Perdagangan Perempuan 2.1. Pasar Jasa

pekerja seks komersial peningkatan kejadian PMS mungkin akan besar. Bila PSK tidak teralokasir maka petugas kesehatan akan makin sulit memaksa mereka untuk berobat PMS secara teratur dan benar. Dengan demikian pengobatan PMS pada pelacur menjadi sangat tergantung pada kesadaran dan kemajuan mereka sendiri. Masalahnya wanita penderita PMS tidak menunjukkan gejala atau keluhan dan hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan laboratorium. Hal ini dapat berakibat pekerja seks komersial penderita penyakit ini tidak merasa perlu untuk berobat dan tetap melayani tamunya. Dengan demikian bila pekerja seks komersial pengidap PMS mempunyai banyak langganan maka berarti penularan PMS ini akan cepat meluas di antara para langganan dan isteripasangan pela nggan.

2.5. Perdagangan Perempuan

Dalam Kompas Juni 2003 disebutkan bahwa Lola Wagner dari jaringan Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan YMKK menyatakan, saat ini di seluruh Indonesia diperkirakan terdapat 230.000 perempuan dan anak yang terjebak di dalam sindikat perdagangan manusia. Di Kepulauan Riau, Kundur, Karimun, dan Bintan diperkirakan jumlahnya mencapai 10.000, dan sekitar 5.000 di antaranya berada di Batam. Sepuluh persen dari populasi pekerja seks di Batam berusia di bawah 18 tahun. Persoalan perdagangan manusia di Indonesia baru diakui secara terbuka setelah Perserikatan Bangsa Bangsa memasukkan Indonesia sebagai tiga negara terburuk dalam penanganan kasus ini dan setelah Pemerintah AS mengancam akan memberikan sanksi kalau Pemerintah Indonesia bergeming dan tidak melakukan tindakan yang berarti di bidang hukum dan penerapannya untuk mengeliminasi perdagangan manusia. Perdagangan perempuan dan anak lintas batas terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Di dalam kriteria trafficking terdapat ancaman, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan posisi ketidakberdayaan calon korban. Tujuannya adalah eksploitasi calon tenaga kerja, baik dalam bentuk eksploitasi seksual maupun yang lainnya, kerja paksa, perbudakan atau praktik -praktik yang mirip perbudakan dan penghambaan. Contoh yang mencolok terjadi di Kalimantan Barat karena provinsi ini merupakan salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Seperti dituturkan Hairiah SH dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi LBH Apik dalam Kompas Juni 2003, di Kalbar terdapat sekitar 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalbar dengan 32 kampung di Serawak. Jaringan kriminal perdagangan perempuan dan anak bahkan melibatkan orang- orang terdekat calon korban, seperti anggota keluarga sendiri dan aparat yang berpengaruh di tingkat desa. Sebagai imbalan, orangtua yang menyerahkan anaknya kepada calo 1 akan diberi imbalan sebesar Rp 75.000-Rp 100.000. Calo 1 kemudian menyerahkan anak- anak dan perempuan kepada pihak lain calo 2 di Kota Pontianak. Tugas calo 1 berakhir setelah ia menerima imbalan sebesar Rp 600.000- Rp 700.000 per anak, kalau kelengkapan anak perempuan itu berupa KTP, ijazah, dan akte kelahiran untuk mempermudah pembuatan paspor. Kalau tidak maka calo 1 menerima Rp 200.000-Rp 300.000 lebih rendah dari jumlah yang dijanjikan. Koordinator Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM RI Prof Dr Romli Armasasmita SH, LLM, mengingatkan, RUU tentang Perdagangan perempuan dan Anak di Indonesia harus dirumuskan secara teliti karena Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia PJTKI dibentuk berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Dalam pengertian dan rumusan tentang trafficking, posisi PJTKI sangat vulnerable sebagai subyek implementasi Protokol dan RUU tersebut. Tiga protokol yang menginduk pada Konvensi tentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi itu merupakan tambahan Konvensi Palermo 2000, yakni Protokol untuk Melindungi, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya Perempuan dan Anak-anak, Protokol Antipenyelundupan Migran melalui Darat, Laut, dan Udara serta Protokol Antipenyelundupan Senjata. Dalam acara yang diselenggarakan oleh Jurnal perempuan, yang didukung oleh sejumlah lembaga internasional dan nasional itu, Direktur IKeamanan dan Transnasional Mabes Polri Brigjen Pol Aryanto Sutadi menyatakan, Kepolisian RI mulai tahun ini membenahi penanganan kasus perdagangan perempuan dan anak- anak. Polda DKI Jakarta telah menginvestigasi dan membebaskan 174 perempuan dan anak-anak korban perdagangan manusia yang berkedok panti pijat Sari Ayu.Polda DKI juga menahan dua laki- laki tersangka pelaku perdagangan perempuan muda ke Malaysia Januari 2003. Tahun sebelumnya, Polda Jawa Barat menahan dua tersangka pelaku yang membawa tujuh perempuan dari Indramayu untruk diperdagangkan ke Surabaya. Meski demikian, seluruh upaya Polri itu dihadang jaringan yang kuat dari sindikat kriminal yang tak segan-segan melakukan semua cara untuk memuluskan bisnis mereka. Sangat disayangkan, pejabat tertinggi di Batam, Kalimantan Barat, Indramayu, Singkawang -daerah-daerah pengirim dan penerima terbesar dari praktik perdagangan manusia di Indonesia-hanya mengirimkan wakilnya untuk berbicara dalam forum yang penting itu. 2.6. Perubahan Perilaku Seksual di Masyarakat dan Preferensi Seksual Dengan tingginya angka urbanisasi baik dalam status sebagai pekerja di pabrik, pekerja bangunan, pegawai tooksalonpanti pijat, pelajar atau mahasiswa maka risiko adanya perzinahan mungkin saja terjadi. Para tenaga kerja pada umumnya adalah kelompok remaja awal baik yang belum maupun sudah menikah. Bagi tenaga kerja wanita melakukan perzinahan mungkin dalam rangka menambah pendapatan, kesenangan atau sebab lain. Tetapi bagi tenaga kerja pria kegiatan seks tersebut umumnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan seks mereka. Kadang-kadang hubungan seks antar teman terjadi dalam bentuk kawin kontrak, misalnya di kalangan mahasiswa. Umumnya mereka baru berpisah bila pulang ke daerah masing- masing karena sudah selesai belajar atau berganti tempat kerja. Kenyataannya tidak banyak wanita yang bersedia melakukan kawin kontrak dan tidak semua pria secara tetap memberikan sebagian hasil kerjanya pada teman hidup sementaranya. Sehingga mengakibatkan banyak tenaga kerja migran atau yang berstatus pelajar memilih alternatip lain yakni ke tempat prostitusi. Sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka seringkali memilih pekerja seks komersial jalanan umumnya termasuk kategori murahan. Dari penelitian yang dilakukan Joesoef dkk 1988 memperlihatkan bahwa kelompok pekerja seks komersial perempuan ini memiliki “prevalence rate” PMS cukup tinggi yakni sebanyak 42 persen. Keadaan ini cukup membahayakan terhadap adanya peningkatan penularan PMS pada kelompok usia produktif tersebut. Apalagi jika kemudian mereka melakukan hubungan seks dengan isteri masing- masing di daerah, maka penularan PMS pun diperkirakan akan semakin meluas. Seharusnya para suami ini pekerja migran atau pelajar harus berobat sampai sembuh sebelum berhubungan seks dengan isteri mereka. Tetapi kondisi keuangan yang terbatas, mereka umumnya tidak berobat dengan sempurna pada petugas kesehatan yang kompeten, melainkan melakukan pengobatan sendiri misalnya dengan supertetra yang dibeli di penjual obat jalanan.

2.7. Dampak Epidemi HIVAIDS