Dasar Penetapan dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI

لﺎﻘﻓ ﻪﻟ لﻮﺳﺮﻟا : ﻒﻴﻛ ﻲﻀﻘﺗ ﺎﻳ ذﺎﻌﻣ اذإ ضﺮﻋ ﻚﻟ ءﺎﻀﻗ ؟ لﺎﻗ ﻲﻀﻗأ ﺎﺘﻜﺑ ب ﷲا . لﺎﻗ : نﺈﻓ ﱂ ﺪﲡ ﰲ بﺎﺘﻛ ﷲا ؟ لﺎﻗ ﺔﻨﺴﺒﻓ ﷲا لﺎﻗ نﺈﻓ ﱂ ﺪﲡ ؟ لﺎﻗ أ ﺟ ﺪﻬﺘ ﻳأﺮﺑ ﻲ – يأ ﻻ ﺮﺼﻗأ ﰲ دﺎﻬﺘﺟﻹا – بﺮﻀﻓ لﻮﺳر ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳو ﻰﻠﻋ ﻩرﺪﺻ لﺎﻗو ﺪﻤﳊا ﷲ يﺬﻟا ﻖﻓو لﻮﺳر لﻮﺳر ﷲا ﺎﳌ ﻰﺿﺮﻳ ﷲا ﻮﺳرو ﻪﻟ ٢ ٦ Artinya: ”Rasulullah SAW bertanya kepada Mua’adz bin Jabal: “Bagaimana engkau menghukumi sesuatu jika dihadapkan pada persoalan hukum wahai Mu’adz?”. Mu’adz menjawab: “Saya menghukuminya berdasarkan kitab Allah”. “Bagaimana jika engkau tidak mendapat- kan hukum di dalam kitab Allah?”, tanya Rasulullah. Mu’adz menjawab: “Berdasarkan sunnah Rasulullah”. “Jika tidak mendapatkannya?”, lanjut Rasulullah, “Saya berijtihad dengan akalku”. Kemudian Rasulullah memukul pundak Mu’adz sambil mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada delegasi Rasulullah atas ridha Allah dan Rasulnya. HR. Ahmad. Meskipun demikian, para ulama memberikan catatan bahwa Al- Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ dipandang sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dalam menetapkan hukum syari’ah, sehingga tidak membutuhkan sumber hukum lainnya dalam menetapkan suatu fatwa. Sedangkan Qiyas tidak demikian, karena dalam menetapkan hukum dengan menggunakan Qiyas tetap membutuhkan landasah hukum yang ada dalam al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’, serta memerlukan adanya ‘illat yang ada pada hukum asal. Dengan demikian dalil qiyas sifatnya tidak independen dengan dalil yang bersifat naqli, terikat dengan ashl yang terdapat dalam nash al-Qur’an dan Sunnah. 26 Ahmad bin Hambal Abŭ ‘Abdullah al-Syaibânî, Musnad bin Hanbal, Kairo: Muassasah Qurtubah, t.th., Ju 5, h. 242 hadis nomor 22153 Untuk melakukan tugas ijtihadnya, MUI mempunyai tata cara dalam penetapan fatwa yang tertuang dalam prosedur penetapan fatwa pada 1986, yang pada tahun 1997 diganti menjadi “Pedoman Tata Cara Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia”, dan kemudian disempurnakan dengan judul “ Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI” tahun 2001. Lalu pedoman ini disempurnakan kembali pada forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se- Indonesia I pada tahun 2003. Secara operasional, dalam pedoman penetapan fatwa MUI disebutkan ada beberapa hal yang menjadi dasar dan metode penetapan fatwa MUI, yaitu dalam Bab II tentang Dasar Umum dan Sifat Fatwa disebutkan bahwa: 27 1. Penetapan fatwa didasarkan pada al-Qur’an, sunnah hadits, Ijma’, dan Qiyas serta dalil lain yang mu’tabar. 2. Aktifitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga fatwa yang dinamakan Komisi Fatwa. 3. Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif dan antisipatif. Kemudian dalam Bab III disebutkan tentang Metode Penetapan Fatwa yaitu sebagai berikut: 28 1. Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat para imam mad hab dan ulama yang mu’tabar tentang masalah yang akan difatwakan tersebut, secara seksama berikut dalil-dalilnya. 2. Masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah disampaikan sebagaimana adanya. 3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan ma hab, maka: a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat ulama-ulama mad hab melalui metode al-jam’u wa al-Taufiq; dan 27 Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, h. 5 28 Ibid b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah dengan menggunakan kitab-kitab Ushul Fiqh Muqaran. 4. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan ma hab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama’i kolektif melalui metode bayani, ta’lili qiyasi, istihsani, ilhaqi, istishlahi, dan sad al-Zdari’ah. 5. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum mashalih ‘ammah dan maqashid al-syari’ah.

3. Kekuatan Hukum Fatwa

Telah dijelaskan bahwa yang difatwakan atau materi fatwa itu adalah hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad. Dalam hal ini mufti sama kedudukannya dengan hakim, yaitu menyampaikan hukum kepada umat. Fatwa disampaikan mufti dengan ucapannya setelah menerima pertanyaan dari umat. Sedangkan qadhi atau hakim menyampaikan hukum melalui putusan hukum atau dalam proses persidangan setelah perkaranya disampaikan oleh umat orang yang mengajukan perkara. Keduanya merupakan hasil ijtihad. 29 Namun, secara umum perbedaan antara fatwa dan qadlâ atau putusan hakim antara lain bahwa putusan hakim bersifat mengikat bagi seseorang untuk patuh menjalankan ketentuan yang telah diputuskan sesuai dengan syari’at Islam. Sedangkan fatwa lebih bersifat informatif ikhbâr tentang ketentuan Allah yang menuntut bagi orang Islam untuk melaksanakan atau hanya sekedar kebolehan. Dengan demikian, bahwa kekuatan hukum fatwa 29 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Ciputat: Logos, 2005, jilid 2, cet. III, h. 433 tidak mengikat dan tidak mempunayai sanksi resmi bagi orang yang tidak menjalankannya, ini merupakan salah satu karakter atau ciri khas fatwa, yaitu tidak mengikat. 30 Muchtar Ali mengutip pendapat ahli ushul fiqh al-Hattab pengarang kitab Mawâhib Syarh Mukhtasar Khalîl mengatakan bahwa ifta atau fatwa yaitu penerapan hukum syara’ bukan secara wajib untuk diikuti, sejalan dengan pendapat ini Muhammad bin ali bin al-Marhum Hussayn penulis kitab Tahzîb al-Furûq wa al-Qawâ’îd al-Sunniyah fî al-Asrâr al- Fiqhiyah menjelaskan bahwa fatwa bermaksud semata mata menerangkan mengenai hukum hukum Allah pada kewajiban dan keharusan. 31 Ali Hasballah dalam kitabnya Usûl al-Tsyri’ al-Islâm mengatakan bahwa pandangan ulama dalam bentuk fatwa tidak mengikat, karena dua alasan yaitu: satu, berupaya untuk beristinbat hukum dan yang tidak mampu untuk berbuat demikian, alasan lain adalah telah menjadi adat sejak dulu orang-orang awam pergi ke ulama untuk bertanya hukum, dan menjadi kewajiban ulama untuk menjawab pertanyaan itu. Namun tidak menjadi tanggung jawab meraka untuk melaksanakan fatwa ulama tersebut sehingga merasa yakin dan puas hati dengan ulama tersebut. Ulama itupun tidak boleh memaksa meraka menerima dan melaksanakan fatwa tersebut. 32 30 Al-Nawawi, al-Majmû’ah, Kairo: al-’Ashimah, t.th, h. 75 31 Muchtar Ali, Prospek Fatwa Sebagai Hukum Posistif Indonesia Suatu Tinjauan Historis dan Yuridis, Tesis Pasca Sarjana UIN Jakarta 2009, h. 208 32 Ali Hasaballah, Usûl al-Tasyri’ al-Islâmi, Mesir: Dâr al-Ma’arif, 1959, h. 55 38

BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH

A. Pengertian Kebijakan Pemerintah

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kebijakan pemerintah, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian kebijakan dan pemerintah. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kebijakan dartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana di pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak pemerintahan, organisasi. 1 Kebijakan policy adalah sebuah instrument pemerintah, bukan saja dalam arti government, dalam arti hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan pula governace yang menyentuh berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, maupun masyarakat madani civil society. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan- pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, masyarakat atau warga Negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, idiologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu Negara. Sedangkan pemerintah adalah “pengurus harian” negara, yaitu kese- luruhan dari pada jabatan-jabatan pejabat-pejabat di dalam suatu negara yang 1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 149