pekerja seks komersial peningkatan kejadian PMS mungkin akan besar. Bila PSK tidak teralokasir maka petugas kesehatan akan makin sulit memaksa mereka untuk
berobat PMS secara teratur dan benar. Dengan demikian pengobatan PMS pada pelacur menjadi sangat tergantung pada kesadaran dan kemajuan mereka sendiri.
Masalahnya wanita penderita PMS tidak menunjukkan gejala atau keluhan dan hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan laboratorium. Hal ini dapat berakibat pekerja
seks komersial penderita penyakit ini tidak merasa perlu untuk berobat dan tetap melayani tamunya. Dengan demikian bila pekerja seks komersial pengidap PMS
mempunyai banyak langganan maka berarti penularan PMS ini akan cepat meluas di antara para langganan dan isteripasangan pela nggan.
2.5. Perdagangan Perempuan
Dalam Kompas Juni 2003 disebutkan bahwa Lola Wagner dari jaringan Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan YMKK menyatakan, saat ini di seluruh
Indonesia diperkirakan terdapat 230.000 perempuan dan anak yang terjebak di dalam sindikat perdagangan manusia. Di Kepulauan Riau, Kundur, Karimun, dan Bintan
diperkirakan jumlahnya mencapai 10.000, dan sekitar 5.000 di antaranya berada di Batam. Sepuluh persen dari populasi pekerja seks di Batam berusia di bawah 18
tahun. Persoalan perdagangan manusia di Indonesia baru diakui secara terbuka setelah
Perserikatan Bangsa Bangsa memasukkan Indonesia sebagai tiga negara terburuk dalam penanganan kasus ini dan setelah Pemerintah AS mengancam akan
memberikan sanksi kalau Pemerintah Indonesia bergeming dan tidak melakukan tindakan yang berarti di bidang hukum dan penerapannya untuk mengeliminasi
perdagangan manusia. Perdagangan perempuan dan anak lintas batas terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Di dalam kriteria trafficking terdapat ancaman,
pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan posisi ketidakberdayaan calon korban. Tujuannya adalah eksploitasi calon tenaga kerja, baik dalam bentuk eksploitasi
seksual maupun yang lainnya, kerja paksa, perbudakan atau praktik -praktik yang mirip perbudakan dan penghambaan. Contoh yang mencolok terjadi di Kalimantan
Barat karena provinsi ini merupakan salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Seperti dituturkan Hairiah SH dari
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi LBH Apik dalam Kompas Juni 2003, di Kalbar terdapat sekitar 50
jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalbar dengan 32 kampung di Serawak. Jaringan kriminal perdagangan perempuan dan anak bahkan melibatkan
orang- orang terdekat calon korban, seperti anggota keluarga sendiri dan aparat yang berpengaruh di tingkat desa. Sebagai imbalan, orangtua yang menyerahkan anaknya
kepada calo 1 akan diberi imbalan sebesar Rp 75.000-Rp 100.000. Calo 1 kemudian menyerahkan anak- anak dan perempuan kepada pihak lain calo 2 di Kota
Pontianak. Tugas calo 1 berakhir setelah ia menerima imbalan sebesar Rp 600.000- Rp 700.000 per anak, kalau kelengkapan anak perempuan itu berupa KTP, ijazah, dan
akte kelahiran untuk mempermudah pembuatan paspor. Kalau tidak maka calo 1 menerima Rp 200.000-Rp 300.000 lebih rendah dari jumlah yang dijanjikan.
Koordinator Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM RI Prof Dr Romli Armasasmita SH, LLM, mengingatkan, RUU tentang Perdagangan perempuan
dan Anak di Indonesia harus dirumuskan secara teliti karena Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia PJTKI dibentuk berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Dalam
pengertian dan rumusan tentang trafficking, posisi PJTKI sangat vulnerable sebagai subyek implementasi Protokol dan RUU tersebut. Tiga protokol yang menginduk
pada Konvensi tentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi itu merupakan tambahan Konvensi Palermo 2000, yakni Protokol untuk Melindungi, Menindak, dan
Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya Perempuan dan Anak-anak, Protokol Antipenyelundupan Migran melalui Darat, Laut, dan Udara serta Protokol
Antipenyelundupan Senjata. Dalam acara yang diselenggarakan oleh Jurnal perempuan, yang didukung
oleh sejumlah lembaga internasional dan nasional itu, Direktur IKeamanan dan
Transnasional Mabes Polri Brigjen Pol Aryanto Sutadi menyatakan, Kepolisian RI mulai tahun ini membenahi penanganan kasus perdagangan perempuan dan anak-
anak. Polda DKI Jakarta telah menginvestigasi dan membebaskan 174 perempuan dan anak-anak korban perdagangan manusia yang berkedok panti pijat Sari
Ayu.Polda DKI juga menahan dua laki- laki tersangka pelaku perdagangan perempuan muda ke Malaysia Januari 2003. Tahun sebelumnya, Polda Jawa Barat
menahan dua tersangka pelaku yang membawa tujuh perempuan dari Indramayu untruk diperdagangkan ke Surabaya. Meski demikian, seluruh upaya Polri itu
dihadang jaringan yang kuat dari sindikat kriminal yang tak segan-segan melakukan semua cara untuk memuluskan bisnis mereka. Sangat disayangkan, pejabat tertinggi
di Batam, Kalimantan Barat, Indramayu, Singkawang -daerah-daerah pengirim dan penerima terbesar dari praktik perdagangan manusia di Indonesia-hanya mengirimkan
wakilnya untuk berbicara dalam forum yang penting itu. 2.6. Perubahan Perilaku Seksual di Masyarakat dan Preferensi Seksual
Dengan tingginya angka urbanisasi baik dalam status sebagai pekerja di pabrik, pekerja bangunan, pegawai tooksalonpanti pijat, pelajar atau mahasiswa
maka risiko adanya perzinahan mungkin saja terjadi. Para tenaga kerja pada umumnya adalah kelompok remaja awal baik yang belum maupun sudah menikah.
Bagi tenaga kerja wanita melakukan perzinahan mungkin dalam rangka menambah pendapatan, kesenangan atau sebab lain. Tetapi bagi tenaga kerja pria kegiatan seks
tersebut umumnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan seks mereka. Kadang-kadang hubungan seks antar teman terjadi dalam bentuk kawin
kontrak, misalnya di kalangan mahasiswa. Umumnya mereka baru berpisah bila pulang ke daerah masing- masing karena sudah selesai belajar atau berganti tempat
kerja. Kenyataannya tidak banyak wanita yang bersedia melakukan kawin kontrak dan tidak semua pria secara tetap memberikan sebagian hasil kerjanya pada teman
hidup sementaranya. Sehingga mengakibatkan banyak tenaga kerja migran atau yang berstatus pelajar memilih alternatip lain yakni ke tempat prostitusi. Sesuai dengan
kemampuan ekonomi mereka seringkali memilih pekerja seks komersial jalanan umumnya termasuk kategori murahan.
Dari penelitian yang dilakukan Joesoef dkk 1988 memperlihatkan bahwa kelompok pekerja seks komersial perempuan ini memiliki “prevalence rate” PMS
cukup tinggi yakni sebanyak 42 persen. Keadaan ini cukup membahayakan terhadap adanya peningkatan penularan PMS pada kelompok usia produktif tersebut. Apalagi
jika kemudian mereka melakukan hubungan seks dengan isteri masing- masing di daerah, maka penularan PMS pun diperkirakan akan semakin meluas. Seharusnya
para suami ini pekerja migran atau pelajar harus berobat sampai sembuh sebelum berhubungan seks dengan isteri mereka. Tetapi kondisi keuangan yang terbatas,
mereka umumnya tidak berobat dengan sempurna pada petugas kesehatan yang kompeten, melainkan melakukan pengobatan sendiri misalnya dengan supertetra yang
dibeli di penjual obat jalanan.
2.7. Dampak Epidemi HIVAIDS