G. Susut Tetas
Susut tetas merupakan hilangnya bobot telur pada proses penetasan. Menurut North dan Bell 1990, penyusutan berat telur selama penetasan dipengaruhi oleh
berat awal telur. Telur yang masih segar memiliki pori-pori kerabang telur yang lebih kecil dibandingkan dengan telur yang lama disimpan. Telur yang memiliki
pori-pori kerabang kecil memungkinkan penguapan gas-gas dari dalam telur juga kecil, sehingga susut tetas dari telur yang ditetaskan semakin kecil juga.
Pori-pori kerabang telur yang lebih kecil tersebut dapat mencegah masuknya bakteri ke dalam telur, sehingga kualitas isi telur dapat dipertahankan.
Seperti yang diungkapkan oleh Rasyaf 1991, semakin lama telur tetas disimpan maka pori-pori kulit telur akan semakin lebar, sehingga memungkinkan penetrasi
bakteri ke dalam telur tetas semakin besar yang mengakibatkan kualitas telur tetas semakin menurun.
Kualitas telur segar yang baik hanya bertahan hingga 5--7 hari pada suhu ruang dan akan mengalami penurunan kesegaran selama penyimpanan terutama
disebabkan oleh adanya kontaminasi mikrobia dari luar, masuk melalui pori-pori kerabang Hadiwiyoto, 1983. Penyimpanan telur selama 5--10 hari juga dapat
menyebabkan penurunan berat telur dan tinggi putih telur, tetapi meningkatkan pH putih telur dan volume buih putih telur Silversides dan Budgell, 2004.
Menurut Imai et al.1986 yang disitasi Meliyanti 2012, pada penyimpanan telur selama 0, 3, 7, 14, 21, dan 28 hari diperoleh penurunan bobot telur
berturut-turut 0; 0,94; 1,82; 2,99; 4,34; dan 5,90. Penurunan bobot tersebut adalah berbeda nyata dan dinyatakan juga terjadi penurunan berat albumen,
meningkatnya ruang udara telur, dan menurunnya haugh unit telur. Menurut Meliyanti 2012, rata-rata susut tetas telur itik mojosari pada perlakuan
penyimpanan telur tetas 1, 4, dan 7 hari berpengaruh tidak nyata P0,05. Rata-rata susut tetas telur itik Mojosari pada hari ke- 1, 4, dan 7 berturut-turut
7,35; 7,84; dan 8,35. Susut tetas berpengaruh sangat nyata dapat disebabkan oleh tebal kerabang yang berbeda. Kerabang yang terlalu tebal menyebabkan telur
kurang terpengaruh oleh suhu penetasan, sehingga penguapan air dan gas sangat kecil. Telur yang berkerabang tipis mengakibatkan telur mudah pecah sehingga
tidak baik untuk ditetaskan Rasyaf, 1991.
Peebles dan Brake 1985 menyatakan bahwa penyusutan bobot telur tetas selama masa penetasan menunjukkan adanya perkembangan dan metabolisme embrio,
yaitu dengan adanya pertukaran gas vital oksigen dan karbondioksida serta penguapan air melalui kerabang telur. Susut tetas yang terlalu tinggi
menyebabkan menurunnya daya tetas dan bobot tetas. Menurut Kurtini dan Riyanti 2011, secara umum susut tetas yang dianjurkan adalah 12--14 .
H. Kematian Embrio
Unggas memiliki perbedaan dalam sistem perkembangan embrio dengan mamalia. Perkembangan embrio pada telur terjadi pada tiga tahapan waktu yang
berbeda yaitu, sebelum telur dikeluarkan dari tubuh induk betina, waktu pengeluaran hingga masa inkubasi dan selama masa inkubasi berlangsung
Maulidya, 2013. Kematian embrio merupakan kematian yang terjadi pada
embrio saat didalam cangkang atau belum menatas. Hal ini biasanya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu penyimpanan telur lebih dari 7 hari, telur dalam kondisi
kotor sehingga mudah terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melaluli pori-pori Rasyaf, 1990.
Kematian embrio dapat terjadi karena pakan induk mengalami defisiensi zat gizi seperti vitamin dan mineral, sehingga metabolisme dan perkembangan embrio
menjadi tidak optimal. Untuk mengatasi hal ini, pada ransum induk perlu ditambahkan suplemen vitamin dan mineral yang banyak dijual di pasaran
Supriyanto, 2004. Selain penambahan suplemen pada ransum, menurut Widyaningrum 2012, penyemprotan dengan larutan vitamin B kompleks
sebanyak 5 butir per liter dapat mengoptimalkan perkembangan embrio selama proses penetasan sehingga nilai kematian embrio menjadi berkurang.
Telur yang kotor juga merupakan salah satu faktor kematian embrio. Para ahli melaporkan bahwa sekitar 0,5-- 6 telur yang berasal dari ayam sehat
mengandung Escherichia coli dan sekitar 1,75 dari embrio yang mati mengandung Escherichia coli serotype patogen. Sumber kematian embrio yang
terpenting adalah akibat pencemaran feses pada telur. Telur tetas yang berasal dari lingkungan yang kotor dengan kualitas kerabang yang tipis akan mudah
kemasukan Escherichia coli dan dapat mencapai yolk sac Sayib, 2013.
Faktor lingkungan antara lain suhu, kelembapan dan konsentrasi gas yang terdapat di dalam telur Kortlang, 1985. Kelembapan berpengaruh terhadap kecepatan
hilangnya air dari dalam telur selama inkubasi Setioko, 1998. Kehilangan air yang banyak menyebabkan keringnya chario-allantoic untuk kemudian