BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Bab ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama akan dipaparkan kesimpulan yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan
pada bab pertama sebelumnya yakni bagaimana dinamika attachment pada individu yang pernah mengalami child abuse di masa dewasa. Bagian kedua berisi
diskusi yang berhubungan dengan hasil penelitian yang diperoleh. Bagian ketiga berisi saran praktis dan saran yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian
selanjutnya yang memiliki hubungan dengan penelitian ini.
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dengan menggunakan teori attachment, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Peristiwa child abuse membuat kualitas hubungan kedua partisipan dengan
orang tuanya menjadi tidak menyenangkan. Kondisi tersebut membentuk internal working model yang negatif terhadap orang tua dan diri sendiri.
Universitas Sumatera Utara
2. Kedua partisipan merasa tidak mendapatkan perlindungan dan rasa aman
saat melakukan kontak dengan ayah pelaku child abuse. Partisipan I merasa gelisah setiap kali akan bertemu dengan ayah. Partisipan II merasa
takut saat berinteraksi dengan ayah. 3.
Internal working model yang negatif menjadi stabil karena pola hubungan yang familiar dan dyadic pattern yang dialami kedua partisipan dalam
berinteraksi dengan orang tua mereka. 4.
Kedua partisipan tidak berusaha membuat attachment behavior dengan pelaku abuse yakni ayah. Partisipan I juga tidak membentuk attachment
behavior kepada figur ibu. Sedangkan partisipan II merasa sedih apabila berada jauh dari figur ibu. Partisipan II juga merasa sedih saat melihat ibu
mendapat siksaan dari ayah. Ia tidak segan memukul ayah saat melihat ibunya mendapat siksaan dari ayah.
5. Partisipan I tidak memiliki figur yang membentuk attachment bond
dengan dirinya. Partisipan I merasa tidak seorang pun yang dapat membantunya menghilangkan kesedihan yang dialaminya. Sedangkan
partisipan II membentuk attachment bonds pada figur ibu. Partisipan II merasa sedih setiap kali berpisah dengan ibu dan sangat ingin segera
menemuinya. 6.
Mengerjakan perintah ayah dan tidak melakukan perlawanan adalah wujud attachment behavioral system yang dilakukan partisipan I terhadap figur
attachment. Hal ini tidak bertujuan untuk mendapatkan perlindungan, melainkan untuk menghindari perlakuan keras ayahnya. Pada partisipan II,
Universitas Sumatera Utara
attachment behavioral system diwujudkan dengan mendekatkan diri pada ibu untuk berkeluh kesah dan meminta perlindungan. Ini tidak dilakukan
pada ayah, partisipan II merasa tidak perlu menjalin interaksi dengan ayah. 7.
Pola attachment pada partisipan I mengarah pada disorganized attachment. Partisipan I sering merasa bingung harus mengambil tindakan
seperti apa agar sesuai dengan kehendak ayah. Ia juga sering merasa cemas saat akan berhadapan dengan ayah meski ia tidak melakukan
kesalahan. Pada partisipan II, pola attachment mengarah pada avoidant attachment style. Partisipan II cenderung menghindar melakukan kontak
dan komunikasi, serta merasa gelisah setiap kali berinteraksi dengan ayah. 8.
Beranjak dewasa, internal working model of self yang semula negatif berubah menjadi positif. Ini didukung dengan penghargaan dan kasih
sayang yang diberikan oleh orang-orang yang membantunya. Sedangkan pada partisipan II, internal working model of self yang negatif tetap
bertahan manakala ia menumpang tinggal bersama sanak keluarga di Padang dan di Kota Bogor. Partisipan II merasa tidak berharga berada di
tengah-tengah mereka. Ia merasa kerja kerasnya tidak bernilai dan tidak dianggap oleh keluarga tersebut.
9. Internal working model of self pada partisipan II bergerak positif manakala
partisipan II bertemu dengan Pak Ujang, seorang paruh baya yang sering memberikan nasehat dan motivasi yang membangkitkan semangatnya.
Pertemuan dengan Irwan yang memberi kepercayaan penuh padanya untuk
Universitas Sumatera Utara
mengurusi dagangan juga semakin menambah penghargaan positif bagi dirinya.
10. Internal working model of self pada kedua partisipan bertahan positif saat
menjalin hubungan romantis dengan kekasihnya. Partisipan I merasa kekasihnya, Nisa, begitu mencintainya dan sangat berharap agar ia
menjadi suami Nisa. Begitu pula pada partisipan II yang merasa bahwa para kekasihnya begitu mencintainya dan dirinya sangat berarti bagi
mereka. Namun, internal working model of self berubah negatif saat partisipan II benar-benar berusaha menjalin hubungan romantis dengan
seseorang yang benar-benar ia cintai, namun tidak balas mencintainya. Partisipan II merasa dirinya tidak bernilai dan tidak pantas bersanding
dengan gadis tersebut. 11.
Kepedulian keluarga Amri dan Misran, serta perhatian dari Nisa, kekasihnya, membuat internal working model of others pada partisipan I
yang dulunya negatif menjadi positif di masa dewasa. Sedangkan internal working model of others pada partisipan II bertahan negatif saat masih
tinggal bersama sanak keluarga di Padang dan Bogor. Internal working model of others berubah positif ketika partisipan II memiliki hubungan
dekat dengan Pak Ujang dan Irwan serta saat menjalin hubungan percintaan dengan beberapa orang kekasihnya. Internal working model of
others kembali lagi negatif saat partisipan II merasa diabaikan dan tidak mendapat perhatian dari Nuri, gadis yang memikat hatinya.
Universitas Sumatera Utara
12. Internal working model diri dan orang lain yang berujung positif
membentuk pola secure attachment pada partisipan I. Hal ini juga dialami serupa dengan partisipan II saat memiliki orang-orang yang
mendukungnya, memberi perhatian padanya, mencurahkan waktu untuk bertkar pikiran dengannya, membantunya mengatasi masa-masa sulit
selama di perantauan. 13.
Pola attachment dengan sanak keluarga di Kota Padang dan Bogor membentuk internal working model of self dan others pada partisipan II
mengarah negatif sehingga menghasilkan pola fearful, yang mencerminkan perasaan takut dengan kedekatan dan menghindari kontak
sosial. 14.
Saat partisipan I menghadapi konflik yang berhubungan dengan ayah Nisa calon mertua, internal working model of others kemballi mengarah
negatif. Namun, internal working model of self tetap positif karena partisipan I berkeyakinan kuat bahwa ia dapat membahagiakan
pasangannya. Saat itu, pola attachment yang terjalin dalam hubungan tersebut adalah dismissing.
15. Kepercayaan dan rasa bernilaiberharga yang tinggi terhadap Nisa, kekasih
yang telah menjadi istri dari kelima anak-anaknya membuat partisipan I merasa memiliki rasa aman yang kuat dan memiliki seorang yang
mendukung serta selalu setia berada di sampingnya. Keadaan ini menggambarkan secure attachment style dalam hubungan romantis
partisipan I. Begitu pula halnya dengan partisipan II yang menjalani
Universitas Sumatera Utara
hubungan romantis dengan beberapa mantan kekasihnya yakni Neng, Dewi, dan Nia, menggambarkan bahwa partisipan II merasa aman atau
memiliki rasa aman yang kuat. Pola hubungan ini juga dapat dikelompokkan dalam secure attachment.
16. Pengalaman percintaan partisipan II dengan Nuri, gadis yang benar-benar
membuatnya jatuh hati tidak berakhir dengan bahagia seperti hubungan romantis yang terjalin sebelumnya. Nuri yang masih penuh dengan
keraguan akan hubungan mereka menimbulkan pikiran-pikiran negatif pada partisipan II yang akhirnya merasa bahwa ia tidak sesuai
mendampingi Nuri. Pola ini dapat digolongkan dalam avoidant attachment.
17. Pola avoidant attachment pada partisipan II mengarahkannya
menggunakan strategi deactivation.
B. DISKUSI