104
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari seluruh yang telah dipaparkan tentang akibat hukum akuisisi terhadap perjanjian tenaga kerja, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai
berikut: 1.
Pengaturan akuisisi menurut hukum positif di Indonesia yang di atur antara lain dalam UUPT, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, PP Nomor 27 Tahun 1998, dan PP Nomor 57 Tahun 2010 telah mengatur secara
kompherensif mengenai akuisisi demi tercapainya tujuan perseroan dalam melakukan akuisisi. pengertian adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih baik seluruh atau sebagian besar saham perseroan yang dapat mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut. Akuisisi dibagi dalam beberapa bentuk diantaranya akuisisi berdasarkan bentuk usaha,
lokalisasi, objek akuisisi, motifasi akuisisi, divestitur, model pembayaran, akuisisi dengan inbreng saham dan akusisisi dengan share Swap.
Kelebihan dalam melakukan akuisisi diantaranya adalah akuisisi dapat memberikan kesempatan yang semakin luas dan besar, meningkatkan
efesiensi, mempertahankan posisi yang telah dicapai di pasar,
meningkatkan pertambahan modal , menurangi kompetisi, dan memperoleh karyawan yang telah berpengalaman. Sebelum melakukan
akuisisi, perusahaan yang akan melakukan akuisisi, akuisisi tersebut tidak boleh merugikan perusahaan, merugikan pemegang saham minoritas,
akuisisi harus memperhatikan kepentingan karyawan, pihak kreditur, dan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat. Akuisisi
dapat dilakukan melalui 2 dua cara yaitu akuisisi saham melalui Direksi Perseroan atau dari Pemegang Saham secara langsung.
2. Akibat hukum akuisisi perseroan terbatas terhadap perjanjian kerja
menurut Pasal 61 Ayat 2 UU Ketenagakerjaan adalah bahwa perjanjian kerja tidak berakhir dengan dilakukannya akuisisi. Dengan kata lain,
perjanjian kerja tersebut masih tetap berlangsung terkecuali sudah diatur atau diperjanjikan sebelumnya di dalam perjanjian yang telah disepakati
oleh majikan pengusaha dengan pihak buruh pekerja. Namun, tidak menutup kemungkinan terjadinya berakhirnya hubungan kerja dikarenakan
adanya Pemutusan Hubungan Kerja PHK karena akuisisi. Pemutusan hubungan kerja ini dapat dilakukan oleh majikan pengusaha dikarenakan
majikan pengusaha yang mengambilalih tidak mau menerima pekerja, dan dapat juga terjadi karena buruh pekerja yang meminta diakhirinya
perjanjian kerja kepada pengusaha. Pemutusan hubungan kerja selain dapat dilakukan oleh majikan pekerja, dapat juga dilakukan oleh buruh pekerja.
Dalam hal ini disebut dengan pemutusan hubungan kerja secara sukarela.
Hal ini dapat terjadi disebabkan buruh pekerja yang tidak ingin berkerja pada perusahaan yang mengakuisisi atau karena sebab lain yang timbul
dari buruh pekerja itu sendiri. 3.
Penyelesaian sengketa perburuhan terhadap perseroan yang melakukan akuisisi telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UUPPHI. Menurut
undang-undang ini perselisihan sengketa perburuhan terhadap perseroan yang melakukan akuisisi dapat dilakukan odengan 2 dua cara yaitu,
penyelesaian sengketa melalui lembaga non litigasi dan melalui litigasi. Penyelesaian sengketa non litigasi juga diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui non litigasi dapat dilakukan oleh beberapa lembaga penyelesaian sengketa
diantaranya lembaga bipartit, lembaga mediasi, lembaga konsiliasi, dan lembaga arbitrase. Kemudian penyelesaian sengketa melalui lembaga
litigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui peradilan. Penyelesaian sengketa melalui lembaga litigasi atau pengadilan ini terdiri dari 2 dua
cara yaitu cara cepat dan cara biasa. Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini dapat dilakukan
melalui teguran, sita eksekusi, dan lelang eksekusi.
B. Saran