Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
bahkan mendapat perlakuan kasar atau kekerasan dimana tidak sedikit yang telah menjadi korban. Belum lagi resiko kecelakaan di lapangan yang disebabkan oleh
human error ataupun kondisi lingkungan yang tidak baik atau berbahaya. Para wartawan seringkali kurang memikirkan keselamatannya sendiri dalam mencari
dan meliput berita. Tragedi tenggelamnya KM Levina I di Tanjung Priok yang menewaskan kameramen Guntur, Suherman dan anggota penyidik dari Pusat
Laboratorium dan Forensik Puslabfor Polri menjadi tragedi kecelakaan kerja yang menjelaskan resiko menjadi seorang wartawan Moses, 2007.
Tindak kekerasan terhadap wartawan juga sering terjadi. Aliansi Jurnalisme Independen AJI mengemukakan bahwa selama rentang waktu tahun
2000-2001 telah terjadi 83 kasus penganiayaan terhadap wartawan Hanggoro; Iriawati, 2006. Kasus Fuad Muhammad Syarifuddin yang kerap dipanggil Udin,
seorang wartawan Harian Bernas, Yogyakarta yang dianiaya hingga akhirnya meninggal dunia pada tanggal 16 Agustus 1996 serta Ersa Siregar seorang
wartawan RCTI yang ditemukan meninggal tanggal 29 Desember 2003 saat meliput konflik di Aceh menjadi juga menjadi bukti beratnya tugas seorang
wartawan http:id.wikipedia.org, 2006. Selain keselamatan secara fisik, wartawan juga berhadapan dengan resiko
trauma psikis. Hal ini terjadi pada wartawan yang bertugas meliput konflik- konflik seperti peperangan ataupun kerusuhan. Dart Centre for Journalism
Trauma, 2006 mengemukakan bahwa wartawan-wartawan yang berada di garis depan beresiko mengalami serangkaian masalah emosional dan kesehatan mental
yang berkisar dari kecemasan, depresi, alkohol dan penyalahgunaan narkoba, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kesulitan-kesulitan hubungan dalam beberapa kasus, Gangguan Stres Pasca- Traumatis PTSD. The American Psychiatric Association 2006 menandai PTSD
sebagai sedikitnya satu bulan dari kejadian dan mengingat kembali secara intrusif peristiwa-peristiwa, mati rasa secara emosional serta menghindari orang-orang
dan tempat-tempat yang mengingatkan akan peristiwa tersebut. Hal ini didukung oleh pernyataan Chris Cramer, President of CNN International Networks, yang
menyatakan bahwa sangatlah alami jika seorang wartawan merasakan dampak efek trauma, oleh karena itu para pemilik media harus menerima eksistensi dari
dampak tersebut dan mengambil langkah-langkah untuk menyediakan konseling untuk para stafnya Dart Centre for Journalism Trauma, 2006.
Permasalahan ekonomi juga tidak luput dari kehidupan wartawan, apalagi dengan keadaan seperti sekarang ini dimana semua kebutuhan untuk hidup
menjadi semakin mahal. Hasil penelitian Aliansi Jurnalis Independen AJI tentang kesejahteraaan wartawan pada tahun akhir tahun 2005 mengungkapkan
penghasilan rata-rata wartawan antara 900 ribu dan 1,4 juta perbulan, yang lebih menyedihkan masih dijumpai wartawan dengan gaji di bawah 200 ribu perbulan.
Penelitian ini melibatkan responden 400 wartawan dari 80 media massa di 17 kota
di Indonesia Hanggoro; Iriawati, 2006.
Berbagai hambatan, resiko, tuntutan serta tanggung jawab yang menjadi konsekuensi dalam menjalankan tugas menyebabkan tekanan dalam diri wartawan
dimana hal tersebut akan memicu timbulnya stres. Looker Gregson 2004 mendefinisikan stres sebagai sebuah keadaan yang dialami individu ketika terjadi
sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk mengatasinya. Tuntutan-tuntutan yang diterima oleh individu disebut dengan stressor. Sarafino 1990 menyatakan bahwa stressor akan menghasilkan
ketegangan dalam proses-proses fisiologis dan psikologis individu sehingga tubuh akan akan meresponnya dengan respon fisik, mental, dan emosi, serta juga
berpengaruh pada sistem atau hubungan sosial individu. Hardjana 1994 menjelaskan bahwa lingkungan kerja dapat menjadi
sumber stres karena beberapa alasan, antara lain tuntutan kerja, tanggung jawab kerja, lingkungan fisik kerja, rasa kurang memiliki pengendalian, hubungan antar
manusia yang buruk, peningkatan jenjang karier dan rasa kurang aman dalam bekerja.
Bagi wartawan, stres dapat menyebabkan gangguan baik secara fisiologis, psikologis, dan sosial. Hardjana 1994 menyebutkan secara psikologis, orang
yang mengalami stres akan menderita tekanan dan ketegangan yang membuat pola berpikir, emosi dan perilaku menjadi kacau. Secara fisiologis, kegugupan dan
kegelisahan itu menggejala pada degup jantung yang cepat, perut mual, mulut kering dan keringat mengucur di sekujur tubuh.
Stres kerja adalah fenomena normal yang banyak ditemui di berbagai lapangan pekerjaan. Namun begitu, stres adalah suatu pengalaman yang subyektif.
Artinya, tingkat kadar stres tiap individu berbeda. Hal ini tergantung sumber daya yang ada pada diri individu tersebut dalam memandang suatu hal, peristiwa
atau keadaan. Hardjana 1994 mengemukakan, ada dua faktor pokok yang mempengaruhi penilaian kita yaitu, faktor pribadi dan situasi.
Faktor pribadi meliputi unsur intelektual, motivasi dan kepribadian, sedangkan faktor situasi meliputi beberapa bentuk, yaitu : bentuk pertama, bila
hal, peristiwa, orang dan keadaan itu mengandung tuntutan berat dan mendesak, yang kedua, bila hal itu berhubungan dengan perubahan hidup, seperti mulai
masuk kerja, menikah, menjadi orang tua. Bentuk ketiga adalah ketidakjelasan dalam situasi, misalnya di tempat kerja fungsi tidak jelas, tugas kabur. Bentuk
keempat adalah tingkat diinginkannya suatu hal dan bentuk kelima adalah, kemampuan orang untuk mengendalikan hal yang membawa stres.
Wartawan sebagai pribadi yang memiliki sumber daya berdasarkan kemampuan dan pengalaman masing-masing tentu berbeda dalam menghadapi
berbagai bentuk stressor yang terjadi dalam lingkungan kerja mereka. Dapat dikatakan bahwa wartawan memiliki tingkat stres yang berbeda satu sama lain.
Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana tingkat stres kerja yang dialami oleh para wartawan surat kabar harian dalam
menjalankan tugasnya.