Pengaruh fatwa Majlis Ulama Indoensia (MUI) terhadap proses pengambilan kebijakan pemerintahan Indonesia

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

ANDI SHOFIAN EFENDI

NIM: 105045201510

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H / 2011 M


(2)

(3)

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya asli saya atau ,erupakan hasil

jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ciputat, 23 Maret 2011


(5)

i

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., penulis panjatkan atas segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam mudah-mudahan tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., rasul yang berjasa besar kepada kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.

Skripsi yang berjudul: “Pengaruh Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Proses pengambilan Kebijakan Politik Indonesia” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Siyasah Syar’iyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulusnya dari hati yang paling dalam penulis menyadari, bahwa suksesnya penulisan skripsi ini tidaklah begitu saja dapat diselesaikan dan bukan semata-mata atas usaha penulis pribadi, namun juga karena bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih yang mendalam kepada yth:

1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

ii

3. Dr. Abdurrahman Dahlan, MA

.

, Dosen Pembimbing, yang telah memberikan

perhatian, membimbing, dan memberikan motivasi yang besar selama proses penulisan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan penuh keikhlasan mencurahkan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama masa studi.

5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.

6. Ibunda dan Ayahanda tercinta Hj. Sumliah dan H. Sholahuddin, yang selalu penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Amiin.

7. Semua saudara penulis, yaitu ka Ridwan Kholili, Ijan Sujana, Sunardi, Tuti Ru’yati, Teti Sumiati, Aang ZA dan Ema Khumairoh yang selalu memberikan motifasi kepada penulis.


(7)

iii

9. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi dari Jurusan Jinayah Siyasah Program Study Siyasah Syar’iyah angkatan 2005 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan bantuan dan motifasi kepada penulis dalam masa studi dan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, Budi Utomo S.H.I, Latif Amri S.H.I, Afnanul Huda S.Sy, Hendri Eka Putra, Oyok Tolisalim, S.S, S.H.I, Hendra Hidayat S.H.I dan lain-lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun materil penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT., membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak. Amin.

Ciputat, 10Maret 2011 M

19 Rabiul Tsani 1432 H


(8)

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 9

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KELEMBAGAAN DAN METODOLOGI FATWA MUI A. Kelembagaan Fatwa MUI ... 15

1. Sejarah, Kedudukan dan Fungsi MUI ... 15

2. Posisi, Peran dan Tugas Lembaga Fatwa MUI ... 24

B. Metodologi Fatwa MUI ... 30

1. Ruang Lingkup Fatwa MUI ... 30

2. Dasar dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI ... 32

3. Kekuatan hukum Fatwa MUI ... 36

BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH A. Pengertian Kebijakan Pemerintah ... 38

B. Unsur-unsur Pembuat Kebijakan Pemerintah ... 45

C. Isi Kebijakan Pemerintah ... 46

D. Tahap-tahap dan Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengambilan Kebijakan Pemerintah ... 48


(9)

MENTERI TENTANG ALIRAN AHMADIYAH DAN UU NO.21

TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI’AH

A. Lahirnya Surat Keputusan Bersama Tentang Keberadaan Jama’ah

Ahmadiyah ... 65

B. Lahirnya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah ... 76

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 90

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam negeri Republik Indonesia Nomor: 3 tahun 2008, Nomor : KEP-033/A/JA/6/2008, Nomo: 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada pengikut, anggota dan /atau anggota pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia dan warga masyarakat ... 94

2. Hasil rapat Bakorpakem tahun 2005 ... 97

3. Hasil rapat Bakorpakem tanggal 15 Januari 2008 ... 98


(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Secara etimologi kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-Fatwa. Menurut Ibnu Mand ur kata fatwa merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan, yang bermakna muda, baru penjelasan, penerangan.1 Pendapat ini hampir sama dengan pendapat al-Fayumi, sebagaimana yang dikutip oleh Ma’ruf Amin, yang menyatakan bahwa al-fatwa berasala dari kata al-fata artinya pemuda yang kuat. Sehingga orang yang mengeluarkan fatwa dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagai kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda. Sedangkan menurut al-Jurjani fatwa berasal dari al-fata atau al-futya, artinya jawaban terhadap suatu permasalahan dalam bidang hukum, sehingga fatwa dalam pengertian ini diartikan sebagai memberikan penjelasan.2

Sedangkan secara terminologi, sebagaimana yang dikatakan oleh as-Syatibi fatwa dalam arti al-ifta berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti.3 Sedangkan menurut Yusuf Qardawi

1

Ibnu Man ur, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shâdir, t.th.), ju XV, h. 145

2

Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Paramuda Advertising, 2008), h. 19

3

Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mas’ûd al-Syâtiby, alMuwâfaqât fi Ushûli al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Rasyad al-Hadîtsah, t.th.), ju IV, h. 141


(11)

fatwa adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa baik secara perseorangan maupun kolektif.4 Kemudian menurut Zamakhsyari (w. 538 H) seperti yang dikutip oleh Ma’ruf Amin mengatakan bahwa fatwa adalah penjelasan hukum syara tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang atau kelompok.5

Dari pengertian di atas, ada dua hal yang penting dan perlu digaris bawahi, pertama bahwa fatwa bersifat responsif, dimana ia merupakan jawaban hukum (legal opinion) atas pertanyaan atau permintaan fatwa ( based on demand). Kedua fatwa sebagai jawaban hukum yang tidak bersifat mengikat, dengan kata lain orang yang meminta fatwa baik perseorangan, lembaga, maupun masyarakat tidak harus mengikuti fatwa atau hukum yang diberikan kepadanya.6

Islam dalam kancah politik di Indonesia mempunyai peranan yang penting dan sejarah yang panjang. Mulai dari fase kemerdakaan sampai pada fase reformasi. Peranan Islam dilakukan secara langsung oleh para ulama, pada masa penjajahan peranan ulama sangat jelas terlihat dengan adanya perlawanan kerjaan Islam yang berdiri seperti Demak dan Banten terhadap para penjajah. Pada masa demokrasi liberal dan terpimpin, hubungan antara Islam dan pemerintah bersifat antagonisme dan saling mencurigai satu sama lain. Hubungan seperti ini terjadi karena disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di antara founding father

4

Yusuf al-Qardlâwy, al-Fatwâ bain al-Indlibâth wa al-Tasayyub, (Mesir: Dâr al-Qalam, t.th.), h. 5

5

Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 20

6


(12)

Indonesia tentang sistem dan bentuk negara yang dicita-citakan apakah berbentuk Islam atau nasionalis.7

Tetapi, pada masa awal Orde Baru, di mana terjadinya kemunduran politik pemerintah menggagas untuk membentuk wadah ulama agar dapat mengawasi dan membatasi gerak Islam. Pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan

dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta terbentuklah sebuah organisasi tempat berkumpulnya para ulama yang kemudian diberi nama Majlis Ulama Indonesia (MUI), sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan u’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Majelis ini bertujuan

mengamalkan ajaran Islam untuk turut serta dalam mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur yang diridhai Allah, dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah organisasi keagamaan yang bersifat independen, tidak berafiliasi kepada salah satu partai politik, mahab,

atau aliran keagamaan Islam yang ada di Indonesia.8 Dalam khittah pengab-diannya telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:9

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya); 2. Sebagai pemberi fatwa (mufti);

7

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998 ), Cet. I, h. 60

8

Aumardi Ara, Menuju MAsyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tanggapan, (Bandung: Rosdakarya, 2000), cet. I, h. 65

9

Muhammad Atho Mudhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), h. 63


(13)

3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah); 4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid, dan

5. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar

Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, uama dan

cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian, dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Sebagai wadah ulama MUI harus berfungsi menjembatani hubungan antara pemerintah (negara) dengan masyarakat dalam kerangka amar ma’ruf nahi munkar, dan dalam hubungan ini MUI diharapkan mampu memadukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Dalam anggaran dasar MUI disebutkan bahwa majelis ini diharapkan melaksanakan tugasnya dalam pemberian fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat. Pada dasarnya, umat Islam sangat mengharapkan adanya fatwa, karena fatwa mempunyai penjelasan tentang kewajiban-kewajiban agama (faraidl), batasan-batasan (hudud), serta menyatakan tentang haram atau halalnya sesuatu. Fatwa tidak hanya di pahami sebagai sebuah produk hukum yang harus di ketahui, tapi lebih jauh dari itu fatwa merupakan


(14)

prosedur dalam melaksanakan ajaran agama.10 Fatwa tidak boleh dikeluarkan oleh sembarangan pihak, apalagi masalah yang berhubungan dengan khalayak banyak, karena pasti akan menimbulkan kontroversi dan masalah baru.

Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI mempunyai daya terima yang tinggi di kalangan umat Islam Indonesia, karena dalam MUI tergabung ulama dari semua komponen umat Islam seperti Ormas Islam, Pesantren, Perguruan tinggi Islam dan lainya, dan juga di karenakan adanya kesan keanekaragaman pemahaman ajaran agama. Dalam sistem hukum Islam, fatwa mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam memberikan hukum keagamaan pada masyarakat, sekalipun fatwa itu sendiri tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi masyarakat, apalagi dalam konteks negara yang berlandaskan bukan pada hukum Islam seperti Indonesia. Dalam hal seperti ini, fatwa mempunyai peranan yang penting dalam proses pengambilan kebijakan politik atau kebijakan pemerintah dan perundangan-undangan.

Meskipun dalam wacana akademis dikenal bahwa fatwa merupakan salah satu produk hukum Islam yang berupa opini legal formal dari seorang atau beberapa ahli hukum Islam yang tidak mengikat secara hukum, namun lebih bersifat normatif atau komunikatif. Tetapi sifat yang tidak mengikat tersebut dalam realitas empirik di Indonesia, seringkali dijadikan pedoman berprilaku oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa

10

Abdul Samat Musa, dkk, Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara Asean, (Negeri Sembilan: INFAD, 2006), h. 79


(15)

dan bernegara,11 terutama fatwa-fatwa yang ditetapkan oleh MUI. Dan juga kalau kita cermati banyak materi yang diserap dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, atau peraturan pemerintah seperti narkotika, perbankan, pornografi, perwakafan, produk halal, pemotongan hewan ternak dan lain-lain.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh bagian penelitian dan pengembangan (Litbang) Media Indonesia mengenai respon masyarakat terhadap fatwa MUI, menunjukkan bahwa respon tersebut sangat signifikan. Terutama fatwa yang berkenaan masalah keyakinan dan aliran kepercayaan. Salah satu bukti konkrit bahwa fatwa MUI menjadi acuan bertindak bagi masyarakat dan pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah kasus Ahmadiyah, penyerangan masyarakat terhadap kelompok Ahmadiyah dibeberapa tempat khususnya pada tahun 2002-2003 dan perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap aliran tersebut mengacu pada fatwa MUI Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Ahmadiyah sebagai aliran diluar Islam, sesat, menyesatkan serta bahaya bagi ketertiban Negara.12

Kontan saja, fatwa ini memberikan pengaruh dan isu yang panas di kalangan masyarakat Indonesia, sehingga menimbulkan demonstrasi dan pembubaran dari komunitas tersebut, lebih dari itu bahwa pengaruh fatwa ini sangat besar terhadap pelaku politik Indonesia di mana setelah adanya fatwa MUI kebijakan politik pemerintah seakan mengikuti isi dari fatwa, padahal kalau di

11

Asrorun Ni’am Sholeh dalam Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. vi

12

Siti Musdah Maulia, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia”, Jauhar Volume 4, No.2 Desember 2003, h. 183


(16)

teliti kekuatan hukum fatwa tidak bisa mengikat. Ini menggambarkan bahwa fatwa dan lembaga pembuat fatwa yang dalam hal ini MUI memiliki pengaruh terhadap pemerintahan Indonesia seperti suatu lembaga Negara ketika menetapkan keputusan atau kebijakan politik, yang padahal kalau diteliti lembaga ini bukanlah suatu lembaga Negara seperti MPR, DPR, dan dia tidak termasuk kedalam kancah trias politika seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu.

Terlebih setelah berakhir masa pemerintahan Orde Baru yang ditandai lahirnya masa reformasi yang terjadi pada Mei 1998. Masa ini telah membawa banyak perubahan mendasar dalam kehidupan dan berbangsa Indonesia.13 Maka fatwa MUI bagaikan sebuah dasar hukum yang diikuti oleh masyarakat bahkan juga oleh pelaku politik (pemerintah) seperti keluarnya SKB Tiga Menteri tentang ajaran Ahmadiyah. Kedudukan MUI jika diperhatikan bagaikan sebuah lembaga Negara, yang bila mengeluarkan suatu keputusan, maka masyarakat seperti mengikuti dengan sendirinya hasil fatwa tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti sejauh mana pengaruh fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah dan hukum yang menjadi perbincangan berbagai kalangan masyarakat. Kemudian penelitian ini penulis angkat dalam bentuk skripsi dengan judul: “ Pengaruh Fatwa MUI terhadap Proses

pengambilan Kebijakan Pemerintah Indonesia .”

13

Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yoyakarta: UII Press, 2007), h. 42


(17)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Batasan terhadap permasalahan ini berkisar pada kekuatan fatwa dan pengaruhnya dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah indonesia, setelah munculnya fatwa-fatwa yang menimbulkan gejolak politik di Indonesia. Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang di uraikan dia atas, terdapat pokok masalah yang harus di teliti dan di kaji dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimana peranan fatwa MUI dalam kehidupan masyarakat Indonesia? 2. Bagaimana proses pemgambilan kebijakan pemerintah Indonesia?

3. Bagaimana pengaruh fatwa MUI dalam proses lahirnya SKB tiga Menteri tentang Ahmadiyah dan lahirnya Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui peranan fatwa MUI dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

2. Untuk mengetahui proses pemgambilan kebijakan pemerintah Indonesia. 3. Untuk mengetahui pengaruh fatwa MUI dalam proses lahirnya SKB tiga

Menteri tentang Ahmadiyah dan lahirnya Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.


(18)

1. Penelitian ini sekiranya dapat memberikan wawasan dan pengetahuan khususnya bagi penulis maupun bagi ulama, peneliti dan praktisi hukum, Majelis Ulama Indonesia, Departemen Agama, serta pemerintah.

2. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan wacana pemikiran dan khasanah keilmuan serta mendorong para aparat pemerintahan dalam pengambilan kebijakan politik.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara yang dilakukan penulis dalam mengumpulkan data penelitian.14 Dan dalam penulisan skripsi ini penulis meng-gunakan metode penelitian dengan tahapan:

1. Jenis Penelitian

Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Reseach), yaitu penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur, buku buku, perundang-undangan dan sumber lainnya, karena yang menjadi objek dikajiannya adalah pengaruh fatwa MUI dalam pengambilan kebijakan politik Indonesia. Di lihat dari sifatnya penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian deskriptif analisis.

2. Data Penelitian

Data-data yang di jadikan bahan dalam menyusun penelitiana adalah:

14

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), cet. XI, ed. Revisi IV, h. 151


(19)

a). Data primer, yaitu data utama yang di jadikan acuan pembahasan, sedangkan data yang menjadi acauannya adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI, kebijakan-kebijakan politik Indonesia dan peraturan perundang-undangan

b). Data sekunder, yaitu data pendukung dalam penulisan skripsi, yang terdiri dari berbagai macam literatur, buku-buku, jurnal, majalah, karya ilmiah dan kamus yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan dengan data-data kualitatif. Yakni dengan mencari bahan-bahan (referensi) yang terkait serta mempunyai relevansi dengan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah Dokumentasi, yaitu bahan-bahan yang telah tersusun baik berupa buku-buku, karya ilmiah, jurnal dan lain-lain yang memiliki kaitan dengan pembahasan judul skripsi.

4. Teknik Analisis Data

Metode yang di gunakan penulis dalam pembahasan masalah ini adalah deskriptif analisis, yaitu mendeskripsikan data data yang ada (primer dan sekunder) kemudian menganalisa secara komprehensif agar tampak jelas rangkaian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok masalah. Proses data di mulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber seperti buku buku, literatur dan wawancara.


(20)

Sedangkan teknik penulisan dalam skripsi ini, penulis mengguunakan bimbingan skripsi yang berpedoman pada ”Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”.

E. Tinjauan ( Review ) Kajian Terdahulu

Adapun untuk mengetahui kajian terdahulu yang telah ditulis oleh yang lainnya, maka penulis me-riview beberapa skripsi terdahulu yang pembahasannya hampir sama dengan pembahasan yang penulis angkat. Diari beberapa skripsi tersebut yang penulis temukan di antaranya: Pertama ”Hubungan Ulama dan Negara: Studi Atas Perilaku dan Politik MUI Pada Masa Orde Baru”, yang di tulis oleh Misar Sulaiman Jaya, Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuludin Tahun 2004. Dalam skripsi tersebut dijelaskan tentang eksisitensi MUI dalam kaitannya sebagai sebuah organisasi ulama dalam hubungannya dengan masyarakat dan pemerintah Indonesia khususnya pemerintahan Orde Baru. Mengacu pada skripsi yang di tulis diatas, penulis berpendapat bahwa pembahasan skripsi ini berbeda karena yang dibahas oleh penulis dalam skripsi ini adalah kedudukan Majelis Ulama Indonesia dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia. Sedangkan yang di bahas pada skripsi yang ditulis Misar berhubungan dengan peran daan perilaku MUI pada masa pemerintahan Orde Baru.

Kedua ”Prospek Fatwa Sebagai Hukum positif di Indonesia Suatu Tinjauan Historis dan Yuridis”, sebuah disertasi yang ditulis oleh Muchtar Ali tahun 2009, yang berisi bahwa fatwa sebagai bagian hukum Islam mempunyai


(21)

peluang sebagai bahan perundang-undangan di Indonesia, dan akomodasi fatwa sebagai hukum positif setidaknya berbentuk transformasi legislasi, penyerapan dan adaptasi, karena dalam penyusunan legislasi itu setidaknya meliputi aspek kaidah universal dan material hukum. Mengacu pada tulisan tersebut penulis berpendapat bahwa yang dibahas dalam desertasi tersebut isi fatwa dalam legislasi hukum fatwa sedangkan dalam skripsi ini menelaah tentang pengaruh fatwa dalam kebijakan politik.

Ketiga ”Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam Indonesia”, edisi dwi bahasa yang ditulis oleh M. Atho M ar

tahun 1993, studi ini menjelaskan tentang fatwa MUI dari tingkat analisis secara metodologi dan lingkunagan sosio politik dan kebudayaan yang mengitarinya.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran secara utuh dan terpadu, skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab, yakni sebagai berikut:

BAB I : Sebagai sebuah karya ilmiah penelitian dimulai pada latar belakang masalah yaitu hal yang melatar belakangi permaslahan yang dibahas agar tidak melebar pemaparannya, maka masalah ini dibatasi dan dirumuskan. Bab ini juga memaparkan tujuan dan manfaat penelitian yaitu tujuan penulis meklakukan penelitian dan manfaat yang akan dicapai, selanjutnya dalam penelitian harus ada metode penelitian agar


(22)

dapat tersusun dan sistematis, oleh karena itu dalam bab ini penulis memaparkan metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : Agar dalam proses penulisan ini berkesinambungan maka dalam bab

ini dibahas landasan konseptual dengan tujuan sebagai jalan pembuka dalam penyelesaian peroalan yang dipemasalahkan, maka dalam bab Membahas tentang kerangka teori, dalam hal ini dibahas tentang kelembagaan dan metodologi fatwa MUI yang meliputi sejarah, kedudukan dan funsgsi MUI, Posisi, peran dan tugas lembaga fatwa MUI, ruang lingkup, dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa MUI BAB III : Sebagai bahan lanjutan dalam penulisan skripsi ini, maka dibahasan

dalam bab ini tinjauan umum tentang kebijakan pemerintah yang bertujuan sebagai dasar pijakan kedua dalam mengananalisa permaslahan yang dibahas, pembahsan dalam bab ini meliputi pengertian, unsur-unsur pembuat kebijakan pemerintah, isi kebijakan pemerintah, tahap-tahap dan fakator-faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah, dan juga dibahas teori pengambilan kebijakan pemerintah dan faktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah atau kebijakan publik.

BAB IV : Dalam pembahsan bab ini merupakan inti dari pembahsan masalah yang dibahas dan merupakan jawaban dari permasalah yang dibahas dalam perumusan dan pembatasan masalah, maka dalam bab ini menguraikan tentang pengaruh fatwa MUI dalam pengambilan


(23)

kebijakan pemerintah Indonesia yaitu dalam proses lahirnya SKB tiga menteri tentang Ahmadiyah dan lahirnya Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan syari’ah.

BAB V : Bab ini Merupakan bab Penutup yang memuat kesimpulan hasil dari penelitian sehingga memberikan suatu kejelasan dalam permaslah yang dibahas, yaitu kekuatan hukum fatwa dan peranannya dalam kehidupan masyarakat Indonesia serta pengaruh fatwa MUI terhadap kebijakan pemerintah Indonesia dalam proses lahirnya SKB tentang Ahmadiah dan lahirnya UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan Syari’ah serta saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak.


(24)

15

A. Kelembagaan Fatwa Majelis Ulama Indonesia 1. Sejarah, Kedudukan dan Fungsi MUI

Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 H yang bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M1 di Jakarta sebagai hasil Musyawarah Nasional I Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 12-18 Rajab 1395 H atau bertepatan dengan tanggal 21-27 Juli 1975 di balai Sidang Jakarta. Musyawarah ini diselenggarakan oleh sebuah panitia yang diangkat oleh Menteri Agama dengan Surat Keputusan No. 28 tanggal 1 Juli 1975, yang diketuai oleh Letjen. Purn. H. Soedirman dan Tim Penasehat yang terdiri dari Prof. Dr. Hamka, K. H. Abdullah Syafe’i dan K. H. M. Syukri Gha ali.2

MUI muncul ke pentas sejarah ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah selama tiga puluh tahun sejak kemer-dekaan bangsa Indonesia sibuk dalam perjuangan politik baik di dalam negeri maupun di dalam forum internasional, sehingga kurang mempunyai kesem-patan untuk membangun menjadi bangsa yang maju dan berakhlak mulia.

1

Muhammad Atho Mudhar, Fatwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, ( Jakarta: INIS, 1993), h. 63

2


(25)

Berdirinya MUI dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran kolektif pimpinan umat Islam bahwa negara Indonesia memerlukan suatu landasan kokoh bagi pembangunan masyarakat yang maju dan berakhlak. Oleh karena itu, keberadaan organosasi para ulama, uama dan cendikiawan muslim

seperti ini sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa dan bagi berkembangnya hubungan harmonis antara berbagai potensi untuk kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia.

Sebelum MUI resmi didirikan, telah muncul bebrapa kali pertemuan yang melibatkan para ulama dan tokoh-tokoh Islam. Pertemuan tersebut mendiskusikan gagasan akan pentingnya suatu majelis ulama yang menjalankan fungsi ijtihad kolektif dan memberikan masukan serta nasehat keagamaan kepada pemerintah dan masyarakat. Pertemuan-pertemuan itu diantaranya adalah pada tanggal 30 September 1970 Pusat Dakwah Islam menyelenggarakan sebuah konferensi untuk membentuk sebuah majelis ulama yang berfungsi memberikan fatwa.3 Kemudian pada tahun 1974 Pusat Dakwah Islam kembali menyelenggarakan konferensi untuk para da’i. Konferensi tersebut menghasilkan sustu kesimpulan bahwa pentingnya pendirian majelis ulama dan merekomendasikan para ulama di setiap tingkat provinsi untuk mendirikan sebuah majelis ulama.

Selain itu, di pihak pemerintah pada tanggal 24 Mei 1975, presiden Soeharto menyatakan dengan menekankan akan pentingnya sebuah majelis

3


(26)

ulama setelah menerima kunjungan dari Dewan Masjid Indonesia. Akhirnya, pada tanggal 21-27 Juli 1975 digelarlah sebuah konferensi ulama nasional, yang pesertanya terdiri dari utusan atau wakil majelis ulama daerah yang baru berdiri, pengurus pusat organisasi Islam, sejumlah ulama Independen dan empat wakil dari ABRI. Konferensi ulama nasional tersebut menghasilkan sebuah deklarasi yang ditanda tangani oleh lima puluh tiga peserta yang hadir, deklarasi tersebut menyatakan berdirinya sebuah organisasi atau kumpulan para ulama dengan sebutan Majlis Ulama Indonesia (MUI).

Peristiwa berdirinya MUI tersebut kemudian diabadikan dalam bentuk penandatanganan piagam berdirinya MUI yang ditandatangni oleh 53 orang ulama yang terdiri dari 26 orang ketua Majelis Ulama tingkat Provinsi se-indonesia, 10 orang ulama dari unsur organisasi Islam tingkat pusat, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Kepolisian, serta 13 orang ulama yang hadir sebagai pribadi.4

Adapun kesepuluh Ormas Islam yang hadir dalam konferensi tersebut adalah Nahdlatul Ulama (NU) yang diwakili KH. Moh. Dahlan, Muhamadiyah diwakili oleh Ir. H. Basit Wahid, Syarikat Islam diwakili oleh H. Syafi’i Wira kusumah, Perti diwakili oleh H. Nurhasan dan Ibnu Hajar, Al-Wasliyah diwakili oleh Anas Tanjung, Mathla’ul Anwar diwakili oleh KH. Saleh Su’aidi, GUPP diwakili oleh KH. S. Qudratullah, PTDI diwakili oleh H.

4

Gambaran Umum Organisasi MUI dalam Pedoman Penyelenggaraan Organisasi MUI, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2002), h. 7


(27)

Sukarsono, DMI diwakili oleh K. H. Hasyim Adnan, dan Al-Ittihadiyah oleh H. Zainal Arifin Abbas.5

Pertemuan alim ulama yang melahirkan MUI tersebut ditetapkan sebagai Munas (Musyawarah Nasional) MUI Pertama. Dengan demikian, sebelum adanya MUI Pusat, terlebih dahulu di daerah-daerah telah terbentuk Majlis Ulama. Buya Hamka, tokoh yang awalnya menolak pendirian sebuah majelis, terpilih menjadi Ketua Umum MUI pertama kali yaitu untuk periode 1975-1981. Hamka memberikan dua alasan atas penerimaan jabatan ketua umum MUI. Pertama, umat Islam harus bekerja sama dengan pemerintah Soeharto, sebab pemerintah Soeharto anti-komunis. Kedua, pendirian MUI harus bisa meningkatkan hubungan antara pemerintah dan umat islam.6

Pada awal berdirinya, MUI berfungsi sebagai penasihat, tidak membuat program-program yang praktis. MUI tidak terlibat dalam program-program praktis seperti mendirikan madrasah, rumah sakit dan kegitan-kegiatan yang mendukung ormas-ormas Islam, dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam anggaran dasar MUI, bahwa peran MUI ditetapkan sebagai pemberi fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun masyarakat muslim berkaitan dengan persoalan yang berkaitan dengan agama khususnya dan persoalan yang berkaitan yang dihadapi negara pada umumnya, MUI juga diharapkan mampu menyemangati persatuan di

5

20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, h. 16-17

6

Rusjdi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1981), h. 68


(28)

antara umat Islam, memediasi antara pemerintah dan ulama dan mewakili muslim dalam mengambil keputusan-keputusan antar agama.

Untuk membangun komunikasi dan menjalankan peranannya, dibagun-lah hubungan antara MUI Pusat dengan MUI Provinsi, antara MUI Provinsi dengan MUI Kabupten/kota, antara MUI Kabupaten/kota dengan MUI Kecamatan, secara berjenjang yang bersifat koordinatif, aspiratif, dan struktural administratif. Sedangkan untuk menjaga kerukunan umat Islam dibangunlah hubungan antara MUI dengan organisasi kemasyarakatan atau kelembagaan Islam yang bersifat konsultatif dan kemitraan. Organisasi MUI tidak memiliki stelset keanggotaan. MUI juga bukan merupakan federasi ormas-ormas kelembagaan Islam.

Pada tahun 1981, Buya Hamka mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI dan digantikan oleh K. H. Syukri Ghaali yaitu seorang Kyai dari

kalangan NU yang lahir pada tahun 1906. Beliau terkenal dengan keramahan dan keluasan ilmu syari’ahnya. Beliau memimpin MUI selama tiga tahun, dan meninggal pada tahun 1984 ketika masih menjabat ketua umum. Selama beliau menjabat telah dilakukan penyempurnaan pedoman dasar dan pedoman rumah tangga MUI, dan penyelenggaraan Munas Utama tentang kependudu-kan, kesehatan, lingkungan hidup, dan keluarga berencana yang menghasilkan fatwa tentang haramnya praktek aborsi serta vasektomi dan tubektomi.7

7


(29)

Untuk menggantikan K. H. Syukri Ghaali, terpilihlah K. H. Hasan

Basri sebagai ketua umum MUI, beliau memperoleh amanah untuk memimpin MUI hingga tahun 2000, namun pada tahun 1998 beliau meninggal dunia. Sebagai penggantinya, disepakati untuk meminta kesediaan Prof. K.H Ali Yafie memegang sebagai ketua Umum MUI yang keempat yang menjabat dari tahun1998-2000. Beliau adalah profesor dari Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta yang dikenal luas sebagai sosok ulama yang cendekia. Setelah itu hingga kini Ketua Umum MUI dijabat oleh Dr. K. H. M. A Sahal Mahfudh, seorang ahli fikih yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta8

Kelima ulama yang pernah menjabat ketua umum MUI tersebut mereka adalah ulama-ulama Indonesia yang tidak diragukan lagi kedalaman ilmunya terutama pemahaman tentang hukum Islam dan mereka juga memiliki peranan yang penting dalam membina umat Islam. Jika diperhatikan, dari kelima tokoh ulama tersebut paling tidak ada tiga kesamaan di antara mereka, yaitu; pertama, tak seorangpun dari mereka pernah mengenyam bangku kuliah di sebuah Universitas; kedua, ketiganya mendapat gelar doktor atau sederajat profesor dari sejumlah Universitas; dan ketiga, kesemuanya berasosiasi dengan organisasi kemasyarakatan Islam mayoritas, baik Muhamadiyah maupun Nahdlatul Ulama (NU).9

8

Hamam Faiin, MUI dalam Bingkai sejarah, Makalah tidak diterbitkan

9


(30)

Dalam perkembangan MUI, semenjak tahun 1990 batasan tentang lingkup dan fungsi organisasi MUI mulai mengalami perluasan. MUI secara bertahap menyelenggarakan program-program yang praktis, seperti mengirim-kan para da’i ke wilayah transmigrasi, mendirikan Bank Mu’amalat Indonesia dan Badan Arbitrasi Kasus-kasus Mu’amalah, mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan kosmetika (LP-POM), yang memberikan sertifikasi halal untuk makanan baik produk dari dalam negeri maupun luar negeri. Sertifikat halal ini memberikan dampak yang besar bagi masyarakat, karena menjadi petunjuk bagi umat Islam dalam mengkonsumsi makanan atau minuman yang halal dan menghindar dari yang haram.

Aktifitas kegiatan MUI dapat dilihat dari banyaknya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh komisi-komisi dan lembaga/badan yang ada dilingkungan MUI. Pembentukan komisi dan lembaga/badan MUI pusat, MUI provinsi, MUI kabupaten/kota, dan MUI kecamatan disesuaikan dengan kebutuhn, kelayakan, ketersediaan SDM, dan kemampuan pendanaannya.

Dilihat dari aspek sosial kemasyarakatan, eksistensi MUI dipandang sangat penting di tengah realitas pluralitas masyarakat Islam Indonesia. Kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam alam fikiran keagamaan, organisasi sosial, dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik selain dapat merupakan kekuatan, tetapi juga sering menjelma menjadi kelemahan dan sumber pertentangan dikalangan umat Islam sendiri. Sebagai akibatnya, umat Islam terjebak dalam keeogisan kelompok yang berlebihan dan kehilangan


(31)

peluang untuk mengembangkan diri menjadi kelompok yang tidak hanya besar dalam jumlah tetapi juga unggul dalam kualitas. Oleh karena itu, adanya kelembagaan umat Islam yang bersifat kolektif seperti MUI, menjadi wadah silaturrahim yang merupakan suatu kebutuhan mendesak bagi persatuan, kesatuan, dan kebersamaan umat Islam.

Sebagaimana tercantum dalam dokumen wawasan MUI, dalam khidamahnya, visi organisasi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaaan, dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah SWT menuju masyarakt berkualitas demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh umat. Sementara itu, ada tiga misi yang diemban MUI yakni:10

a. Menggerakan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara efektif dengan menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah hasanah), sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk aqidah Islamiah, serta menjalankan syari’ah Islamiayah.

b. Melaksanakan dakwah Islam, amar ma’ruf nahi munkar dalam mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat berkualitas dalam berbagai aspek kehidupan.

10

Wawasan Majelis Ulama Indonesia, Hasil Munas VII MUI 2005, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2005).


(32)

c. Mengembangkan ukhuwah Isamiyah dan kebersamaan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagaimana yang tercantum dalam khidmahnya yaitu membangun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, MUI berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat Islam baik diminta maupun tidak. Sebagai lembaga pemberi fatwa, MUI mengakomodasi dan menyalurkan aspiraasi umat Islam Indonesia yang sangat beragam aliran faham dan pemikiran serta organisasi keagamaannya. Secara operasional, saat ini komisi yang ada dilingkungan MUI pusat meliputi : (1) Komisi Fatwa, (2) Komisi ukhuwah Islamiyah, (3) Komisi dakwah dan pengembangan masyarakt Islam, (4) Komisi Pendidikan dan Pembinaan Seni Budaya Islam (5) Komisi penkajian dan penelitian, (6) komisi Hukum dan Perundang-undangan, (7) Komisi Pemberdayaan ekonomi Umat, (8) Komisi Pemberdayaan Perempuan, Remaja dan Keluarga, (9) Komisi Informatika dan Media Massa, (10) komisi Kerukunan Umat Beragama, dan (11) Hubungan Luar Negeri.

Pasca reim orde baru (reformasi) MUI mempunyai wajah baru, jika

selama orde baru MUI cenderung dinilai sebagai lembaga ulama yang berperan menjustifikasi agenda-agenda politik reim (status quo), maka pada

masa reformasi MUI banyak menuai kritikan sebagai institusi Islam yang sikap dan suaranya cenderung mencerminkan proses radikalisasi Islam yang


(33)

menjadi salah satu fenomena keoslaman Indonesia.11 Menurut Ahmad Zainul Hamdi fenomena ini terlihat dalam warna fatwa-fatwa MUI masa reformasi, ini bisa dilihat dari bebrapa fatwa MUI yang dikeluarkan pada Juli 2005, antara lain, fatwa pemikiran Islam Liberal, Pluralisme, Pernikahan beda agama (antar agama), Do’a bersama yang dipimpin oleh non-muslim, serta fatwa tentang larangan Ahmadiyah karena dianggap sekte sesat.12

2. Posisi, Peran dan Tugas Lembaga Fatwa MUI

Sebagaimana telah disebutkan pada bab I bahwa secara etimologis kata fatwa berasal dari bahasa Arab. Dalam kamus Lisân al-‘Arab karangan Ibnu Mand ur disebutkan bahwa kata fatwa merupakan bentuk mashdar dari kata

fata, yaftu, fatwan, yang bermakna muda, baru penjelasan, penerangan.13 Al-Fayumi, sebagaimana yang dikutip oleh Ma’ruf Amin, meneyebutkan bahwa al-fatwa berasala dari kata al-fata artinya pemuda yang kuat. Sehingga orang yang mengeluarkan fatwa dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagai kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda. Sedangkan menurut al-Jurjani fatwa berasal dari al-fata atau al-futya,

11

Ahmad Zainul Hamdi, Radikalisasi Islam Melalui Institusi Semi-Negara : Studi kasus atas Peran MUI pasca Soeharto, dalam jurnal Istiqro, Volume 06, Nomor01,2007 ( Jakarta: DIKTIS, DEPAG, 2007) h.87

12

Ibid

13


(34)

artinya jawaban terhadap suatu permasalahan dalam bidang hukum, sehingga fatwa dalam pengertian ini diartikan sebagai memberikan penjelasan.14

Kata fatwa juga berarti memberi penjelasan (al-ibânah), dikatakan aftahu fi al-amr mempunyai arti memberikan penjelasan kepadanya atau memberikan jawaban atas persoalan yang diajukan.15 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. al-Nisa ayat 127 sebagai berikut:

7Rq

G

ÿ

G

¡

„

r

’

û

ä

$

¡

Y9

#

(

@%

!#

N6

‹

G

ÿ

ƒ

`g

Š

ù

)

ةرﻮﺳ

ءﺂﺴﻨﻟا

/

٤

:

١٢٧

(

Artinya: “Dan mereka minta fatwa kepadamutentang para wanita. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka”. (QS. Al-Nisa/4: 127).

Dari uraian di atas, diketahui bahwa asal kata fatwa berasal dari kata al-fatâ, yaitu seorang pemuda yang kuat. Seorang dikatakan sebagai mufti adalah orang yang mempunyai kekuatan dalam memberikaan bayan (penjelasan) dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagaimana kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda. Kata mufti juga dapat difahami sebagai orang yang berpengetahuan luas dalam memberikan penjabaran tentang hukum. Kata fatwa juga sudah diserap menjadi bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa fatwa berarti jawaban (keputusan,

14

Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Paramuda Advertising, 2008), h. 19

15

Amir Sa’id Ash-Shiddieqy, Mabâhits fî Ahkâm al-Fatwa, (Beirut: Dâr Ibnu Ham, 1995), h. 31


(35)

pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah. Juga diartikan sebagai nasehat orang alim; pelajaran baik; dan petuah.16

Sedangkan secara terminologis fatwa adalah menerangkan hukum dari suatu persoalan sebagai jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafi), baik perseorangan maupun kolektif, baik dikenal maupun tidak dikenal.17 Fatwa berarti ketentuan yang berisi jawaban dari mufti tentang hukum syariah kepada pihak yang meminta fatwa. Sementara, dalam definisi komisi Fatwa MUI, disebutkan bahwa fatwa merupakan penjelasan tentang hukum atau ajaran Islam mengenai permasalahan yang dihadapi atau dinyatakan oleh masyarakat serta merupakan pedoman dalam melaksanakan ajaran agamanya.18

Tindakan memberikan fatwa disebut dengan ifta’, yaitu suatu pekerjaan memberi nasehat atau fatwah. Orang yang mengeluarkan fatwa disebut dengan mufti, sedangkan orang yang meminta fatwa disebut dengan mustafti. Dengan demikian, dalam terminologi fikih, fatwa didefinisikan sebagai keterangan-keterangan tentang hukum syara’yang tidak mengikat untuk diikuti.

Dengan demikian, fatwa menemukan urgensitasnya karena ia memuat penjelasan dan bimbingan hukum mengenai berbagai hal, mulai dari masalah ibadah, mu’malah (sosial, politik maupun ekonomi) hingga masalah-masalah

16

Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas - Balai Pustaka, 2002), edisi ketiga, Cet. VII, h. 314

17

Yusuf al-Qardlâwy, al-Fatwâ bain al-Indlibâth wa al-Tasayyub, (Mesir: Dâr al-Qalam, t.th.), h. 5

18

Pengantar Komisi Fatwa MUI dalam Hasil Munas VII Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2005)


(36)

aktual dan kontemporer, yang muncul seiring dengan perkembanagan peradaban manusia.

Dalam konteks tata perundangan nasional, fatwa MUI memang tidak menjadi bagian dalam sistem hukum dan perundang-undangan di indonesia, bahkan dalam struktur kelembagaan negara juga tidak dikenal apa yang disebut dengan mufti ataupun lembaga fatwa. Selain itu, hakekat dasar fatwa sesungguhnya berfungsi sebagai sebuah pendapat hukum (legal opinion) yang daya ikatnya berbeda dengan putusan hukum (qadlâ) seperti ketetapan atau putusan hakim.

Namun kenyataan yang terjadi, fatwa bagi sebagian besar umat Islam Indonesia tidak hanya dipahami sebagai pendapat hukum yang tidak mengikat, tapi lebih jauh dari itu fatwa ulama sudah menjadi acuan dan pedoman pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, fatwa MUI juga menjadi rujukan dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wahiduddin Adams, dalam penelitian disertasinya beliau mencatat sebanyak 12 fatwa dalam rentan waktu 1975-1997 telah diserap dalam bentuk Undang-Undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, maupun keputusan Dirjen.19

MUI sebagai wadah pengkhidmatan ulama kepada umat Islam di Indonesia, mempunyai beberapa fungsi dan tugas yang harus diemban. Salah

19

Wahiduddin Adams, Pola Penyerapan fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan 1975-1997, (Jakarta: Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2002), Disertasi.


(37)

satu fungsi dan tugas tersebut adalah memberi fatwa keagamaan di Indonesia. Fatwa sangat dibutuhkan oleh umat islam yang tidak mempunyai kemampuan untuk menggali hokum langsung dari sumber sumbernya, karena fatwa memuat penjelasan tentang kewajiban-kewajiban agama (Faraidl), batasan-batasan (hudud), serta menyatakan tentnag haram atau halalnya sesuatu.20 Dengan demikian betapa penting peran ulama dalam memberikan fatwa pada umat, bahkan ulama merupakan pewaris para nabi sebagaimana sabda NabiSAW:

ءﺂَﻴِﺒْﻧَﻷْا

ُﺔَﺛَرَو

ُءﺂَﻤَﻠُﻌْﻟَا

)

دواد

ﻮﺑأ

ﻩاور

(

٢ ١

Artinya: “Ulama adalah yang mewarisi para nabi”. (HR. Abi Dawud ) Ini berarti bahwa tugas para ulama (MUI) adalah meneruskan tugas yang dulu dilakukan oleh para nabi. Dalam hal ini tugas para ulama adalah mengajak masyarakat untuk melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang tidak baik atau yang biasa disebut amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT., dalam surat Ali-Imran/3: 104):

`3

F

9r

N3YB

pB

&

bq

ã‰

ƒ

’

<

)

Ž



ƒ

:

#

br



B

'

ƒ

r

$r

è

RQ

$/

bqgZ

ƒ

r

`

ã



3YJ9

#

4

7

´»

9r

&

r

Nd

cq

s

=

ÿ

J9

#

)

ناﺮﻤﻋ

لآ

ةرﻮﺳ

/

٣

:

١٠٤

(

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S: Ali Imran/3: 104).

20

Ma’ruf Amin, Fatwa dalm Sistem Hukum Islam, h. 21

21

Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Dawud al-Sijistani al-Aadi, Sunan Abi Dawud, ( T,tp: Dar al-fikr, t.th) j II, h.341 hadits Nomor 3641


(38)

Oleh karena itu, posisi yang strategis inilah maka fatwa-fatwa MUI yang ditetapkan Majelis Ulama Indonesia mempunyai daya serap yang tinggi dibanding dengan fatwa yang dikeluarkan oleh orams Islam. Keberadaan komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dipandang sangat penting, karena komisi ini diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang senantiasa muncul dan semakin kompleks, yang dihadapi umat Islam Indonesia. Tugas yang diemban komisi fatwa yakni memberikan fatwa (ifta’) yang bukan pekerjaan mudah karena mengandung resiko yang berat yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.

Tujuaan memberi fatwa adalah menjelaskan hukum Allah kepada masyarakat yang akan menjadi pedoman dan mengamalkannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hampir dalam semua kitab Ushul al-Fiqh membahas masalah ifta dan menetapkan sejumlah adab (kode etik) dan persyaratan yang sangat ketat dan berat bagi seorang yang akan menjadi mufti. Di antara prinsip dan persyaratan tersebut adalah bahwa mufti (orang atau lembaga yang memberikan fatwa) harus mengetahui hukum Islam secara mendalam berikut dalil-dalilnya. Tidak dibenarkan berfatwa hanya berdasarkan keinginan dan kepentingan tertentu atau dugaan-dugaan yang tidak ada dasarnya pada dalil. Fatwa harus dikeluarkan oleh orang atau lembaga yang mempunyai kompetensi, karena fatwa yang dikeluarkan secara sembarangan akan melahirkan tindakan tahakkum (perbuatan membuat-buat hukum) dan tasyarru’ (membuat-buat


(39)

syari’at baru), kedua hal tersebut dilarang sebagai mana firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 116:

wr

#

q9q)

?

$

J9

#

Á

?

N6

G

Y

¡

9

&

>

‹

39

#

#

‹

»

d

@

»

=

m

#

‹

»

dr

P

#



m

#

r

Ž

I

ÿ

G

9

’

?

ã

!#

>

‹

39

#

4

b

)

ûï

%!

#

br

Ž

I

ÿ

ƒ

’

?

ã

!#

>

‹

39

#

w

bq

s

=

ÿ

ƒ

)

ةرﻮﺳ

ﻞﺤﻨﻟا

/

١٦

:

١١٦

(

Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (QS Al-Nah/16l : 116).

B. Metodologi Fatwa MUI

1. Ruang Lingkup Fatwa MUI

Pada hakekatnya, wilayah fatwa MUI adalah wilayah di mana dimungkinkan dilakukan ijtihad, yang telah diintrodusir oleh ahli Ushul fiqh. Secara garis besar hukum Islam itu ada yang sudah diketahui secara jelas dan tidak lagi memerlukan penafsiran (qath’i al-Dalâlah) dan ada pula yang baru diketahui melalui ijtihad (Qath’i al-Zhann). Dalam mendefinisikan ijtihad para ahli ushul fiqh berbeda pendapat, diantaranya ijtihad didefinisikan:

ُعاَﺮْﻘِﺘْﺳِإ

ِﻪْﻴِﻘَﻔﻟا

َﻊْﺳُﻮﻟا

ِﻞْﻴِﺼْﺤَﺘِﻟ

ﱟﻦَﻇ

ٍﻢْﻜُِﲝ

ﱟﻲِﻋْﺮَﺷ

٢ ٢

Artinya: “(Ijtihad adalah) pencurahan segenap kemampuan secara maksimal yang dilakukan seorang ahli fiqh (faqiih) untuk mendapatkan pengetahuan tingkat zhann (dugaan kuat) tentang hukum syar’i (hukum Islam)”.

22

Muhammad Ibn Ahmad al-Mahallî, Syarh ‘alâ Matn Jam’i al-Jawâmi’, (Mesir: Musthafâ al-Bâbi al-Halabi), J II h. 379


(40)

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa tujuan dari ijtihad adalah untuk menggali dan mengetahui hukum Islam yang berstatus zhanni, dengan kata lain bahwa ijtihad itu hanya berlaku dalam masalah yang secara ekplisit belum ada dalam nash al-Qur’an dan hadist, serta masalah-masalah yang ada dalam kedua sumber tersebut, tetapi termasuk dalam kategori zhanni baik tsubut ataupun dilalahnya, juga dalam kasus yang belum ada ijma ulama.

Jika pada masa lampau keberadaan dan peran para mujtahid didambakan umat Islam, tentunya pada masa sekarang keberadaan, peran dan kreatifitasnya sangat diharapkan. Sebagaimana para mujtahid pada masa lalu mampu menyelesaikan permasalahan yang muncul pada masanya, maka mujtahid pada masa sekarang dituntut harus mampu menyelesaikan masalah-masalah kontemporer, terutama setelah adanya perubahan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, menurut Abu Zahrah, ruang lingkup fatwa lebih khusus dari ijtihad, karena muncul baik ada pertanyaan ataupun tidak. Sementara fatwa secara umum muncul apabila ada peristiwa atau pertanyaan dari mustafti (orang atau lembaga yang meminta fatwa).23

Berdasarkan Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI, dalam bab VI disebutkan bahwa kewenangan dan wilayah fatwa MUI adalah masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama masalah-masalah hukum (fiqh) dan

23


(41)

masalah aqidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia.24

2. Dasar Penetapan dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI

Dalam menetapkan fatwa harus mengikuti tata cara dan prosedur tertentu yang telah disepakati oleh para ulama, termasuk dalam hal penggunaan dasar yang menjadi landasan hukum dalam penetapan fakta. Penetapan fatwa yang tidak mengindahkan tata cara dan prosedur yang ada merupakan salah satu bentuk tahkkum (membuat-buat hukum) dan menyalahi esensi fatwa yang merupakan penjelasan hukum syara’ terhadap suatu masalah, yang harus ditetapkan berdasarkan dalil-dalil keagamaan (adillah syar’iyyah).

Dalam hal ini para ulama mengelompokkan sumber atau dalil syara’ yang dapat dijadikan dasar penetapan fatwa menjadi dua kelompok, yakni: dalil-dalil hukum yang disepakati oleh para ulama untuk dijadikan dasar penetapan fatwa (adillah al-ahkam al-mutafaq ‘alaih) dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa (adillah al-ahkam al-mukhtalaf fiha).

Para ulama juga telah menjelaskanapa saja dalil-dalil hukum yang disepakati untuk dijadikan dasar penetapan fatwa yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sebagaimana para ulama juga telah menyebutkan dalil-dalil

24

Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h. 7


(42)

hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa, yakni: al-Istihsan, al-Istishlah, Maslahah al-mursalah, Sadd al-Dzari’ah, Madzhab Shahabah dan sebagainya.25 Dasar yang menjadi justifikasi para ulama dalam menetapkan klasifikasi pertama yang menyatakan bahwa al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma dan Qiyas merupakan dalil-dalil hukum yang disepakati untuk menjadi dasar penetapan fatwa adalah firman Allah SWT:

$

k

‰

'

»ƒ

ûï

%!

#

#

qYB

#

ä

#

q

è

‹

Û

&

!#

#

q

è

‹

Û

&

r

Aq

™

9

#

’

<r

&

r



D{

#

O3ZB

(

b

*

ù

L

ê

ã“

»

Z

?

’

û

äÓ

«

nr

Šù

’

<

)

!#

Aq

™

9

#

r

b

)

L

ê

Y.

bqZBs

?

!$/

Qq

‹

9

#

r



z

y

#

4

79

º

Œ

Ž



z

`

¡

m&

r

x

ƒ

r

'?

)

ةرﻮﺳ

ءﺂﺴﻨﻟا

/

٤

:

٥٩

(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ( QS. Al-Nisa/4: 59).

Di samping ayat tersebut di atas, para ulama yang mempunyai pendapat bahwa al-qur’an, al-Sunnah, Ijma dan Qiyas merupakan dasar penetapan fatwa para ulama, juga mendasarkan pendapatnya pada hadis Mua bin Jabal ketika diutus Rosulullah SAW untuk menjadi qadhi di Yaman yang menggunakan penggunaan ijtihad ketika tidak ditemukan dalil naqli, baik dari ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah:

25


(43)

لﺎﻘﻓ

ﻪﻟ

لﻮﺳﺮﻟا

:

ﻒﻴﻛ

ﻲﻀﻘﺗ

ﺎﻳ

ذﺎﻌﻣ

اذإ

ضﺮﻋ

ﻚﻟ

ءﺎﻀﻗ

؟

لﺎﻗ

ﻲﻀﻗأ

ﺎﺘﻜﺑ

ب

ﷲا

.

لﺎﻗ

:

نﺈﻓ

ﺪﲡ

بﺎﺘﻛ

ﷲا

؟

لﺎﻗ

ﺔﻨﺴﺒﻓ

ﷲا

لﺎﻗ

نﺈﻓ

ﺪﲡ

؟

لﺎﻗ

أ

ﺪﻬﺘ

ﻳأﺮﺑ

يأ

ﺮﺼﻗأ

دﺎﻬﺘﺟﻹا

بﺮﻀﻓ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﻠﺻ

ﷲا

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳو

ﻰﻠﻋ

ﻩرﺪﺻ

لﺎﻗو

ﺪﻤﳊا

يﺬﻟا

ﻖﻓو

لﻮﺳر

لﻮﺳر

ﷲا

ﺎﳌ

ﻰﺿﺮﻳ

ﷲا

ﻮﺳرو

ﻪﻟ

٢ ٦

Artinya: ”Rasulullah SAW bertanya kepada Mua’adz bin Jabal: “Bagaimana engkau menghukumi sesuatu jika dihadapkan pada persoalan hukum wahai Mu’adz?”. Mu’adz menjawab: “Saya menghukuminya berdasarkan kitab Allah”. “Bagaimana jika engkau tidak mendapat-kan (hukum) di dalam kitab Allah?”, tanya Rasulullah. Mu’adz menjawab: “Berdasarkan sunnah Rasulullah”. “Jika tidak mendapatkannya?”, lanjut Rasulullah, “Saya berijtihad dengan akalku”. Kemudian Rasulullah memukul pundak Mu’adz sambil mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada delegasi Rasulullah atas ridha Allah dan Rasulnya. (HR. Ahmad).

Meskipun demikian, para ulama memberikan catatan bahwa Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ dipandang sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dalam menetapkan hukum syari’ah, sehingga tidak membutuhkan sumber hukum lainnya dalam menetapkan suatu fatwa. Sedangkan Qiyas tidak demikian, karena dalam menetapkan hukum dengan menggunakan Qiyas tetap membutuhkan landasah hukum yang ada dalam al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’, serta memerlukan adanya ‘illat yang ada pada hukum asal. Dengan demikian dalil qiyas sifatnya tidak independen dengan dalil yang bersifat naqli, terikat dengan ashl yang terdapat dalam nash al-Qur’an dan Sunnah.

26

Ahmad bin Hambal Abŭ ‘Abdullah al-Syaibânî, Musnad bin Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurtubah, t.th.), Ju 5, h. 242 hadis nomor 22153


(44)

Untuk melakukan tugas ijtihadnya, MUI mempunyai tata cara dalam penetapan fatwa yang tertuang dalam prosedur penetapan fatwa pada 1986, yang pada tahun 1997 diganti menjadi “Pedoman Tata Cara Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia”, dan kemudian disempurnakan dengan judul “ Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI” tahun 2001. Lalu pedoman ini disempurnakan kembali pada forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia I pada tahun 2003. Secara operasional, dalam pedoman penetapan fatwa MUI disebutkan ada beberapa hal yang menjadi dasar dan metode penetapan fatwa MUI, yaitu dalam Bab II tentang Dasar Umum dan Sifat Fatwa disebutkan bahwa:27

1. Penetapan fatwa didasarkan pada al-Qur’an, sunnah (hadits), Ijma’, dan Qiyas serta dalil lain yang mu’tabar.

2. Aktifitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga fatwa yang dinamakan Komisi Fatwa.

3. Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif dan antisipatif.

Kemudian dalam Bab III disebutkan tentang Metode Penetapan Fatwa yaitu sebagai berikut:28

1. Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat para imam madhab dan ulama yang mu’tabar tentang masalah yang akan

difatwakan tersebut, secara seksama berikut dalil-dalilnya.

2. Masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah disampaikan sebagaimana adanya.

3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan ma hab, maka: a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di

antara pendapat ulama-ulama madhab melalui metode al-jam’u wa

al-Taufiq; dan

27

Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, h. 5

28


(45)

b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah dengan menggunakan kitab-kitab Ushul Fiqh Muqaran.

4. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan ma hab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif)

melalui metode bayani, ta’lili (qiyasi, istihsani, ilhaqi), istishlahi, dan sad al-Zdari’ah.

5. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan maqashid al-syari’ah.

3. Kekuatan Hukum Fatwa

Telah dijelaskan bahwa yang difatwakan atau materi fatwa itu adalah hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad. Dalam hal ini mufti sama kedudukannya dengan hakim, yaitu menyampaikan hukum kepada umat. Fatwa disampaikan mufti dengan ucapannya setelah menerima pertanyaan dari umat. Sedangkan qadhi atau hakim menyampaikan hukum melalui putusan hukum atau dalam proses persidangan setelah perkaranya disampaikan oleh umat (orang yang mengajukan perkara). Keduanya merupakan hasil ijtihad.29

Namun, secara umum perbedaan antara fatwa dan qadlâ atau putusan hakim antara lain bahwa putusan hakim bersifat mengikat bagi seseorang untuk patuh menjalankan ketentuan yang telah diputuskan sesuai dengan syari’at Islam. Sedangkan fatwa lebih bersifat informatif (ikhbâr) tentang ketentuan Allah yang menuntut bagi orang Islam untuk melaksanakan atau hanya sekedar kebolehan. Dengan demikian, bahwa kekuatan hukum fatwa

29


(46)

tidak mengikat dan tidak mempunayai sanksi resmi bagi orang yang tidak menjalankannya, ini merupakan salah satu karakter atau ciri khas fatwa, yaitu tidak mengikat.30 Muchtar Ali mengutip pendapat ahli ushul fiqh al-Hattab pengarang kitab Mawâhib Syarh Mukhtasar Khalîl mengatakan bahwa ifta atau fatwa yaitu penerapan hukum syara’ bukan secara wajib untuk diikuti, sejalan dengan pendapat ini Muhammad bin ali bin al-Marhum Hussayn penulis kitab Tahzîb al-Furûq wa al-Qawâ’îd al-Sunniyah fî al-Asrâr al-Fiqhiyah menjelaskan bahwa fatwa bermaksud semata mata menerangkan mengenai hukum hukum Allah pada kewajiban dan keharusan.31

Ali Hasballah dalam kitabnya Usûl al-Tsyri’ al-Islâm mengatakan bahwa pandangan ulama dalam bentuk fatwa tidak mengikat, karena dua alasan yaitu: satu, berupaya untuk beristinbat hukum dan yang tidak mampu untuk berbuat demikian, alasan lain adalah telah menjadi adat sejak dulu orang-orang awam pergi ke ulama untuk bertanya hukum, dan menjadi kewajiban ulama untuk menjawab pertanyaan itu. Namun tidak menjadi tanggung jawab meraka untuk melaksanakan fatwa ulama tersebut sehingga merasa yakin dan puas hati dengan ulama tersebut. Ulama itupun tidak boleh memaksa meraka menerima dan melaksanakan fatwa tersebut. 32

30

Al-Nawawi, al-Majmû’ah, (Kairo: al-’Ashimah, t.th), h. 75

31

Muchtar Ali, Prospek Fatwa Sebagai Hukum Posistif Indonesia (Suatu Tinjauan Historis dan Yuridis), Tesis Pasca Sarjana UIN Jakarta 2009, h. 208

32


(47)

(48)

38

A. Pengertian Kebijakan Pemerintah

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kebijakan pemerintah, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian kebijakan dan pemerintah. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kebijakan dartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana di pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (pemerintahan, organisasi).1 Kebijakan (policy) adalah sebuah instrument pemerintah, bukan saja dalam arti government, dalam arti hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan pula governace yang menyentuh berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, maupun masyarakat madani (civil society).

Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, masyarakat atau warga Negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, idiologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu Negara.

Sedangkan pemerintah adalah “pengurus harian” negara, yaitu kese-luruhan dari pada jabatan-jabatan (pejabat-pejabat) di dalam suatu negara yang

1

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 149


(49)

mempunyai tugas dan wewenang politik negara dan pemerintahan.2 Pemerintah ialah semua lembaga yang menyelenggarakan tugas dan kewenangan negara, pembuatan peraturan, penerapan peraturan dan menegakkan peraturan (keputusan politik). Salah satu ciri khas pemerintah ialah kewenangannya membuat dan melaksanakan kebijakan umum. Dalam hal ini, pemerintah merupakan mekanisme penetapan aturan-aturan berperilaku bagi anggota masyarakat, yang semuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan masyarakat-negara.3 Dengan demikian, dalam arti luas pemerintah mencakup semua badan-badan negara,4 yakni lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kebijakan pemerintah merupakan wahana dari suatu pemerintah untuk secara rasional menguasai dan mengemudikan aktivitas-aktivitas sosial. Kegiatan-kegiatan dari kebijakan pemerintahan berwujud dalam kegiatan mengatur dan mengarahkan masyarakat, antara lain dengan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan, perencanaan, aneka intervensi oleh pemerintah terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan lain-lain kegiatan yang sifatnya fundamental.5

2

S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), cet. X, h. 11

3

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999), cet. IV, h. 11

4

M. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. IV, h. 112

5

Johannes Rudolf Ger!on Djopari, Kebijakan Pemerintah, Artikel diakses dari http:// pustaka.t.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=66:ipem4538kebijakan-pemerintah&Itemid=74&catid=29:fisip, pada tanggal 3 April 2011


(50)

Kebijakan pemerintah erat kaitannya dengan kehidupan politik negara, oleh karena itu kebijakan pemerintah biasanya disebut juga dengan keputusan politik atau kebijakan politik. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kebijakan politik, perlu kiranya dijelaskan tentang pengertian politik terlebih dahulu. Kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat peribadi atau perbuatan. Secara leksikal, asal kata tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”, politic kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik.6

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, kebijakan cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).7 Menurut Miriam Budiardjo, politik adalah

6

Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, cet. II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 34

7

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi ke-III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 886


(51)

bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.8 Selanjutnya sebagai suatu sistem Munawir Sa

" #ali

menerang-kan, bahwa poltik adalah suatu konsepsi yang berisikan ketentuan-ketentuan siapa sumber kekuasaan negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.9

Istilah politik di dalam literatur Arab dikenal dengan istilah siyâsah yang berarti cerdik atau bijaksana.10 Siyâsah berasal dari kata sâsa-yasûsu-siyâsatan, yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Dalam kamus al-Muhîth dikata-kan: sustu al-ra’iyyata siyâsatan: amartuhâ wa nahaituhâ (saya mengatur rakyat dengan mengunakan politik: ketika saya memerintah dan melarangnya).11 Politik

atau siyâsah mempunyai makna mengatur urusan umat, baik secara dalam maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh negara (pemerintah) maupun umat (rakyat), negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat atau rakyat mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam

8

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XXVII, (Jakatra: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 8

9

Munawir Sya$ali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta:UI Press, 1990), h. 41

10

Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), cet. I, h. 111

11

Muhammad bin Ya’qub al-Fairu$ Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, (Bairut: Dâr al-Fikir, 1995), h. 496


(52)

melakukan tugasnya.12

Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan politik pada akhirnya adalah membicarakan negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai sebuah lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan negara, tujuan negara, bentuk negara dan hakekat negara.13 Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.14

Ramlan Surbakti mengemukakan bahwa salah satu ciri khas dari politik adalah adanya keputusan yang keluar dari proses politik yang bersifat mengikat (otoritatif) dan dimaksudkan untuk kebaikan bersama masyarakat umum.15 Kemudian Leo Agustino menjelaskan bahwa pengambilan keputusan politik merupakan suatu hal yang inheren dalam kegiatan politik. Setiap kali kepala pemerintahan menyelesaikan rapatnya, atau kepala daerah melakukan koordinasi, atau bahkan setelah para anggota parlemen melakukan pertemuan paripurna, ataupun apa kegiatan politik dilakukan, selalu saja ada hal-hal yang harus ditetapkan melalui keputusan politik. Entah itu berkenaan dengan penyelesaian

12

Abdul Qadim Zallum, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam, diterjemahkan oleh Abu Fai%, cet. II, (Bangil: Al-I% %ah, 2004), h. 11

13

Abdul Rasyid, Ilmu Politik Islam, (Bandung:Pustaka, 2001), cet. I, h. 26-28

14

Moh. Mufid, Politik dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), cet. I, h. 9

15


(53)

konflik, penetapan keputusan pemerintah, pemberian subsidi bagi rakyat miskin, ataupun persoalan-persoalan lainnya keputusan politik menjadi hal yang utama.16

Dengan demikian, keputusan politik ialah keputusan yang mengikat dan menyangkut atau mempengaruhi masyarakat umum.17 Hal-hal yang menyangkut atau mempengaruhi masyarakat umum biasanya diurus dan diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Oleh karena itu, keputusan politik dapat pula dipahami sebagai pilihan terbaik dari berbagai alternative mengenai urusan-urusan yang menjadi kewenangan pemerintah. Karena isi dari kebijakan pemerintah atau kebijakan politik sangat berkaitan dengan masyarakat umum atau rakyat, biasanya istilah kebijakan pemerintah atau keputusan / kebijakan politik, disebut juga dengan istilah kebijakan publik (publik policy).

Banyak sekali definisi kebijakan publik atau kebijakan politik. Sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas, kebijakan publik sering diartikan sebagai ‘apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan’.18 Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa yang disebut sebagai publik policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati

16

Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan MemahamiIlmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 157

17

Ramlan Surbakti, Ibid.

18

Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Soaial, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 6


(54)

dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi.19

Leo Agustino menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Karena itu, karakteristik khusus dari kebijakan publik adalah bahwa keputusan politik tersebut dirumuskan oleh ‘otoritas’ dalam sistem politik, yaitu ‘para senior’, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat dan sebagainya.20 Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa mereka-mereka yang berotoritas dalam sistem politik dalam rangka memformulasiakan kebijakan publik itu adalah orang-orang yang terlibat dalam urusan politik sehari-hari dan mempunyai tanggung jawab dalam suatu masalah tertentu di mana pada suatu titik mereka diminta untuk mengambil keputusan dikemudian hari kelak diterima serta mengikat sebagian besar anggota masyarakat selama waktu tertentu.21

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah atau kebijakan publik merupakan: (1) keputusan atau aksi bersama yang dibuat oleh pemilik wewenang (pemerintah); (2) berorientasi pada kepentingan publik dengan dipertimbangkan secara matang terlebih dahulu baik buruknya dampak yang ditimbulkan; dan (3) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

19

Nugroho R., Pengertian Kebijakan Publik, makalah diakses dari http://abdiprojo. blogspot. com/ 2010/04/pengertian-kebijakan-publik.html, pada tanggal 24 Februari 2011

20

Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, h. 167

21


(55)

B. Unsur-unsur Pembuat Kebijakan

Ramlan surbakti menyebutkan bahwa dalam proses membuat kebijakan pemerintah (kebijakan politik/kebijakan publik) terdapat unsur-unsur yang harus diperhatikan, yaitu jumlah orang yang ikut mengambil keputusan, peraturan pembuatan keputusan atau formula pengambilan keputusan, dan informasi.22 Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa yang yang membuat keputusan dapat satu orang, dua orang atau lebih bahkan jutaan orang. Misalnya presiden dapat mengambil keputusan atau membuat kebijakan publik sendiri tanpa melibatkan penasihatnya, wakil rakyat atau pimpinan partai politik biasanya membuat keputusan secara kolektif. Makin banyak orang yang ikut serta dalam proses pembuatan keputusan atau kebijakan politik, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan.23

Yang dimaksud dengan peraturan pembuat keputusan ialah ketentuan yang mengatur jumlah (persentase) orang yang harus memberikan persetujuan terhadap suatu alternatif keputusan agar dapat diterima dan disahkan sebagai keputusan. Peraturan ini biasanya dirumuskan dalam konstitusi ataupun undang-undang, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga bagi organisasi politik dan kemasyarakatan. Sedangkan formula pengambilan keputusan pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu mufakat (semua orang harus memberikan persetujuan) dan suara terbanyak. Informasi sangat diperlukan dalam proses pembuatan

22

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 191

23


(56)

keputusan yaitu dalam proses pembuatan keputusan terjadi diskusi, perdebatan, tawar-menawar dan kompromi, maka informasi yang akurat dan dalam jumlah yang memadai akan mempengaruhi isi keputusan yang diambil.24

C. Isi Kebijakan Politik

Menurut Ramlan Surbakti, isi kebijakan pemerintah atau kebijakan politik mencakup tiga hal yaitu penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat atau biasa disebut kebijakan ekstraktif, distribusi dan alokasi sumber-sumber kepada masyarakat disebut dengan kebijakan distributif dan pengaturan perilaku anggota masyarakat yang disebut dengan kebijakan regulatif.25 Sedangkan menurut Theodore Lowi sebagaimana yang dikutip oleh Ramlan Surbakti bahwa pada dasarnya secara umum isi kebijakan publik atau kebijakan pemerintah dapat dikategorikan dalam tipe-tipe kebijakan publik itu sendiri, setidaknya terdapat empat tipe kebijakan umum yaitu:26

1. Kebijakan Regulatif

Kebijakan ini terjadi apabila kebijakan mengandung paksaan dan akan diterapkan secara langsung terhadap individu. Biasanya kebijakan regulatif dibuat untuk mencegah agar individu tidak melakukan suatu tindakan yang tidak diperbolehkan, seperti undang-undang hukum pidana, undang-undang

24

Ibid.

25

Ibid., h. 12-13

26


(1)

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI KEPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT, ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT

KESATU : Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang rnenyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

KEDUA : Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok- pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

KETIGA : Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.

KEEMPAT : Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

KELIMA : Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

KEENAM : Memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pernbinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.

KETUJUH : Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008

MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, MENTERI DALAM NEGERI,

ttd, ttd, ttd,


(2)

Lampiran 2

HASIL RAPAT BAKOR PAKEM TAHUN 2005

Bakor Pakem (setelah mencatat pertimbangan hukum, termasuk UU PNPS No. 1 tahun 1965 yo UU No. 5 Tahun 1969), merekomendasikan kepada Pemerintah/Presiden Republik Indonesia agar organisasi, kegiatan, ajaran, dan buku-buku yang berisi ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Qadiyan) dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore) dilarang di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan suatu Peraturan Presiden Republik Indonesia.


(3)

Lampiran 3

HASIL RAPAT BAKOR PAKEM TANGGAL 15 Januari 2008

1. Bakor Pakem telah membaca dan memahami isi 12 butir Penjelasan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang disampaikan dan ditandatangani oleh PB JAI atas nama H. Abdul Basit serta diketahui dan ditandatangani oleh Instansi Pemerintah dan para tokoh Agama Islam pada tanggal 14 Januari 2008.

2. Bakor Pakem setelah membahas isi 12 butir Penjelasan PB JAI menilai perlu memberikan kesempatan kepada JAI untuk melaksanakan 12 butir Penjelasan tersebut dengan segala konsekuensinya secara konsisten & bertanggung jawab.

3. Bakor Pakem akan terus memantau dan mengevaluasi perkembangan atas pelaksanaan isi 12 butir Penjelasan PB JAI dimaksud di seluruh wilayah RI.

4. Apabila terdapat ketidaksesuaian dalam pelaksanaan 12 butir Penjelasan PB JAI maka Bakor Pakem akan mempertimbangkan penyelesaian lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5. Bakor Pakem menghimbau semua pihak untuk dapat memahami maksud dan tujuan itikad baik PB JAI sebagai bagian dari membangun kerukunan umat beragama dengan mengedepankan kebersamaan serta menghindari tindakan-tindakan anarkis dan destruktif.


(4)

(5)

(6)