Struktur Organisasi Industri Seks

yang umumnya mengandalkan adanya solidaritas dari lingkungan dimana dia hidup, pada kasus-kasus tertentu sangat dipengaruhi oleh kepercayaan agama yang dianut, cenderung berganti dengan nilai sosial yang lebih individualistik yang berkembang di daerah kota. Menurut Hull et al. sejak awal tahun 1970-an, telah terjadi transformasi struktural yang luar biasa dalam perekonomian Indonesia. Sektor primer yang tadinya dapat menyediakan lapangan kerja bagi 74 persen penduduk dalam usia kerja pada tahun 1971, kemudian hanya dapat menyediakan lapangan kerja bagi 49 persen penduduk dalam usia kerja pada tahun 1990. Kondisi ini menunjukkan penurunan kemampuan sektor primer dalam menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja, dan harus diperhitungkan pula bahwa dalam periode tersebut penduduk daerah kota meningkat dari 17 persen dari jumlah penduduk seluruhnya pada tahun 1971 menjadi 31 persen pada tahun 1990. Selain itu, telah terjadi peralihan aktivitas tenaga kerja wanita secara besar-besaran dari kegiatan sektor pertanian ke sektor non pertanian. Banyak di antara tenaga kerja wanita sektor pertanian – perdesaan yang pind ah ke kota untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Di kota, pekerjaan banyak tersedia bagi para tenaga kerja wanita di sektor industri pengolahan, misalnya sebagai clerk , sektor perdagangan sebagai tenaga penjual, dan di sektor hotel dan restaurant sebagai pramusaji, dan sector jasa sebagai pembantu rumah tangga. Meskipun demikian, upah yang mereka terima dari berbagai kegiatan tersebut relatif rendah. Oleh karena itu, ada kemungkinan pekerjaan di industri seks lebih menarik karena pendapatan yang mereka harapkan dapat mencapai lima sampai sepuluh kali lipat. Faktor jauh dari keluarga dan kebebasan dari kehidupan desa serta adanya fasilitas- fasilitas hiburan di kota, menarik para perempuan muda ini untuk masuk dalam dunia prostitusi Hull et al.,1997.

2.3. Struktur Organisasi Industri Seks

Industri seks dimulai dengan adanya permintaan jasa seks, kemudian dilanjutkan dengan penyediaan jasa seks itu sendiri yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh kualitas jasa pelayanan PSK. Permintaan jasa seks dapat berasal dari penguasa yaitu orang yang mempunyai kekuasaan sehingga dapat membeli jasa seks baik dengan paksa maupun dengan sukarela. Namun permintaan jasa seks juga berasal dari orang yang membutuhkan kebutuhan biologis yang sangat mendesak, kare na tingal terpisah dari keluarga, misalnya pelaut, pedagang, atau tentara. Pada masa kini, permintaan jasa seks berkembang menjadi suatu hiburan orang-orang tertentu, misalnya para eksekutif muda baik yang sudah berkeluarga maupun belum. Gambaran tersebut menunjukkan semakin tinggi tingkat kesejahteraan pemakai jasa seks komersial ini semakin tinggi kualitas jasa yang diinginkan. Untuk memenuhi segala permintaan jasa seks, penyediaan jasa seks dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui perdagangan perempuan, terutama perempuan usia belia. Akan tetapi tidak sedikit pula yang menyediakan jasa seks secara sukarela. Perempuan yang menyediakan jasa seks secara sukarela umumnya karena desakan ekonomi keluarga. Namun perempuan-perempuan yang sukarela menjadi penjual jasa seks tersebut berasal dari daerah yang secara kultural menganggap bahwa bekerja sebagai penjual jasa seks merupakan hal yang wajar. Dalam industri seks sangat dipengaruhi oleh kualitas jasa seks yang biasanya diukur dengan kecantikan dan umur perempuan penjual jasa seks. Menurut observasi Emka 2002 dan 2003, semakin cantik dan semakin muda perempuan maka harganya semakin mahal. Selain itu teknik-teknik pelayanan jasa seks juga mempengaruhi harga PSK. Semakin profesional PSK semakin mahal harganya, namun tetap dibatasi oleh umur PSK. Tempat transaksi jasa seks juga merupakan ukuran harga PSK, misalnya harga jasa seks di hotel berbintang lebih mahal daripada hotel melati. Dalam buku Pelacuran di Indonesia Hull et al.,1997, pelacuran didefinisikan sebagai suatu transaksi antara perempuan pelacur dan pemakai jasa pelacur yang memberi sejumlah uang untuk interaksi seksual. Terdapat 3 perbedaan bentuk pelacuran menurut hubungannya dengan pengelola bisnis pelacuran, yaitu: 1. Bekerja sendiri tanpa calo atau majikan, seringkali beroperasi di pinggir jalan atau keluar masuk satu bar ke bar lainnya. 2. Bekerja dengan menggunakan jasa calo yang terkait secara hierarkis. Calo atau perantara bisa “germo” yang mengkhususkan diri pada bisnis pelacuran, pemilik klub malam, guide turis baik local maupun asing, supir taksi, atau pegawai hotel. Biasanya pelacur sendiri hanya memperoleh sebagian kecil dari uang yang dibayarkan oleh kliennya. 3. Berada langsung di bawah naungan sebuah lembaga atau organisasi mapan. Contohnya klub panti pijat, tempat lokalisasi, dan hotel- hotel. Disamping itu dalam buku tersebut juga disebutkan mengenai alasan perempuan menjadi pelacur. Alasan yang disebutkan ada 3, yaitu: 1. Keadaan ekonomi rumah tangga perempuan pelacur Berdasarkan kasus-kasus yang ditemukan pada golongan umur tertentu, bahwa sebagian para pelacur berasal dari desa-desa tertentu di Pantai Utara Jawa. Para pelacur ini bekerja sebagai pelacur di kota-kota besar karena alasan ekonomi. 2. Pandangan tentang seksualitas Ada pandangan masyarakat bahwa keperawanan perempuan harus dipertahankan sebelum kawin. Perempuan yang diketahui atau dianggap telah kehilangan keperawanannya akibat peristiwa perkosaan atau terbujuk seorang laki- laki, seringkali mendapatkan cap yang sedemikian buruk. Karenanya, kemudian muncul pandangan bawa sekali “rusak”, nama baik tidak akan bisa diperoleh kembali. Akibatnya, tak ada jalan lain bagi mereka kecuali masuk ke dalam peran yang diciptakan untuk mereka. 3. Bisnis pelacuran dengan sistem paksaan dan kekerasan Dalam sistem hierarki antara pelacur dengan para calo atau pemilik usaha pelacuran ada ikatan- ikatan yang sangat mengekang pelacur, sehingga tak mungkin keluar dari jeratan “germo”. Misalnya orang tua miskin mengirim anaknya ke calo tenaga kerja yang kemudian memasukkan mereka ke tempat pelacuran. Uang yang seharusnya dibayarkan ke pelacur, dibayarkan ke orang tua mereka, sedangkan orang tua pelacur tidak mengetahui pekerjaan anaknya. Menurut Hull et al. 1997 industri seks dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu industri seks yang terorganisasi dan industri seks yang tidak terorganisasi. Namun demikian, kategori industri seks yang terorganisasi sekalipun tidak memiliki struktur yang pasti. Bisnis seks yang dikelola secara “baik” biasanya memp unyai seorang manajer dan ada hubungan kerja antara manajer dan para karyawannya sebagai pekerja seks. Sering pula terjadi penggunaan jasa perantara mediator yang dibayar berdasarkan komisi untuk mempertemukan para wanita tuna susila dengan calon klie nnya. Sedangkan para wanita tuna susila yang bekerja pada industri seks tidak terorganisasi akan bekerja sendiri mencari dan menghubungi kliennya. Kelompok tertentu seperti call-girl selalu bekerja sendiri atau kadang-kadang juga memanfaatkan jasa pekerja perantara. Kaum laki- laki yang mencari pelayanan seks komersial dapat memperoleh wanita-wanita tersebut di lokasi berikut: • Lokasi tertentu dimana lokasi seks dapat dilaksanakan di tempat, misalnya panti pijat, rumah bordil, lokalisasi rumah bordil • Lokasi yang telah ditentukan dimana transaksi seks dapat terjadi, tetapi kegiatan seks biasanya dilakukan di tempat lain, misalnya klub malam, salon kecantikan, diskotik, pusat call-girl, lobby, bar, coffee shops. • PSK mandiri, seperti wanita panggilan untuk kelas tinggi, perek, dan wanita jalanan, yang dapat dijumpai di berbagai tempat. Lokasi- lokasi yang disebut di atas biasanya sudah dikenal masyarakat, seperti kompleks rumah bordil atau kawasan dimana para perek bisa dijumpai, atau setidaknya dikenal oleh pelanggan tertentu. 2.4. Dampak Krisis Ekonomi dan Rendahnya Strata Sosial Ekonomi terhadap Peningkatan Perilaku Berisiko Tinggi atau Pekerja Seks Komersial Krisis ekonomi yang dialami Indonesia berdampak pada meningkatnya jumlah pekerja seks komersial di daera h perkotaan. Semula sebagaian besar mereka berasal dari desa dan umumnya berpendidikan rendah, namun kini banyak yang berasal dari kota bahkan mereka masih pelajar SLTP atau SLTA. Pada umumnya mereka bekerja di jalan-jalan, di mall, atau di restoran baik pada waktu siang hari maupun malam hari. Secara teoritis banyak faktor yang menjadi penyebab kemunculan para remaja ini. Antara lain karena mereka dalam usia ingin tahu dan ingin memiliki pengalaman tentang seksualitas. Karena kebutuhan ekonomi, materialistik, pengaruh teman sebaya, keluarga tidak harmonis, pendekatan pendidikan yang salah dari orang tua atau korban perkosaan yang putus asa atau alasan lain. Besar kemungkinan mereka akan menjadi anak jalanan, karena uang yang didapat tidak cukup untuk sewa kamar atau rumah tinggal. Lama kelamaan mereka dapat menjadi korban perkosaan para pria atau anak laki- laki jalanan. Hal ini sangat memudahkan terjadinya penularan PMSHIVAIDS pada mereka sendiri maupun teman kencannya. Di sisi lain pelacur laki-laki belia juga banyak terjadi antara lain sebagai akibat kasus pedofilia yang berlindung sebagai lembaga penyantunan sosial seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat dimana belasan anak laki- laki diperdayai untuk pemuas nafsu birahi Robert Brown, atau korban perbuatan Sodomi Robot Gedek terhadap anak jalanan di Jakarta Anshori dalam Ariadi dkk, 1999. Kejadian ini bukan tidak mungkin di masa mendatang dapat menyebabkan mereka menjadi pelacur laki-laki atau gigolo yang bersifat homo dan heteroseks serta dapat tertular atau menularkan PMS bahkan mungkin HIV. Lingkungan sosial, kultural dan ekonomi dalam banyak hal diduga memberikan andil yang cukup besar terhadap frekuensi kejadian PMS atau Human Immunodeficiency VirusAcquired Immuno Deficiency Syndrome. HIVAIDS. Menurut Joesoef dalam Ariadi dkk, 1999 bahwa hubungan antara sosial ekonomi dengan kejadian PMS. Semakin rendah status sosial ekonomi pekerja pekerja seks komersial maka semakin tinggi kejadian PMS. Berdasarkan hasil beberapa kali wawancara yang dilakukan dengan wanita tuna susila di kawasan lokalisasi, memperlihatkan bahwa keberadaan mereka di tempat tersebut dimulai dari upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi orang tua atau keluarganya sendiri. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya kultur yang memperkenalkan pola bahwa anak diharapkan untuk dapat membantu atau memberikan kontribusi ekonomi orang tua atau keluarga. Tidak jarang anggota masyarakat yang masih menganut budaya orang tua mewajibkan anak untuk menghidupi orang tua atau anak mencari nafkah untuk membantu keluarga. Jika anak tidak membantu orang tua atau ikut mencari nafkah oleh masyarakat dinilai sebagai anak yang tidak tahu adat. Bahkan keberadaan seorang ayah yang santai dalam arti tidak mencari nafkah untuk keluarganya masih diterima oleh masyarakat. Sementara itu anaknya baik pria maupun wanita yang mulai remaja tanpa memperhatikan ketrampilan atau pendidikan yang dimiliki anak- anak telah memikirkan dan mencari nafkah atau mencari uang. Seringkali para anak remaja perdesaan kurang memikirkan peningkatan pendidikan dan ketrampilan dirinya sendiri sebab sebagai anak yang baik mereka wajib mulai mencari uang untuk orang tuanya dan adik-adiknya. Sampai sekarang masih banyak desa yang jauh dari sekolah lanjutan tingkat pertama, sehingga cukup banyak remaja di desa hanya lulusan sekolah dasar. Tragisnya banyak orang beranggapan dan hal ini telah menjadi rahasia umum bahwa mencari uang di kota lebih mudah dibandingkan di desa. Akibatnya pergi ke kota meski keselamatannya belum tentu terjamin dan diantaranya bahkan ada yang tertipu untuk selanjutnya menjadi pekerja seksl komersial. Peningkatan pekerja seks komersial di tempat umum mungkin juga karena mulai banyak ditutupnya beberapa lokalisasi di beberapa daerah. Dengan banyaknya pekerja seks komersial peningkatan kejadian PMS mungkin akan besar. Bila PSK tidak teralokasir maka petugas kesehatan akan makin sulit memaksa mereka untuk berobat PMS secara teratur dan benar. Dengan demikian pengobatan PMS pada pelacur menjadi sangat tergantung pada kesadaran dan kemajuan mereka sendiri. Masalahnya wanita penderita PMS tidak menunjukkan gejala atau keluhan dan hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan laboratorium. Hal ini dapat berakibat pekerja seks komersial penderita penyakit ini tidak merasa perlu untuk berobat dan tetap melayani tamunya. Dengan demikian bila pekerja seks komersial pengidap PMS mempunyai banyak langganan maka berarti penularan PMS ini akan cepat meluas di antara para langganan dan isteripasangan pela nggan.

2.5. Perdagangan Perempuan