Salep merupakan sediaan emulsi setengah padat yang banyak digunakan untuk menghantarkan bahan obat. Pemilihan dasar salep yang tepat dapat
mempengaruhi efektivitas senyawa obat yang dihantarkan Jenkins et al., 1957. Penambahan ekstrak lengkuas ke dalam sediaan salep dapat
meningkatkan nilai tambah lengkuas merah sebagai bahan obat. Salep antijamur dengan bahan aktif yang berasal dari lengkuas merah diperkirakan
mampu menghambat beberapa jamur penyebab penyakit kulit, terutama yang bersifat lokal.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi potensi bahan aktif rimpang lengkuas merah dalam
menghambat pertumbuhan jamur penyebab penyakit mikosis lokal kulit seperti T. rubrum, T. mentagrophytes, M. canis dan C. albicans.
2. Mengetahui pengaruh penambahan ekstrak lengkuas ke dalam dua sediaan salep yaitu basis minyak dalam air ow dan air dalam minyak
wo terhadap kualitas salep, seperti daya antijamur, pH dan stabilitas emulsi sediaan salep.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. LENGKUAS
1. Botani Tanaman Lengkuas
Lengkuas termasuk terna tumbuhan tegak yang tinggi batangnya mencapai 2 – 2,5 meter. Ada 2 jenis lengkuas yang dikenal yaitu varietas
dengan rimpang berwarna putih dan merah. Tanaman ini memiliki akar tak teratur. Pada lapisan luar terdapat kulit tipis berwarna coklat sedangkan di
bagian tangkai yang berbentuk umbi berwarna merah. Bagian dalam berwarna putih dan jika dikeringkan menjadi kehijau-hijauan. Lengkuas
mempunyai batang pohon yang terdiri atas susunan pelepah-pelepah daun. Daun-daunnya berbentuk bulat panjang dan antara daun yang terdapat pada
bagian bawah terdiri atas pelepah-pelepah saja, sedangkan bagian atas batang terdiri dari pelepah-pelepah lengkap dengan helaian daun. Bunganya
juga muncul pada pada bagian ujung tumbuhan. Rimpang umbi lengkuas selain berserat kasar juga memiliki aroma yang khas Anonim,1999.
Klasifikasi tanaman lengkuas berdasarkan adalah sebagai berikut Anonim, 2000 :
Kerajaan : Plantae
Subkerajaan : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi :
Magnoliophyta Klas
: Liliopsida
Subklas : Zingiberidae
Ordo :
Zingiberales Keluarga
: Zingiberaceae
Genus :
Alpinia Roxb. Spesies :
Alpinia purpurata K Schum
2. Syarat Tumbuh
Tanaman lengkuas dapat tumbuh di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi, kurang lebih 1200 meter di atas permukaan laut. Curah
hujan tahunan di daerah tempat tumbuh berada pada kisaran 2500 – 4000 mmtahun. Bulan basah di atas 100 mmbulan lamanya antara 7 – 9
bulan, sedangkan bulan kering di bawah 60 mmbulan lamanya antara 3 – 5 bulan. Suhu udara berkisar antara 25
o
C –29
o
C, kelembaban udara sedang, dan intensitas penyinaran tinggi Anonim, 2000.
Jenis tanah yang cocok untuk tumbuhnya tanaman lengkuas adalah latosol merah coklat, andosol, dan aluvial. Tekstur tanah dapat bervariasi
antara lempung berliat, lempung berpasir, lempung merah, dan lateristik. Kedalaman air tanah sekitar 50 – 100 cm dari permukaan tanah.
Kedalaman perakaran antara 10 – 30 cm dari permukaan tanah. Tingkat kesuburan tanah harus berada pada kisaran sedang – tinggi dengan sistem
pengairan yang baik Anonim, 2000.
3. Kandungan Kimia
Lengkuas yang dikenal kaya akan kandungan kimia mengandung lebih kurang 1 minyak atsiri berwarna kuning kehijauan yang terutama terdiri
dari metil-sinamat 48, sineol 20 - 30, eugenol, kamfer 1, seskuiterpen, dan -pinen Mc Vicar, 1994. Selain itu, lengkuas juga
mengandung resin yang disebut galangol, kristal berwarna kuning yang disebut kamferida dan galangin, kadinen, heksabidrokadalen hidrat,
kuersetin, amilum, dan beberapa senyawa flavonoid Anonim, 2000. Komponen bioaktif pada rempah-rempah, khususnya dari golongan
Zingiberaceae yang terbanyak adalah dari jenis flavonoid yang merupakan
golongan fenolik terbesar dan terpenoid. Pada golongan flavonoid dikenal golongan flavonol. Komponen flavonol yang banyak tersebar pada tanaman
misalnya yang terdapat pada lengkuas adalah galangin, kaemferol, kuerstin dan mirisetin. Salah satu golongan flavonoid adalah kalkon. Kalkon adalah
komponen yang berwarna kuning terang. Komponen lainnya yang ditemukan pada Alpinia adalah flavonon. Komponen flavonon dan
dihidroflavonol dikenal sebagai senyawa yang bersifat fungistatik dan fungisida dan yang terdapat pada tumbuhan Alpinia dan Kaempferia dari
golongan Zingiberaceae adalah alpinetin. Bentuk senyawa bioaktif lainnya adalah dari golongan terpenoid.
Golongan ini dikenal sebagai kelompok utama pada tanaman sebagai penyusun minyak atsiri. Terpenoid mempunyai rumus dasar C
5
H
8 n
atau dengan satu unit isopren. Jumlah n menunjukkan klasifikasi pada terpenoid
yang dikenal dengan monoterpen, seskwiterpen, diterpen, triterpen, tetraterpen dan politerpen. Struktur terpenoid ada yang berbentuk siklik dan
ada yang tidak Wallis, 1981. Komposisi rimpang lengkuas kering dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan aktivitas beberapa komponen bioaktif pada
rempah-rempah dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi Rimpang Lengkuas Kering
Komponen Kandungan
Air 7,65 Abu 12,28
Lemak 1,59 Pati 26,44
Serat kasar 11,55
Protein 3,07 Minyak atsiri
0,27 Kamferid 0,07
Mineral 0,03 Sumber : Rosdiyati 1980 Di dalam Kholid 2000
Tabel 2. Aktivitas Beberapa Komponen Bioaktif pada Rempah-rempah Jenis Rempah
2
Jenis Komponen
2
Beberapa Aktivitas Bioaktif
1
Jahe Gingerol Antikoagulan,
menurunkan kadar kolesterol
Adas, Anis Bintang Anethole
Ekspektoran, antiinflamasi
Sereh Sitronelal, Sitronellol
Insektisida Cengkeh Eugenol
Antiinflamasi, antikarminativa,
stimulan, antimikroba Kapulaga Terpineol
Antialergik, antiseptik,
bakterisida Kayu putih, eucalyptus
Sineol Antiseptik, bakterisida,
herbisida Ketumbar l-borneol
Antiinflamasi Lada Piperin
Stimulan, menghangatkan tubuh
Pala d-pinene,d-camphene Ekspektoran,
stimulan, antikarminativa
Akar wangi Vetiverol
Diaforetik Kayu manis
Sinamaldehid Antikarminativa,
spasmolitik, antimikroba
Lengkuas Kuersetin, kaemferol
Antimikroba, antioksidan
Sumber : 1 Malaysian Herbal Database 2003 2 Ketaren 1985
4. Potensi Tanaman Lengkuas
Tanaman lengkuas tergolong ke dalam tanaman obat yang potensial untuk dikembangkan karena luas panen yang besar dan produktivitasnya
yang tinggi. Tabel mengenai luas panen dan produktivitas tanaman lengkuas berturut-turut disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Luas Panen Tanaman Obat Biofarmaka di Indonesia Tahun 1999 - 2002
No KOMODITAS
LUAS PANEN TANAMAN OBAT m
2
, TAHUN 1999 2000 2001 2002
1 Jahe 77.269.296
76.135.306 85.090.013 66.102.436
2 Lengkuas
7.881.241 16.185.905
15.958.475 11.480.646
3 Kencur 8.098.144
12.829.624 12.166.828 8.547.922
4 Kunyit 11.791.045
17.894.238 18.292.769 16.840.783
5 Lempuyang 2.235.095
2.564.077 3.817.085 2.554.551
6 Temulawak 4.330.344
6.014.696 5.612.786 5.075.686
7 Temuireng 3.416.735
3.613.238 2.837.349 2.655.692
8 Kejibeling 747.905
685.542 847.975
608.894 9 Dringo
290.214 285.238
402.479 506.236
10 Kapulaga 3.013.050
3.504.163 3.268.544 4.855.309
Jumlah 119.073.069
139.712.027 148.294.303 119.228.155
Sumber : Dirjen Bina Produksi Hortikultura 2003 Tabel 4. Produktivitas Tanaman Obat Biofarmaka Tahun 1999 – 2002
No KOMODITAS
PRODUKTIVITAS TANAMAN OBAT Kgm
2
, TAHUN
1999 2000 2001 2002
1 Jahe 1,43
1,51 1,51
2 2
Lengkuas 1,51
1,70 1,64
2 3 Kencur
0,72 0,74
0,91 2
4 Kunyit 1,30
1,39 1,49
1 5 Lempuyang
1,60 1,75
1,26 2
6 Temulawak 1,07
0,94 1,08
1 7 Temuireng
0,54 0,79
0,59 1
8 Kejibeling 0,54
0,69 0,80
1 9 Dringo
0,71 0,49
0,28 1
10 Kapulaga 0,33
0,71 0,59
1 Jumlah
1,35 1,38
1,4 1,7
Sumber : Dirjen Bina Produksi Hortikultura 2003
5. Penggunaan Lengkuas
Lengkuas dikenal sebagai tanaman penghasil bahan pewangi dan penambah flavor masakan. Rimpang yang muda dan segar dapat
dimanfaatkan untuk mengawetkan masakan. Rimpang lengkuas yang berwarna putih pemanfaatannya banyak digunakan pada bidang pangan.
Rimpang lengkuas selama ini dikenal sebagai pengempuk daging dalam masakan dan digunakan sebagai salah satu rempah bagi berbagai jenis
bumbu masakan tradisional Indonesia Heyne, 1987.
Lengkuas yang biasanya digunakan untuk pengobatan adalah jenis lengkuas merah. Dalam farmakologi Cina dan pengobatan tradisional
lainnya disebutkan, lengkuas merah mempunyai sifat antijamur dan antikembung. Efek farmakologi ini umumnya diperoleh dari rimpang yang
mengandung basonin, eugenol, galangan dan galangol. Basonin dikenal memiliki efek merangsang semangat, eugenol sebagai antijamur C. albicans,
antikejang, analgetik, dan anastetik, galangan meredakan rasa lelah, meredakan rasa lelah dan antimutagenik, sementara galangol dapat
merangsang semangat dan menghangatkan tubuh Anonim, 2003.
Khasiat rimpang lengkuas juga sudah dibuktikan secara ilmiah melalui berbagai penelitian sebagai antijamur. Secara tradisional sejak zaman
dahulu, parutan rimpang lengkuas kerap digunakan sebagai obat penyakit kulit, terutama yang disebabkan oleh jamur seperti panu, kurap, eksim,
jerawat, koreng, bisul, dan sebagainya Anonim, 2000.
B. ANTIJAMUR
1. Pengertian
Menurut Ganiswara 1995, zat antijamur merupakan bahan yang dapat membasmi jamur pada umumnya, khususnya yang bersifat patogen
bagi manusia. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, senyawa antifungi dibagi atas fungisida dan fungistatik. Fungisida yaitu senyawa antijamur yang
mempunyai kemampuan untuk membunuh jamur sehingga dinding sel jamur menjadi hancur karena lisis, akibatnya jamur tidak dapat bereproduksi
kembali, meskipun kontak dengan obat telah dihentikan. Fungistatik yaitu senyawa antijamur yang mempunyai kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan jamur sehingga jumlah sel jamur yang hidup relatif tetap. Pertumbuhan jamur akan berlangsung kembali bila kontak dengan obat
dihentikan.
2. Cara Kerja
Menurut Ganiswara 1995, berdasarkan cara kerjanya, obat antijamur dibedakan menjadi 4 yaitu :
a Berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini mengakibatkan kebocoran membran sel, sehingga terjadi
kehilangan beberapa bahan intrasel dan menyebabkan kerusakan yang tetap pada sel jamur. Contoh: nistatin dan amfoterisin.
b Masuk kedalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminasi dan dalam sitoplasma akan bergabung dengan RNA setelah mengalami
deaminase menjadi 5-fluorourasil. Sintesis protein sel jamur terganggu akibat penghambatan langsung sintetis DNA oleh
metabolit fluorourasil. Contoh : flusitosin. c Menghambat mitosis jamur dengan mengikat protein mikrotubuler
dalam sel. Contoh : griseofulvin. d Menimbulkan gangguan terhadap sintesis asam nukleat atau
penimbunan peroksida dalam sel jamur sehingga terjadi kerusakan dinding sel yang mengakibatkan permeabilitas terhadap berbagai zat
intrasel meningkat. Contoh : imidazol mikonazol, klotrimazol.
3. Pengujian Aktivitas Antijamur
Pengujian aktivitas antijamur sama artinya dengan menentukan kerentanan jamur terhadap suatu zat antijamur. Beberapa faktor yang
mempengaruhi aktivitas antijamur in vitro antara lain adalah pH lingkungan, komponen media, stabilitas zat antijamur, ukuran inokulum, masa inkubasi,
dan aktivitas metabolisme mikroorganisme Asmaedy, 1991. Menurut Ganiswara 1995, metode pengujian aktivitas antijamur in vitro berdasarkan
prinsipnya dibagi menjadi : a Metode Difusi
Pada metode ini zat antijamur ditentukan aktivitasnya berdasarkan kemampuan berdifusi pada lempeng agar yang telah
diinokulasi dengan jamur uji. Dasar pengamatannya adalah dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan daerah bening yang tidak
memperlihatkan adanya pertumbuhan jamur yang terbentuk disekeliling zat antijamur. Metode ini dapat dilakukan dengan 2 cara
yaitu : a.1. Cara cakram disc
Pada cara ini dipergunakan cakram kertas saring yang mengandung suatu zat antijamur dengan kekuatan tertentu yang
diletakkan pada lempeng agar yang telah diinokulasi dengan jamur uji, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 7 sampai 14 hari. Pengamatan dilakukan terhadap daerah bening
yang terbentuk di sekeliling kertas cakram yang menunjukkan zona hambatan pertumbuhan jamur.
a.2. Cara sumur Pada lempeng agar yang telah diinokulasi oleh jamur uji
dibuat sebidang sumur. Sumur kemudian diisi dengan zat uji, diinkubasi 37
o
C selama 7 sampai 14 hari. Pengamatan dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan di sekeliling
sumur. b Metode Dilusi
Pada metode ini zat antijamur dicampur dengan media agar yang kemudian diinokulasi dengan jamur uji. Pengamatan dilakukan
dengan melihat tumbuh atau tidaknya jamur dalam media. Aktivitas zat antijamur ditentukan dengan melihat konsentrasi hambat
minimum KHM, yaitu konsentrasi hambatan terkecil dari zat antijamur yang dapat menghambat pertumbuhan jamur uji. Metode
ini dapat dilakukan dengan 2 cara : b.1. Cara penipisan lempeng agar
Pada cara ini, zat uji diencerkan sehingga diperoleh suatu larutan uji yang mengandung 100
μgmL, larutan ini sebagai larutan sediaan. Dari larutan sediaan dibuat secara serial
penipisan larutan uji dengan metode pengenceran kelipatan dua dalam media agar yang masih cair, kemudian dituang ke dalam
cawan petri. Jamur uji diinokulasikan setelah agar membeku dan
kering. Zat diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 7 sampai 14 hari. Aktivitas zat uji ditentukan sebagai KHM.
b.2. Cara pengenceran tabung Prinsip dari cara ini adalah penghambatan pertumbuhan
jamur dalam pembenihan cair oleh suatu zat antijamur yang dicampur ke dalam pembenihan. Zat uji diencerkan secara serial
dengan metode pengenceran kelipatan dua dalam media cair, kemudian diinokulasi dengan jamur uji dan diinkubasi pada suhu
37
o
C selama 7 sampai 14 hari. Aktivitas zat uji ditentukan sebagai KHM.
C. PENYAKIT KULIT YANG DISEBABKAN JAMUR
Penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur dapat bersifat mikosis sistemik ataupun mikosis lokal kulit. Mikosis sistemik yang mempengaruhi organ
internal dan viseral biasanya disebabkan oleh Candida albicans, Aspergillus fumigatus
, Cryptococcus, Torulopsis dan Mucor, sedangkan mikosis lokal yang mempengaruhi jaringan kutan biasanya disebabkan oleh jenis
Tricophyton mentagrophytes dan rubrum, Epidermophyton floccosum,
maupun Candida albicans Jungerman dan Robert, 1972. Mikosis lokal kulit dermatomikosis terjadi di seluruh dunia, dan jenis ini
adalah penyakit yang paling sering menginfeksi manusia. Badan kesehatan dunia WHO memperkirakan bahwa sekitar 20 dari total penduduk dunia
menderita penyakit ini, dan persentase ini bahkan lebih tinggi di daerah tropis dan subtropis. Sebagian besar dari infeksi ini disebabkan oleh jamur
dermatofit yang menginfeksi kulit, rambut dan kuku Allevato, 1999. Salah satu contoh mikosis lokal kulit adalah ringworm atau disebut juga
tinea . Ringworm biasanya menyerang tubuh ataupun wajah manusia. Penyakit
ini biasanya terjadi di daerah tropis dan menyerang laki-laki ataupun wanita dari berbagai usia. Ringworm terjadi akibat infeksi yang disebabkan oleh
jamur dari golongan dermatofit Al-Doory, 1980. Greenwood
et al . 1995 menyatakan bahwa jamur dari golongan
dermatofit menyerang permukaan rambut, kulit dan kuku. Jamur dari
golongan dermatofit menginfeksi dan hidup pada jaringan keratin yang mati, tepatnya pada lapisan paling atas dari epidermis. Ringworm dapat terjadi
melalui kontak secara langsung ataupun tidak langsung antara manusia dan hewan yang telah terinfeksi.
Studi lebih lanjut yang dilakukan Raymond Sabouraud pada tahun 1910 menunjukkan bahwa terdapat tiga genus jamur dermatofit yang merupakan
penyebab paling umum timbulnya ringworm, yaitu Microsporum, Tricophyton dan Epidermophyton Soltys, 1963. Selain itu, mikosis lokal kulit juga dapat
disebabkan oleh C. albicans yang menimbulkan penyakit kandidosis Al-Doory, 1980.
Genus Microsporum
meliputi beberapa spesies seperti M. canis, M. audouini
, M. gypseum, M. equinum. Genus Tricophyton meliputi T. mentagrophytes
, T. verrucosum, T. equinum, T. rubrum, T. schoenleini, T. tonsurans
, dan T. gallinæ. Dari genus Epidermophyton hanya terdapat E. floccosum
Soltys, 1963. 1. M. canis
M. canis termasuk fungi imperfecti deuteromycetes, tetapi stadium
seksual dari jamur ini telah ditemukan dan diberi nama Arthroderma otae. Pada medium agar Sabouraud, pertumbuhan koloni cepat, koloni berwarna
putih pada permukaan agar dan berwarna kuning pada sisi sebaliknya. Jamur ini membentuk banyak makrokonidia multiseluler dengan ukuran
10 – 150 μm yang terdiri dari 8 – 15 sel berdinding tebal yang biasanya
mempunyai ujung-ujung melengkung atau kail berduri. Jamur ini berbentuk kumparan dan terbentuk pada konidiospora khusus Jawetz,
1980. M. canis
merupakan penyebab penyakit tinea capitis, yaitu dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut. Kelainan ini ditandai dengan
kulit bersisik, kemerah-merahan, kebotakan dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat atau disebut kerion yaitu reaksi
peradangan yang berat, berupa pembengkakan yang menyerupai sarang lebah Dubos, 1948.
2. T. rubrum Jamur ini termasuk dalam famili Moniliaceae yang telah ditemukan
stadium seksualnya yang diberi nama Arthroderma simii. Pada medium agar Sabouraud, pertumbuhan koloninya lambat, koloni berwarna putih
seperti kapas pada permukaan agar dan berwarna merah pada sisi sebaliknya. Jamur ini mempunyai mikrokonidia berukuran 2 -5
μm yang berbentuk lonjong di sepanjang sisi-sisi hifa. Selain itu, jamur ini juga
tumbuh pada sisi lateral hifa dan berkelompok seperti pohon cemara Rippon, 1988.
Jamur ini menyebabkan penyakit tinea cruris yang menginfeksi jaringan antara jari-jari kaki dan lipatan paha. Pada daerah antara jari-jari
kaki, penderita mengalami gatal-gatal, kulit bersisik dan pecah-pecah. Dermatofitis pada lipatan paha dapat bersifat akut maupun menahun.
Kelainan kulit yang tampak pada paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Djuanda,
1987. 3. E. floccosum
Jamur ini termasuk fungi imperfecti dari familia Moniliaceae. Pada medium agar Sabouraud, sifat pertumbuhan koloninya lambat dan
koloninya berwarna putih yang kemudian akan berubah menjadi kehijauan. Pada genus ini hanya terbentuk mikrokonidia berbentuk
tongkat, terdiri dari 1 sampai 5 sel. Jamur ini juga merupakan penyebab penyakit tinea pedis dan tinea cruris. Jamur ini menyerang sel epidermis,
khususnya di daerah lipatan paha dan lipatan di bawah payudara. Selain itu jamur ini dapat juga menginfeksi jaringan di antara jari-jari kaki Djuanda,
1987. 4. T. mentagrophytes
Jamur ini termasuk famili Moniliaceae yang telah memiliki stadium seksual yang diberi nama Arthroderma vanbreu seghemii. Dalam biakan,
koloni jamur ini berkisar dari granular sampai serbuk, dan biasanya menunjukkan banyak kelompok mikrokonidia subsferis yang menyerupai
tangkai buah anggur pada cabang-cabang terminalnya. Koloni jamur ini
berbulu putih seperti kapas dan hanya sedikit mengandung makrokonidia berukuran 6 – 20
μm dengan 2 sampai 8 septa. Jamur ini merupakan penyebab penyakit tinea pedis. Jamur ini
menginfeksi jari-jari kaki dengan mula-mula terdapat rasa gatal antara jari- jari dan berkembang menjadi daerah maserasi vesikel yang terdapat pada
daerah antara jari dan meluas ke telapak kaki. Jika infeksi ini berlangsung lama, maka jamur ini juga akan menginfeksi kuku, dimana kuku menjadi
kuning, rapuh, tebal dan hancur Al-Doory, 1980. 5. C. albicans
C. albicans merupakan jamur yang seperti khamir, berbentuk oval,
memproduksi blastospora dan pseudomiselium dalam jaringannya, dan tumbuh pada temperatur ruang dan pada suhu 37
o
C. C. albicans merupakan flora umum yang terdapat dalam tubuh manusia, terutama pada
mulut dan saluran intestinal. C. albicans dapat menyebabkan infeksi membran mukosa pada mulut dan vagina, infeksi kulit, infeksi kuku, dan
infeksi sistemik Dubos, 1948.
D. SALEP unguentum