memiliki kemampuan untuk mengatsi stres yang datang kepadanya. Sebaliknya, orang yang memiliki harga diri tinggi lebih tahan terhadap
stres. b. Faktor situasi, dapat tampil dalam dalam beberapa bentuk:
1. Bila hal, peristiwa, orang, dan keadaan itu mengandung tuntutan berat dan mendesak.
2. Bila hal itu berhubungan dengan perubahan hidup, seperti masuk kerja, menikah, menjadi orang tua.
3. Ketidakjelasan ambiguity dalam situasi. Misalnya, di tempat kerja fungsi tidak jelas, tugas kabur, ukuran penilaian kerja tidak ada.
4. Tingkat diinginkannya suatu hal desirability. Hal yang diinginkan kurang mendatangkan stres daripada hal yang diinginkan. Misalnya, di
PHK. 5. Kemampuan orang mengendalikan hal yang membawa stres
controlability. Orang yang mampu mengendalikan, pada umumnya kurang terkena stres daripada orang yang kurang mampu mengendalikan
stres. Smet 1994 mengemukakan faktor-faktor yang mengubah
pengalaman stres adalah sebagai berikut: 1. Variabel dalam kondisi individu: umur, tahap kehidupan, jenis kelamin,
temperamen, faktor-faktor genetik, inteligensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik
2. Karakteristik kepribadian: ekstrovert-introvert, satabilitas emosi secara umum, tipe A, ketabahan hardiness, locus of control, kekebalan dan
ketahanan. 3. Variabel sosial-kognitif: dukungan sosial yang dirasakan, jaringsn sosial
dan kontrol pribadi. 4. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima,
integrasi dalam jaringan sosial. 5. Strategi coping. Sarafino 1994 mendefinisikan coping sebagai suatu
proses yang terjadi ketika individu berusaha untuk mengontrol adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dengan sumberdaya-sumberdaya yang
dimilikinya dalam situasi stres.
C. Tingkat Stres Kerja Wartawan
Karasek’s LandyConte, 2004 menyatakan bahwa kombinasi antara tuntutan pekerjaan yang tinggi dengan rendahnya kontrol terhadap pekerjaan akan
menghasilkan tegangan pekerjaan yang tinggi dimana berpengaruh terhadap munculnya gangguan pada kesehatan. Hal ini didukung oleh Looker Gregson
2004 yang mendefinisikan stres sebagai sebuah keadaan yang dialami individu ketika terjadi sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan
kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan-tuntutan yang diterima oleh individu disebut dengan stressor.
Margolis, Kroes Quinn dalam ShcultzShcultz, 1990 mengidentifikasi dua tipe penyebab stres kerja, yaitu: Quantitative Overload, ialah kondisi dimana
tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu sangat tinggi dan Qualitative Overload, ialah tingginya tingkat kesulitan pekerjaan yang
harus diselesaikan oleh karyawan. Hal ini berkaitan dengan ketidakmampuan dalam memenuhi tuntutan pekerjaan.
Berkaitan dengan tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan, wartawan memiliki kewajiban menepati deadline. Deadline adalah batas waktu terakhir
naskah berita dapat dipertimbangkan pemuatannya dalam media cetak atau elektronik Zaenuddin, 2007. Tentu saja pelanggaran terhadap deadline berakibat
menghambat proses kerja redaksi dan bisa merusak produk. Untuk itu wartawan harus bisa mengatur waktu agar tidak melanggar deadaline.
Namun, pada saat melaksanakan tugasnya, wartawan sering mendapat banyak hambatan. Misalnya, faktor kooperatif dari narasumber menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi kelancaran tugas dari wartawan Marga Raharja, 2007. Seringkali narasumber tidak mau diwawancarai, mengelak ataupun
menghindar dari para wartawan yang ingin mengklarifikasi suatu kasus. Selain itu, tugas sebagai wartawan memiliki resiko yang besar. Berbagai tindakan
kekerasan, ancaman, penculikan bahkan sampai pembunuhan sering menimpa wartawan saat bertugas. Aliansi Jurnalis Independen dalam Masduki, 2005
mencatat bahwa pada tahun 2001 terjadi 104 kasus kekerasan baik fisik maupun non fisik pada wartawan. Resiko kecelakaan saat bertugas juga harus siap
dihadapi oleh wartawan. Tidak jarang resiko kecelakaan saat bertugas membawa korban jiwa bagi kalangan wartawan, seperti yang terjadi dalam tragedi kapal
Levina I. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI