Sejarah Pelacuran di Indonesia

d. Emphaty, yaitu perhatian pribadi secara individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan, kemampuan karyawan untuk berkomunikasi dengan pelanggan, dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggan. e. Tangibles, meliputi penampilam fasilitas fisik, seperti gedung, ruangan, tempat parkir, kebersihan, kerapihan dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan komunikasi dan penampilan karyawan.

2.2. Sejarah Pelacuran di Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian Hull et al. 1997, terungkap bahwa asal usul pelacuran modern di Indonesia berasal kerajaan-kerajaan Jawa dimana perdagangan perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Ada dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755, yang merupakan pecahan dari kerajaan Mataram, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa itu konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia binatara. Kekuasaan raja Mataram sangat besar. Mereka sering kali dianggap menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tapi juga nyawa hamba sahaya mereka. Anggapan ini apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat itu mempunyai arti tersendiri. Raja mempunyai kekuasaan penuh, yaitu seluruh yang ada di atas tanah Jawa, bumi, dan seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, dan daun. Tugas raja pada saat itu adalah menetapkan hukum dan menegakan keadilan yang mana semua orang diharuskan mematuhinya tanpa terkecuali. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi adalah persembahan dari kerajaan lain dan juga selir yang berasal dari lingkungan masyarakat kelas bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana. Sebagian selir raja ini dapat meningkat statusnya karena melahirkan anak- anak raja. Perempuan yang dijadikan selir tersebut berasal dari daerah tertentu yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Terdapat 11 Kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramanyu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan, Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar, Malang, Banyuwangi, dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di Indramanyu terkenal sebagai sumber pelacur; dan menurut sejarah daerah ini merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Sultan Cirebon sebagai selir. Komersialisasi seks di Indonesia terus berkembang selama pendudukan Jepang antara tahun 1941 hingga 1945. Pada akhir tahun 1940-an, penduduk Indoneia yang baru merdeka terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sebagian besar tinggal di daerah perdesaan. Pada tahun 1950-an situasi perekonomian Indonesia ditandai dengan banyaknya pengangguran dan kemiskinan. Umumnya, rumah tangga di perdesaan mengandalkan kehidupannya dari berbagai sumber pendapatan. Strategi untuk dapat bertahan hidup bagi rumah tangga di perdesaan, terutama bagi keluarga miskin, biasanya mengikut sertakan anggota-anggota keluarga untuk bekerja di luar sektor pertanian, paling tidak sebagai pekerja paruh waktu. Pekerjaan di luar sektor pertanian juga sangat dikenal di kalangan keluarga yang termasuk kelompok masyarakat tingkat menengah untuk meningkatkan status sosial keluarga dan menggunakan kesempatan kerja yang tersedia. Karena terbatasnya kesempatan kerja dan persaingan yang ketat di daerah perdesaan, banyak para perempuan muda dari keluarga miskin berimigrasi ke kota-kota terdekat. Nilai-nilai sosial dari para perempuan muda yang berimigrasi ini cenderung berubah apabila mereka telah mengecap kehidupan kota. Nilai- nilai sosial yang berkembang di daerah perdesaan yang umumnya mengandalkan adanya solidaritas dari lingkungan dimana dia hidup, pada kasus-kasus tertentu sangat dipengaruhi oleh kepercayaan agama yang dianut, cenderung berganti dengan nilai sosial yang lebih individualistik yang berkembang di daerah kota. Menurut Hull et al. sejak awal tahun 1970-an, telah terjadi transformasi struktural yang luar biasa dalam perekonomian Indonesia. Sektor primer yang tadinya dapat menyediakan lapangan kerja bagi 74 persen penduduk dalam usia kerja pada tahun 1971, kemudian hanya dapat menyediakan lapangan kerja bagi 49 persen penduduk dalam usia kerja pada tahun 1990. Kondisi ini menunjukkan penurunan kemampuan sektor primer dalam menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja, dan harus diperhitungkan pula bahwa dalam periode tersebut penduduk daerah kota meningkat dari 17 persen dari jumlah penduduk seluruhnya pada tahun 1971 menjadi 31 persen pada tahun 1990. Selain itu, telah terjadi peralihan aktivitas tenaga kerja wanita secara besar-besaran dari kegiatan sektor pertanian ke sektor non pertanian. Banyak di antara tenaga kerja wanita sektor pertanian – perdesaan yang pind ah ke kota untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Di kota, pekerjaan banyak tersedia bagi para tenaga kerja wanita di sektor industri pengolahan, misalnya sebagai clerk , sektor perdagangan sebagai tenaga penjual, dan di sektor hotel dan restaurant sebagai pramusaji, dan sector jasa sebagai pembantu rumah tangga. Meskipun demikian, upah yang mereka terima dari berbagai kegiatan tersebut relatif rendah. Oleh karena itu, ada kemungkinan pekerjaan di industri seks lebih menarik karena pendapatan yang mereka harapkan dapat mencapai lima sampai sepuluh kali lipat. Faktor jauh dari keluarga dan kebebasan dari kehidupan desa serta adanya fasilitas- fasilitas hiburan di kota, menarik para perempuan muda ini untuk masuk dalam dunia prostitusi Hull et al.,1997.

2.3. Struktur Organisasi Industri Seks