Lahirnya Surat Keputusan Bersama SKB Tentang Keberadaan Jama’ah Ahmadiyah

6. Buku Ta , - kirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mir - a Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Ta , - kirah oleh pengikutnya pada tahun 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat 1908. 7. Kami Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun perbuatan. 8. Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah. 9. Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh Jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan manapun. 10. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sebagai muslim selalu melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian dan perkara-perkara lainnya berkenaan dengan itu ke kantor Pengadilan Agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 11. Kami warga Jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturahmi dan bekerjasama dengan seluruh kelompokgolongan umat Islam masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakatan untuk kemajuan islam, bangsa negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. 12. Dengan penjelasan ini, kami Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia PB JAI mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah islamiyah, serta persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam rangka memantau pelaksanaan 12 butir Penjelasan PB JAI di lapangan, Menteri Agama telah membentuk Tim Pemantau dan Evaluasi yang beranggotakan unsur-unsur dari Departemen Agama, Kejaksaan Agung, Depar- temen Dalam Negeri, dan POLRI. Pemantauan dan evaluasi dilapangan dilakukan selama tiga bulan di 55 titik komunitas JAI, yang terdapat di 33 kabupatenkota. Dari hasil pemantauan dan evaluasi di lapangan Tim menyimpulkan bahwa warga JAI belum sepenuhnya melaksanakan 12 butir penjelasan PB JAI. Beberapa butir yang tidak sesuai antara penjelasan dengan kenyataan dilapangan adalah: 8 8 Ibid. 1. Tetap meyakini ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW. 2. Tetap meyakini bahwa Mir . a Ghulam Ahmad adalah Nabi, Masih Mau’ud, dan Imam Mahdi. 3. Tetap meyakini isi buku Ta . kirah tentang kewahyuan dan kebenarannya, termasuk klaim tentang kenabian Mir . a Ghulam Ahmad di dalamnya. 4. Tetap menafsirkan Al-Quran sesuai dengan Buku Ta . kirah. 5. Tetap tidak bersedia bermakmum dalam shalat kepada orang islam non-JAI karena dianggap kufur ingkar kepada kenabian Mir . a Ghulam Ahmad yang berarti JAI mengkafirkan Muslim non-JAI secara perbuatan. Dengan demikian, berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi dilapangan tersebut, warga JAI masih dianggap menganut penafsiran keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, bahkan secara sistematis terus berupaya mengusahakan dukungan umum untuk melakukan kegiatan dan penafsiran keagamaan yang menyimpang melalui buku, dan pengiriman mubaligh-mubalighnya kedaerah-daerah. Disamping itu, mereka juga menyatakan tidak akan merubah dan tidak ada keinginan untuk merubah kegiatan dan penafsiran keagamaan yang menyimpang tersebut, dan tidak perlu ada perubahan apapun sebagaimana disampaikan melalui surat dari PB JAI kepada Departemen Agama tanggal 21 Februari 2008 Nomor: 911AmirII2008 dan keterangan Pimpinan PB JAI pada pertemuan dengan kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama tanggal 10 Maret 2008, di Departemen Agama. 9 Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi tersebut, Rapat Tim Pakem pada tanggal 16 April 2008 merencanakan untuk mengeluarkan Surat Keputusan 9 Uli Parulian Sihombing, dkk., Menggugat Bakor Pakem, h. 66-67 Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri agar warga JAI diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. Dan puncaknya pada tanggal 9 Juni 2008, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama SKB Nomor: 03 Tahun 2008, Nomor: KEP-033AJA62008, Nomor: 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, danatau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI dan warga masyarakat, yang berisi: 1. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. 2. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, danatau anggota pengurus JAI, sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. 3. Penganut, anggota, danatau anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dalam SKB ini dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundangan termasuk terhadap organisasi dan badan hukumnya. 4. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan masyarakat dengan tidak melakukan perbuatan danatau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, danatau anggota pengurus JAI. 5. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dalam SKB ini dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 6. Memerintahkan kepada aparat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan keputusan bersama ini. Dengan melihat kepada isi dari kebijakan pemerintah yang berupa SKB tersebut, maka SKB tersebut merupakan suatu kebijakan regulatif yaitu suatu kebijakan yang mengandung paksaan dan diterapkan secara langsung terhadap individu dan memaksa agar individu melakukan suatu tindakan hingga kepentingan umum tidak terganggu. 10 Yang intinya SKB tersebut memberikan peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, danatau anggota pengurus JAI sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. SKB tersebut merupakan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah sebagai alternatif untuk mengatasi konflik yang terjadi di masyarakat. Sebelum dikeluarkannya SKB tersebut, banyak sekali terjadi konflik dan bentrokan antara masayarakat dan JA, bahkan terjadi penyerangan oleh sebagian masyarakat Islam terhadap komunitas dan tempat ibadah JA. Di antara konflik dan bentrokan tersebut misalnya yang pernah terjadi di Ciampea Bogor, di Desa Manis Lor Kuningan, di Parakansalak Sukabumi, bentrok juga pernah terjadi di Parung Bogor, di Lombok dan di Makassar. 11 10 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999, cet. IV, h. 193 11 Tempo Interaktif, 28 April 2008, diakses dari .http:www.p2d.orgindex.phpkon32- 15-mei-2008161-sejarah-ahmadiyah-dan-konfliknya.html, pada tanggal 01 Maret 2011 Sedangkan konflik yang terjadi stelah dikeluarkannya SKB yaitu terjadinya bentrokan antara anggota JA dan warga di Kampung Pendeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten pada hari Ahad pagi 6 Februari 2011, yang mengakibatkan delapan orang menjadi korban, tiga di antaranya meninggal dunia. 12 Konflik yang terjadi baik berupa bentrokan maupun penyerangan terhadap JA tersebut terjadi karena sebagian umat Islam menganggap bahwa JA bukan hanya sesat dan menyesatkan, tetapi juga telah menodai agama Islam. Banyak terjadinya konflik dan bentrokan antara JA masyarakat, maka negara dalam hal ini pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengambil suatu tindakan untuk mengatasi konflik dan melindungi warga negaranya. Karena salah satu fungsi dan tugas negara adalah melaksanakan penertiban dan melindungi warga negaranya. 13 Negara bukan hanya melindungi dan memberikan kebebasan, tetapi juga memberikan dorongan dan bantuan untuk para pemeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk memajukan agamanya dan kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta mengusahakan terbinanya ketentraman, hidup rukun diantara sesama umat demi kokohnya kesatuan dan persatuan bangsa serta kerjasama dalam membangun masyarakat. 14 12 Kompas, edisi 12 Februari 2011 13 Moh. Kusnardi dan Bintan R Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, cet. IV, h. 224 18 Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, h. 111. Banyak kalangan yang menuntut pemerintah agar segera mengambil tindakan tegas untuk mengatasi hal tersebut. Ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Fron Pembela Islam FPI, Hi but Tahrir Indonesia dan MUI menuntut agar pemerintah mengambil kebijakan politik yaitu membubarkan JA dengan mengeluarkan SKB bahkan ada yang mengusulkan agar melalui Keputusan Presiden. Selain itu ada juga sebagian kalangan terutama mereka para pegiat HAM yang menuntut pemerintah agar melindungi JA karena mereka mempunyai hak untuk berkeyakinan dan kebebasan beragama, selain itu mereka juga menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas dan mengadili pelaku kekerasan terhadap warga JA secara hukum. Dengan melihat keadaan seperti itu, akhirnya pemerintah melakukan tindakan melalui Kejaksaan Agung, tepatnya Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat Bakorpakem yang bertugas mengawasi aliran kepercayaan yang ada di tengah masyarakat. Jika kejaksaan akan mengeluarkan larangan terhadap aliran kepercayaan yang dinilai sesat, tidak bisa dilakukan tanpa melalui prosedur yang sudah ditetapkan lewat Bakor Pakem tadi. Bakor Pakem sendiri bukan hanya berisi unsur kejaksaan. Di dalamnya juga ada unsur Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Kepolisian, Badan Intelijen Negara, dan organisasi keagamaan seperti MUI. 15 Untuk mengeluarkan sebuah larangan, masing-masing instansi yang tergabung dalam Bakor Pakem harus menyampaikan rekomendasinya. Bila antar 15 “Jaksa Agung: Harus Prosedural”, Duta Masyarakat, 22 Desember 2007. departemen sudah memberikan rekomendasi secara komprehensif bahwa ajaran atau aliran tertentu meresahkan, artinya prosedur ini sudah dilakukan dan disampaikan rekomendasi untuk melarang, baru Jaksa Agung akan menanda- tangani keputusan pelarangan itu. 16 Dalam menangani kasus Jamaah Ahmadiah, akhirnya hasil rapat Bakor Pakem pada tanggal 16 April 2008 merekomen- dasikan agar warga JAI diperintahkan dan diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya di dalam suatu keputusan bersama yaitu Surat keputusan Bersama SKB tiga menteri yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dan apabila perintah dan peringatan tersebut tidak diindahkan, maka Bakor Pakem merekomendasikan untuk membubarkan organisasi JAI dengan segala kegiatan dan ajarannya. 17 Dengan melihat latar belakang dan proses dikeluarkannya kebijakan politik pemerintah yang berupa SKB tiga menteri tersebut, banyak sekali unsur- unsur yang terlibat, dan dapat dikatakan melibatkan dua struktur politik yaitu supra struktur politik the governmental poltical sphere yang merupakan suasan kehidupan politik di tingkat pemerintahan, artinya hal-hal yang tersangkut paut dengan kehidupan lembaga-lembaga negara yang ada serta hubungan kekuasaan satu dengan lainnya, dan infra struktur politik the socio political sphere yaitu suatu kehidupan politik di tingkat masyarakat, dalam arti hal-hal yang bersangkutan dengan kegiatan politik ditingkat masyarakat yang memberikan 16 Ibid. 17 Lihat hasil rapat Bakor Pakem tanggal 16 April 2008 dalam lampiran. pengaruh terhadap tugas-tugas dari lembaga-lembaga negara dalam suasana pemerintahan. 18 Jiaka diteliti lebih jauh lagi, bahwa MUI yang dapat dikategorikan kepada kelompok atau unsur infra politik, terlihat sangat berpengaruh dalam proses dikeluarkannya SKB tiga menteri tersebut. Hal ini karena kriteria untuk menentukan sebuah aliran kepercayaan melakukan penyimpangan adalah patokannya dari MUI. MUI-lah yang menilai apakah aliran keagamaan tersebut Ahmadiyah menyimpang dari ajaran resmi atau tidak, yang mana penyimpangan tersebut dapat dikategorikan membahayakan bagi masyarakat dan negara. 19 Sedangkan yang berhak untuk menghentikan dan membubarkan aktivitas aliran yang dinilai menyimpang dan membahaya-kan masyarakat dan negara tersebut adalah negara yaitu melalui Kejaksaan Agung, Kementrian Agama dan Menteri Dalam Negeri. Salah satu Tahapan yang harus di lalui sebelum tindakan pemberian himbauan atau peringatan keras dan bahkan pembubaran adalah harus adanya rekomendasi dari badan organisasi keagamaan seperti MUI kepada Kejaksaan sebagai kordinator dari Tim Pakem bahwa aliran kepercayaan tersebut menyimpang dari ajaran yang semestinya. 20 Jelaslah bahwa, fatwa MUI sangat berpengaruh terhadap kebijakan politik pemerintah dalam mengatasi kasus JAI dengan dikeluarkannya SKB tiga menteri 18 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara dan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Yoyakarta: Universitas Atmajaya, 2003, h. 177-180 19 Fachri 1 al Afandi, PAKEM: Salah Satu Upaya Negara dalam Melindungi Agama, dalam Al-Qānūn, Vol. 12, No. 2, Desember 2009, h. 505 20 Ibid, h. 506 tersebut. Berkenaan dengan pengaruh Fatwa MUI dalam kebijakan politik pemerintah dalam menangani kasus-kasus aliran yang menyimpang, hasil penelitian Uli Parulian Sihombing dkk., dari lembaga The Indonesian Legal Resource Center ILRC, menyebutkan bahwa pola kerja Tim Pakem baik di pusat dan daerah dalam mengambil keputusan terhadap aliran kepercayaan tergambar sebagai berikut: 21 a. Pola kerja pertama, menjadikan fatwa MUI sebagai referensi untuk memutuskan penilain terhadap aliran kepercayaan, yang kemudian diputus secara musyawarah. Kemudian ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung untuk melarang aliran kepercayaan tersebut dengan menggunakan logika hukum yang dibangun oleh pasal 30 ayat 3 UU Kejaksaan No.162004, seperti dalam kasus Al Qiyadah Al Islamiyah. Di mana alasan ketertiban dan ketentraman umum dan keresahan terhadap masyarakat digunakan sebagai argumen untuk pelarangan itu; b. Pola kerja kedua, menjadikan fatwa MUI atau laporan hasil pemantauan anggota Tim Pakem sebagai referensi untuk memutuskan penilaian terhadap aliran kepercayaan, yang kemudian diputus secara musyawarah oleh anggota Tim Pakem. Rekomendasi itu ditindaklanjuti oleh SKB 3 Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, dengan menggunakan logika pasal 2 ayat UU No.1PNPS1965. Seperti dalam kasus SKB 3 Menteri untuk Ahmadiyah; c. Pola kerja ketiga, Tim Pakem mengeluarkan langsung SK pelarangan terhadap aliran kepercayaan yang dianggap membahayakan masyarakat, seperti kasus pelarangan Aliran Perjalanan oleh Tim Pakem pusat dan beberapa daerah di Jawa Barat.

B. Lahirnya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah

Sejarah perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia mencer- minkan dinamika aspirasi dan keinginan dari masyarakat Indonesia sendiri untuk memiliki sebuah alternatif sistem perbankan menerapkan sistem bagi hasil yang 21 Uli Parulian Sihombing, dkk., Menggugat Bakor Pakem, h. 59 menguntungkan bagi nasabah dan bank. Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien A 2 is. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung Bait At-Tamwil Salman ITB dan di Jakarta Koperasi Ridho Gusti. 22 Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18-20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia MUI menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Dalam lokakarya tentang bunga bank di Puncak Bogor tersebut diambil kesimpulan oleh para ulama pada waktu itu bahwa sementara belum ada bank Islam maka bunga bank masih dibolehkan atas dasar karena darurat. KH. Hasan 22 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2005, cet. IX, h. 25. Basri pada waktu itu menyatakan bahwa ada dua pandangan dalam Islam mengenai bunga bank. Pandangan pertama, menyatakan bahwa bunga bank adalah haram karena mengandung unsur tambahan pembayaran ziyadah dan tanpa resiko muqobil. Tambahan pembayaran itu diisyaratkan dalam perjanjian dan dapat menimbulkan pemerasan. Pendapat kedua, menghalalkan bunga bank karena adanya unsur suka rela antara dua pihak, tidak ada pemerasan dan mempunyai fungsi untuk kepentingan umum. Namun demikian pada lokakarya tersebut keras dituntut adanya bank Islam. 23 Atas usul dari MUI dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia ICMI serta tokoh-tokoh Islam lainnya dibentuk bank syariah yang pertama pada tahun 1991 dengan nama Bank Muamalat Indonesia BMI. Bank tersebut mulai beroperasi tahun 1992. 24 Pada tahun 1992 setelah berdirinya BMI lahir undang- undang perbankan tahun 1992 yang mencanangkan kebijakan dual banking system yang selanjutnya diperkuat dengan dan diperjelas dengan Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang Amandemen Undang-undang perbankan No.7 tahun 1992 tersebut. Dengan Undang-undang No.10 tahun 1998 tersebut perbankan syariah berkembang dengan pesat dengan terbentuknya Bank Umum Syariah BUS, Kantor Cabang Syariah KCS, Unit Usaha Syariah UUS, BPRS, BMT dan sebagainya. 23 Amidhan, Pengarus Utamaan Perbankan Syariah Menghadapi era Global, Makalah disampaikan pada silaturrahim dan seminar ASBISINDO dengan tema Tantangan Perbankan Syariah Menghadapi Era Global pada tanggal 25 Oktober 2007 bertempat di JCC Jakarta. 24 Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, Ibid. Karena produk-produk dari bank syari’ah bersumber dari syari’at Islam, maka seluruh kegiatan yang dilakukan oleh bank syari’ah tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Oleh sebab itu, ada kewajiban untuk membentuk suatu Dewan Pengawas Syari’ah DPS bagi bank bersang-kutan. 25 Kemudian karena adanya kebutuhan yang nyata terutama dikhawatirkan adanya perbedaan fatwa yang dikeluarkan oleh DPS di masing-masing LKSbank syariah maka pada 10 Februari 1999 dibentuklah Dewan Syariah Nasional DSN dengan catatan bahwa Dewan Pengawas Syariah DPS merupakan kepanjangan tangan dari DSN yang berada di internal bank-bank syariah yang bertugas dan berfungsi pengawasan dan penjaminan prinsip syariah. DSN Merupakan lembaga struktural MUI yang fungsi utama Dewan Syariah Nasional DSN adalah mengawasi produk-produk syariah agar sesuai dengan syariat Islam. Dewan ini bukan saja mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga lain seperti Reksadana, Modal Ventora, dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan DSN membuat garis panduan produk syariah yaitu sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi pedoman DPS pada lembaga-lembaga keuangan syariah sebagai dasar pengembangan produk-produknya. Fungsi lain dari DSN adalah meneliti dan membuat fatwa terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah yang diajukan oleh manajemen setelah rekomendasi DPS pada lembaga yang bersangkutan. 25 Munir Fuadi, Hukum Perbankan Modern, Buku Kesatu, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, cet. II, h. 171