Rancangan Percobaan SARAN Daya Antijamur Ekstrak Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) dalam Sediaan Salep

C. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan dua faktor. Model rancangan tersebut adalah : Y ijk = μ + A i + B j + AB ij + εk ij Y ijk = peubah tanggap hasil pengamatan ke-k yang terjadi karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B. μ = rata-rata yang sebenarnya. A i = efek taraf ke-i faktor dasar salep B j = efek taraf ke-j faktor konsentrasi ekstrak lengkuas AB ij = efek interaksi antara taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B εk ij = efek unit percobaan ke-k dalam kombinasi perlakuan ij IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN

1. Analisis Mutu Bahan Baku

Lengkuas dikenal kaya akan kandungan bahan kimia. Lengkuas yang biasanya digunakan untuk pengobatan adalah jenis lengkuas merah Alpinia purpurata K Schum . Hasil penelitian Rahayu 2000 menunjukkan bahwa lengkuas merah memberikan daya antimikroba yang lebih tinggi dibandingkan dengan lengkuas putih untuk semua bakteri yang diuji yaitu rata-rata memberikan nilai KHM 16,9 mgml untuk lengkuas merah dibandingkan dengan 20,6 mgml untuk lengkuas putih. Dalam farmakologi Cina dan pengobatan tradisional lainnya disebutkan bahwa lengkuas merah memiliki sifat antijamur. Rimpang lengkuas yang telah diolah ke dalam bentuk simplisia haruslah memiliki mutu yang baik. Untuk mengetahui mutu simplisia maka dilakukan pengujian terhadap beberapa kriteria mutu seperti yang tercantum dalam Depkes RI 1978. Hasil pengujian terhadap mutu simplisia disajikan pada Tabel 7. Tampilan simplisia dapat dilihat pada Gambar 4. Data lengkap hasil analisis mutu bahan baku disajikan pada Lampiran 3. Gambar 4. Tampilan simplisia lengkuas merah Tabel 7. Hasil Analisis Mutu Simplisia Lengkuas Merah kadar bahan, bk Kandungan pada Bahan Bubuk Simplisia Lengkuas Merah Baku Mutu berdasarkan Depkes RI 1978 Kadar air bb 7,69 - Kadar abu 6,17 Maksimal 3,9 Kadar abu tidak larut dalam asam 2,88 Maksimal 3,7 Kadar sari larut dalam air 33,22 Minimal 5,2 Kadar sari larut dalam etanol 25,40 Minimal 1,7 Kadar minyak atsiri 0,66 Minimal 0,5 Keterangan : = rataan ulangan Kadar air yang terkandung dalam rimpang lengkuas segar sangat tinggi. Akibat kadar air yang tinggi ini maka bahan menjadi lebih mudah rusak ketika disimpan karena adanya pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan. Batas kadar air minimal dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14 – 15 Fardiaz et al., 1992. Voigt 1994 menambahkan bahwa kandungan air yang terlalu tinggi atau penyimpanan bahan yang terlalu basah dapat menyebabkan suatu perusakan mikrobial dari material tumbuhan. Penurunan kadar air hingga mencapai 7,69 melalui proses pengeringan dapat memperpanjang umur simpan bahan. Abu secara umum didefinisikan sebagai residu anorganik dari pembakaran bahan-bahan organik. Komponen-komponen yang umum terdapat pada senyawa anorganik alami adalah silikat, kalium, natrium, kalsium, magnesium, mangan, besi, dan lain-lain. Kadar abu merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya bahan anorganik yang ada didalam produk Apriyantono et al., 1989. Abu yang terbakar sempurna adalah abu yang sudah berwarna putih keabuan. Dari hasil analisis diketahui bahwa kadar abu bahan sebesar 6,17 dan lebih tinggi dari baku mutu yaitu maksimal 3,9. Kadar abu yang tinggi ini dapat disebabkan oleh tingginya kandungan mineral pada lahan tanam ataupun karena proses pemupukan yang baik selama di lahan. Pengujian kadar abu tidak larut asam dilakukan untuk melihat adanya kandungan mineral yang tidak larut dalam asam kuat HCl. Dari hasil pengujian diketahui bahwa kadar abu tidak larut asam bahan sesuai dengan ketentuan baku mutu maksimal 3,7, yaitu sebesar 2,88. Nilai kadar abu tidak larut asam yang relatif kecil dibanding baku mutu dapat disebabkan oleh proses pencucian dengan air pada bahan tersebut sehingga mineral menjadi berkurang. Menurut Voigt 1994, proses pendahuluan seperti pencucian dengan air secara berulang-ulang pada suatu bahan akan menyebabkan terlarutnya kandungan mineral dalam bahan tersebut oleh air pencuci sehingga kandungan mineralnya menjadi berkurang. Kadar sari yang terlarut dalam air atau alkohol menunjukkan adanya zat berkhasiat yang dapat terlarut dalam pelarut yang digunakan. Semakin tinggi kadar yang dihasilkan berarti semakin tinggi pula kandungan zat berkhasiatnya Gaman dan Sherrington, 1992. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kandungan zat berkhasiat, terutama faktor agronomis seperti ketinggian tempat, kelembaban, suhu, dan jenis tanah Gupta, 1999. Nilai kadar sari larut dalam air bahan yaitu sebesar 33,22 dan telah sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan yaitu minimal 5,2, sedangkan nilai kadar sari larut dalam alkohol bahan yaitu sebesar 25,40 dan juga telah sesuai dengan baku mutu yaitu minimal dengan 1,7. Nilai kadar sari larut dalam air yang lebih besar menunjukkan bahwa zat-zat berkhasiat yang berada didalam lengkuas dapat larut dengan lebih baik didalam air dibandingkan didalam alkohol. Air sebagai pelarut dapat menarik lendir, amina, vitamin, asam organik, asam anorganik, ataupun bahan pengotor. Menurut Wills dan Stuart 2001, dalam setiap jenis tanaman, metabolit sekunder biasanya berperan sebagai zat berkhasiat, dan akan berkorelasi positif dengan umur tanaman. Sebagai contoh pada ginseng, kadar saponinnya akan meningkat dengan meningkatnya umur tanaman. Kadar minyak atsiri bahan yaitu sebesar 0,66 dan telah sesuai baku mutu meski hanya berada sedikit diatas batas yang ditetapkan yaitu lebih dari 0,5. Rimpang lengkuas seharusnya mengandung lebih kurang 1 minyak atsiri berwarna kuning kehijauan yang terutama terdiri dari metil sinamat 48, sineol 20 - 30, eugenol, kamfer 1, seskuiterpen, -pinen, dan galangin. Nilai kadar minyak atsiri yang rendah ini disebabkan oleh waktu penyulingan yang relatif cepat yaitu 3 jam. Hal ini disebabkan tekstur bahan yang terlalu halus akibat penggilingan sehingga terjadi penggumpalan yang menghambat penetrasi uap. Akibatnya penetrasi uap hanya terjadi di beberapa bagian tumpukan, dan sebagian uap lainnya akan lolos membentuk jalur uap. Selain itu, rendahnya rendemen minyak atsiri karena pada awal penyulingan, uap yang terbentuk akan mengembun, dan membasahi bahan yang akan di suling. Pembasahan ini akan berlangsung terus sampai suhu di setiap bagian bahan sama dengan titik didih air pada tekanan tertentu. Pembasahan yang berkelanjutan mengakibatkan terbentuknya gumpalan, sehingga rendemen minyak yang dihasilkan rendah. Menurut Ketaren 1985, kadar minyak atsiri yang dihasilkan tergantung dari cara pengolahan sebelum disuling, umur dan varietas serta sistem penyulingan yang digunakan.

2. Ekstraksi

Zat antijamur dari lengkuas merah diperoleh dengan proses ekstraksi. Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan. Gaya yang bekerja dalam proses ekstraksi adalah akibat dari adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan ekstraksi di luar sel. Bahan pelarut yang mengalir ke dalam ruang sel akan menyebabkan protoplasma membengkak, dan bahan kandungan sel akan terlarut sesuai dengan kelarutannya Voigt, 1994. Proses ekstraksi yang dilakukan adalah dengan maserasi. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana karena bahan yang akan diekstrak cukup dilarutkan di dalam pelarut pada perbandingan tertentu. Lamanya maserasi berbeda-beda tergantung pada sifat bahan dan pelarut. Lamanya harus cukup agar pelarut dapat memasuki protoplasma dengan sempurna sehingga mampu melarutkan semua zat yang diinginkan untuk terekstrak. Pada penelitian ini digunakan perbandingan bahan dengan pelarut yaitu 1 : 3, sedangkan lama maserasi adalah satu hari dengan perendaman ulang terhadap residu selama satu hari lagi. Keberhasilan proses ekstraksi ditentukan oleh jenis pelarut yang digunakan. Jenis pelarut yang digunakan harus dipilih berdasarkan kemampuan dalam melarutkan zat-zat aktif yang diinginkan tanpa mengikutsertakan unsur-unsur yang tidak diinginkan. Pelarut yang digunakan dalam penelitian adalah etanol 96. Hal ini karena etanol dapat mengekstrak seluruh bahan aktif yang terkandung dalam lengkuas, terutama yang memiliki sifat antijamur. Winholz et al. 1983 menyatakan bahwa komponen antijamur sebagian besar dapat larut dalam alkohol, seperti galangin, eugenol, kaemferol, dan kuersetin. Voigt 1994 juga menyatakan bahwa etanol sangat sering menghasilkan suatu hasil bahan aktif yang optimal, dimana bahan pengotor hanya dalam skala kecil turut dalam cairan pengekstraksi. Jenis pelarut dan jenis bahan yang diekstrak mempengaruhi warna ekstrak yang dihasilkan tetapi tidak mempengaruhi baunya. Hal ini membuktikan bahwa pelarut uji yang digunakan telah menguap sempurna. Ekstrak yang dihasilkan memiliki warna coklat pekat dengan bau khas lengkuas. Ekstrak yang diperoleh merupakan ekstrak kasar berbentuk pasta. Rendemen ekstrak yang diperoleh adalah sebesar 7,63 dengan kadar air sebesar 70,21. Rendemen ekstrak menggambarkan besarnya bahan yang dapat ditarik oleh etanol, dimana bahan-bahan tersebut antara lain alkaloid, glikosida, minyak atsiri, asam organik, garam anorganik, lemak dan resin. Tampilan ekstrak yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Ekstrak etanol lengkuas merah

3. Penentuan Jamur Uji Terbaik

Pada penentuan jamur uji terbaik diketahui bahwa M. Canis dan T. mentagrophytes dapat dihambat dengan baik oleh ekstrak lengkuas dengan konsentrasi 5. Hal ini didasarkan pada nilai diameter zona hambatan yang dihasilkan, yaitu di atas 6 mm. Namun, konsentrasi ekstrak 5 tidak dapat menghambat dengan baik pertumbuhan C. albicans dan T. rubrum karena nilai diameter zona hambatan di bawah 6 mm. Ekstrak lengkuas dengan konsentrasi 5 belum dapat dikatakan memiliki sifat antijamur untuk C. albicans dan T. rubrum. Nilai diameter zona hambatan ekstrak lengkuas terhadap masing-masing jamur uji dapat dilihat pada Tabel 8. Zona hambatan masing-masing jamur dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka jamur M. canis dan T. mentagrophytes digunakan dalam penelitian utama. Morfologi T. mentagrophytes dan M. canis dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7. Tabel 8. Diameter Zona Hambatan pada Konsentrasi Ekstrak Lengkuas 5 Diameter Hambatan mm Basis Salep Jamur Uji ow wo D1 D2 D3 Rata-rata mm D1 D2 D3 Rata-rata mm CA 3 3 3 3 ± 0,00 3 3 3 3 ± 0,00 TM 34 35 35 34,67 ± 0,22 33 34 32 33 ± 0,67 TR 3 3 3 3 ± 0,00 3 3 3 3 ± 0,00 MC 39 39 40 39,33 ± 0,22 38 38 38 38 ± 0,00 Keterangan : CA = C. albicans TM = T. mentagrophytes TR = T. rubrum MC = M. canis a b Gambar 6. Morfologi koloni a dan morfologi mikroskopis b T. mentagrophytes a b Gambar 7. Morfologi koloni a dan morfologi mikroskopis b M. canis

4. Penentuan Rentang Konsentrasi Hambatan

Rentang nilai konsentrasi hambatan ditentukan dengan mencoba ekstrak dalam berbagai variasi konsentrasi ekstrak lengkuas. Penentuan rentang nilai ini dilakukan untuk menentukan batas bawah dan batas atas faktor perlakuan yang dapat memberikan diameter zona hambatan terbaik terhadap M. canis dan T. mentagrophytes. Dari hasil pengujian diperoleh bahwa jamur sudah dapat terhambat pada konsentrasi minimal untuk menghambat pertumbuhan T. mentagrophytes dan M. canis adalah 0,5 dan 0,3, dan pada konsentrasi 10 dan 5 diperoleh nilai diameter hambatan maksimum untuk T. mentagrophytes dan M. canis . Meskipun konsentrasi dinaikkan lebih tinggi, maka tidak akan diperoleh nilai diameter hambatan yang berbeda nyata. Rentang konsentrasi yang dicobakan pada pengujian efektifitas salep antijamur adalah 0,5, 1, 3, 5, 7, dan 10 untuk T. mentagrophytes, serta 0,3, 0,5, 1, 3, dan 5 untuk M. canis.

B. PENELITIAN UTAMA

1. Daya Antijamur

Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas senyawa antijamur antara lain konsentrasi senyawa antijamur, jenis, umur, jumlah dan latar belakang jamur, suhu, waktu, dan sifat fisik serta kimia. Efektivitas senyawa antijamur dapat diukur dengan melihat kerentanan jamur uji terhadap bahan yang diberikan. Salah satu cara uji untuk mengukur kerentanan tersebut adalah dengan difusi obat. Metode ini dilakukan dengan prinsip menginokulasikan biakan jamur di atas agar padat pada cawan petri, kemudian bahan yang mengandung senyawa antijamur diujikan pada permukaan medium untuk memastikan apakah bahan tersebut dapat mencegah atau mematikan pertumbuhan jamur. Salah satu cara yang paling umum digunakan adalah dengan membuat lubang-lubang di atas agar, yang kedalamnya diisikan bahan dengan konsentrasi yang berbeda-beda Volk dan Wheeler, 1988. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa untuk kedua jamur uji nilai diameter hambatan cenderung meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak lengkuas merah di dalam sediaan salep. Hal ini dikarenakan, semakin tinggi konsentrasi yang diberikan maka kandungan bahan aktif didalamnya juga akan semakin tinggi, sehingga efektivitasnya dalam menghambat pertumbuhan jamur akan semakin baik pula. Nilai rata- rata diameter hambatan T. mentagrophytes dan M. canis serta kecenderungannya untuk meningkat dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. Data lengkap hasil pengukuran diameter hambatan dapat dilihat pada Lampiran 5. 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0.5 1 3 5 7 10 Konsentrasi Diam e te r Ha m b atan m m ow wo Gambar 8. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas dalam dua dasar salep terhadap diameter hambatan T. mentagrophytes 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0.3 0.5 1 3 5 Konsentrasi Diam eter Ham b ata n m m ow wo Gambar 9. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas dalam dua dasar salep terhadap diameter hambatan M. canis Berdasarkan hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 6, untuk jamur T. mentagrophytes dan M. canis, hanya faktor konsentrasi ekstrak yang memberikan hasil berbeda nyata terhadap nilai diameter hambatan, sedangkan faktor dasar salep memberikan hasil yang tidak nyata. Meskipun dari grafik terlihat bahwa ekstrak dalam dasar salep ow memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dalam dasar salep wo, hasil analisis ragam yang tidak nyata menunjukkan bahwa kedua dasar salep dapat digunakan sebagai pengantar bahan aktif yang baik untuk menekan pertumbuhan kedua jamur uji. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada α = 0,05 seluruh taraf konsentrasi memberikan hasil berbeda nyata terhadap nilai diameter hambatan kedua jamur. Tingkat kerentanan yang berbeda terhadap efektivitas salep antijamur yang diberikan juga ditunjukkan oleh kedua jamur uji. M. canis dikatakan lebih sensitif terhadap bahan aktif di dalam salep antijamur dibandingkan dengan T. mentagrophytes karena memberikan nilai diameter hambat minimal dan sudah terhambat secara maksimal pada konsentrasi yang jauh lebih rendah. Hal ini disimpulkan dengan cara membandingkan nilai diameter hambatan kedua jamur pada taraf konsentrasi yang sama, dan dari perbandingan diperoleh bahwa untuk tiap-tiap taraf konsentrasi dalam tiap dasar salep, M. canis selalu memberikan nilai diameter hambatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan T. mentagrophytes. Menurut Soltys 1963, T. mentagrophytes memiliki dinding spora yang tipis dan fase pertumbuhannya sangat cepat, sedangkan M. canis memiliki dinding spora yang tebal dan fase pertumbuhannya lambat. Horsfall 1956 menyatakan bahwa kecepatan germinasi spora juga berpengaruh terhadap daya antijamur. Griffin 1981 menambahkan bahwa, jamur yang mampu bergerminasi dengan cepat akan lebih sulit dihambat pertumbuhannya oleh zat antijamur dibandingkan dengan jamur yang bergerminasi lambat. M. canis , meskipun memiliki dinding spora yang tebal untuk dapat dimasuki senyawa antijamur namun karena fase germinasi sporanya yang lebih lambat dibandingkan T. mentagrophytes mengakibatkan kecepatan senyawa antijamur lebih dulu berpenetrasi kedalam sel sebelum spora bergerminasi. Hal ini menyebabkan, M. canis dapat terhambat lebih baik dibandingkan dengan T. mentagrophytes. Perbandingan nilai diameter hambatan ini dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Tampilan zona hambatan T. mentagrophytes dan M. canis disajikan pada Lampiran 7. 5 10 15 20 25 30 35 40 45 1 2 3 4 5 6 Konsentrasi D iamet er H a mb at an mm TM ow MC ow Gambar 10. Grafik perbandingan nilai diameter hambatan T. mentagrophytes dan M. canis pada konsentrasi ekstrak 0,5, 1, 3 dan 5 dalam dasar salep ow 5 10 15 20 25 30 35 40 45 1 2 3 4 5 6 Konsentrasi D iam e ter H a m b a tan m m TM wo MC wo Gambar 11. Grafik perbandingan nilai diameter hambatan T. mentagrophytes dan M. canis pada konsentrasi ekstrak 0,5, 1, 3 dan 5 dalam dasar salep wo Salep antijamur yang mengandung bahan aktif ekstrak lengkuas didalamnya bekerja dengan menimbulkan ketidakteraturan membran sitoplasma jamur. Menurut Siswandono dan Soekarjo 2000, senyawa antijamur dan asam lemak tidak jenuh, suatu komponen membran jamur, dapat membentuk interaksi hidrofob, mengubah permeabilitas membran dan fungsi pengangkutan senyawa esensial, menyebabkan ketidakseimbangan metabolik sehingga menghambat pertumbuhan atau menimbulkan kematian sel jamur. Senyawa aktif antijamur yang berasal dari lengkuas bersifat polar. Senyawa ini mampu berikatan dengan asam amino dari protein membentuk produk konjugasi yang bersifat hidrofilik Doerge, 1982. Produk konjugasi yang terbentuk akan menghambat metabolisme sel karena senyawa yang terbentuk mengubah struktur asam amino yang fungsi awalnya adalah untuk metabolisme sel. Rumus bangun bahan aktif antijamur dalam lengkuas merah dapat dilihat pada Gambar 12. Membran sitoplasma tersusun terutama dari protein dan lemak; karena itu, membran khususnya bersifat rentan terhadap bahan yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Kerusakan pada membran ini memungkinkan ion anorganik yang penting, nukleotida, koenzim dan asam amino merembes keluar sel. Selain itu, kerusakan membran juga dapat mencegah masuknya bahan-bahan penting ke dalam sel. Senyawa antijamur di dalam lengkuas mampu menurunkan tegangan permukaan karena memiliki grup lipofil dan hidrofil dalam molekulnya. Menurut Voigt 1994, yang termasuk grup hidrofil antara lain gugus hidroksil, gugus karboksil, gugus karboksil dengan kation bervalensi satu, gugus sulfat, gugus sulfat dengan kation bervalensi satu, gugus sulfonat, gugus sulfonat dengan kation bervalensi satu, gugus amino, gugus amino tersubstitusi, dan ikatan ganda karbon. Grup lipofil antara lain adalah rantai karbon, cincin karbon, dan grup karboksil dengan kation bervalensi dua. Di dalam bahan aktif antijamur dari lengkuas, yang merupakan grup hidrofil adalah gugus hidroksil -OH, sedangkan cincin karbon merupakan grup lipofil. -O OH OH O HO O OH OH OH O O HO OH OH OH OH O A Eugenol B Kaempferol C Quercetin D Galangin Gambar 12. Rumus bangun senyawa aktif antijamur dalam lengkuas merah

2. pH Sediaan

Derajat keasaman suatu produk ditunjukkan oleh nilai pH produk tersebut. Kadar keasaman atau pH sediaan topikal harus sesuai dengan pH penerimaan kulit. Kulit manusia mempunyai pH 4,0 – 5,6, sehingga sediaan topikal dengan pH lebih besar atau lebih kecil dari pH kulit ada kemungkinan dapat menyebabkan iritasi Harry, 1975. Nilai rata-rata pH salep dengan jenis ow berada pada kisaran 4,25 -5,45. Nilai ini sesuai dengan pH kulit sehingga cocok digunakan pada kulit. pH salep jenis wo berada pada kisaran 7,7 – 9,2, nilai ini melebihi pH kulit sehingga bila digunakan produk dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Hasil pengukuran pH sediaan disajikan pada Lampiran 8. Konsentrasi ekstrak lengkuas dan tipe salep berpengaruh nyata terhadap nilai pH produk. Hal ini disebabkan penambahan ekstrak berbanding terbalik dengan penambahan air, yang berakibat pada penurunan nilai pH. Penurunan ini dikarenakan berkurangnya jumlah air yang digunakan dalam pembuatan produk akibat penambahan ekstrak lengkuas yang juga merupakan fase air. OH OCH 3 CH 2 CH=CH 2 Semakin besar konsentrasi yang digunakan maka semakin kecil pula jumlah air yang ditambahkan. Pengurangan air inilah yang menyebabkan produk semakin bersifat asam.Tipe salep berpengaruh nyata terhadap nilai pH karena pada masing-masing dasar salep, ow dan wo terdapat perbedaan kandungan air. Dasar salep ow mengandung air dalam jumlah yang besar, sedangkan dasar salep wo mengandung miyak dalam jumlah besar, sehingga nilai pH untuk dasar salep ow selalu lebih rendah dibandingkan wo karena air bersifat lebih asam dibandingkan minyak. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada α = 0,05 seluruh konsentrasi memberikan hasil yang berbeda nyata. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 9. Penurunan pH produk akibat peningkatan konsentrasi ekstrak disajikan pada Gambar 13. 2 4 6 8 10 0.3 0.5 1 3 5 7 10 Konsentrasi ekstrak pH ow wo Gambar 13. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas terhadap nilai pH Produk

3. Stabilitas Emulsi

Stabilitas atau kestabilan suatu emulsi merupakan salah satu karakter terpenting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi. Stabilitas emulsi akan berpengaruh terhadap daya simpan sistem emulsi tersebut. Emulsi yang baik tidak membentuk lapisan-lapisan dan memiliki konsistensi yang tetap Suryani et al., 2002. Nilai rata-rata stabilitas emulsi jenis ow 54,46 - 87,61 lebih kecil dibandingkan dengan stabilitas emulsi jenis wo 93,17 - 97,40. Voigt 1994 menyatakan bahwa salep jenis wo pada umumnya benar-benar stabil. Kandungan air pun tidak boleh melampaui 60, karena dapat menyebabkan suatu aliran bersama dari fase sebelah dalam. Hasil pengukuran stabilitas emulsi disajikan pada Lampiran 10. Konsentrasi ekstrak dan tipe salep berpengaruh nyata terhadap stabilitas emulsi. Peningkatan konsentrasi ekstrak dalam sediaan salep dapat menyebabkan penurunan nilai stabilitas emulsi. Hal ini diakibatkan oleh sifat ekstrak lengkuas yang tidak stabil terhadap panas, akibat komponen volatil yang terkandung didalamnya, sehingga penambahan ekstrak lengkuas ke dalam sistem emulsi dapat menyebabkan ketidakstabilan sistem emulsi. Dasar salep berpengaruh terhadap nilai stabilitas emulsi karena sifat dari masing-masing dasar salep yang berbeda. Dasar salep ow memiliki nilai stabilitas yang lebih rendah karena tingginya kandungan air 65 bb, sehingga dapat menyebabkan reaksi hidrolitik yang dapat menyebabkan kerusakan pada sistem emulsi. Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa pada α = 0,05, hanya konsentrasi 0,3 dan 0,5 yang tidak berbeda nyata sedangkan konsentrasi lainnya berbeda nyata. Hal tersebut dikarenakan, kenaikan konsentrasi yang sangat kecil dari 0,3 ke 0,5 tidak menimbulkan ketidakstabilan sistem emulsi. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 11. Penampakan salep dapat dilihat pada Lampiran 12. Berikut ini grafik penurunan nilai stabilitas emulsi akibat peningkatan konsentrasi ekstrak. 20 40 60 80 100 120 0.3 0.5 1 3 5 7 10 Konsentrasi Ekstrak St abi li tas Em ul si ow wo Gambar 14. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak terhadap nilai stabilitas emulsi

V. KESIMPULAN DAN SARAN A.

KESIMPULAN Rimpang lengkuas merah memiliki potensi sebagai bahan antijamur. Ekstrak etanol lengkuas merah 5 mampu menghambat pertumbuhan T. mentagrophytes dan M. canis, namun tidak dapat efektif menghambat pertumbuhan T. rubrum dan C. albicans. Rentang konsentrasi ekstrak untuk menghambat pertumbuhan T. mentagrophytes adalah 0,5 - 10 , sedangkan untuk M. canis adalah 0,3 - 5. M. canis lebih sensitif terhadap ekstrak dibandingkan T. mentagrophytes karena memiliki nilai diameter hambatan yang lebih tinggi pada taraf konsentrasi yang sama. Nilai diameter hambatan hanya dipengaruhi oleh konsentrasi ekstrak. Jenis salep ow memiliki pH yang dapat diterima oleh kulit yaitu 4,25 – 5,45, dan nilai stabilitas emulsinya berada pada kisaran 54,46 - 87,61. pH salep wo adalah 7,7 – 9,2, sehingga tidak cocok untuk digunakan pada kulit karena dapat menimbulkan iritasi. Stabilitas emulsi salep wo ada dikisaran 93,17 - 97,40. Nilai pH sediaan dan stabilitas emulsi dipengaruhi oleh konsentrasi ekstrak dan dasar salep. Salep terbaik adalah dasar salep ow dengan penambahan ekstrak 0,5 karena mampu memberikan nilai diameter hambatan, pH, dan stabilitas emulsi yang saling berkesesuaian yaitu 6,33 – 7,67 mm, 5,15, dan 85,2.

B. SARAN

1. Pengujian daya antijamur dari ekstrak lengkuas merah terhadap jamur lain yang dapat menyebabkan penyakit kulit pada manusia seperti E. floccosum dan Microsporum aoudinii. 2. Pengujian terhadap umur simpan salep, dan pengaruhnya terhadap daya antijamur. DAFTAR PUSTAKA Al-Doory, Y. 1980. Laboratory Medical Mycology. Lea and Febiger, Philadelphia : 219, 223, 229, 232, 234, 260. Allevato, M.A.J. 1999. Dermatomycosis: A Multifactorial Disease Didalam Hydroxy-Pyridones as Antifungal Agents with Special Emphasis on Onychomycosis, Springer, Germany : 39 – 42. Anonim. 1955. The National Formulary. Tenth Ed. American Pharmaceutical Association, Washington D.C : 1692. Anonim. 1999. Lengkuas. Didalam www.iptek.net.idindcakra_obat. Anonim. 2000. Alpinia galanga L. Sw. Didalam www.plants.usda.govcgi_bin. Anonim. 2000. Alpinia galangal L. Willd Didalam www.warintek.apjii.or.idartikelttg_tanaman_obatunas. Anonim. 2003. Antijamur dan Antikembung. Didalam www.republica.co.idsuplemencetak_detail.asp, 10 Juni 2003. Anonim. 1996. Ointments: Preparation and Evaluation of Drug Release. Didalam www.pharmlabs.unc.eduointmentstext.htm, 2005 Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI-Press, Jakarta : 508 - 510. Apriyantono.A, D. Fardiaz, N.L.Puspitasari, dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor : 42. Asmaedy, S. 1991. Uji Mikroorganisme terhadap Lengkuas yang Digunakan sebagai Antijamur. Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang : 14 – 35. Depkes RI. 1978. Materia Medika Indonesia II. Depkes R I, Jakarta : 48 – 54. Depkes RI. 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Depkes RI, Dirjen POM, Jakarta : 56. Dirjen Bina Produksi Hortikultura. 2003. Produktivitas Tanaman Lengkuas Di dalam www.deptan.go.id Djuanda, A. 1987. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta : 78 – 82. Doerge, R.F. 1982. Kimia Farmasi dan Medisinal Organik. J.B.Lippincott Company, USA : 55 – 56. Dubos, R. J. 1948. Bacterial and Mycotic Infections of Man. J.B.Lippincott Company Publishers, USA : 1115. Fardiaz, D, N. Andarwulan, H. Wijaya, dan N.L.Puspitasari. 1992. Teknik Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor : 20. Farrell, K.T. 1990. Spice, Condiments, and Seasoning 2 nd ed. Van Nostrand Reinhold, New York : 264. Gaman, P. M. dan K. B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta : 128. Ganiswara, S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta : 560 – 570. Greenwood, D, Richard, C.B.S, dan John, F.P. 1995. Medical Microbiology 14 th Ed. Churchill Livingstone, Edinburgh : 320. Griffin, D.H. 1981. Fungal Physiology. John Wiley and Sons, Inc, USA : 242 – 243. Gupta, S.S. 1999. Prospects and Prospectives of Natural Plants Products in Medicine. Indian Journal of Pharmacology Didalam Buletin Penelitian Tanaman Perkebunan, Bogor. Harry, R.G. 1975. Harry’s Cosmetology : The Principles and Practice of Modern Cosmetic. 6 th ed. Leonard Hill Book, London : 19. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Terjemahan. Balitbang Kehutanan. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta: 70 -71. Himawati, E.R dan Tristiana Erawati. 2003. Pengembangan Formulasi Minyak Cengkeh sebagai Counter Irritant dalam Beberapa Sediaan Topikal. Majalah Farmasi Airlangga, Vol.3. No.3. Desember 2003, Surabaya : 1 – 4. Horsfall, J.G. 1956. Principles of Fungicidal Action. Chronica Botanica Company, USA : 47. Jawetz, E. 1980. Review of Medical Mycology. Lange Medical Publications, California : 123 – 124, 366 – 372. Jenkins, G.L, Don E. F, Edward, A.B, Glen J,S. 1957. The Art of Compounding. Mac Graw-Hill Book Company, Inc, New York : 339 – 350. Jungerman, P.F dan Robert, M.S. 1972. Veterinary Medical Mycology. Lea and Febiger, Philadelpihia : 3 – 21. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. PN Balai Pustaka, Jakarta : 64, 249, 307, 365. Malaysian Herbal Database. 2003. Herbal Database Didalam www.content.nhiondemand.commohmediamonoherb. Mc Vicar, J. 1994. Jekka’s Complete Herb Book. Kyle Cathie Limited, London : 83. Mulyaningsih, S. 1996. Uji Daya Antifungi dan Analisis Kromatografi Gas Spektroskopi Massa Minyak Atsiri Laos Merah. Jur. Farmasi FMIPA UNPAD, Bandung Di dalam Rahayu, W. P. 2000. Kajian Aktivitas dan Produksi Komponen Antimikroba dari Rimpang Lengkuas. FATETA IPB, Bogor : 5. Rahayu, W. P. 2000. Kajian Aktivitas dan Produksi Komponen Antimikroba dari Rimpang Lengkuas. FATETA IPB, Bogor : 26. Rippon, J.W. 1988. Medical Mycology. W.B Saunders Company, London : 241 – 257. Rosdiyati, D. 1980. Analisis dan Penyimpanan Rhizoma Laos. Skripsi AKA. Departemen Perindustrian, Bogor Di dalam Kholid, A. 2000. Teknik Ekstraksi Komponen Antimikroba dari Rimpang Lengkuas. FATETA IPB, Bogor : 4. Siswandono dan Soekarjo. 2000. Kimia Medisinal 2. Airlangga University Press, Surabaya : 71. Shelef, L. A. 1983. Antimicrobial Effects of Spices. J. Food Safety 61:29-40. Soltys, M.A. 1963. Bacteria and Fungi Pathogenic to Man and Animals. Bailliere Tindall and Cox, London : 461- 463. Suryani, A, I. Sailah, E. Hambali. 2002. Teknologi Emulsi. Jurusan TIN IPB, Bogor : 35, 154. Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta : 563, 564, Volk dan Wheeler. 1988. Mikrobiologi Dasar. Penerbit Erlangga, Jakarta : 266. Wills, R.B.H dan Stuart, D.L. 2001. Production of High Quality Australian Ginseng Di dalam www.rirdc.gov.aureports : 23 -24. Windholz, M. Budavari, S. Blumetti, R.F. Ottertein. 1983. The Merck Index. Tenth Ed. Encyclopedia of Chemicals, Drugs, and Biologicals. Merck Co., Inc. Rahway, N.J., USA : 3854, 4209, 5112, 7936. Lampiran 1. Tata Cara Analisis Bubuk Lengkuas Merah • Uji Kadar Air Voigt, 1994 Ke dalam labu 500 ml, dimasukkan bahan secukupnya, sehingga menghasilkan 2 – 4 ml air. Ditambahkan dalam labu kira-kira 200 ml toluen dan juga di dalam perangkat penerima, dituangkan toluen lewat mulut atas kondensor. Labu suling di panaskan perlahan-lahan sampai toluen mendidih. Jika jumlah air tidak bertambah lagi, penyulingan dilanjutkan selama 15 menit. Selanjutnya penyulingan dihentikan, dan alat dibiarkan sampai dingin. Jika air dan toluen telah terpisah secara sempurna, volume dan persentase air dalam bahan dihitung. • Kadar Abu Depkes RI, 1978 Lebih kurang 2 g sampai 3 g zat yang telah digerus dan ditimbang dimasukkan ke dalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, kemudian diratakan. Zat kemudian dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, kemudian didinginkan dan ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, maka ditambahkan air panas dan disaring melalui kertas saring bebas abu. Sisa zat dan kertas saring dipijarkan kembali dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan kedalam krus dan diuapkan, kemudian dipijarkan hingga bobot tetap dan ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara. • Kadar Abu tidak Larut Asam Depkes RI, 1978 Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam klorida encer P selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan. Bagian yang telah dikumpulkan disaring melalui kertas saring kemudian dicuci dengan air panas dan setelah itu dipijarkan kembali hingga bobot tetap lalu ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. • Kadar Sari yang Larut dalam Air Depkes RI, 1978 Serbuk yang akan dianalisa dikeringkan di udara, kemudian 5 g serbuk di maserasi dengan 100 ml air menggunakan labu bersumbat selama 24 jam sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Setelah itu dilakukan penyaringan, sebanyak 20 ml filtrat yang diperoleh diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, sisa dipanaskan pada suhu 105 ○ C hingga bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. • Kadar Sari yang Larut dalam Etanol Depkes RI, 1978 Serbuk yang akan dianalisis dikeringkan di udara, kemudian 5 g serbuk di maserasi dengan 100 ml etanol 95 menggunakan labu bersumbat selama 24 jam sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Setelah itu dilakukan penyaringan cepat untuk menghindarkan penguapan etanol 95, sebanyak 20 ml filtrat yang diperoleh diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, sisa dipanaskan pada suhu 105 ○ C hingga bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam etanol 95 dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. • Kadar Minyak Atsiri Depkes RI, 1978 Bahan yang akan diperiksa dicampur dengan cairan penyuling kemudian dilakukan pemasangan alat dan buret diisi hingga penuh, setelah itu dilakukan pemanasan dengan tangas udara sehingga penyulingan berlangsung secara lambat tapi teratur. Setelah penyulingan selesai, biarkan selama tidak kurang dari 15 menit kemudian dilakukan pencatatan volume minyak atsiri pada buret. Kadar minyak atsiri dihitung dalam vb. Lampiran 2. Tata Cara Analisis Sifat Fisik Salep • Stabilitas emulsi Suryani, 2002 Sejumlah bahan emulsi yang sudah ditimbang dimasukkan pada wadah. Wadah dan bahan tersebut dimasukkan dalam oven dengan suhu 45 o C selama 1 jam kemudian dimasukkan dalam pendingin bersuhu di bawah 0 o C selama 1 jam, lalu dipanaskan dalam oven dengan suhu 45 o C dan dibiarkan sampai beratnya konstan. Stabilitas emulsi dapat dihitung berdasarkan rumus berikut : SE = bobot fase yang tersisa x 100 bobot total bahan emulsi • pH sediaan Sebanyak satu gram bahan dimasukkan kedalam gelas piala, dilarutkan dalam 10 ml aquades dan didiamkan selama 30 menit, kemudian diukur derajat keasamannya dengan pH meter. Lampiran 3. Hasil Analisis Mutu Bahan Baku • Kadar Air Simplisia Lengkuas metode destilasi ml air = 0,8 x 100 g contoh 10,4 = 7,69 • Kadar Minyak Atsiri Lengkuas Bobot Simplisia = 755,29 g Volume minyak atsiri = 5 ml Kadar m.atsiri = 5 x 100 755,29 = 0,66 Kadar Abu Simplisia Lengkuas Kode B.cawan gram B.cwn + contoh gram B.contoh gram B.cawan akhir gram B.contoh akhir gram Kadar Abu BK 1 22,4633 24,5624 2,0991 22,5893 0.1260 6,50 2 16,2863 18.4556 2,1693 16,4038 0,1175 5,87 ULANGAN 11 22,5089 24,7060 2.1971 22,6389 0,1300 6,43 22 19,1358 21,4179 2,2821 19,2598 0,1240 5,80 Kadar Abu tak Larut Asam Kode B.cawan gram B.cawan + abu gram B.cawan+abu tak larut asam gram B. abu tak larut asam gram K.Abu tak Larut Asam BK 1 22,4633 22,5893 22,5223 0,0590 3,04 2 16,2863 16,4038 16,3445 0,0582 2,90 ULANGAN 11 22,5089 22,6389 22,5556 0,0467 2,30 22 19,1358 19,2598 19,1988 0,0630 2,99 Lampiran 3 lanjutan Kadar Sari Larut dalam Air Simplisia Lengkuas Kode B.contoh gram B.cawan gram B.cawan akhir gram B.contoh akhir gram Kadar Sari BK 1 5,0167 20,6220 20,9594 0,3374 36,45 2 5,0167 24,0607 24,3865 0,3258 35,15 ULANGAN 11 5,0004 20,9247 21,2422 0,3175 32,95 22 5,0004 24,7627 25,0246 0,2619 28,35 Kadar Sari Larut dalam Etanol Simplisia Lengkuas Kode B.contoh gram B.cawan gram B.cawan akhir gram B.contoh akhir gram Kadar Sari BK 1 5,0452 24,0767 24,3329 0,2562 27,50 2 5,0452 24,7623 25,0201 0,2578 27,70 ULANGAN 11 5,0343 20,6280 20,8452 0,2172 23,35 22 5,0343 20,9487 21,1634 0,2147 23,05 Lampiran 4. Zona Hambat 4 Jamur Uji pada Penelitian Pendahuluan A 5 ow T.mentagrophytes B5 wo T.mentagrophytes C 5 ow T.rubrum D 5 wo T.rubrum E 5 ow C.albicans F 5 wo C.albicans G 5 ow M.canis H 5 wo M.canis Lampiran 5. Hasil Pengukuran Diameter Hambatan T. mentagrophytes Kons. ekstrak Basis salep Diameter Hambatan mm 0,5 1 3 5 7 10 ow 6,33 15 24 33,33 40 45,33 6,33 10 20 32,67 37.67 48,67 rata-rata 6,33 12,5 22 33 38.83 5 47 wo 6 14,67 24 31,33 36 44,67 6,33 9,67 25,67 32 38,33 45 rata-rata 6,16 5 12,17 24,83 5 31,66 5 37,16 5 44,83 5 Keterangan : ow : basis salep minyak dalam air wo : basis salep air dalam minyak M. canis Kons. ekstrak Basis salep Diameter Hambatan mm 0,3 0,5 1 3 5 ow 6 21 25,67 32,67 40 9,33 16 21 35,67 42,67 rata-rata 7,665 18,5 23,335 34,17 41,335 wo 6 19 25 30,67 40 6 14,67 20,67 31,67 38 rata-rata 6 16,835 22,835 31,17 39 Keterangan : ow : basis salep minyak dalam air wo : basis salep air dalam minyak Lampiran 6. Analisis Ragam untuk Daya Antijamur Variabel Terikat: T.Mentagrophytes Sumber keragaman dk KT F F 0,05 Rata-rata 1 16854,000 4088,932 ts 1 0,295 0,072 4,75 konsentrasi 5 954,647 231,606 3,11 ts konsentrasi 5 2,578 0,626 3,11 Galat 12 4,122 Jumlah 24 Jumlah terkoreksi 23 = berbeda nyata Hasil uji Duncan untuk faktor konsentrasi terhadap diameter hambat T.mentagrophytes konsentrasi N Kelompok Duncan α = 0,05 0,50 4 A 1,00 4 B 3,00 4 C 5,00 4 D 7,00 4 E 10,00 4 F Variabel Terikat: M.canis Sumber keragaman dk KT F F 0,05 Rata-rata 1 11617,164 2030,341 0,000 ts 1 17,410 3,043 4,75 konsentrasi 4 669,341 116,981 3,11 ts konsentrasi 4 0,853 0,149 3,11 Galat 10 5,722 Jumlah 20 Jumlah terkoreksi 19 = berbeda nyata Hasil uji Duncan untuk faktor konsentrasi terhadap diameter hambat M.canis konsentrasi N Kelompok Duncan α = 0,05 0,30 4 A 0,50 4 B 1,00 4 C 3,00 4 D 5,00 4 E Lampiran 7 . Zona Hambatan M.canis dan T.mentagrophytes A 0,3 ow M.canis B 0,3 wo M.canis C 0,5 ow M.canis D 0,5 wo M.canis E 1 ow M.canis F 1 wo M.canis G 3 ow M.canis H 3 wo M.canis Lampiran 7 lanjutan I 5 ow M.canis J 5 wo M.canis K 0,5 ow T.mentagrophytes L 0,5 wo T.mentagrophytes M 1 ow T.mentagrophytes N 1 wo T.mentagrophytes O 3 ow T.mentagrophytes P 3 wo T.mentagrophytes Lampiran 7 lanjutan Q 5 ow T.mentagrophytes R 5 wo T.mentagrophytes S 7 ow T.mentagrophytes T 7 wo T .mentagrophytes U 10 ow T.mentagrophytes V 10 wo T.mentagrophytes Lampiran 8. Hasil Pengukuran pH dan Stabilitas Emulsi Sediaan Perlakuan pH Stabilitas A 1 B 1 5,45 ± 0,005 86,32 ± 0,25 A 2 B 1 5,15 ± 0,005 77,39 ± 0,14 A 3 B 1 5,00 ± 0,000 79,22 ± 0,03 A 4 B 1 4,70 ± 0,000 61,15 ± 1,19 A 5 B 1 4,50 ± 0,005 63,70 ± 0,02 A 6 B 1 4,35 ± 0,005 76,44 ± 0,15 A 7 B 1 4,25 ± 0,005 62,09 ± 3,84 A 1 B 2 9,20 ± 0,000 97,36 ± 1,43 A 2 B 2 9,15 ± 0,005 97,66 ± 0,59 A 3 B 2 9,05 ± 0,005 96,27 ± 0,27 A 4 B 2 8,75 ± 0,005 98.16 ± 1,41 A 5 B 2 8,4 0 ± 0,000 98.37 ± 1,88 A 6 B 2 8,20 ± 0,000 95.64 ± 1,84 A 7 B 2 7,70 ± 0,005 94.27 ± 2,40 Contoh pH Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata A 1 B 1 5,5 5,4 5,45 ± 0,005 A 2 B 1 5,1 5,2 5,15 ± 0,005 A 3 B 1 5,0 5,0 5,0 ± 0,000 A 4 B 1 4,7 4,7 4,7 ± 0,000 A 5 B 1 4,4 4,6 4,5 ± 0,005 A 6 B 1 4,4 4,3 4,35 ± 0,005 A 7 B 1 4,3 4,2 4,25 ± 0,005 A 1 B 2 9,2 9,2 9,2 ± 0,000 A 2 B 2 9,1 9,2 9,15 ± 0,005 A 3 B 2 9,0 9,1 9,05 ± 0,005 A 4 B 2 8,7 8,8 8,75 ± 0,005 A 5 B 2 8,4 8,4 8,4 ± 0,000 A 6 B 2 8,2 8,2 8,2 ± 0,000 A 7 B 2 7,6 7,8 7,7 ± 0,005 Lampiran 9. Analisis Ragam untuk pH Sediaan Variabel terikat : pH Sumber keragaman dk KT F F 0,05 Rata-rata 13 8.618 2010.949 ts 1 1254.241 292656.333 konsentrasi 1 105.691 24661.333 4.75 ts konsentrasi 6 1.007 235.028 3.11 Galat 6 .051 11.806 3.11 Jumlah 14 .004 Jumlah terkoreksi 28 = berbeda nyata Hasil uji Duncan untuk faktor konsentrasi terhadap pH Konsentrasi N Kelompok Duncan α = 0,05 0,30 4 A 0,50 4 B 1,00 4 C 3,00 4 D 5,00 4 E 7,00 4 F 10,00 4 G Lampiran 10. Hasil Pengukuran Stabilitas Emulsi Contoh Stabilitas Emulsi SE Ulangan 1 Ulangan 2 Berat cawan gram Berat cawan + contoh gram Berat akhir gram SE Berat cawan gram Berat cawan + contoh gram Berat akhir gram SE A 1 B 1 13,5516 18,9295 18,2298 86,9 50,0581 55,0621 488,4585 87,61 A 2 B 1 47,6298 52,7705 52,036408 85,72 41,1261 46,13 45,38942 85,2 A 3 B 1 13,83 18,9288 17,8687595 79,21 39,8558 45,0069 43,71271 78,96 A 4 B 1 43,8816 48,961 47,6225781 73,65 42,9486 48,0248 46,60905 72,11 A 5 B 1 51,0405 55,381 53,9178175 66,29 41,5985 46,6754 44,97515 66,51 A 6 B 1 12,431 17,6013 15,601428 61,32 50,553 55,613 53,62847 60,78 A 7 B 1 42,5874 47,6922 45,508877 57,23 40,0642 45,1297 42,82287 54,46 A 1 B 2 13,1966 18,4732 18,4147 98,89 49,4311 54,4432 54,3029 97,2 A 2 B 2 12,5682 17,9668 17,8328 97,52 41,7276 46,7868 46,6062 96,43 A 3 B 2 25,2846 30,4396 30,2659 96,63 41,3318 46,3366 46,1314 95,9 A 4 B 2 56,1445 61,4316 61,3787 99 34,461 39,5809 39,4437 97,32 A 5 B 2 13,8615 18,9685 18,9349 99,34 44,7652 49,8849 49,7518 97,4 A 6 B 2 42,9553 48,1032 47,9284 96,6 44,2503 49,3836 49,1105 94,68 A 7 B 2 42,2747 47,745 47,4914 95,36 50,0529 55,0941 54,7499 93,17 Lampiran 11. Analisis Ragam untuk Stabilitas Emulsi Variabel terikat: Stabilitas Emulsi Sumber keragaman df dk KT F Rata-rata 13 453.327 414.659 ts 1 200771.199 183645.592 konsentrasi 1 4125.900 3773.965 4.75 ts konsentrasi 6 168.452 154.083 3.11 Galat 6 126.107 115.350 3.11 Jumlah 14 1.093 Jumlah terkoreksi 28 = berbeda nyata Hasil uji Duncan untuk faktor konsentrasi terhadap stabilitas emulsi Konsentrasi N Kelompok Duncan α = 0,05 0,30 4 A 0,50 4 A 1,00 4 B 3,00 4 C 5,00 4 D 7,00 4 E 10,00 4 F Lampiran 12. Penampakan Salep A 0,3 ow B 0,3 wo C 0,5 ow D 0,5 wo E 1 ow F 1 wo G 3 ow H 3 wo Lampiran 12 lanjutan I 5 ow J 5 wo K 7 ow L 7 wo M 10 ow N 10 wo DAYA ANTIJAMUR EKSTRAK LENGKUAS MERAH Alpinia purpurata K Schum DALAM SEDIAAN SALEP The Antifungal Activities of Red Galangal Extract in Ointment Bases Hernani 1 , Djumali Mangunwidjaja2 , Rizka Hezmela 3 Department of Agroindustrial Technology, Bogor Agricultural University ABSTRACT It is well-established that red galangal has been empirically and theoretically proven as antifungal. Red galangal contains antifungal active compounds such as quercetin, eugenol, kaempferol, and galangin; all are soluble in ethanol. Ointment is popular as medication base due to its simple application. The right choice of ointment bases when incorporating medicaments will determine the therapeutic result. Therefore, the addition of ethanol extract of red galangal into ointment bases is predicted to be able to inhibit the growth of some fungi causing superficial mycosis. Result had shown the potential of red galangal extract as fungistatic agent for Tricophyton mentagrophytes and Microsporum canis. Based on the result of susceptibility test, the growth of Microsporum canis can be inhibited better then Tricophyton mentagrophytes. Analysis of variance had shown that the zone of inhibition only determined by red galangal extract concentrations, while type of ointment did not give significant result. The pH of oil in water emulsion base was still in the range of skin acceptability, but the pH water in oil emulsion base will tend to irritate the skin when applied. Water in oil emulsion base was more stable then oil in water emulsion base. Based on the analysis of variance, red galangal concentrations and type of emulsion gave significant result for pH and emulsion stability. Keywords : red galangal, antifungal, fungistatic, ointment, oil in water, water in oil PENDAHULUAN Kemajuan teknologi di bidang obat- obatan telah secara luas menyajikan berbagai bentuk sediaan untuk berbagai penyakit, namun demikian obat tradisional masih tetap digunakan secara luas meski dalam bentuk yang sederhana. Salah satu upaya untuk mengembangkan obat-obat tradisional adalah dengan meningkatkan bentuknya menjadi fitofarmaka agar dapat diterima dalam pengobatan formal. Tanaman lengkuas secara empiris ataupun teoritis sudah banyak terbukti sebagai obat antijamur, khususnya lengkuas merah. Rimpang lengkuas merah yang mengandung senyawa-senyawa antijamur seperti eugenol, kamferol, kuersetin, dan galangin mampu mengobati penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur terutama yang bersifat lokal. Produktivitas dan luas panen lengkuas juga mengalami kecenderungan untuk meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan Dirjen Bina Produksi Hortikultura 2003, pada selang tahun 1999 sampai 2002 data luas panen berturu-turut adalah 7.881.241 m 2 , 16.185.905 m 2 , 15.958.475 m 2 , dan 11.480.646 m 2 . Data produktivitas pada periode 1999 sampai 2002 adalah 1,51 kg m 2 , 1,7 g m 2 , 1,64 g m 2 , dan 2 g m 2 . Salep merupakan sediaan emulsi setengah padat yang banyak digunakan untuk menghantarkan bahan obat. Pemilihan dasar salep yang tepat dapat mempengaruhi efektivitas senyawa obat yang dihantarkan. Penambahan ekstrak lengkuas kedalam sediaan salep dapat meningkatkan nilai tambah lengkuas merah sebagai bahan obat. Salep antijamur dengan bahan aktif yang berasal dari lengkuas merah diperkirakan mampu menghambat beberapa jamur penyebab penyakit kulit, terutama yang bersifat lokal. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui potensi bahan aktif rimpang lengkuas merah dalam menghambat pertumbuhan jamur penyebab penyakit mikosis lokal kulit seperti Tricophyton rubrum , Tricophyton mentagrophytes , Microsporum canis , dan Candida albicans. Selain itu, penelitian juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak lengkuas kedalam dua sediaan salep yaitu basis oil in water ow dan water in oil wo terhadap daya antijamur, pH sediaan dan stabilitas emulsi sediaan salep. 1 Peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian 2 Staf Pengajar di Departemen Teknologi Industri Pertanian 3 Alumni Departemen Teknologi Industri Pertanian METODOLOGI A. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan untuk proses ekstraksi adalah pisau, penepung tipe piring yang dilengkapi ayakan 32 mesh, oven, hot plate, labu goyang, penguap-rotasi hampa udara, labu erlenmeyer 500 ml, pH meter, dan alat- alat gelas untuk analisa. Peralatan yang digunakan untuk analisa mikrobiologi antara lain tabung reaksi, cawan petri, mikropipet, erlenmeyer, inkubator, mikroskop, jarum ose, Haemocytometer Neubauer Improved , dan pipet Pasteur. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang lengkuas merah kering, berumur panen 11 bulan yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Cibinong Bogor. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol 96. Media untuk uji mikrobiologi adalah Sabouraud Dextrose Agar. Fungi yang digunakan dalam pengujian uji adalah C. albicans dan M. canis yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Departemen Farmasi Universitas Indonesia, serta T. rubrum dan T. mentagrophytes yang diperoleh dari Laboratorium Mikologi Balai Penelitian Veteriner Bogor. Masing- masing jamur merupakan penyebab dermatomikosis.

B. Metode Penelitian

1. Penelitian Pendahuluan

Pengolahan Simplisia Lengkuas Rimpang lengkuas diiris-iris dengan menggunakan pisau yang menghasilkan irisan setebal 1,5 mm, kemudian dikeringkan dalam alat pengering oven blower selama 12 jam. Selanjutnya rimpang lengkuas digiling halus dengan mesin penggiling yang dilengkapi ayakan berukuran 32 mesh. Bubuk yang dihasilkan disimpan dalam ruang beku. Bubuk yang dihasilkan dianalisis dengan mengacu pada ketentuan Depkes RI 1978. Persyaratan mutu bahan baku dapat dilihat pada Tabel 1. Ekstraksi Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi berulang selama dua hari menggunakan pelarut etanol 96. Tahapan ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Diagram alir ekstraksi simplisia lengkuas merah Tabel 1. Persyaratan Mutu Bahan Baku Spesifikasi Simplisia Lengkuas Kadar minyak atsiri Tidak kurang dari 0,5 vb Kadar abu Tidak lebih dari 3,9 Kadar abu tidak larut dalam asam Tidak lebih dari 3,7 Kadar sari yang larut dalam air Tidak kurang dari 5,2 Kadar sari yang larut dalam etanol Tidak kurang dari 1,7 Sumber : Depkes RI 1978 Penentuan Jamur Uji Terbaik Penentuan jamur uji terbaik dilakukan manggunakan metode parit dengan melihat diameter zona bening yang terdapat disekeliling parit. Pengujian dilakukan terhadap 4 jamur, yaitu C. albicans, T. mentagrophytes, T. rubrum , dan M. canis. Konsentrasi ekstrak lengkuas yang diujikan adalah 5. Biakan masing-masing jamur uji diambil dari agar miring menggunakan jarum ose secara aseptik dan diremajakan dalam media cair. Dalam setiap media terdapat kerapatan spora sebesar 10 5 cfuml. Selanjutnya disiapkan agar Sabouraud di dalam cawan petri dan masing-masing biakan digoreskan di atas agar, lalu dibuat sumur-sumur pada agar yang telah digoreskan biakan jamur uji menggunakan pipet pasteur dengan diameter sumur sebesar 6 mm. Ekstrak yang akan diujikan diisikan ke dalam lubang hingga kedalaman lubang terisi sempurna, kemudian agar yang sudah berisi ekstrak diinkubasi selama 2 hari untuk C. albicans dan 7 hari untuk T. mentagrophytes , T. rubrum, dan M. canis. Setelah selesai waktu inkubasi, aktivitas antijamur dapat diamati. Aktivitas antijamur diukur dengan mengurangi diameter total zona hambat dengan diameter sumur. Jamur yang terpilih untuk digunakan dalam penelitian utama adalah jamur yang mampu dihambat paling baik yang ditunjukkan oleh tingginya nilai diameter. Penentuan Konsentrasi Hambatan Rentang konsentrasi hambatan ditentukan dengan mencoba beberapa konsentrasi ekstrak secara coba-coba terhadap daya hambat jamur uji. Penentuan rentang nilai ini dilakukan untuk menentukan batas bawah dan batas atas faktor perlakuan yang dapat memberikan zona hambatan terbaik terhadap jamur uji terpilih. Depkes RI 1989 menyatakan bahwa suatu bahan baru dapat dikatakan memiliki aktifitas antimikroba bila diameter hambatan yang terbentuk adalah lebih dari sama dengan 6 mm. Oleh karena itu, nilai ini menjadi batas bawah dari rentang konsentrasi hambatan, sedangkan batas atas ditentukan berdasarkan zona hambat terbaik pada konsentrasi tertentu yang meski konsentrasi tersebut dinaikkan tidak akan memberikan hasil yang berbeda nyata.

2. Penelitian Utama

Pembuatan Salep Antijamur Sediaan salep dibuat berdasarkan komposisi sediaan yang dibuat oleh Himawati dan Erawati 2003 dengan penambahan ekstrak lengkuas sebagai bahan antijamur dalam berbagai variasi konsentrasi yang ditambahkan pada masing-masing sediaan. Salep dibuat dengan metode peleburan. Tahapan pembuatan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3, sedangkan formulasi salep dapat dilihat pada Tabel 2. Gambar 2. Proses produksi salep oil in water Gambar 3. Proses produksi salep water in oil Pengujian Efektifitas Salep Pengujian efektifitas salep antijamur dilakukan untuk mengetahui perubahan besarnya daya hambat akibat penambahan ekstrak lengkuas merah pada beberapa taraf konsentrasi dan pada 2 dasar salep yang berbeda. Penentuan efektifitas salep antijamur dilakukan menggunakan metode sumur dengan melihat diameter zona bening yang terdapat disekeliling sumur. Pengujian salep dilakukan terhadap jamur uji terpilih pada beberapa taraf konsentrasi, sesuai dengan hasil penentuan rentang konsentrasi hambatan yang telah ditentukan pada penelitian pendahuluan. Biakan jamur uji terpilih diambil dari agar miring menggunakan jarum ose secara aseptik dan diremajakan dalam media cair. Dalam setiap media terdapat kerapatan spora sebesar 10 5 cfuml. Selanjutnya disiapkan agar Sabouraud di dalam cawan petri dan masing-masing biakan digoreskan diatas agar. Kemudian, dibuat sumur-

Dokumen yang terkait

Uji Antimutagenik Ekstrak Etanol Rimpang Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) Pada Mencit Jantan Yang Diinduksi Dengan Monosodium Glutamat (MSG)

12 118 94

UJI AKTIVITAS TONIKUM EKSTRAK ETANOL RIMPANG LENGKUAS MERAH (Alpinia purpurata K. Schum) dan LENGKUAS PUTIH (Alpinia galanga L.) PADA MENCIT JANTAN

10 58 20

Uji efektivitas ekstrak lengkuas merah (Alpina purpurata K.Schum) dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri Escherichia coli dengan metode disc diffusion.

4 24 70

Pemanfaatan lengkuas merah (Alpinia purpurata K.Schum) sebagai bahan antijamur dalam sampo

0 10 116

Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Keragaman Lengkuas Merah (Alpinia Purpurata K. Schum)

0 12 78

Pemanfaatan Lengkuas Merah (Alpinia Purpurata K. Schum) Sebagai Bahan Antijamur Dalam Sampo

10 64 124

Aktivitas Antimikroba Minyak Esensial Jahe Merah (Zingiber officinale var. Rubrum) dan Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) Terhadap Bakteri Patogen dan Perusak Pangan

3 16 11

Perbandingan Efektivitas Lengkuas Merah (Alpinia Purpurata K Schum) dan Lengkuas Putih (Alpinia Galanga) Terhadap Pertumbuhan Jamur Candida Albicans Secara In Vitro

0 0 6

Uji Aktivitas Ekstrak N-Heksan Rimpang Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) Terhadap Bakteri Streptococcus mutans PenyebabKaries Gigi - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 2 89

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Lengkuas Merah (Alpinia Purpurata K. Schum) Terhadap Bakteri Propionibacterium Acnes - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 91