PENGARUH DOSIS VITAMIN B KOMPLEKS SEBAGAI BAHAN PENYEMPROTAN TELUR ITIK TEGAL TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN KEMATIAN EMBRIO

(1)

ABSTRACT

THE EFFECT OF B COMPLEX SPRAYING ON EGG FERTILITY, WEIGHT LOSS, HATCHABILITY, AND EMBRYO MORTALITY OF

TEGAL DUCK EGG

By

Fitria Maghfiroh

The research aims to 1) effect of B complex spraying on fertility, weight loss, hatchability and embryo mortality of duck eggs; 2) optimal dose of B complex solution as spraying agent toward fertility, weight loss, hatchability and embryo mortality of tegal duck eggs. This research was conducted in duck farming in Bumirestu village of Palas sub district South Lampung district in April to May 2015.

This research used completely randomized design (CRD) with 4 treatments of vitamin B complex (0, 4, 6, and 8 g/l of water) as spraying agent and 5 replications. Each treatment used 6 duck eggs. The data were analyzed using ANOVA analysis with significance of 5% and the results were transformed arcsin for relevant percentage data. The result with significant different was further tested by using orthogonal polynomials test.

The results can be concluded that 1) spraying with vitamin B complex (4-8 g/l of water) influenced insignificantly (P> 0.05) to fertility,hatchability and embryo mortality. However, it influenced significantly the weight loss (P <0.05); 2) optimal dosage of vitamin B complex solution (4-8 g/l of water) as spraying agent for tegal duck egg was 3,9 g/l of water at weight loss.

Keywords: vitamin B complex, tegal duck eggs , ferlility, weight loss, and hatchability.


(2)

ABSTRAK

PENGARUH DOSIS VITAMIN B KOMPLEKS SEBAGAI BAHAN PENYEMPROTAN TELUR ITIK TEGAL TERHADAP FERTILITAS,

SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN KEMATIAN EMBRIO Oleh

Fitria Maghfiroh

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) pengaruh penyemprotan larutan B kompleks terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan kematian embrio telur itik; 2) dosis optimal larutan B kompleks sebagai bahan penyemprot terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan kematian embrio telur itik. Penelitian ini dilaksanakan di peternakan itik di Desa Bumi Restu, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan pada April--Mei 2015.

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dosis vitamin B kompleks (0, 4, 6, dan 8 g /l air) digunakan sebagai bahan penyemprotan dan 5 ulangan. Setiap satuan percobaan menggunakan 6 telur itik. Data yang diperoleh dianalisis ragam menggunakan ANOVA pada taraf nyata 5% dan ditransformasi arcsin untuk data persen yang sesuai. Hasil yang berbeda nyata diuji lanjut dengan uji polinomial ortogonal.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 1) penyemprotan larutan vitamin B kompleks (0--8 g/l air) memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap fertilitas, daya tetas, dan kematian embrio. Akan tetapi,

berpengaruh nyata (P<0,05) pada susut tetas. 2) dosis optimal penggunaan larutan vitamin B kompleks (0--8 g/l air) sebagai bahan penyemprotan telur tetas itik tegal adalah 3,9 g/l air pada susut tetas.

Kata kunci:larutan vitamin B kompleks, telur itik tegal, ferlilitas, susut tetas, dan daya tetas.


(3)

PENGARUH DOSIS VITAMIN B KOMPLEKS SEBAGAI BAHAN PENYEMPROTAN TELUR ITIK TEGAL TERHADAP FERTILITAS,

SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN KEMATIAN EMBRIO

Oleh

Fitria Maghfiroh

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mancapai Gelar

SARJANA PETERNAKAN

Pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(4)

PENGARUH DOSIS VITAMIN B KOMPLEKS SEBAGAI BAHAN PENYEMPROTAN TELUR ITIK TEGAL TERHADAP FERTILITAS, SUSUT

TETAS, DAYA TETAS, DAN KEMATIAN EMBRIO (Skripsi)

Oleh Fitria Maghfiroh

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Hubungan antara tingkat dosis vitamin B kompleks (g) sebagai

bahan penyemprotan dan susut tetas telur itik tegal (%) ... 41

2. A. Kematian embrio pada umur 1--5 hari... 69

B. Kematian embrio pada umur 6--21 hari ... 69


(6)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Kegunaan Penelitian... 3

D. Kerangka Pemikiran... 4

E. Hipotesis... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA... 8

A. Deskipsi Itik ... 8

B. Penetasan Telur Itik... 11

a) Mesin tetas alami... 11

b) Mesin tetas sederhana ... 11

c) Mesin tetas modern ... 11

C. Manajemen Penetasan... 12

a) Suhu ... 12


(7)

ii

c) Sirkulasi udara... 13

d) Pemutaran telur (turning)... 13

e) Peneropongan telur (candling)... 14

D. Pertumbuhan Embrio ... 16

a. Periode perkembangan embrio... 17

b. Perkembangan embrio per harinya... 17

E. Fertilitas ... 18

F. Daya Tetas ... 19

G. Susut Tetas ... 21

H. Kematian Embrio ... 22

I. Vitamin B Kompleks ... 26

III. METODE PENELITIAN ... 30

A. Waktu dan Tempat ... 30

B. Alat dan Bahan ... 30

a) Alat yang digunakan ... 30

b) Bahan yang digunakan ... 30

C. Rancangan Penelitian ... 31

D. Analisis Data ... 31

E. Prosedur Penelitian... 32

a) Tahap penyiapan telur tetas... 32

b) Tahap menyiapkan mesin tetas ... 32

c) Tahap selama proses penetasan... 33

F. Peubah yang Diamati ... 34


(8)

iii

b) Daya tetas ... 35

c) Kematian embrio ... 35

d) Susut tetas ... 35

IV. HASIL DAN PEBAHASAN... 36

A. Gambaran umum peternakan... 36

B. Pengaruh dosis vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan telur itik tegal terhadap fertilitas... 37

C. Pengaruh dosis vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan telur itik tegal terhadap susut tetas... 40

D. Pengaruh dosis vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan telur itik tegal terhadap daya tetas... 43

E. Pengaruh dosis vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan telur itik tegal terhadap kematian embrio... 45

V. SIMPULAN DAN SARAN... 49

A. Simpulan... 49

B. Saran... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50


(9)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Komposisi gizi per 100 gram telur itik dan ayam ... 9

2. Kebutuhan gizi itik petelur... 10

3. Formulasi ransum dan kandungan protein dan serat kasar ... 37

4. Rata-rata fertilitas telur itik tegal ... 38

5. Rata-rata susut tetas telur itik tegal ... 40

6. Rata-rata daya tetas telur itik tegal... 43

7. Rata-rata kematian embrio telur itik tegal... 46

8. Data bobot awal, bobot akhir (24 hari) dan susut tetas telur itik tegal pada perlakuan penyemprotan air (P0) ... 56

9. Data bobot awal, bobot akhir (24 hari) dan susut tetas telur itik tegal pada perlakuan penyemprotan vitamin B kompleks 4 g per liter air (P1) ... 57

10. Data bobot awal, bobot akhir (24 hari) dan susut tetas telur itik tegal pada perlakuan penyemprotan vitamin B kompleks 6 g per liter air (P2) ... 58

11. Data bobot awal, bobot akhir (24 hari) dan susut tetas telur itik tegal pada perlakuan penyemprotan vitamin B kompleks 8 g per liter air (P3) ... 59

12. Data fertilitas selama penelitian... 60

13. Rata-rata fertilitas telur itik tegal selama penelitian (transformasi arcsin) 61 14. Analisis ragam pengaruh dosis vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan telur itik tegal terhadap fertilitas ... 61


(10)

v

15. Rata-rata susut tetas telur itik tegal selama penelitian

(transformasi arcsin) ... 62

... 16. Analisis ragam pengaruh dosis vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan telur itik tegal terhadap fertilitas ... 62

17. Perhitungan nilai Q (perkalian antara kontras dengan jumlah nilai parameter yang diukur) ... 62

18. Analisis ragam susut tetas telur itik tegal ... 63

19. Perhitungan nilai a dan b persamaan regresi... 63

20. Sidik regresi ... 65

21. Rata-rata daya tetas telur itik tegal selama penelitian (transformasi arcsin) ... 65

22. Analisis ragam pengaruh dosis vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan telur itik tegal terhadap daya tetas... 66

23. Rata-rata kematian embrio telur itik tegal selama penelitian (transformasi arcsin) ... 66

24. Analisis ragam pengaruh dosis vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan telur itik tegal terhadap kematian embrio... 67


(11)

(12)

(13)

Bismillahhirohmanirrohim,

Dengan penuh rasa syukur dan bangga, aku persembahkan

karya kecilku ini kepada :

Bapak ibuku tersayang dan kakak tercinta

Sebagai tanda bukti dan terima kasihku atas doa yang selalu

terucap untuk kesuksesanku dan semua pengorbanan yang

telah diberikan kepadaku selama ini,

Semua pihak yang menyayangiku, sahabat, dan teman-teman

yang kukasihi, serta untuk almamaterku tercinta


(14)

Niscaya Allah akan mengangkat (derajat)

orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang-orang-orang

yang diberi ilmu beberapa derajat

(QS : Al-Mujadilah 11)

Kecuali orang-orang yang sabar dan mau

mengerjakan kebajikan, mereka memperoleh ampunan

pahala yang besar. (QS. Hud: 11)

Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada 29 Maret 1993 di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan sebagai anak kedua dari 2 bersaudara dari pasangan Bapak Sunasib dan Ibu Khomsatun. Penulis memasuki pendidikan di SD Negeri 3 Bumirestu pada 1999; SMP Negeri 2 Palas pada 2005; SMA Negeri 5 Kota Metro pada 2008 dan lulus pada 2011.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur Undangan pada 2011. Pada Januari sampai Februari 2014 penulis melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata Tematik Universitas Lampung di Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan. Penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di CV. Sumber SariFarmUnit AnugrahFarmKota Metro.

Selama menjadi mahasiswa, penulis terdaftar sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Peternakan (HIMAPET) dan pernah menjadi kordinator Korps Sukarela (KSR) pada kegiatan Kemah Bakti Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Peternakan (KBM HIMAPET) pada 2013.


(16)

SANWACANA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta nikmat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penelitian dan penulisan skripsi ini dengan lancar tanpa terhalang suatu apapun. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Ibu Ir. Tintin Kurtini, M.S. --selaku Pembimbing Utama --atas kesabaran, bimbingan, saran, dan arahan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Ibu Ir. Khaira Nova, M.P. --selaku Pembimbing Anggota sekaligus Pembimbing Akademik --atas waktu, saran, bimbingan, serta perhatian selama penulis menyelesaikan studi dan selama penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Dr. Ir. Rr. Riyanti, M. P. --selaku Penguji --atas sarannya dalam penulisan

skripsi ini.

4. Ibu Sri Suhayati, S.Pt. M.P., --selaku Ketua Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung–atas izin melaksanakan penelitian. 5. Bapak Dr. Kusuma Adhianto, M.P.,--selaku Sekertaris Jurusan Peternakan,


(17)

6. Bapak Ibu Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung --atas ilmu dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama masa studi.

7. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., --selaku Dekan Fakultas Pertanian.

8. Bapak Muji --atas tempat dan fasilitas kepada penulis selama penelitian. 9. Kedua orang tua penulis Ayahanda Sunasib, Ibunda Khomsatun, S.Pd.I.

,

KakakMashuda Lu’lu um Mak Nuni,S.Pd., yang telah memberikan dorongan moril, material, semangat, dando’a.

10. Mas Agus dan Mbak Tari atas bantuannya dalam kelancaran administrasi penelitian hingga selesai .

11. Sahabatku Ayu Astuti, Nia Yulianti, Citra Nindya Kesuma, Dina Sari Dewi, Komalasari, Siti Unayah, Devi Desnita dan Retno Dwi Sundari, atas

persahabatan, persaudaraan, kebersamaan, bantuan, dan motivasi.

12. Teman di rumah kost Hayu, Ellen, Amalia, Erni, Fina, Dian, Via, Hellien, Lita, dan Nikmatul Amalia, Mbak Davina, Mbak Daima atas sikap

kekeluargaan yang harmonis dan lingkungan yang nyaman.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Bandar Lampung, November 2015 Penulis


(18)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Sumber pemenuhan kebutuhan protein asal hewani yang cukup dikenal masyarakat Indonesia selain ayam ialah itik. Usaha beternak itik dinilai menguntungkan bagi peternak karena selain telur dan daging yang dapat dimanfaatkan, manajemen pemeliharaan itik lebih mudah. Itik memiliki daya tahan terhadap penyakit lebih baik dibandingkan dengan unggas lain sehingga peluang untuk pengembangbiakan itik lebih besar.

Produksi telur itik dalam setahun cukup tinggi mencapai 200--260 butir per ekor (Rukmana, 2009). Hal tersebut akan mendukung keberhasilan peternak terutama dalam menghasilkan DOD(Day Old Duck)dalam jumlah banyak. Namun, sifat mengeram yang tidak dimiliki oleh itik dan ketebalan kerabang telur yang berwarna hijau tua kebiruan mencapai 0,46 mm dengan daya tetas 68,50% merupakan kendala yang sering ditemukan di lapangan sehingga menimbulkan hambatan pada keberhasilan telur yang akan ditetaskan (Kurtini, 1993).

Mesin penetas buatan merupakan alternatif sederhana yang dikenal masyarakat Indonesia sebagai pengganti indukan. Sebagian besar, keberhasilan telur yang ditetaskan dalam mesin tetas buatan dipengaruhi oleh kelembapan dan suhu. Suhu ruang mesin tetas sebaiknya berkisar 38,5--40oC dan kelembapan yang


(19)

2

harus dipertahankan diatas 60% (Srigandono, 1986). Kelembapan yang kurang dalam ruangan mesin tetas dapat menyebabkan telur tetas kehilangan cairan secara cepat sehinggachario-allantoicmengering dan embrio akan mati (Baruah et al., 2001).

Selain karena suhu dan kelembapan, penyebab kematian embrio yang terjadi di lapangan ada dua macam yaitu kematian karena faktor embrio dan kematian faktor kerabang telur yang tebal. Kematian faktor embrio adalah kematian karena keadaan embrio yang lemah dan mati pada proses menetas. Kematian faktor kerabang telur yang tebal adalah kematian embrio yang disebabkan oleh kerabang telur yang sulit dipecahkan pada saat proses menetas sehingga embrio mati karena kelelahan.

Vitamin B kompleks adalah satu kelompok vitamin B yang yang berperan dalam memperbaiki stamina tubuh. Vitamin B kompleks mudah didapat dan harganya terjangkau untuk semua kalangan peternak. Vitamin B kompleks memiliki manfaat yang sangat banyak untuk tubuh yang berkaitan dengan energi. Menurut Widianingrum (2012), angka kematian embrio pada saat menetas dapat menjadi lebih rendah dengan penyemprotan larutan vitamin B kompleks selama proses penetasan. Pada penetasan telur itik penyemprotan menggunakan larutan vitamin B kompleks sebanyak 5 butir per liter air menunjukkan angka kematian embrio yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan air tanpa vitamin B

kompleks. Pada penyemprotan vitamin B kompleks sebanyak 5 butir per liter air menunjukkan angka sebesar (26,67 ± 16,41%), sedangkan pada air tanpa B kompleks sebesar (45,83 ± 21,71%).


(20)

3

Berdasarkan uraian tersebut, penting dilakukan pengkajian tentang pengaruh penyemprotan larutan vitamin B kompleks pada beberapa tingkatan dosis selama proses penetasan terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan tingkat kematian embrio telur itik. Tingkat dosis vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan telur itik dalam proses penetasan akan memberikan pengaruh positif terhadap keberhasilan penetasan.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan masalah, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. mengetahui pengaruh penyemprotan larutan B kompleks terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan kematian embrio telur itik;

2. mengetahui dosis optimal larutan B kompleks sebagai bahan penyemprot terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan kematian embrio telur itik.

C. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat khususnya para pembibit DOD mengenai bahan penyemprot alternatif yang dapat digunakan utuk menjaga kelembapan dan sumber vitamin tambahan untuk telur sehingga dapat meningkatkan fertilitas dan daya tetas serta mengurangi jumlah kematian embrio telur itik.


(21)

4

D.

Kerangka Pemikiran

Kebutuhan masyarakat akan protein hewani yang terus bertambah menyebabkan semakin meningkatnya jumlah permintaan daging dan telur. Itik merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup diminati oleh masyarakat, sehingga permintaan bibit itik juga terus mengalami peningkatan. Penetasan telur itik secara alami dirasa kurang efektif dalam pemenuhan kebutuhan bibit itik. Mesin tetas merupakan alternatif menetaskan telur secara buatan untuk memenuhi penyediaan bibit secara komersil. Mesin penetas telur pada perinsipnya adalah menyediakan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan embrio.

Menurut Subiharta (2010), suhu dan kelembapan pada mesin tetas untuk telur itik dianjurkan berkisar antara 38,5o--40oC dan 60--70%. Kelembapan berpengaruh terhadap kecepatan hilangnya air dari dalam telur selama inkubasi (Setioko, 1998). Kehilangan air yang banyak menyebabkan keringnyachario-allantoic untuk kemudian digantikan oleh gas-gas, sehingga sering terjadi kematian embrio dan telur membusuk (Baruahet al., 2001).

Kegagalan dalam proses penetasan banyak terjadi pada saat telur mulai dimasukkan ke dalam mesin tetas sampai 3 hari pertama sehingga telur tidak boleh diusik. Pada hari ke- 4 mulai dilakukan pemutaran sampai 2 hari sebelum menetas (Harianto, 2002). Pada hari ke- 4 dilakukan pemutaran telur (turning) sekaligus penyemprotan telur untuk menjaga kelembabannya. Penyemprotan dilakukan untuk mengurangi hilangnya airchario-alantoicdan masuknya gas-gas CO2kedalam telur yang dapat menyebabkan kematian embrio dan kebusukan telur dapat dihindari (Baruahet al.,2001).


(22)

5

Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), pada hari ke-4 seluruh organ tubuh mulai tampak, sistemvascularjelas, mata sudah mulai terlihat dan tampak sebagai bintik gelap yang terletak di sebelah kanan jantung, jantung sudah membesar. Dengan mikroskop terlihat otaknya yang terbagi 3 bagian, yaitu otak depan, otak tengah, dan otak belakang. Pada fase ini peneliti malakukan penyemprotan larutan vitamin B kompleks yang diharapkan dapat membantu mengoptimalkan perkembangan embrio.

Vitamin B kompleks adalah satu kelompok vitamin B yang terdiri dari: vitamin B1(thiamine),vitamin B2(riboflavin),vitamin B3(niacin),vitamin B5

(pantothenic acid/asam pantotenat),vitamin B6(pyridoxamine),vitamin B9(folic acid/asam folat),vitamin B12(cyanocob),vitamin B7(biotin), Kolin, dan inositol (Yuniastuti, 2007). Menurut Sandjaja dan Atmarita (2009), penyemprotan

dengan larutan vitamin B kompleks yang mengandung vitamin B9 (asam folat) dapat mempercepat petumbuhan janin, mempercepat regenerasi sel, pembentukan sel darah merah dan menjaga kekebalan tubuh. Selain itu, asam folat juga

berperan sebagai pembawa karbon tunggal pada pembentukan heme molekul hemoglobin. Asam folat memegang peranan penting dalam awal perkembangan embrio, diantaranya adalah pembentukanneural tube. Neural tubeinilah sebagai awal pembentukan otak dan sumsum tulang belakang (Pramita, 2015).

Menurut Widianingrum (2012), penyemprotan telur menggunakan larutan vitamin B kompleks sebanyak 5 butir per liter air menunjukkan angka kematian embrio yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan air tanpa vitamin B kompleks. Pada penyemprotan B kompleks sebanyak 5 butir per liter air menunjukkan


(23)

6

angka sebesar (26,67 ± 16,41%), sedangkan pada air tanpa B kompleks sebesar (45,83 ± 21,71%).

Selain faktor suhu dan kelembapan, menurut Widianingrum (2012), ketebalan kerabang telur dapat menjadi penyebab kegagalan dalam proses penetasan. Hal ini terjadi karena pada saat proses menetas, anak itik (DOD) mengalami kesulitan untuk memecahkan kerabang telur yang tebal sehingga dapat menyebabkan DOD mati karena kelelahan. kelembapan dalam mesin tetas dilakukan dengan

menambahkan air. Air berfungsi untuk membantu proses pelapukan kerabang telur (CaCO3) sehingga embrio bisa memecah kerabang telur dengan mudah dan kematian embrio bisa dikurangi.

Menurut Mulyadi (2015), air dapat menjadi salah satu faktor dalam pelapukan kerabang telur (CaCO3) yang sering disebut hidrolisis. Hidrolisis adalah bentuk pelapukan kimia yang disebabkan oleh air. Proses pelapukan kimia ini terjadi karena air (H2O), biasanya dalam bentuk air hujan, merusak komposisi dan ukuran kimia mineral-kalsium dan menghasilkan mineral-kalsium kurang stabil, sehingga lebih mudah terlapuk (Syekhfani, 2013). Ketika proses hidrolisis berjalan maka vitamin B kompleks yang terkandung dalam larutan akan segera menebus membran-membran telur han menstimulasiblastodiskuntuk segera berkembang lebih cepat menjadi calon embrio.

Berdasarkan penelitian Widianingrum (2012), tentang penggunaan vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan terhadap fertilitas, daya tetas, dan kematian embrio dengan dosis 5 butir vitamin B kompleks per liter air yang menghasilkan pengaruh nyata. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui


(24)

7

pengaruh B kompleks dengan dosis yang tepat dalam gram untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Dosis 5 butir vitamin B kompleks setara dengan 4 g vitamin B kompleks. Tingkat dosis yang lebih tinggi akan digunakan untuk mengetahui hasil optimum pada penetasan telur itik tegal yaitu 4 g/l air, 6 g/l air, dan 8 g/l air.

E. Hipotesis

Dari uraian kerangka pemikiran, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah

1. vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan berpengaruh terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan kematian embrio telur itik tegal; 2. terdapat dosis optimal vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan

terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan kematian embrio telur itik tegal.


(25)

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Itik Tegal

Itik merupakan salah satu jenis unggas air (Waterfolws)dan dikenal dengan nama

Duck”serta dalamsystematic zoonologitersusun sebagai berikut Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Aves

Ordo : Anseriformes

Family : Anatidae

Genus : Anas

Species : Anas plathyrynchos

(Srigandono, 1996).

Itik tegal merupakan bangsa itik asli Indonesia yang berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Itik tegal banyak dibudidayakan untuk dimanfaatkan telurnya, dan dagingnya dimanfaatkan jika itik telah afkir.

Itik tegal mempunyai karakteristik hampir sama dengan itik lain, yaitu warna bulu kombinasi yang terdiri dari cokelat, hitam, putih, kuning, abu-abu, tubuh terlihat kecil dan tegak, paruh dan kaki berwarna hitam keputihan, bulu ekor terlihat mencuat ke atas, telur berwarna putih kehijauan (hijau muda), menghasilkan telur


(26)

9

sekitar 200--250 butir per tahun, berat telur berkisar 70--75 g per butir, dan bobot dewasa baik jantan maupun betina berkisar 1,4--1,5 kg (Srigandono, 1996) .

Telur itik memiliki zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Kandungan nutrisi yang terkandung pada telur itik lebih tinggi dibandingkan dengan telur ayam. Tabel 1 menyajikan komposisi gizi telur itik yang dibandingkan dengan telur ayam.

Tabel 1. Komposisi gizi per 100 g telur itik dan telur ayam

Zat Gizi Telur itik Telur ayam

Utuh Albumen Yolk Utuh Albumen Yolk Energi (kkal) 189,0 54,0 389,0 162,0 50,0 361,0 Protein (g) 13,1 11,0 17,0 12,8 10,8 19,3

Lemak (g) 14,3 0,0 35,0 11,5 0,0 31,9

Karbohidrat (g) 0,8 0,8 0,8 0,7 0,8 0,7

Kalsium (g) 56,0 21,0 150,0 54,0 6,0 147,0 Fosfor (mg) 175,0 20,0 400,0 180,0 17,0 586,0

Besi (mg) 2,8 0,1 7,0 2,7 0,2 7,2

Vitamin A (RE) 422,0 0,0 984,0 309,0 0,0 686,0

Vitamin B (mg) 0,1 0,0 0,6 0,1 0,0 0,3

Vitamin C (mg) 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Air (g) 70,8 88,0 47,0 74,0 87,8 49,4

Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (2004)

Itik tegal mengalami fase hidup setelah telur menetas yakni fasestarter. Fase starteritik pada umur 0--2 minggu. Fase kedua (grower) adalah fase dimana terjadi perkembangan anatomi dan hormonal. Fasegrowerterbagi menjadi 2 fase yaitugrowerI pada umur 3--10 minggu dan fasegrowerII pada umur 10--20 minggu. Fase ketiga adalah fase produksi (layer) yaitu pada saat itik mulai berproduksi pada umur 21 minggu hingga akhir produksi dan kemudian diafkir (Srigandono, 1986).


(27)

10

Pemberian pakan untuk itik petelur perlu diperhatikan rasio energi dan proteinnya (Srigandono, 1986). Pada pemeliharaan itik secara terkurung (intensif),

hendaknya dalam keadaan basah. Pemberian pakan dilakukan 4--5 kali sehari pada itik muda dan 2--3 kali pada itik dewasa. Jumlah pemberian pakan tidak berlebihan namun mencukupi kebutuhan nutrisi harian itik (Suharno, 1992). Kebutuhan gizi itik petelur disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan gizi itik petelur

Nutrien

Starter Grower Breeder 0--2 3--8 9--20 >20 Minggu Minggu Minggu Minggu Metabolizable energy kcal/ kg 2750 2750 2700 2650

Protein % 20 18 15 18

Calcium % 0,9 0,8 0,8 2,5

Phosphorus % 0,45 0,45 0,45 0,45

Sodium % 0,15 0,15 0,15 0,15

Cooper mg/kg 8 8 8 8

Iodine mg/kg 0,6 0,6 0,6 0,6

Iron mg/kg 80 80 80 80

Manganese mg/kg 100 100 100 100

Zinc mg/kg 60 60 60 80

Biotin mg/kg 0,1 0,1 0,1 0,2

Choline mg/kg 8000 1800 1100 1100

Falic acid mg/kg 1 1 1 1,5

Sumber: (NRC, 1984)

Pemeliharaan itik secara intensif pada itik umur 5 minggu telah mampu hidup pada suasana suhu bebas sehingga pemanas tidak lagi diperlukan. Itik pada umur 5 minggu memerlukan 1--1,5m2untuk 10 ekor itik. Pada pemeliharaan itik dewasa secara intensif dipisahkan dalamflok. Setiap satuflokberisi 12--15 ekor dan dibatasi menggunakan papan setinggi 40--50 cm (Srigandono, 1986).


(28)

11

B. Penetasan Telur Itik

Menurut Setioko (2004), telur itik dapat ditetaskan secara alami, sederhana, dan moderen.

a. Mesin tetas alami

Penetasan telur secara alami dapat dilakukan dengan bantuan entok sebagai pengganti indukan. Menurut Suharno (1992), keberhasilan penetasan

menggunakan jasa entok sebagai mesin tetas alami berkisar antara 80--90%. Cara yang digunakan adalah dengan mengganti atau menambah telur yang dierami entok sebanyak 2--3 kali periode penetasan dan menyediakan makanan dan minuman yang cukup.

b. Mesin tetas sederhana

Menurut Soedjarwo (2007), mesin tetas sederhana adalah mesin tetas yang dibuat dengan bahan-bahan dan cara yang sederhana sehingga energi dapat

menggunakan minyak tanah ataupun listrik sesuai dengan kondisi daerah. Mesin tetas tipe sederhana hanya memiliki ruanghatcher. Hatcherpada mesin tetas sederhana memerlukan bantuan tangan untuk membalik telur satu persatu. c. Mesin tetas moderen

Mesin tetas moderen banyak digunakan oleh pembibit skala besar. Menurut Suharno (1992), mesin tetas moderen dilengkapi dengantermoregulator(pengatur suhu) otomatis. Menurut Abidin (2009), mesin tetas moderen memiliki ruang setterdanhatcheryang terpisah. Setterpada mesin tetas modern digunakan pada hari ke-4 hingga hari ke-24. Ruangsetteradalah ruang mengeram yang dapat memutar telur secara otomatis. Ruanghatcheradalah ruang penetasan digunakan


(29)

12

saat telur pertama dimasukkan hingga hari ke-3 dan hari ke-25 hingga telur itik menetas.

C. Manajemen Penetasan

Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), manajemen dalam penetasan telur meliputi suhu, kelembapan, sirkulasi udara, pemutaran telur (turning), dan peneropongan telur (candling).

a) Suhu

Suhu dalam penetasan merupakan faktor yang penting dalam penentuan keberhasilan penetasan. Suhu dalam mesin tetas yang terlalu rendah akan mengakibatkan embrio tumbuh lambat selama proses penetasan, sedangkan pada suhu yang terlalu tinggi akan berkembang sangat cepat sehingga dapat menetas lebih awal. Suhu dalam mesin tetas harus selalu konstan dan diperiksa setiap jam. Umumnya suhu pada mesin tetas berkisar 38--40,5oC. Suhu yang terlalu tinggi pada mesin tetas mengakibatkan kematian embrio pada hari ke 2 hingga ke- 4 (Kurtini dan Riyanti, 2011). Srigandono (1986) menyatakan bahwa suhu optimum untuk penetasan telur itik adalah 38,5--41oC .

b) Kelembapan (Rh)

Kelembapan (Rh) sangat penting diberikan untuk mengontrolweight losspada telur. Menurut Sudaryani dan Santosa (1999), kelembapan di dalam mesin tetas adalah 52--55%, sedangkan menurut Nuryatiet al.(2000), kelembapan ideal dalam penetasan telur ayam hari ke 1 hingga ke 18 adalah 55--60%.


(30)

13

Kelembapan ideal untuk penetasan telur itik pada umur 1--25 hari adalah antara 60--70%, sedangkan pada hari ke-26 sampai menetas membutuhkan lebih tinggi yaitu 75--85% (Rasyaf, 1991).

Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), untuk daerah tropik seperti Indonesia, umumnya digunakan 50--55% untuk mencapaiweight lossideal (12--14%). Kelembapan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan kecilnya rongga udara sehingga embrio susah keluar saat menetas, penyerapanalbumentidak optimal yang menyebabkan ayam menempel pada membran dinding telur.

c) Sirkulasi udara

Ventilasi pada mesin tetas penting untuk diperhatikan. Aktifnya metabolisme embrio menyebabkan akumulasi CO2 di dalam ruang penetasan. Selain dapat menyebabkan kematian embrio, jumlah CO2yang telalu banyak dapat

menyebabkan DOC yang berhasil menetas menjadi lemas dan lemah. Ventilasi yang buruk bisa disebabkan oleh lubang ventilasi yang kotor atau jumlahnya yang kurang (Hartono, 2012).

Sirkulasi udara dalam mesin tetas berfungsi untuk mempermudah pergerakan udara atau oksigen dalam mesin tetas dan mendistribusikan panas secara merata. Kebutuhan oksigen di dalam mesin tetas sekitar 21% dan setiap penurunan 1 % oksigen dapat menurunkan 5% daya tetas telur (Kurtini dan Riyanti, 2011).

d) Pemutaran telur (turning)

Pemutaran telur (turning) bertujuan agar embrio dapat memanfaatkan seluruh albumenprotein yang tersedia dan mencegah menempelnya embrio pada sel


(31)

14

membran khususnya pada minggu pertama. Pemutaran telur (turning)tidak dilakukan dengan pintu terbuka. Pemutaran telur (turning)yang baik akan mengoptimalkan pertumbuhan embrio (Kurtini dan Riyanti, 2011).

Harianto (2002) menyatakan bahwa jangan membalik telur sama sekali pada 3 hari terakhir menjelang telur menetas. Pada saat itu, telur tidak boleh diusik karena embrio dalam telur yang akan menetas tersebut sedang bergerak pada posisi penetasannya. Pembalikan telur dilakukan setiap hari mulai hari ke-3 atau ke-4 sampai 2 hari sebelum telur menetas. Pemutaran telur sebaiknya dilakukan paling sedikitnya 3 kali atau lebih baik jika diputar sampai 5 atau 6 kali sehari dengan setengah putaran (Djanah,1984 yangdisitasiMeliyanti 2012)

e) Peneropongan telur(Candling)

Peneropongan telur (candling) merupakan salah satu perlakuan yang menentukan keberhasilan penetasan. Peneropongan telur (candling) biasanya dilakukan

sebanyak 3 kali selama penetasan berlangsung yaitu pada hari ke-4, ke-11 dan hari ke-25. Peneropongan telur (candling)dilakukan untuk mengetahui fertilitas telur dengan cara meneropong telur (Rasyaf, 1991).

Selain manajemen mesin tetas, seleksi telur juga memengaruhi dalam keberhasilan penetasan. Menurut Sudaryani (2003), telur yang baik untuk ditetaskan adalah telur yang berasal dari induk yang dikawini, berbentuk oval, permukaan kulit telur harus halus dan bersih, telur yang akan ditetaskan harus dalam keadaan segar (<7 hari), bobot telur itik berkisar antara 65--75 g.

Telur itik tetas adalah telur yang dikoleksi dari sarang itik bertelur. Menurut Suprijatna, et al. (2008), keberhasilan dalam penetasan buatan tergantung dari


(32)

15

banyak faktor antara lain telur tetas, mesin tetas, dan tata laksana penetasan. Telur tetas yang baik memiliki fertilitas dan daya tetas yang tinggi. Srigandono (1986) menyatakan bahwa telur tetas yang baik didapat langsung dari sarang yang bersih dan kering sehingga tidak terjadi kontaminasi yang dapat membahayakan kualitas telur. Perbedaan nyata dalam tingkat persentase menetas dari telur yang berasal dari kandang dengan sarang dan kandang tanpa sarang yaitu 75,93% dan 63,76% (Supardjata, 1977).

Ada beberapa tahapan dalam penetasan buatan, antara lain adalah pemilihan telur tetas, pembersihan telur tetas, fumigasi mesin tetas, pengaturan suhu dan

kelembapan, peneropongan serta pemutaran posisi telur. Keberhasilan usaha penetasan telur itik salah satunya ditentukan oleh faktor-faktor seperti: kualitas telur, bobot telur, indeks telur, fertlitas dan daya tetas (Istiana, 1994; Wibowoet al. 2005).

Pada proses penetasan suhu dan kelembapan harus diatur dan distabilkan selama 2x24 jam dan dipastikan tidak mengalami perubahan selama proses penetasan. Suhu dan kelembapan yang stabil ditujukan untuk mempertahankan kondisi telur agar tetap baik selama proses penetasan. Parkhus dan Moutney (1998)

menyatakan bahwa telur akan banyak menetas jika berada pada suhu antara 94--104°F (36--40°C). Kelembapan mesin tetas sebaiknya diusahakan tetap pada kisaran 65--75 %. Menurut hasil penelitian Maulidya (2013), kisaran daya tetas dari tiap perlakuan adalah suhu 36--37ºC (3,09 ±7,19%), suhu 37--38°C

(27,76 ± 19,41%), dan suhu 38--39°C (62 ± 13,6%). Hasil tersebut dapat


(33)

16

dibandingkan dengan suhu 36--37°C dan 37--38°C. Hal tersebut disebabkan oleh suhu yang diberikan sangat optimum dan hampir mendekati suhu pada penetasan alami.

Selain suhu dan kelembapan, pemutaran telur merupakan kegiatan yang penting dilakukan. Pemutaran dimulai pada hari ke 4--25. Hal ini bertujuan meratakan panas yang diterima telur selama periode penetasan, dan mencegah kematian embrio karena lengket pada salah satu sisi kerabang. Selain itu, masa kritis pertumbuhan embrio adalah hari ke-4 dan pada hari ke-26 embrio mulai mengatur posisi untuk menetas, sehingga tidak dilakukan pemutaran (Roni, 2012).

Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2006), pembalikan posisi telur selama inkubasi sangatlah penting dilakukan untuk memperoleh daya tetas yang tinggi. Selama inkubasi posisi telur sebaiknya bagian tumpul diletakkan keatas. Telur sebaiknya diputar 45odengan total putaran 90o. Pemutaran (turning)ini dimaksudkan agar permukaanyolktidak melekat pada membran kulit telur.

D. Pertumbuhan Embrio

Perkembangan embrio unggas terjadi di luar tubuh induknya. Setelah telur fertil ditelurkan, perkembangan embrio akan berhasil bila temperatur lingkungan diatas 80oF. Dua lapisan utamagerm(ectoderm dan entoderm) biasanya di bentuk saat telur di telurkan. Lapisan ketiga (mesoderm) dibentuk setelah temperatur

inkubator sesuai dengan pertumbuhan embrio. Setelah inkubasi dimulai,


(34)

17

Kilit, bulu, paruh, kuku, sistem syaraf, mulut, lensa dan retina mata, sertavent berkembang dari lapisanectoderm(Kurtini dan Riyanti, 2011).

a. Periode perkembangan embrio

Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), perkembangan embrio tidak dapat dilihat seluruhnya dengan mata telanjang, akan tetapi membutuhkan bantuan mikroskop atau kaca pembesar. Pada dasarnya pertumbuhan embrio setelah memasuki inkubator dapat digolongkan menjadi 3 periode, yaitu

1. pertumbuhan organ-organ dalam (umur 1--5 hari); 2. pertumbuhan jaringan luar (umur 6--14 hari);

3. pertumbuhan membesarnya embrio (umur 15--21 hari).

b. Perkembangan embrio per harinya

Menurut Rita (2010), yangdisitasiIstiana (2012), awal ke 1--1,5 terjadi perkembangan awal, perkembangan warna membran embrio coklat dengan diameter 1cm. Hari ke 2,5--3 terjadi perkembangan warna membran embrio coklat muda dengan diameter 3. Menuju hari ke 4--5 terdapat cincin darah yang terlihat jelas dan awal pembentukan cairan sub-embrio. Pada hari ke 5,5--15 terbentuk mata hitam yaitu pigmen hitam pada mata embrio jelas terlihat, serta sayap dan kaki dapat terlihat juga. Memasuki hari ke 6--21 bulu mulai ada meskipun bulu pertama mulai terlihat pada hari ke 11. Hari ke 22--25, embrio bergerak dari kepala diantara kaki ke posisi penetasan dan kuning telur tetap berada di luar badan embrio. Pada hari 25--27 terjadi robek internal. Paruh dari embrio menembus membran dalam ruang udara. Menjelang hari ke 25--27 terjadi


(35)

18

robek internal yaitu paruh dari embrio telah memecah cangkang. Pada hari ke 28 telur pun menetas sempurna.

E. Fertilitas

Fertilitas dapat diartikan sebagai presentase telur yang memperlihatkan adanya perkembangan embrio dari sejumlah telur yang dieramkan tanpa memperhatikan telur dapat atau tidak menetas. Telur tetas itik yang fertil dihasilkan melalui proses dari perkawinan antara itik jantan dengan itik betina dan memiliki benih embrio. Menurut Suryana (2011), rata-rata fertilitas telur tertinggi dengansex ratio(1:10) menunjukkan nilai sebesar 97,88 % dibandingkan dengansex ratio (1:28) dengan nilai 50,21%. Semakin tinggi angka yang diperoleh maka semakin baik pula kemungkinan daya tetasnya.

Fertilitas dipengaruhi antara lain oleh asal telur (hasil dari perkawinan atau tidak), ransum induk, umur induk, kesehatan induk, umur telur, dan kebersihan telur (Septiwan, 2007). Menurut Sudaryanti (1990), fertilitas dapat mencapai 85,5% pada itik yang dipelihara intensif dan penetasannya menggunakan mesin tetas. Selanjutnya Setiadiet al.(1994) mengemukakan bahwa fertilitas telur pada itik yang dipelihara intensif berkisar 72--92 %.

Fertilitas dan daya tetas telur itik memegang peranan penting dalam memproduksi bibit anak itik (Wibowoet al., 2005; Suryana dan Tiro, 2007) sehingga

dihasilkan jumlah bibit sesuai yang diharapkan (Suryana, 2011). Fertilitas telur itik juga dipengaruhi umur induk yang tepat. Induk jantan sebaiknya dikawinkan


(36)

19

pada umur 7--15 bulan dan betina pada umur 7--12 bulan (Kurtini dan Riyanti, 2011).

F. Daya Tetas

Daya tetas merupakan persentase jumlah telur yang menetas dari jumlah telur yang fertil. Daya tetas telur sangat ditentukan oleh berbagai faktor terutama nilai gizi dari induk. Nilai daya tetas ini baru dapat diketahui setelah anak ayam menetas (Wibowo dan Jafendi, 1994).

Banyak faktor yang memengaruhi daya tetas telur antara lain berat telur, bentuk telur, warna telur, keutuhan telur, kualitas telur, dan kebersihan kulit telur. Berat telur yang ditetaskan sebaiknya berkisar 65--75 g (Srigandono, 1986). Menurut Dewanti (2014), bobot telur tidak memengaruhi fertilitas dan daya tetas tetapi memengaruhi bobot tetas. Selain bobot telur, bentuk dan warna kulit telur juga harus oval dan seragam. Keseragaman bentuk telur ditujukan untuk

mengefektifkan jumlah telur dalam mesin tetas.

Warna kulit telur yang seragam juga memberikan dampak posif pada penetasan. Jika warna telur tidak seragam dikhawatirkan akan terjadi ketidakseragaman waktu menetas. Kurtini (1993) melaporkan bahwa telur itik yang memiliki warna hijau tua kebiruan menetas lebih lama dibandingkan dengan warna kulit telur hijau muda kebiruan (29 hari, 29 menit) dan ( 28 hari, 55 menit). Warna kulit telur hijau tua kebiruan juga memiliki daya tetas yang lebih rendah dibandingkan dengan telur yang berwarna hijau muda hingga sedang kebiruan (46,6%) dan (78,35 dan 70,74%).


(37)

20

Faktor lain yang memengaruhi daya tetas ialah genetik, nutrisi, fertilitas, dan penyakit (Sinabutar, 2009). Faktor genetik diantaranya adalah dewasa kelamin, umur, dan bangsa itik yang dapat memengaruhi bobot telur. Protein dalam pakan dapat memengaruhi umur dewasa kelamin dan bobot induk (Solihatet al.2003). Applegateet al. (1998) menyatakan bahwa bobot telur yang dihasilkan

berkorelasi positif dengan bobot induk. Selain itu, menurut Wilson (1997), daya tetas sangat dipengaruhi oleh status nutrien pakan induk, sehingga keseimbangan kebutuhan nutrien untuk perkembangan embrio normal tidak terpenuhi dengan baik (Kortlang, 1985).

Daya tetas dan kualitas telur tetas dipengaruhi oleh cara penyimpanan, lama penyimpanan, tempat penyimpanan, suhu lingkungan, suhu mesin tetas, dan pembalikan selama penetasan. Penyimpanan yang terlalu lama menyebabkan kualitas dan daya tetas menurun sehingga telur sebaiknya disimpan tidak lebih dari 7 hari (Raharjo, 2004). Darmanto (2014) menyatakan bahwa penyimpanan telur memiliki pengaruh sangat nyata terhadap daya tetas. Pada lama simpan 3--5 hari menunjukkan daya tetas lebih tinggi (76,67 + 1,04%) dan

(76,67 + 0,29%) jika dibandingkan dengan dengan telur itik yang disimpan 7 hari (51,67 + 0,58%). Hal ini dapat terjadi karena pada telur yang disimpan 3 dan 5 hari memiliki calon embrio yang telah terbiasa dengan suhu lingkungan dan lebih siap untuk tumbuh. Pada lama simpan 7 hari daya tetas menjadi rendah karena semakin lama telur tetas disimpan maka kualitas telur akan menurun dan akan mudah tercemari oleh mikroba patogen yang beresiko menurunkan daya tetas.


(38)

21

G. Susut Tetas

Susut tetas merupakan hilangnya bobot telur pada proses penetasan. Menurut North dan Bell (1990), penyusutan berat telur selama penetasan dipengaruhi oleh berat awal telur. Telur yang masih segar memiliki pori-pori kerabang telur yang lebih kecil dibandingkan dengan telur yang lama disimpan. Telur yang memiliki pori-pori kerabang kecil memungkinkan penguapan gas-gas dari dalam telur juga kecil, sehingga susut tetas dari telur yang ditetaskan semakin kecil juga.

Pori-pori kerabang telur yang lebih kecil tersebut dapat mencegah masuknya bakteri ke dalam telur, sehingga kualitas isi telur dapat dipertahankan.

Seperti yang diungkapkan oleh Rasyaf (1991), semakin lama telur tetas disimpan maka pori-pori kulit telur akan semakin lebar, sehingga memungkinkan penetrasi bakteri ke dalam telur tetas semakin besar yang mengakibatkan kualitas telur tetas semakin menurun.

Kualitas telur segar yang baik hanya bertahan hingga 5--7 hari pada suhu ruang dan akan mengalami penurunan kesegaran selama penyimpanan terutama

disebabkan oleh adanya kontaminasi mikrobia dari luar, masuk melalui pori-pori kerabang (Hadiwiyoto, 1983). Penyimpanan telur selama 5--10 hari juga dapat menyebabkan penurunan berat telur dan tinggi putih telur, tetapi meningkatkan pH putih telur dan volume buih putih telur (Silversides dan Budgell, 2004).

Menurut Imaiet al.(1986) yangdisitasiMeliyanti (2012), pada penyimpanan telur selama 0, 3, 7, 14, 21, dan 28 hari diperoleh penurunan bobot telur


(39)

22

berturut-turut 0; 0,94; 1,82; 2,99; 4,34; dan 5,90%. Penurunan bobot tersebut adalah berbeda nyata dan dinyatakan juga terjadi penurunan berat albumen, meningkatnya ruang udara telur, dan menurunnya haugh unit telur.

Menurut Meliyanti (2012), rata-rata susut tetas telur itik mojosari pada perlakuan penyimpanan telur tetas 1, 4, dan 7 hari berpengaruh tidak nyata (P>0,05). Rata-rata susut tetas telur itik Mojosari pada hari ke- 1, 4, dan 7 berturut-turut 7,35; 7,84; dan 8,35. Susut tetas berpengaruh sangat nyata dapat disebabkan oleh tebal kerabang yang berbeda. Kerabang yang terlalu tebal menyebabkan telur kurang terpengaruh oleh suhu penetasan, sehingga penguapan air dan gas sangat kecil. Telur yang berkerabang tipis mengakibatkan telur mudah pecah sehingga tidak baik untuk ditetaskan (Rasyaf, 1991).

Peebles dan Brake (1985) menyatakan bahwa penyusutan bobot telur tetas selama masa penetasan menunjukkan adanya perkembangan dan metabolisme embrio, yaitu dengan adanya pertukaran gas vital oksigen dan karbondioksida serta penguapan air melalui kerabang telur. Susut tetas yang terlalu tinggi

menyebabkan menurunnya daya tetas dan bobot tetas. Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), secara umum susut tetas yang dianjurkan adalah 12--14 %.

H. Kematian Embrio

Unggas memiliki perbedaan dalam sistem perkembangan embrio dengan

mamalia. Perkembangan embrio pada telur terjadi pada tiga tahapan waktu yang berbeda yaitu, sebelum telur dikeluarkan dari tubuh induk betina, waktu

pengeluaran hingga masa inkubasi dan selama masa inkubasi berlangsung (Maulidya, 2013). Kematian embrio merupakan kematian yang terjadi pada


(40)

23

embrio saat didalam cangkang atau belum menatas. Hal ini biasanya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu penyimpanan telur lebih dari 7 hari, telur dalam kondisi kotor sehingga mudah terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melaluli pori-pori (Rasyaf, 1990).

Kematian embrio dapat terjadi karena pakan induk mengalami defisiensi zat gizi seperti vitamin dan mineral, sehingga metabolisme dan perkembangan embrio menjadi tidak optimal. Untuk mengatasi hal ini, pada ransum induk perlu ditambahkan suplemen vitamin dan mineral yang banyak dijual di pasaran (Supriyanto, 2004). Selain penambahan suplemen pada ransum, menurut Widyaningrum (2012), penyemprotan dengan larutan vitamin B kompleks sebanyak 5 butir per liter dapat mengoptimalkan perkembangan embrio selama proses penetasan sehingga nilai kematian embrio menjadi berkurang.

Telur yang kotor juga merupakan salah satu faktor kematian embrio. Para ahli melaporkan bahwa sekitar 0,5-- 6% telur yang berasal dari ayam sehat

mengandungEscherichia coli dan sekitar 1,75% dari embrio yang mati

mengandung Escherichia coli serotype patogen. Sumber kematian embrio yang terpenting adalah akibat pencemaran feses pada telur. Telur tetas yang berasal dari lingkungan yang kotor dengan kualitas kerabang yang tipis akan mudah kemasukanEscherichia colidan dapat mencapaiyolk sac(Sayib, 2013).

Faktor lingkungan antara lain suhu, kelembapan dan konsentrasi gas yang terdapat di dalam telur (Kortlang, 1985). Kelembapan berpengaruh terhadap kecepatan hilangnya air dari dalam telur selama inkubasi (Setioko, 1998). Kehilangan air yang banyak menyebabkan keringnyachario-allantoicuntuk kemudian


(41)

24

digantikan oleh gas-gas, sehingga sering terjadi kematian embrio dan telur membusuk (Baruahet al., 2001).

Kematian embrio dapat juga terjadi karena prosedur penetasan yang tidak sesuai seperti, suhu inkubator terlalu tinggi atau terlalu rendah, penyimpanan telur yang terlalu lama, telur tidak diputar. Akibatnya, embrio tidak dapat tumbuh normal dan akhirnya mati (Putri, 2009).

Menurut Sudaryani (1999), beberapa penyebab kegagalan embrio saat penetasan: 1) Telur infertil, disebabkan oleh :

a) perbandingan induk jantan dan betina tidak memenuhi persyaratan induk jantan/betina sudah terlalu tua;

b) induk betina terlalu gemuk; c) kebersihan kerabang telur tetas;

d) telur tetas disimpan terlalu lama pada kondisi yang tidak sesuai sebelum dimasukan ke dalam mesin tetas;

e) pakan indukparent stockkekurangan vitamin A, B, C atau E dan; f) parent stockmengalami sakit/stres.

2) Embrio mati pada awal penetasan disebabkan oleh:

a) suhu mesin tetas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah; b) faktor genetikparent stock;

c) kesalahan dalam proses fumigasi (pengasapan); d) kesalahan pada pemutaran telur;


(42)

25

3) Embrio banyak yang mati di mesin penetasan pada umur 11--20 hari disebabkan oleh:

a) pemutaran telur yang tidak benar;

b) suhu dan kelembapan mesin tetas yang tidak tepat; c) faktor genetikparent stock;

d) peletakan telur padaegg trayyang tidak benar arahnya sebaiknya yang bulat diatas dan runcing dibawah;

e) sirkulasi udara yang tidak baik.

4) Embrio banyak yang mati setelah kulit telur retak

Bila embrio banyak yang mati sesudah kulit telur retak, penyebab utamanya adalah kelembapan di mesinhatcher(penetasan) terlalu rendah dan terjadi fluktuasi suhu di mesinsetter.

5) Menetas terlalu cepat, disebabkan oleh suhu mesinsetter/hatcheryang terlalu tinggi.

6) Menetas terlambat

Kemungkinan disebabkan oleh suhu mesinsetterterlalu rendah atau sebelum ditetaskan, telur tetas telah lama disimpan.

7) Menetas tidak serempak, disebabkan oleh:

a) penyebaran panas di dalam mesin tetas tidak merata;

b) telur tetas berasal dari induk/parent stockyang berbeda umur dan ukuran telur yang beragam.

8) Pusarfinal stocktidak menutup secara sempurna, disebabkan oleh: a) suhu di mesinhatcherterlalu tinggi;


(43)

26

c) kesalahan teknik fumigasi pada saat telur berada di mesinhatcher; d) kelembapan di mesinhatcherterlalu rendah.

9) Final stocktertutup cairan disebabkan oleh: a) suhu di mesin tetas terlalu rendah;

b) kelembapan di mesin tetas terlalu tinggi dan kandungan gizi pakanparent stockkurang tepat.

10) Final stockterlalu kecil, disebabkan oleh: a) berat telur tetas terlalu rendah;

b) kelembapan di mesin tetas terlalu rendah dan suhu di mesin tetas terlalu tinggi.

11) Final stocklemah disebabkan oleh:

a) suhu dan kelembapan di mesinhatcherterlalu tinggi atau terlalu rendah; b) kandungan gizi pakanparent stockkurang tepat;

c) telur tetas berasal dari indukparent stockyang masih muda.

I. Vitamin B kompleks

Vitamin B kompleks adalah satu kelompok vitamin B yang terdiri dari: vitamin B1(thiamine),vitamin B2(riboflavin),vitamin B3(niacin),vitamin B5

(pantothenic acid/asam pantotenat),vitamin B6(pyridoxamine),vitamin B9(folic acid/asam folat),vitamin B12(cyanocob),vitamin B7(biotin), Kolin, dan inositol (Yuniastuti, 2007). Vitamin B bekerja dengan bersinergi, yaitu antara jenis yang satu dan jenis yang lain saling melengkapi. Kekurangan salah satu dari vitamin B kompleks dapat menyebabkan ketidakseimbangan sistem tubuh. Vitamin B


(44)

27

kompleks bersifat larut dalam air. Kelebihan mengonsumsi vitamin B akan di eskresikan melalui urin (Sulaksono, 2013).

Lebih lanjut dikemukakan oleh Sulaksono (2013) bahwa vitamin B kompleks memiliki manfaat memproduksi energi, membantu kerja sistem saraf,

mempertahankan kondisi tubuh yang sehat, menjaga sistem pencernaan, serta menjaga kesehatan rambut dan kuku.

Vitamin B1,diperlukan untuk mengubah karbohidrat menjadi glukosa. Vitamin B1 (thiamine) berfungsi pada unsur sistem enzim jaringan terutama dalam

dekarboksilasi asam piruvat dan ketoglutarat. Kekurangan vitamin-vitamin B ini dapat menyebabkan penurunan produksi energi, yang menyebabkan lesu dan mudah kelelahan (Yuniastuti, 2007).

Vitamin B5, diperlukan agar kelenjar adrenal bekerja dengan baik untuk

memproduksi beberapa hormon dan zat pengatur saraf. Kekurangan vitamin B5 (asam pantotenat) berupa kelelahan, rasa lemah, gangguan saluran cerna, dan gangguan otot berupa kejang (Departemen Gizi dan Kesahatan Masyarakat, 2011).

Vitamin B6,membantu tubuh dalam membuat hormon-hormon tertentu, serta senyawa kimia khusus dalam otak yang disebut dengan neurotransmitter. Vitamin B6 (pyridoxine)membantu memproduksi sel darah merah, yang akan membantu mencegah anemia. Vitamin B6 berfungsi membantu pelepasan glikogen dari hati dan otot menjadi energi dan disimpan dalam otot (Achadi, 2007).


(45)

28

Vitamin B9atau asam folat sangat berperan penting bagi ibu hamil untuk

mencegah cacat tabung saraf pada janin selama pertumbuhan di dalam kandungan. Kekurangan salah satu dari vitamin B kompleks dapat menyebabkan perasaan mudah stres, cemas dan depresi. Vitamin B9 berperan dalam mentransfer dan pemakaian gugus karbon. Mempunyai peran spesifik dalam metabolisme histidin dan peran dalam hemopoesis (Yuniastuti, 2007).

Vitamin B kompleks,sangat penting untuk menjaga pencernaan, yaitu membantu produksi HCl (asam klorida ), membantu pemecahan lemak, protein dan

karbohidrat. Vitamin B sangat penting untuk RNA, DNA dan reproduksi sel tubuh. Kulit, rambut, dan kuku yang terus tumbuh membutuhkan vitamin B (Sulaksono, 2013). Vitamin B yang berfungsi menjaga pencernaan adalah vitamin B1, vitamin B2, Vitamin B3 dan Vitamin B6. Kekurangan dalam salah satu dapat menyebabkan pencernaan terganggu, akibatnya tubuh juga akan kekurangan nutrisi penting (Departemen Gizi dan Kesahatan Masyarakat, 2011).

Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo ( 2010), fungsi B kompleks secara umum yaitu:

1) memengaruhi keseimbangan air dalam tubuh;

2) berguna dalam proses pertumbuhan dan perbanyakan sel; 3) berguna dalam pembuatan sel-sel darah;

4) berguna dalam proses pertumbuhan dan pekerjaan urat syaraf; 5) merangsang pembentukan eritrosit.

Menurut Achadi (2007), kebutuhan B kompleks dalam sehari belum bisa ditentukan. Akan tetapi, vitamin B kompleks rata - rata terkandung dalam


(46)

29

makanan sehari–hari sekitar 500 -- 900 mg. Penggunaan yang terbaik dan aman bagi tubuh manusia dewasa ialah 200-- 400 mg.

Kebutuhan vitamin B kompleks dalam tubuh sebaiknya tercukupi, jika tubuh mengalami kekurangan asupan B kompleks maka akan timbul gejala--gejala:

1) terjadi kelemahan pada otot;

2) badan menjadi kurus, gangguan syaraf dan kelumpuhan kaki; 3) sesak nafas dan ederma yang disebabkan oleh gagal fungsi jantung; 4) cepat lelah;

5) kulit kasar dan berminyak dan gangguan pertumbuhan.

Menurut Sulaksono (2013), kelebihan mengonsumsi vitamin B kompleks juga dapat menyebabkan efek samping negatif. Efek samping ini termasuk asam urat, gula darah tinggi, dan masalah kulit. Selain itu, dosis yang tak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi jantung dan hati. Kelebihan vitamin B3 atau niasin dapat menyebabkan masalah penglihatan, mual, muntah, dan memperparah sakit maag. Kelebihan B9 atau asam folat dapat mengganggu kerja sistem lain. Kelebihan niacin ini juga dapat menimbulkan efek samping pada hati.


(47)

30

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan pada April--Mei 2015.

B. Alat dan Bahan

1) Alat yang digunakan dalam penelitian

Satu buah mesin tetas tipe meja kapasitas 200 butir dengan ukuran (80 cm x 66 cm x 54 cm);Thermohygrometeryang digunakan untuk mengukur suhu dan kelembapan ruang mesin tetas;Thermometerair yang digunakan untuk mengukur suhu air dalamsprayer;Sprayeruntuk menyemprotkan air dan larutan vitamin B kompleks; Timbangan digital untuk menimbang telur; Bak air untuk tempat air dalam mesin tetas; Boks DOD sebagai tempat pertama penenganan DOD setelah menetas;Candleryang akan digunakan untuk meneropong telur.

2) Bahan yang digunakan pada penelitian

Itik tegal jantan dan betina berumur 10 bulan dengansex ratio1: 10; Telur itik sejumlah 120 butir berumur 4 hari dengan kondisi kerabang bersih, berbentuk oval, warna seragam (hijau muda kebiruan), dan bobot berkisar


(48)

31

65--75 g dengan nilai koefisien variasi sebesar 4,72%; Larutan vitamin B kompleks dengan dosis 4, 6, dan 8 g/l air yang digunakan sebagai sumber kelembapan; Desinfektan yang digunakan pada sanitasi mesin tetas adalah sabun krim yang dilarutkan dengan minyak tanah dan air; Fumigan yang digunakan untuk fumigasi mesin tetas dengan kekuatan 2 kali adalah formalin (8 ml) dan kalium permanganat (KMnO4) (4 g).

C. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Langkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Setiap satuan percobaan menggunakan 6 telur itik. Perlakuan yang diberikan adalah

P0 : perlakuan penyemprotan telur itik dengan air;

P1 : perlakuan penyemprotan telur itik menggunakan larutan B kompleks dengan dosis 4 g/l air;

P2 : perlakuan penyemprotan telur itik menggunakan larutan B kompleks dengan dosis 6 g/l air;

P3 : perlakuan penyemprotan telur itik menggunakan larutan B kompleks dengan dosis 8 g/l air.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan asumsi sidik ragam pada taraf nyata 5% dan ditransformasi arcsin untuk data persen yang sesuai. Hasil yang berbeda nyata diuji lanjut dengan uji polinomial ortogonal untuk mengetahui perlakuan yang optimal (Steel and Torrie, 1991).


(49)

32

E. Prosedur Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap menyiapkan telur tetas, tahap menyiapkan mesin tetas, dan kegiatan selama proses penetasan. a. Tahap menyiapkan telur tetas

Tahap persiapan dilaksanakan pada dua hari sebelum pelaksanaan penetasan yang meliputi :

1) seleksi telur tetas berdasarkan pada kualitas telur, kebersihan telur, bentuk telur yang oval, serta kisaran bobot telur 65--75g (Srigandono,1986), warna kerabang hijau muda hingga sedang kebiruan (Kurtini, 1993) dan berumur 4 hari;

2) telur diambil dari induk dengansex ratio1:10 dengan umur induk jantan dan betina sama 10 bulan;

3) menimbang dan memberi tanda berupa nomor dan meletakkannya pada tempat telur berupa kawat.

b. Tahap menyiapkan mesin tetas 1) Sanitasi

Tahap sanitasi meliputi sanitasi peralatan dan sanitasi ruangan mesin tetas. Sanitasi alat dan ruangan dilakukan dengan cara mengeluarkan seluruh alat. Menyemprot alat dan ruangan mesin tetas dengan larutansanitizeryang terbuat dari campuran sabun krim, minyak tanah, dan air. Menyemprotkan ke mesin tetas hingga merata kemudian membilas dengan air hingga bersih.

2) Menyiapkan mesin tetas


(50)

33

kelembapan 55--60%. Memasukan telur dan fumigasi setelah suhu dan kelembapannya stabil.

3) Fumigasi

Fumigasi dilakukan dengan kekuatan 2x . Tahap fumigasi dilakukan setelah sanitasi dan persiapan mesin tetas selesai dengan menempatkan telur tetas terlebih dahulu kemudian menaruh KMnO4 sebanyak 4 g dalam cawan yang diletakkan di dasar mesin tetas. Menambahkan formalin ( 8 cc) yang telah diukur secara perlahan dan menutup mesin tetas hingga hari ke- 3.

c. Tahap selama proses penetasan

a. Hari ke 1 : memasukkan telur ke dalam mesin tetas setelah langkah-langkah persiapan sudah siap yaitu suhu 38,5oC dan kelembapan 60%. Ventilasi ditutup rapat, suhu 38,5oC.

b. Hari ke 2--3 : mesin tetas dibiarkan tertutup rapat, suhu 38,5oC

c. Hari ke 4--26 : pemutaran telur, pemutaran telur dilakukan sehari 4 kali yakni pagi jam 06.00, siang jam 12.00, malam jam 18.00 dan 24.00. Pemutaran dilakukan di luar mesin tetas dan pendinginan 5 menit.

d. Perlakuan penyemprotan menggunakan air bersuhu 25oC dan larutan B kompleks pada berbagai dosis perlakuan dilakukan mulai hari ke 4--26 pada pukul 06.00 WIB bersamaan dengan pendinginan dan pemuturan telur. e. Hari ke 5 : putar 4 kali dan pendinginan, ventilasi dibuka ½ bagian. f. Hari ke 6 : putar 4 kali dan pendinginan, ventilasi dibuka ¾ bagian.

g. Hari ke 7, 14, dan 21 : melakukancandlingtelur dengan meneropong satu per satu telur dan menyeleksi telur yang embrionya hidup serta memasukkan kembali ke


(51)

34

dalam mesin tetas. Mencatat jumlah telur infertil dan menghitung padacandling ke 2.

h. Hari ke 8: ventilasi mesin tetas dibuka seluruhnya.

i. Menimbang telur pada hari ke-24 bersamaan dengan pemutaran dan pendinginan telur untuk mengetahui susut tetas dan mencatat hasilnya. j. Menghentikan pemutaran, pendinginan dan penyemprotan telur hingga telur

menetas.

k. Hari ke 26--28: mengamati telur yang akan menetas dan memberi pertolongan pada telur yang sukar menetas.

d. Penanganan DOD (Day Old Duck)

1) Setelah anak itik menetas dan bulu kering (95%), anak itik dipindahkan ke kandang boks dan diberi pemanas sebagai ganti induk itik serta memberi minum berupa larutan gula.

2) Penghitungan daya tetas telur dan tingkat kematian embrio per perlakuan. 3) Pemeliharaan selanjutnya seperti memelihara itik unggas pada umumnya,

untuk anak itik pemberian ransum dicampur air (sedikit basah)

F. Peubah yang Diamati

a. Fertilitas

Fertilitas dapat diartikan sebagai presentase telur yang memperlihatkan adanya perkembangan embrio dari sejumlah telur yang dieramkan tanpa memperhatikan telur dapat atau tidak menetas.


(52)

35

Fertilitas = telur yang menunjukkan perkembangan embrio X 100% Jumlah telur yang ditetaskan

(Darmantoet al.,2014)

b. Daya tetas

Daya tetas adalah banyaknya telur yang menetas berdasarkan telur yang fertil. Daya tetas = Jumlah telur menetas X 100%

Jumlah telur fertil

(Darmantoet al.,2014)

c. Kematian embrio

Kematian embrio merupakan kematian yang terjadi pada embrio saat di dalam kerabang atau belum menetas.

Kematian embrio = Embrio yang mati X 100% Jumlah telur fertil

(Darmantoet al.,2014)

d. Susut tetas

Susut tetas dihitung dengan cara:

Susut tetas = Bobot awal telur - bobot akhir telur (hari ke- 24) X 100% Bobot awal telur


(53)

50

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Penyemprotan larutan vitamin B kompleks (0--8 g/l air) memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap fertilitas, daya tetas, dan kematian embrio. Akan tetapi, berpengaruh nyata (P<0,05) pada susut tetas.

2. Dosis optimal penggunaan larutan vitamin B kompleks (0--8 g/l air) sebagai bahan penyemprotan telur tetas itik tegal adalah 3,9 g/l air pada susut tetas.

B. Saran

Saran yang dianjurkan penulis berdasarkan penelitian ini adalah perlunya diadakan penelitian lanjutan tentang penggunaan dosis yang lebih rendah untuk mengetahui dosis yang optimal dalam penggunaan vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan telur itik tegal terhadap daya tetas.


(54)

50

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2009. Membuat dan Mengelola Mesin Tetas Semi Modern. Agromedia Pustaka. Depok.

Achadi, E. L. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Radja Grafindo Persada. Jakarta.

Applegate, T.J, D. Harper and L. Lilburn. 1998. Effects of hen age on egg

composition and embryo development in commercial Pekin ducks. Poultry Science 77:16081612.

Badan penelitian dan pengembangan pertanian. 2000. Penyusunan

Ransum untuk Itik Petelur. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Jakarta.

Baruah, K.K, P.K. Sharma dan N.N, Bora. 2001. Fertility, hatchability and embryonic mortality inducks. J. IndianVeteterinary 78:529--530. Darmanto K. P, Achmanu, dan E. Sudjarwo. 2014. Pengaruh suhu dan lama

simpan telur tetas itik hibrida terhadap daya tetas dan kematian embrio. Universitas Brawijaya. Malang.

Dewanti R, Yuhan, dan Sudiyono. 2014. Pengaruh bobot dan frekuensi pemutaran telur terhadap fertilitas, daya tetas, dan bobot tetas itik lokal. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Departemen Gizi dan Kesahatan Masyarakat. 2011. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyrakat, Universitas Indonesia. Jakarta.

Fathul, F. N. Purwaningsih, dan S. Tantalo. 2003. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum Buku Ajar. Jurusan produksi ternak. Fakultas pertanian. Universitas lampung.

Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty. Yogyakarta.

Hariyanto. A. 2010. Manajemen penetasan telur itik. http://itikmojosari. Cara cara mudah menetaskan telur-itik. html.


(55)

51

Hartono, T dan Isman. 2012. Kiat Sukses Menetaskan Telur Ayam. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Istiana. 1994. Kematian embrio akibat infeksi bakteri pada telur tetas di penetasan itik alabio dan perkiraan kerugian ekonominya. Jurnal penyakit hewan. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. 26 (45):36--40. Istiana, A. 2012. Pengaruh Pengelolaan Penetasan terhadap Fertilitas dan Daya

Tetas Telur Hasil Persilangan Itik Tegal dan Mojosari. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Kartasapoetra dan Marsetyo. 2010. Ilmu Gizi. Rineka Cipta. Jakarta.

Kartasudjana, R. dan E. Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

King’ori, A. M. 2011. Review of thefactors that influence egg fertility and hatchability in Poultry. Int. J. Poult. Sci. 10: 483--492.

Kortlang, 1989. Study on the temperature regime in incubation of muscovy duck eggs. (20 Februari 2015).

Kurtini.T dan Riyanti. 2011. Buku Ajar Teknologi Penetasan. Universitas Lampung. Bandar lampung.

Kurtini. T . 1993. Pengaruh warna kulit telur terhadap daya tetas itik tegal. BKS-PTN Barat. Palembang.

Meliyanti, N. 2012. Pengaruh Umur Telur Tetas Itik Mojosari dengan Penetasan Kombinasi terhadap Fertilitas dan Daya Tetas. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Mulyadi T. 2015. 5 Contoh Pelapukan Kimia. Budisma.net. (12 Agustus 2015). Ningtyas, M. S. 2013. Pengaruh temperatur terhadap daya tetas dan hasil tetas

teluritik(Anasplathyrinchos).(20 Februari 2015).

North, M.O. and D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Edition. By Van Nostrand. Rainhold. New York.

Nuryati. T, Sutarto, Khamim, S. Hardjosworo. 2000. Sukses Menetaskan Telur. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Peebles, E. D. and J. Brake. 1985. Relationship of Egg Shell Porosity of Stage of Embryonic Development in Broiler Breeders. Poult. Sci. 64 (12) : 2388. Permatasari, I. 2014. Blog Resmi Toko Mirah Pasar Ngajuk. Ngajuk. Jawa


(56)

52

Putri, R. 2009. Pemberian tepung cangkang telur ayam ras dalam ransum terhadap fertilitas, daya tetas dan mortalitas burung puyuh cortunix cortunixjaponica. (06 Juli 2015).

Rasyaf. 1990. Pengaruh temperatur terhadap daya tetas dan hasil tetas telur itik (Anasplathyrinchos). (06 Juli 2015).

Rasyaf. 1991. Pengelolaan Penetasan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Roni, P. 2012. Umur dan bobot telur terhadap persentase.daya tetas telur ayam arab. (20 Februari 2015)

Rukmana. N. 2009. Berita-Info Bisnis, Info Produk, Kategori lainnya, Peluang Bisnis, Potensi Bisnis Daerah.http://bisnisukm.com/potensi

pengembangan-itik-di-tegal.html.

Rusnandih. 2001. Susut Tetas dan Jenis Kelamin Itik Berdasarkan Klasifikasi Bobot dan Nisbah Kelamin. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sandjaja dan Atmarita. 2009. Kamus Gizi. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. Sayib. A, 2013. Pengaruh umur dan frekuensi pemutaran telur itik lokal terhadap

mortalitas, daya tetas, kualitas tetas dan bobot tetas. (14 Februari 2015). Septiwan, 2007. Respon produktivitas dan reproduktivitas ayam kampung dengan

umur induk yang berbeda. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Setiadi, P., A.P Sinurat, A.R. Setioko, dan A. Lasmini. 1994. Perbaikan Sanitasi untuk Meningkatkan Daya Tetas Telur Itik di Pedesaan. Prosiding. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Setioko, A. R. 1998. Penetasan telur itik di Indonesia. /Wartazoa volume 7 (2) tahun 1998. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Setioko, A.R, T. Susanti, L.H. Prasetyo dan Supriyadi. 2004. Produktivitas itik alabio dan MA dalam sistem perbibitan di BPTU Pelaihari. Di dalam; IPTEK Sebagai Motor Penggerak Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan. Prosding. Seminar Nasional Teknologi

Peternakan dan Veteriner; Bogor, 4--5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Bogor.

Solihat, S. Suswoyo dan I. Ismoyowati. 2003. Kemampuan Performan Produksi Telur dari Berbagai Itik Lokal. Jurnal Peternakan Tropis 3 (1):27--32.


(57)

53

Sinabutar, 2009. Pengaruh Frekuensi Inseminasi Buatan terhadap Daya Tetas Telur Itik Lokal yang di Inseminasi Buatan dengan Semen Entok. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara. Medan.

Silversides, F.G. dan K. Budgell. 2004. The relationships amoung measures of egg albumen height, pH, and whipping volume. Poultry Sci. 83 : 1619--1623. Soedjarwo, E. 2007. Membuat Mesin Tetas Sederhana. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Srigandono B. 1986. Ilmu Unggas Air. Gajah Mada press. Yogyakarta. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu

Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Subiharta, 2010. Menejemen penetasan telur itik tegal. Bahan pelatihan dan

kegiatan FEATI (Famer empowerment trought agricultural teghnology and inovation).

Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suharno, B. 2010. Beternak Itik Secara Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta. Suryana, Sholih, N. H., H. Kurniawan, Suprijono, dan R. Qomariah. 2013.

pengaruh perbandingan jantan-betina terhadap fertilitas dan daya tetas telur itik di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Kalimantan Selatan.

Sudaryani, T. dan Santosa. 1999. Pembibitan Ayam Ras.Penebar Swadaya. Jakarta.

Sudaryanti. 1990. Pentingnya Memperhatikan Berat Telur Tetas Pada

Pemeliharaan Semi Intensif. Prosiding Seminar dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Ciawi-Bogor. Bogor.

Sulaksono, S. 2013. Manfaat vitamin B kompleks bagi kesehatan kita. (14 Januari 2015).

Supriyanto. 2004. Evaluasi telur tetas hasil IB antara itik mojosari putih dengan pejantan peking. (22 Februari 2015).

Suryana. 2011. Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas

Platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan dalam Rangka Pelestarian dan Pemanfaatannya secara Berkelanjutan. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Bogor.


(58)

54

Syekhfani. 2013.From soil, eating soil, back to soil-Leading a decent life. Universitas Brawijaya. Malang. (20 Januari 2015)

Whendarto. I dan I. M. Madyana. 1986. Beternak Itik Tegal Secara Populer. Eka Offset. Semarang.

Wibowo, B., Juarini dan E. Sunarto. 2005. Analisa ekonomi usaha penetasan teluritik di sentra produksi. Di dalam: merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan menengah unggas air. Prosiding lokakarya unggas air II. Balai Penelitian Ternak dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 261--270.

Wibowo, Y. T dan Jafendi, 1994. Penentuan daya tetas dengan menggunakan metode gravitasi spesifik pada tingkat berat inisial ayam kampung yang berbeda. Buletin peternakan vol(18).

Widyaningrum, A. E. 2012. Pengaruh jenis bahan dan frekuensi penyemprotan terhadap daya tetas, bobot tetas, dan dead embrio telur itik khaki campble. Universitas Brawijaya. Malang.


(1)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Penyemprotan larutan vitamin B kompleks (0--8 g/l air) memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap fertilitas, daya tetas, dan kematian embrio. Akan tetapi, berpengaruh nyata (P<0,05) pada susut tetas.

2. Dosis optimal penggunaan larutan vitamin B kompleks (0--8 g/l air) sebagai bahan penyemprotan telur tetas itik tegal adalah 3,9 g/l air pada susut tetas.

B. Saran

Saran yang dianjurkan penulis berdasarkan penelitian ini adalah perlunya diadakan penelitian lanjutan tentang penggunaan dosis yang lebih rendah untuk mengetahui dosis yang optimal dalam penggunaan vitamin B kompleks sebagai bahan penyemprotan telur itik tegal terhadap daya tetas.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2009. Membuat dan Mengelola Mesin Tetas Semi Modern. Agromedia Pustaka. Depok.

Achadi, E. L. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Radja Grafindo Persada. Jakarta.

Applegate, T.J, D. Harper and L. Lilburn. 1998. Effects of hen age on egg

composition and embryo development in commercial Pekin ducks. Poultry Science 77:16081612.

Badan penelitian dan pengembangan pertanian. 2000. Penyusunan

Ransum untuk Itik Petelur. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Jakarta.

Baruah, K.K, P.K. Sharma dan N.N, Bora. 2001. Fertility, hatchability and embryonic mortality inducks. J. IndianVeteterinary 78:529--530. Darmanto K. P, Achmanu, dan E. Sudjarwo. 2014. Pengaruh suhu dan lama

simpan telur tetas itik hibrida terhadap daya tetas dan kematian embrio. Universitas Brawijaya. Malang.

Dewanti R, Yuhan, dan Sudiyono. 2014. Pengaruh bobot dan frekuensi pemutaran telur terhadap fertilitas, daya tetas, dan bobot tetas itik lokal. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Departemen Gizi dan Kesahatan Masyarakat. 2011. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyrakat, Universitas Indonesia. Jakarta.

Fathul, F. N. Purwaningsih, dan S. Tantalo. 2003. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum Buku Ajar. Jurusan produksi ternak. Fakultas pertanian. Universitas lampung.

Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty. Yogyakarta.

Hariyanto. A. 2010. Manajemen penetasan telur itik. http://itikmojosari. Cara cara mudah menetaskan telur-itik. html.


(3)

penyakit hewan. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. 26 (45):36--40. Istiana, A. 2012. Pengaruh Pengelolaan Penetasan terhadap Fertilitas dan Daya

Tetas Telur Hasil Persilangan Itik Tegal dan Mojosari. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Kartasapoetra dan Marsetyo. 2010. Ilmu Gizi. Rineka Cipta. Jakarta.

Kartasudjana, R. dan E. Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

King’ori, A. M. 2011. Review of thefactors that influence egg fertility and hatchability in Poultry. Int. J. Poult. Sci. 10: 483--492.

Kortlang, 1989. Study on the temperature regime in incubation of muscovy duck eggs. (20 Februari 2015).

Kurtini.T dan Riyanti. 2011. Buku Ajar Teknologi Penetasan. Universitas Lampung. Bandar lampung.

Kurtini. T . 1993. Pengaruh warna kulit telur terhadap daya tetas itik tegal. BKS-PTN Barat. Palembang.

Meliyanti, N. 2012. Pengaruh Umur Telur Tetas Itik Mojosari dengan Penetasan Kombinasi terhadap Fertilitas dan Daya Tetas. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Mulyadi T. 2015. 5 Contoh Pelapukan Kimia. Budisma.net. (12 Agustus 2015). Ningtyas, M. S. 2013. Pengaruh temperatur terhadap daya tetas dan hasil tetas

teluritik(Anasplathyrinchos).(20 Februari 2015).

North, M.O. and D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Edition. By Van Nostrand. Rainhold. New York.

Nuryati. T, Sutarto, Khamim, S. Hardjosworo. 2000. Sukses Menetaskan Telur. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Peebles, E. D. and J. Brake. 1985. Relationship of Egg Shell Porosity of Stage of Embryonic Development in Broiler Breeders. Poult. Sci. 64 (12) : 2388. Permatasari, I. 2014. Blog Resmi Toko Mirah Pasar Ngajuk. Ngajuk. Jawa


(4)

Putri, R. 2009. Pemberian tepung cangkang telur ayam ras dalam ransum terhadap fertilitas, daya tetas dan mortalitas burung puyuh cortunix cortunixjaponica. (06 Juli 2015).

Rasyaf. 1990. Pengaruh temperatur terhadap daya tetas dan hasil tetas telur itik (Anasplathyrinchos). (06 Juli 2015).

Rasyaf. 1991. Pengelolaan Penetasan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Roni, P. 2012. Umur dan bobot telur terhadap persentase.daya tetas telur ayam arab. (20 Februari 2015)

Rukmana. N. 2009. Berita-Info Bisnis, Info Produk, Kategori lainnya, Peluang Bisnis, Potensi Bisnis Daerah.http://bisnisukm.com/potensi

pengembangan-itik-di-tegal.html.

Rusnandih. 2001. Susut Tetas dan Jenis Kelamin Itik Berdasarkan Klasifikasi Bobot dan Nisbah Kelamin. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sandjaja dan Atmarita. 2009. Kamus Gizi. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. Sayib. A, 2013. Pengaruh umur dan frekuensi pemutaran telur itik lokal terhadap

mortalitas, daya tetas, kualitas tetas dan bobot tetas. (14 Februari 2015). Septiwan, 2007. Respon produktivitas dan reproduktivitas ayam kampung dengan

umur induk yang berbeda. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Setiadi, P., A.P Sinurat, A.R. Setioko, dan A. Lasmini. 1994. Perbaikan Sanitasi untuk Meningkatkan Daya Tetas Telur Itik di Pedesaan. Prosiding. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Setioko, A. R. 1998. Penetasan telur itik di Indonesia. /Wartazoa volume 7 (2) tahun 1998. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Setioko, A.R, T. Susanti, L.H. Prasetyo dan Supriyadi. 2004. Produktivitas itik alabio dan MA dalam sistem perbibitan di BPTU Pelaihari. Di dalam; IPTEK Sebagai Motor Penggerak Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan. Prosding. Seminar Nasional Teknologi

Peternakan dan Veteriner; Bogor, 4--5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Bogor.

Solihat, S. Suswoyo dan I. Ismoyowati. 2003. Kemampuan Performan Produksi Telur dari Berbagai Itik Lokal. Jurnal Peternakan Tropis 3 (1):27--32.


(5)

egg albumen height, pH, and whipping volume. Poultry Sci. 83 : 1619--1623. Soedjarwo, E. 2007. Membuat Mesin Tetas Sederhana. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Srigandono B. 1986. Ilmu Unggas Air. Gajah Mada press. Yogyakarta. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu

Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Subiharta, 2010. Menejemen penetasan telur itik tegal. Bahan pelatihan dan

kegiatan FEATI (Famer empowerment trought agricultural teghnology and inovation).

Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suharno, B. 2010. Beternak Itik Secara Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suryana, Sholih, N. H., H. Kurniawan, Suprijono, dan R. Qomariah. 2013. pengaruh perbandingan jantan-betina terhadap fertilitas dan daya tetas telur itik di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Kalimantan Selatan.

Sudaryani, T. dan Santosa. 1999. Pembibitan Ayam Ras.Penebar Swadaya. Jakarta.

Sudaryanti. 1990. Pentingnya Memperhatikan Berat Telur Tetas Pada

Pemeliharaan Semi Intensif. Prosiding Seminar dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Ciawi-Bogor. Bogor.

Sulaksono, S. 2013. Manfaat vitamin B kompleks bagi kesehatan kita. (14 Januari 2015).

Supriyanto. 2004. Evaluasi telur tetas hasil IB antara itik mojosari putih dengan pejantan peking. (22 Februari 2015).

Suryana. 2011. Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas

Platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan dalam Rangka Pelestarian dan Pemanfaatannya secara Berkelanjutan. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan


(6)

Syekhfani. 2013.From soil, eating soil, back to soil-Leading a decent life. Universitas Brawijaya. Malang. (20 Januari 2015)

Whendarto. I dan I. M. Madyana. 1986. Beternak Itik Tegal Secara Populer. Eka Offset. Semarang.

Wibowo, B., Juarini dan E. Sunarto. 2005. Analisa ekonomi usaha penetasan teluritik di sentra produksi. Di dalam: merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan menengah unggas air. Prosiding lokakarya unggas air II. Balai Penelitian Ternak dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 261--270.

Wibowo, Y. T dan Jafendi, 1994. Penentuan daya tetas dengan menggunakan metode gravitasi spesifik pada tingkat berat inisial ayam kampung yang berbeda. Buletin peternakan vol(18).

Widyaningrum, A. E. 2012. Pengaruh jenis bahan dan frekuensi penyemprotan terhadap daya tetas, bobot tetas, dan dead embrio telur itik khaki campble. Universitas Brawijaya. Malang.