Hindia Belanda disebut ‘dorpsjustitie’ peradilan desa. Peradilan adat tidak dapat dibayangkan seperti peradilan pemerintah, karena kedudukannya yang bersifat insidentil,
sewaktu-waktu diperlukan, dan kalau disebut “Hakim Adat” ia merupakan orang yang berperan sebagai penengah mediator.
109
C. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa pembagian harta gono-gini kerap menjadi persoalan penting dalam proses perceraian. Bahkan pada sejumlah kasus, sengketa
perebutan harta gono-gini justru memperlambat dan memperumit proses perceraian. Ketidakpahaman masyarakat pada umumnya tentang harta dalam perkawinan, merupakan
faktor kuat yang memicu lahirnya sengketa harta gono-gini.
Seorang laki-laki atau perempuan, ketika belum menikah mereka mempunyai hak dan
kewajiban yang utuh. Hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupannya, hak dan kewajiban akan harta miliknya dan sebagainya. Kemudian setelah mereka mengikatkan diri
dalam lembaga perkawinan, maka mulai saat itulah hak kewajiban mereka menjadi satu. Pengertian menjadi satu tersebut bukan berarti hak dan kewajiban masing-masing pihak akan
meleburkan diri, melainkan hak dan kewajiban mereka tetap utuh walaupun mereka telah bersatu dalam kehidupannya. Untuk itulah mereka harus memahami dan menghormati satu
sama lain. Tidak merasa salah satu sebagai penguasa dan lainnya menjadi budak, tidak merasa salah satu dari mereka paling berjasa dan lainnya menumpang. Pemahaman tentang hak dan
kewajiban ini menjadi sangat penting dan sangat mendasar, apabila kita akan mengkaji lebih
109
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dalam tentang konsekuensi-konsekuensi dari kehidupan perkawinan, karena dalam kehidupan perkawinan, akan melahirkan hak dan kewajiban antara lain tentang anak hak kewajiban
tentang harta. Bahkan kemudian akan kemungkinan pembagian harta bila perkawinan putus baik karena perceraian atau karena kematian. Untuk kali ini, dalam tulisan ini hanya akan
dibahas tentang hak dan kewajiban yang berkaitan dengan harta perkawinan.
110
Persengketaan harta perkawinan dalam perceraian memang riskan terjadi, terlebih bila tidak ada perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan. Kadangkala, masing-masing pihak
mengklaim bahwa harta bersama menjadi harta bawaan atau harta perolehan. Jika tidak paham betul, salah satu pihak terutama pihak yang lemah, dapat saja terkecoh dengan pembagian
harta bawaan, harta bersama, dan harta perolehan. Ditambah lagi dengan realita di masyarakat, kebanyakan orang tidak pernah memisahkan dengan sengaja harta-harta yang mereka miliki,
terutama harta bersama dan harta perolehan, serta tidak menutup kemungkinan juga pada harta bawaan. Karena pada umumnya, tidak pernah ada orangpasangan yang memprediksikan
apalagi merencanakan untuk bercerai dan akan berakhir pada persengketaam pembagian harta. Dengan demikian, banyak pasangan suami-istri yang umumnya tidak membuat perjanjian
perkawinan, atau tidak melakukan pencatatan pemisahan harta yang dimiliki.
111
Selain itu, agar lebih menghemat biaya sebaiknya masalah persengketaan harta dalam perkara perceraian, disatukan dalam satu gugatan bersama-sama dengan perkara perceraian,
hak asuh anak, serta permohonan nafkah. Sedapat mungkin hal tersebut harus dilakukan oleh para pihak yang berselisih, meskipun hingga kini pada kenyataannya kadangkala Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Agama, masih memisahkan masing-masing perkara tersebut kedalam
110
Pramudya, Tentang Harta Bersama, Internet, WordPress.com, Diakses Tanggal 12 Februari 2013
111
Budi Susilo, Op.cit, hal 126.
Universitas Sumatera Utara
persidangan yang berbeda. Dengan pertimbangan, kadangkala masing-masing gugatan tersebut memiliki keadaankondisi spesifik yang berbeda pula.
112
Menurut Pasal 35, Undang-undang No. 1 Tahun 1975 harta benda dalam perkawinan ada yang disebut harta bersama, yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak
tidak menentukan lain. Karena itu Pasal 36 menentukan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta
bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
113
Menurut penjelasan pasal 35, apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Disini tidak dijelaskan putus perkawinan karena
apa. Karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak mati, mungkin pula karena perceraian, akan tetapi pasal 37, mengaitkan putusnya perkawinan itu karena perceraian yakni
apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing- masing.
114
Pasal 37, Undang-undang Perkawinan, menyebutkan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud
dengan hukumnya masing-masing adalah, ditegaskan dalam penjelasan pasal tersebut sebagai Hukum Adat, Hukum Agama, dan Hukum-hukum lainnya. Kemudian KHI dan Undang-
112
Ibid.
113
Djamil Latif, Op.cit, hal. 115.
114
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
undang Perkawinan merumuskan, apabila perkawinan pecah, maka suami istri masing-masing berhak mendapat setengah bagian dari harta bersama. Hal ini juga berlaku untuk perceraian
yang terjadi karena kematian.
115
Selanjutnya, yang harus dilakukan untuk mengantisipasi kerumitan dalam pemecahan persoalan persengketaan harta perkawinan adalah pertama, mulailah perkawinan dengan
melakukan perjanjian perkawinan sebagai langkah preventif, serta melakukan pencatatan atas kategori bawaan, harta bersama, dan harta perolehan. Kedua, jika proses perceraian
sedang berjalan, namun di sisi lain perkawinan sudah dilangsungkan dan tidak ada perjanjian perkawinan yang menerangkan tentang pemisahan harta benda, maka sebelumnya harus sudah
dilakukan pembagian kesepakatan harta. Jika tidak dapat disepakati secara musyawarah, maka pihak istri berhak mengajukan gugatan pembagian harta bersama. Gugatan ini dapat diajukan
bersamaan dengan gugatan perceraian di Pengadilan, atau diajukan terpisah setelah adanya putusan cerai. Jika masih kerap bingung, maka berkonsultasilah dengan pakar hukum
perkawinan atau pengacara, sekaligus memintakannya menjadi kuasa hukumpengacara atas masalah gugatan yang sedang dihadapi.
116
Satu hal yang penting yang sering dilupakan adalah mengenai semangat dan kesabaran dalam melakukan upaya memintakan keadilan atas hak, terutama dalam persoalan harta.
Kadangkala saat proses perceraian belum selesai, para pihak yang berselisih sudah lebih dulu mengalami kelelahan mental, sehingga cenderung berfikir pendek, serta lebih mengutamakan
“yang penting bercerai terlebih dahulu”. Hal tersebut sebenarnya tidak terlalu salah, hanya saja
115
Budi susilo, Loc.cit, hal. 133.
116
Ibid, hal. 134.
Universitas Sumatera Utara
dikemudian hari akan menimbulkan ketidakadilan yang lain. Tunaikanlah kewajiban, dan mintakanlah hak secara adil dengan sebagaimana mestinya, itulah yang lebih baik
117
Dalam Pasal 119, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dijelaskan bahwa, saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta suami dan
istri. Dengan kata lain, percampuran harta alghele gemeenschap goederen baru terjadi setelah dilangsungkannya perkawinan antara perempuan dan laki-laki, sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Maka dengan demikian, ketentuan tidak adanya percampuran antara harta suami dan iustri karena perkawinan, berlaku bagi setiap orang.
118
Harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri antar suami dan istri, dengan tidak memperdulikan dari pihak mana asalnya barang-barang tersebut.
Apabila perkawinan yang dilakukan oleh suami dan istri dengan persatuan harta benda, maka menurut Pasal 232 BW pembagiannya harus dilakukan menurut cara-cara seperti tesebut
dalam Bab keenam.
119
Keadaan ini akan memungkinkan orang yang tadinya miskin, mungkin akan mendadak menjadi kaya raya
setelah ia menikah dengan orang yang hartawan dan kemudian cerai dengannya. Akan tetap Pasal 232 menentukan, bahwa apabila kemudian terjadi lagi kawin ulang antar keduanya,
maka segala perhubungan antar mereka dikembalikan kepada keadaan sebelum perceraian perkawinan dan dianggap seolah tidak pernah terjadi apa-apa antara mereka.
120
117
Ibid.
Karena itu harta kekayaan yang diperoleh oleh pihak yang mendadak kaya karena perceraian tadi, tidak
boleh diselewengkan dan harus dikembalikan pada harta perkawinan mereka kembali.
118
Ibid, hal. 120.
119
Pasal 128 KUH Perdata
120
Pasal 232 Huruf a KUH Perdata
Universitas Sumatera Utara
Akibat hukum yang menyangkut harta bersama atau harta pencarian ini Undang-undang rupanya menyerahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa
yang akan berlaku, dan jika ada kesepakatan Hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.
121
Didalam KHI Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada pencampuran harta suami dan istri karena perkawinan. Pasal 86 telah mengatur bahwa harta
istri tetap menjadi milik istri dan begitu juga sebaliknya pada suami.
122
Berbeda dengan sistem Hukum Perdata Barat Pasal 119 BW, maka didalam Islam tidak dikenal pencampuran
harta kekayaan antara suami atau istri karena pernikahan. Karena itu pula menurut Hukum Islam perempuan yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak hukum, sehingga ia dapat
melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat; perempuan yang bersuami menurut Hukum Barat tidak cakap bertindak hukum dan hanya dapat melakukan perbuatan hukum
secara sah, jika dibantu atau dikuasakan secara tertulis oleh suaminya.
123
Jika selama perkawinan diperoleh harta, maka harta ini adalah harta sirkah, yaitu harta bersama dan menjadi milik bersama dari suami istri. Karena itu dalam Islam ada harta suami
yang terpisah tidak bercampur dan harta kekayaan tidak terpisah bercampur. Dalam harta kekayaan yang terpisah, masing-masing dari suami dan istri berhak
berwewenang atas harta kekayaannya masing-masing. Suami tidak berhak atas harta istri, karena kekuasaan istri terhadap hartanya tetap ada dan tidak berkurang sebab perkawinan.
Karena itu suami tidak boleh mempergunakan harta istri untuk membelanjai rumah tangga kecuali dengan izinnya. Bahkan, harta istri yang digunakan uintuk membelanjai rumah tangga,
menjadi hutang atas suami dan suami wajib membayar kepada istrinya, kecuali jika istri mau
121
Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 176.
122
Pasal 86 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam
123
Pasal 108 ayat 2 KUH Perdata
Universitas Sumatera Utara
membebaskannya. Sebaliknya istri dapat mempergunakan harta suaminya dengan izin Hakim, seandainya tidak membelanjainya.
124
Dalam hal harta kekayaan yang tak terpisah harta syirkah yang merupakan harta kekayaan tambahan karena usaha bersama suami istri syirkah selama perkawinan menjadi
milik bersama dari suami istri untuk kepentingan bersama. Karena itu apabila ikatan perkawinan putus baik meninggalnya salah satu pihak atau oleh perceraian, maka harta ini
dibagi antara suami dan istri.
125
Didalam Hukum Adat, apabila terjadi putus perkawinan baik karena kematian maupun karena perceraian dalam masyarakat Hukum Adat tentunya dilihat pada suami dan istri yang
bersangkutan, apakah mereka di dalam ruang lingkup kemasyarakatan adat yang patrilineal, matrilineal, atau parental, bagaimana bentuk perkawinan yang mereka lakukan kawin jujur,
semanda, atau bekas, dan situasi lingkungan yang mempengaruhi, apakah mereka bertempat di kediaman daerah yang bersangkutan, di daerah atau di kota, ataukah di perantauan, apakah
mereka merupakan perkawinan campuran antar agama, antar suku, antar adat. Misalnya saja perkawinan orang Minangkabau di kota Bandar Lampung, menurut hasil penelitian Fakultas
Hukum Lampung, sudah tidak ada lagi mempertahankan sistem kekerabatan matrilineal tetapi lebih banyak cenderung pada parental.
126
Dilingkungan masyarakat partrilineal jika suami wafat maka istri tetap, tali perkawinan tidak putus, ia dapat memilih kawin dengan saudara suami levirat, atau kawin dengan lelaki
lain yang disukainya namun suaminya yang baru harus menggantikan kedudukan suaminya almarhum masuk dalam kerabat suaminya semula, atau ia tetap menjadi janda dengan
124
Djamil Latif, Op.cit, hal. 83.
125
Ibid.
126
Hilman Hadikuduma, Op.cit, hal. 176.
Universitas Sumatera Utara
mengurus dan memelihara serta mendidik anak-anaknya dengan menggunakan harta peninggalan suaminya di bawah perlindungan dan bantuan saudara-saudara suaminya.
127
Namun pada umumnya pada masyarakat matrilineal jika putus perkawinan, akibat hukumnya bagi harta perkawinan sebagaimana dikatakan orang Minang, ‘Suaran diagih,
sekutu di belah, nan tepatan tinggal, nan dibawa pulang. Jadi harta bersama dibagi antara suami dan istri, harta pusakapeninggalan tetap pada pihak wanita, sedangkan harta bawaan
suami boleh dibawanya pergi. Lalu kedudukan anak tetap berkedudukan di pihak ibunya sebagai ahli waris dari kerabat ibunya. Pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mengaturnya
berada di kekuasaan mamak, saudara pria dari ibunya. Hal ini tidak berarti tanpa adanya perhatian dan bantuan dari ayah si anak dan kerabat pihak ayahnya. Lebih-lebih di perantauan
di masa kekuasaan mamak sudah lemah, tanggung jawab terhdap anak langsung pada orang tuanya, dan jika putus perkawinan diurus oleh ayah dan ibunya walaupun sudah bercerai.
128
Di lingkungan masyarakat parental keorangtuaan yang dapat dikatakan tidak lagi mempertahankan garis keturunan, dan pada umumnya melaksanakan perkawinan bebas
mandiri maka akibat putus perkawinan, cerai mati atau cerai hidup dapat berakibat harta bersama dibagi antara suami dan istri sedangkan harta bawaan masing-masing, harta
pemberianhadiah, warisan masing-masing tetap dikuasai dan dimiliki masing-masing. Begitu pula anak-anak, pemeliharaan dan pendidikannya menjadi tanggung jawab bapak dan ibunya,
terutama bapaknya kecuali jika bapak tidak mampu boleh ditangani ibunya. Jadi apa yang dijalankan UU no. 1-1974 sejalan dengan kekeluargaan parental yang lebih banyak berlaku di
Indonesia.
129
127
Ibid, hal. 177.
128
Ibid, hal. 178.
129
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut Staatsblad 1933 No. 74 mengikuti sistem hukum adat. Karena itu Staatsblad tersebut tidak mengadakan ketentuan sama sekali mengenai pembagian harta
benda, tetapi penyelesaiannya diserahkan kepada Hukum Adat setempat.
130
130
Djamil Latif, Op.cit, hal. 98.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL