C. Pembahasan
Postpurchase dissonance merupakan suatu keragu-raguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang
sulit dan relatif permananen Hawkins, Mothersbaugh Best, 2010. Mengapa seseorang dapat merasakan postpurchase dissonance dapat dipicu dari beberapa
faktor. Dari faktor-faktor yang dikemukakan maka pada dasarnya terdapat dua faktor penyebab postpurchase dissonance. Pertama merupakan faktor eksternal
yang merupakan kondisi diluar individu, dalam hal ini misalkan adanya sejumlah pilihan dan alternatif produk, bujukan dan ketersediaan informasi. Sedangkan
faktor internal, yakni kondisi kepribadian individu yang menyebabkannya mudah merasa cemas, sulit memiliki komitmen terhadap produk yang dipilihnya,
keberanian mengambil resiko dan tingkat pengetahuan yang dimiliki. Hawkins, Mothersbaught, dan Best 2007 berpendapat bahwa kepribadian
merupakan kecenderungan respon karakteristik yang dimiliki individu dalam situasi serupa. Carl Jung merupakan salah satu tokoh yang menggolongkan
kepribadian menjadi beberapa dimensi. Dua dimensi utama yang dikemukakannya adalah introvert dan extraversion. Introvert adalah tipe kepribadian yang ditandai
dengan ketertutupan yang berorientasi terhadap pengalaman subyektif, cenderung untuk berfokus pada batin, dunia pribadi di mana realitas direpresentasikan
sebagaimana hal itu dirasakannya, introspektif, sibuk dengan sendiri, dan urusan internal mereka Jung dalam Hall 1985. Mereka sering muncul menyendiri,
pendiam, bahkan unsocial. Tipe kepribadian introvert dapat mempengaruhi proses
Universitas Sumatera Utara
membeli, yang mengakibatkannya cenderung merasakan disonansi setelah pembelian.
Penelitian ini didukung oleh dua orang responden yang pada awalnya diberi pengukuran kepribadian introvert-ekstrovert dari MBTI. Hal ini dilakukan
untuk menjaring sampel yang memiliki tipe kepribadian introvert. Menurut hasil pengukuran, responden I FR mendapatkan hasil pengukuran INFJ moderate
yang berarti responden termasuk dalam tipe kepribadian introvert dengan tingkat sedang. Sedangkan responden II RP mendapatkan hasil pengukuran INFJ slight
yang berarti responden termasuk dalam tipe kepribadian introvert dengan tingkat ringan.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa responden I dan II, mengalami postpurchase dissonance di dalam kegiatan belanjanya. Responden I, dan II
mengalami keraguan dan kecemasan terhadap hasil keputusan pembelian yang telah dilakukannya yang tidak dapat diganti atau diubah. Responden I mengalami
postpurchase dissonance pada pembelian produk HP, dress, sepatu flat, sepatu crocss, laptop, sweater A dan B. Responden II mengalaminya pada pembelian
produk lipbalm, laptop, tas, dan handphone. Tipe kepribadian kedua responden menjadi salah satu hal yang
mempengaruhi responden dalam pengambilan keputusan pembelian dikegiatan belanjanya sehari-hari. Saat tertarik pada suatu produk, responden I tidak lagi
mencari informasi tentang produk yang ingin dibelinya pada orang lain. Responden I merasa ia akan merasa lebih cemas dan bingung bila ia terus mencari
informasi dan membandingkan produk dengan produk yang lain. Disamping itu ia
Universitas Sumatera Utara
juga merasa tidak dapat begitu mempercayai pendapat orang lain. Sehingga meskipun tidak bertanya sebelumnya, responden tidak merasa canggung untuk
membeli produk sendirian. Melalui hal ini dapat dilihat bagaimana pengaruh tipe kepribadian introvert dapat mempengaruhi proses berbelanja. Tipe kepribadian
introvert yang cenderung berorientasi pada dirinya sendiri tidak dapat dengan mudah percaya pada orang lain karena ia berfokus pada dirinya sendiri.
Hal berbeda ditemukan pada responden II. Bagi responden II, informasi mengenai produk yang akan dibelinya dapat ditemukannya melalui pencarian
informasi dari internet ataupun bertanya pada orang-orang yang dipercayainya dan memiliki pengalaman terhadap produk. Namun meskipun bertanya, responden II
hanya menitik beratkan pencarian infromasi pada produk-produk yang tidak begitu diketahuinya. Pertanyaan yang diajukan responden II mengenai produk
adalah informasi berupa gambaran umum mengenai produk. Infromasi yang didapatkan dari orang lain terlebih dahulu disaring oleh responden II, bila
informasi yang diberikan masih sekitaran gambaran umum mengenai suatu produk responden II masih mempercayainya, tetapi bila informasi sudah
mengarahkan responden II pada pembelian suatu produk tertentu maka responden II tidak lagi dapat mempercayai informasi tersebut. Setelah mendapatkan
informasi dari orang lain, responden II tidak serta merta langsung mempercayai dan mengikuti saran orang lain. Evaluasi yang melibatkan informasi dari diri
sendiri kemudian dilakukan hingga pada akhirnya keputusan membeli dibuat. Sweeney, Hausknecht Soutar 2000 membagi 3 tiga dimensi yang
dapat digunakan untuk mengukur postpurchase dissonance yaitu emotional,
Universitas Sumatera Utara
wisdom of purchase, dan concern over deal. Dari ketiga dimensi ini, dimensi ketiga concern over deal tidak ditemukan pada kedua responden. Namun
masing-masing responden memiliki dimensi emotional dan wisdom of purchase yang terlihat berpengaruh besar dalam menimbulkan postpurchase dissonance.
Dimensi pertama yaitu emotional. Dimensi emotional adalah perasaan ketidaknyamanan psikologis sebagai konsekuensi atas keputusan yang telah
dibuat. Pada penelitian ini, responden I dan II mengalaminya. Responden I merasakannya dalam bentuk kecemasan dan keragu-raguan. Kecemasan terjadi
pada pembelian produk laptop, sweater A dan sweater B. Sedangkan kecemasan dan keragu-raguan ditemukan pada pembelian sepatu croccs. Pada beberapa
pembelian tersebut kecemasan selalu timbul setelah pembelian. Pada kasus pembelian laptop, ketika responden tertarik pada satu merk produk, responden
tidak lagi mencari informasi mengenai produk meskipun terdapat waktu selang satu bulan dari mulai responden mengenal dan melakukan pembelian produk.
Kecemasan dirasakan responden karena responden khawatir akan kualitas produk yang telah dibelinya. Pengetahuan yang minim mengenai produk membuatnya
merasakan cemas apakah produk yang dibelinya memiliki kualitas yang baik. Hal ini merupakan salah satu yang memicu timbulnya postpurchase dissonance yang
dirasakan responden I. Dalam kasus pembelian sweater A, responden yang lebih senang
menghabiskan waktunya sendirian, melakukan kegiatan belanja sendiri untuk membeli produk sweater A. Melalui hal tersebut, dapat dilihat bagaimana tipe
kepribadian introvert yang lebih cenderung berfokus pada diri sendiri menyenangi
Universitas Sumatera Utara
melakukan suatu kegiatan sendiri. Kesulitan dalam menemukan alternatif yang dicari membuatnya menghabiskan waktu berjam-jam dalam mencari produk yang
diinginkan. Saat menemukan produk, tidak ditemukan alternatif lain yang menjadi pertimbangan pilihan produk. Akhirnya karena sudah merasa kelelahan berbelanja
responden memutuskan untuk membeli produk tersebut tanpa mencobanya. Kecemasan dirasakan setelah responden selesai melakukan pembelian dan
mengevaluasi kembali produk yang telah dibelinya. Responden yang merasa model produk kurang sesuai merasa cemas apakah produk akan cocok bila
digunakan untuk dirinya pada dengan digunakannya produk karena merasa produk tidak sesuai dengan dirinya.
Bentuk ketidaknyamanan psikologis berupa kecemasan dan keragu-raguan dirasakan responden I saat membeli sepatu croccs. pembelian dilakukan bersama
keluarga saat sedang berada di suatu mall. Responden I yang sedang dalam posisi memilih antara ukuran produk, memilih untuk memenangkan evaluasinya
terhadap produk dan menolak saran orang lain untuk memilih ukuran yang berbeda. Setelah pembelian, responden kembali merasa ragu-ragu terhadap
keputusan yang telah diambilnya. Responden I merasa cemas dengan terus menerus melihat kotak sepatu dan mencoba dengan berulang-ulang sepatu yang
telah dibelinya. Setelah membeli, responden tidak memiliki penguat terhadap keputusan yang telah diambilnya. Hal ini merupakan salah satu hal yang
menjadikan konsumen introvert memiliki kecenderungan lebih dalam merasakan postpurchase dissonance dari pada dengan konsumen dari tipe kepribadian
ekstrovert.
Universitas Sumatera Utara
Pada responden II, adakalanya meskipun responden II sudah mengumpulkan informasi mengenai suatu produk, informasi tersebut tetap tidak
digunakan sebab saat kegiatan membeli dilakukan, responden memiliki ketertarikan lain pada produk alternatif lainnya. Dorongan ketertarikan yang
dimiliki responden II membuatnya melupakan informasi yang sudah dikumpulkannya terlebih dahulu mengenai produk tersebut. Akibatnya responden
II lebih memenangkan dorongan ketertarikan yang dirasakannya dan memutuskan untuk membeli produk tersebut. Sehingga ketika menemukan kembali produk
yang telah dibeli, responden II merasa cemas terhadap kualitas produk yang sudah dibelinya. Hal ini terjadi karena sebelumnya responden II tidak begitu mengetahui
produk yang telah dibelinya. Kecemasan ini membuat responden II tidak menggunakan produk yang telah dibelinya dan hanya ditempatkan kedalam
kumpulan barang-barang yang tidak terpakai. Pada kasus pembelian HP, kecemasan yang dirasakan responden II
berakhir dengan perasaan kesal dan menyalahkan diri sendiri atas keputusan yang diambilnya. Perasaan kesal ini berasal dari perasaan responden II yang
mengevaluasi ulang alternatif produk setelah pembelian. Responden II terbayang- bayang akan keunggulan produk yang telah ditolaknya. Terlebih lagi, responden II
merasa dapat membeli produk yang lebih baik lagi karena budget awal yang direncanakan untuk membeli HP masih bersisa.
Berdasarkan pengalaman responden I, dan II tersebut dapat diketahui bahwa adanya perasaan tidak nyaman yang dirasakan setelah proses pembelian
dilakukan. Ketidaksesuaian yang dirasakan seringkali diakibatkan oleh minimnya
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan terhadap suatu produk yang dibeli sehingga timbulnya rasa cemas terhadap kualitas produk yang telah dibeli. Responden I tidak mengumpulkan
informasi karena tidak mau merasa bimbang bila harus mencari alternatif lain serta tidak mudah mempercayai orang lain. Berbeda dengan responden I,
responden II mengumpulkan informasi dari internet dan bertanya pada orang lain. Namun ketertarikan terhadap produk membuatnya memenangkan keputusannya
dan melupakan informasi yang telah dikumpulkannya. Hal tersebut kemudian membuat responden merasa cemas dan tidak yakin akan kualitas produk yang
telah dibelinya. Pengalaman responden II menunjukkan bahwa, meskipun telah
mengumpulkan informasi wanita dengan tipe kepribadian introvert belum tentu menggunakannya dan kemudian lebih memenangkan pilihannya sendiri.
Kesadaran akan kebutuhan dan ketersediaan produk serta ketertarikan responden terhadap produk membuatnya mengabaikan informasi yang sudah
dikumpulkannya dengan bertanya pada orang lain. Dimensi kedua yang dikemukakan Sweeney, Hausknecht Soutar 2000
merupakan wisdom of purchase yakni ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah transaksi pembelian. Mereka bertanya-tanya apakah mereka sangat
membutuhkan produk tersebut atau apakah mereka telah memilih produk yang sesuai. Dalam penelitian ini ditemukan, responden I dan II merasa bahwa
keputusan pembeliannya seringkali salah, tidak tepat waktu pembelian dan tidak yakin apakah sudah memilih produk yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
Responden I seringkali melakukan kegiatan belanja sendirian tanpa ditemani orang lain. Sehingga responden kerap kali membeli mengikuti
keinginannya sendiri. Saat ia merasa tertarik pada produk, responden tidak dapat menahan diri untuk tidak membeli produk tersebut walaupun tidak memiliki
rencana membeli sebelumnya. Akibatnya responden tidak mempertimbangkan kepentingan produk yang dibelinya dan mengikuti keinginan sendiri untuk
membeli produk yang belum tentu dibutuhkannya. Hal ini merupakan salah satu pemicu munculnya postpurchase dissonance pada responden I.
Responden I merasakan hal tersebut ketika membeli produk dress yang dianggap tidak tepat guna karena pembelian dilakukan tanpa perencanaan
sebelumnya sehingga responden bertanya-tanya apakah ia memang membutuhkan produk tersebut. Responden I juga merasakan tidak yakin pada keputusan
pembelian handphone karena kesulitannya memilih diantara dua alternatif yang sama-sama memiliki sisi positif dan negatif bagi responden. Hal yang sama juga
dirasakannya saat pembelian sepatu flat. Dalam kasus pembelian dress responden I menjadi impulsif dalam
membeli tanpa memperhitungkan apakah produk yang akan dibelinya memang ia butuhkan atau tidak. Hal ini terjadi karena responden merasa tidak dapat menahan
keinginan membeli saat ia tertarik pada suatu produk. Responden I merasa ia akan terbebani dengan rasa penasaran bila ia tidak jadi membeli produk. Akibatnya
Responden I merasa ragu apakah ia benar-benar sedang membutuhkan produk yang telah dibelinya. Responden I merasa kesulitan dalam memilih pilihan
altenatif saat akan membeli produk HP. Kesulitan dalam memilih karena
Universitas Sumatera Utara
responden I merasa masing-masing alternatif memiliki keunggulannya tersendiri. Responden I menolak serta mengabaikan saran orang lain mengenai produk.
Sehingga responden I mengevaluasi produk dengan menggunakan informasi yang ada pada dirinya sendiri. Kesulitan dalam memilih membuat responden terus
terbayang akan produk yang ditolaknya setelah kegiatan belanja. Keragu-raguan muncul saat responden I merasa produk yang telah dibelinya biasa saja dan mulai
memikirkan keunggulan-keunggulan produk yang telah ditolaknya. Responden II merasakan bahwa dirinya kurang bijaksana dalam membuat
keputusan pembelian karena tidak tepat waktu pada saat pembelian lipbalm. Pembelian yang dilakukan sendirian di sebuah swalayan dilakukannya tanpa
rencana sebelumnya. Meskipun ia telah mengumpulkan informasi dan memiliki gambaran tentang jenis lipbalm yang akan dibeli, responden II tidak menggunakan
informasi tersebut. Keragu-raguan sudah muncul di awal pembelian mengenai apakah produk yang akan dibeli harus dibeli saat ini atau tidak. Namun karena
ketertarikan dan merasa bahwa produk akan diperlukan suatu saat nanti produk tetap dibeli. Akhirnya saat menemukan produk dalam tas belanjanya, responden II
merasa adanya kesalahan dalam membuat keputusan karena waktu yang tidak tepat dalam membeli.
Responden II juga sering mendapatkan pengalaman belanja dimana produk yang dibelinya bukanlah produk yang telah direncankannya sebelumnya.
Akibatnya semua informasi yang dikumpulkan mengenai produk tidak terpakai. Kejadian ini terjadi pada kasus pembelian HP dan laptop. Pada pembelian HP
responden yang tidak mudah mempercayai saran orang lain, menolak saran teman
Universitas Sumatera Utara
belanjanya berkali-kali untuk memilih suatu produk. Akibatnya responden II mengalami kesulitan dalam memilih alternatif produk yang ada. Faktor waktu
yang menjadi semakin sempit karena responden terus memilih, memaksanya untuk membeli produk yang ada meskipun keyakinannya belum begitu bulat
mengenai produk. Hal ini lah yang menyebabkan keragu-raguan pada responden II yang kemudian bertanya-tanya apakah ia sudah memilih produk yang tepat.
Perasaan keragu-raguan ini kemudian berkontribusi pada dimensi wisdom of purchase sehingga responden merasakan postpurchase dissonance.
Dimensi ketiga yang dinyatakan oleh Sweeney, Hausknecht Soutar 2000 merupakan concern over deal. Ketidaknyamanan yang dialami seseorang
setelah pembelian dimana mereka bertanya – tanya apakah telah dipengaruhi oleh tenaga penjual yang bertentangan dengan kemauan atau kepercayaan mereka.
Konsumen akan dihadapkan pada informasi-informasi dari luar dirinya, yang dapat membuatnya mengalami postpurchase dissonance. Di dalam penelitian ini,
ditemukan bahwa peranan dimensi ketiga tidak terjadi pada pengalaman pembelian responden I dan II. Hal ini dipengaruhi tipe kepribadian keduanya
yang tergolong introvert. Dalam semua kasus pembelian kedua responden merasa tidak mau dipengaruhi oleh penjual. Bagi responden I penjual akan selalu menjual
produk dengan harga tinggi, mereka hanya menawarkan produk karena harganya bukan karena kualitas yang dimilki produk. Responden II sulit mempercayai
komentar penjual dan pada kebanyakan kasus, menolak saran penjual. Responden II bahkan kerap menanyakan produk yang bersifat kebalikan pada penjual.
Tujuannya agar keputusannya sama sekali tidak dipengaruhi penjual.
Universitas Sumatera Utara
Temuan unik ditemukan pada salah satu kasus pembelian responden I, terkadang responden I merasa banyak pengalaman belanjanya berakhir tidak
menyenangkan karena merasa sifatnya yang tidak mau bertanya dan sangat berorientasi pada dirinya sendiri dalam mengambil keputusan. Hal ini membuat ia
mencoba mengubah sifatnya, dan berusaha mau menerima saran orang lain dalam melaukan pembelian. Tetapi meski sudah mencoba, responden I tidak mudah
untuk mengubah sifatnya. Sehingga terdapat suatu pengalaman dimana responden mengikuti saran temannya dalam membeli suatu produk. Pembelian tersebut
berakhir dengan penyesalan karena produk yang dibeli tidak lebih baik dari pilihannya dulu. Responden I kemudian merasa lebih baik tidak meminta
pendapat orang lain karena akan merasa lebih tidak enak bila harus menyalahkan orang lain mengenai keputusan pembelian yang dilakukannya.
Responden I merasa senang menghabiskan waktu sendiri dalam mencari produk kebutuhannya sendiri. Terkadang responden I bahkan tidak berfikir untuk
meminta ditemani. Selain itu ia merasa takut bila setelah meminta ditemani, ajakannya akan ditolak. Dapat dilihat, dalam hal ini, tipe kepribadian introvert
mempengaruhi sifat responden I yang tidak begitu membutuhkan teman belanja. Sehingga responden I jarang sekali mendapat masukan mengenai produk saat
sedang berbelanja. Hal ini memicu ketidakhadiran dimensi concern over deal pada responden I.
Seperti responden I, responden II juga merasa lebih senang menghabiskan waktu sendiri dalam melakukan kegiatan belanja. Namun terkadang responden II
tidak keberatan bila harus ditemani oleh orang-orang terdekatnya bila berbelanja.
Universitas Sumatera Utara
Uniknya, meskipun responden II mendapatkan teman saat kegiatan belanja. Responden II merasa kehadiran mereka hanya untuk menemani bukan untuk
memberikan saran. Sehingga bila sedang melakukan pembelian responden II seringkali menolak saran yang diberikan teman belanjanya dan memenangkan
pilihannya sendiri. Pada kasus pembelian HP, meskipun responden II terlebih dahulu meminta
pendapat dari adiknya, responden merasa tidak banyak andil adiknya dalam mempengaruhi keputusannya. Ia merasa keputusan yang ia buat tetap saja
berdasarkan penyaringan dari informasi yang ada pada dirinya sendiri. Sehingga ia menyalahkan dirinya sendiri ketika merasa membuat keputusan yang salah.
Responden I menjadi marah saat keputusan pembeliannya dievaluasi orang lain. Pembelian HP yang dilakukan responden dengan keputusan yang dibuat
berdasarkan diri sendiri, mendapat komentar dari adiknya yang merasa alternatif produk yang ditolak responden I lebih baik dari pada produk yang dibelinya.
Responden I merasa keputusan yang ia buat merupakan hasil dari pengalaman masa lalu dengan menggunakan produk yang sama. Sehingga perasaan kecemasan
berubah menjadi rasa marah akibat komentar yang berikan orang lain terhadap keputusan membelinya. Responden II tidak mau ambil pusing dengan komentar
orang lain terhadap keputusan pembeliannya. Hal ini terlihat saat ia melakukan pembelian tas.
Postpurchase dissonance adalah tahap yang sangat kritis bagi para konsumen, dimana tahap ini konsumen akan mencari penguatan reinforcement
atas keputusan membeli yang telah dilakukan Hawkins, Mothersbaugh Best,
Universitas Sumatera Utara
2007. Tipe kepribadian yang dimiliki konsumen wanita introvert juga mempengaruhi proses pencarian penguatan yang dilakukan konsumen. Individu
yang tergolong introvert akan cenderung untuk menghindar dari sumber stimulus eksternal, yang selalu dicari oleh individu yang tergolong ekstrovert. Stimulus
eksternal dapat berupa pencarian penguatan pada orang lain mengenai keputusan yang telah dibuat. Namun berbeda pada konsumen introvert yang cenderung
menghindari sumber stimulus eksternal. Responden I yang sering melakukan pembelanjaan sendirian, jarang sekali memiliki teman belanja sehingga tidak
memiliki penguat setelah mengambil keputusan membeli. Selain itu karena sifatnya yang suka menolak saran dari orang lain membuatnya tidak dapat
meminta penguat pada teman belanja. Kejadian ini terjadi saat pembelian sepatu croccs, responden I yang pada saat itu menolak saran mamanya untuk memilih
ukuran yang lebih besar tidak meminta penguatan pada mamanya terhadap keputusan yang telah diambilnya. Sebaliknya responden menguatkan dirinya
sendiri dengan membuat pemikiran positif terhadap produk untuk mengurangi kecemasannya. Pada kasus pembelian HP responden I lebih memilih mencari
penguatan terhadap keputusan yang telah diambilnya dari internet. Dalam mencari penguatan setelah mengambil keputusan, responden II
tidak jauh berbeda dengan responden I. Hal ini terjadi saat pembelian HP dengan kakak responden II. Responden II lebih memilih diam dan merasa cemas sendiri
terhadap produk sambil membangun pemikiran-pemikiran positif untuk mengurangi kecemasannya. Namun pada kasus pembelian laptop, responden yang
Universitas Sumatera Utara
saat itu membeli dengan teman dekatnya, mencari penguatan pada teman dekatnya untuk meyakinkannya bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat.
Kecemasan ataupun keragu-raguan yang dirasakan oleh responden I atau responden II tidak jarang berakhir pada tidak terpakainya produk yang sudah
dibeli responden. Pada responden I produk sweater A, dress, dan sepatu croccs merupakan produk yang tidak digunakan responden I. Dari beberapa kasus,
pembelian produk sweater, sepatu croccs, dress dan laptop berakhir dengan penyesalan. Namun produk laptop, HP, sepatu flat tetap digunakan oleh responden
I. Responden II tidak menggunakan produk lipbalm yang sudah dibelinya karena merasa pembelian tidak tepat waktu dan adanya kecemasan terhadap kualitas
produk. Sedangkan pada produk tas dan produk yang penting seperti laptop dan HP, produk tetap digunakan oleh responden II.
Dari pembahasan diatas dapat beberapa perbedaan yang ada pada responden I dan II. Responden I dalam melakukan pembelian sangat jarang
ditemani orang lain. Responden I merasa lebih senang menghabiskan waktunya sendirian dalam melakukan kegiatan belanja. Selain itu adanya ketakutan akan
penolakan bila ia harus mencoba mengajak orang lain. Dari tujuh pembelian yang diceritakan responden II, hanya dua pembelian dimana responden membeli
dengan ditemani orang lain. Responden II juga merasa lebih suka menghabiskan waktu sendirian dalam melakukan kegiatan belanja. Tetapi responden II lebih
terbuka dalam menerima teman belanja, meskipun orang-orang yang menjadi teman belanja responden II terbatas pada orang-orang terdekat saja.
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan lain ditemukan pada proses pencarian informasi kedua responden. Responden I jarang sekali mencari informasi mengenai produk yang
akan dibelinya. Hal ini karena responden I tidak mau merasa bimbang bila harus membandingkan produk dengan alternatif lain. Selain itu responden I juga merasa
dirinya tidak mudah percaya dengan apa yang dikatakan orang lain. Namun responden II merasa dirinya bisa saja mendapatkan infrormasi dari internet dan
dengan bertanya dengan orang lain. Namun pencarian infromasi lebih sering dilakukan dari internet. Pencarian informasi yang dilakukan responden II terbatas
pada gambaran umum mengenai produk yang akan dibelinya. Responden II tidak mau menerima informasi berupa arahan untuk membeli suatu produk tertentu.
Dalam kegiatan belanjanya, ditemukan bahwa responden I tidak dapat dengan mudah menerima saran yang diberikan orang lain. Hal ini terjadi pada
pembelian sepatu croccs dan HP. Pada responden II saran dari orang yang dipercayainya dapat menjadi suatu pertimbangan tambahan baginya. Meskipun
setelah mendapatkan saran, responden II kemudian menyaringnya dengan informasi-informasi yang terdapat pada dirinya sendiri. Hal berbeda juga terdapat
pada pencarian penguatan setelah pembelian dimana pada responden II ditemukan terkadang responden II mencari penguatan pada teman dekatnya setelah
melakukan pembelian. Pada penelitian ini temuan baru ditemukan berkaitan dengan makna
produk bagi responden. Seperti pada responden II makna produk ditemukan saat ia melakukan pembelian lipbalm. Baginya pembelian lipbalm merupakan hal yang
cukup penting karena berkaitan dengan penampilannya. Hal ini mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
responden II menjadi lebih berhati-hati dan merasa cemas terhadap produk lipbalm yang telah dibelinya. Pada responden I salah satu pembelian yang
berkaitan dengan makna produk, terdapat pada pembelian sweater B. Makna produk dirasakan responden I karena pembelian dilakukan sebagai pemberiannya
untuk orang lain. Sehingga ketika responden I merasa keputusannya salah saat membeli, timbul kecemasan setelah membeli sebagai manifestasi emotional yang
berkontribusi terhadap postpurchase dissonance. Di dalam penelitian ini, ditemukan bagaimana dinamika tipe kepribadian
introvert yang dimiliki responden I dan II dapat berperan dalam menimbulkan postpurchase dissonance dimana pada responden I dan II, ditemukannya dimensi
emotional dan wisdom of purchase. Sementara dimensi concern over deal tidak ditemukan pada kedua responden.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN