti di 5 Dawam Rahardjo, islamlib.comidindex.php?page=articleid=850 6 Uli Parulian Sihombing, dkk., Menggugat Bakor Pakem, h. 66-67