Faktor Biofisik Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan

tersebut terkadang dijumpai pada daerah bertopografi datar dan berbatu, sehingga rumput lebih mampu tumbuh dibandingkan jenis lainnya. Iklim Komponen iklimcuaca yang berpengaruh terhadap kebakaran mencakup suhu, kelembaban, angin dan curah hujan Chuvieco et al. 1997. IklimCuaca menentukan jumlah bahan bakar yang tersedia, kerasnya musim kemarau mengatur kadar air dan flamibilitas bahan bakar mati dan mempengaruhi proses penyalaan Syaufina 2008. Ketersediaan air mempengaruhi kelembaban dan produktivitas bahan bakar. Simuasi model kebakaran permukaan, iklim dan hutan di California menunjukkan bahwa pada lokasi-lokasi dengan ketinggian di atas 1 500 meter, ketersediaan bahan bakar yang diperlukan dalam proses penyalaan sangat sedikit. Faktor pembatas juga mencakup variabel kelembaban dimana pada ketinggian di atas 1 500 tersebut bahan bakar menjadi terlalu lembab untuk bisa terbakar. Sehingga daerah-daerah dengan ketinggian di atas 1 500 m tidak rawan terbakar Miller dan Urban 1999. Terkait dengan waktu, periode kritis terjadinya kebakaran adalah Pukul 10.00 sampai 18.00, setelah jam 10.00 penyinaran matahari menyebabkan temperatur meningkat sehingga kelembaban turun dan kecepatan angin meningkat sehingga menyebabkan kadar air bahan bakar menurun Sumantri 2007.

3.2 Sistem Informasi Geografis SIG Kebakaran Hutan dan Lahan

Morisette et al. 2005 dalam Prasad et al. 2008 menyebutkan bahwa penginderaan jauh yang menggunakan multi waktu, multispektral, cakupan dan pola kejadian berulang dapat memberikan informasi tentang jumlah kebakaran, luas area dan jenis ekosistem yang terbakar.Untuk menghitung daerah yang terbakar dengan penginderaan jauh umumnya menggunakan 2 cara : a. Deteksi kebakaran aktif b. Deteksi pasca kebakaran GIS sangat bermanfaat dalam pengolahan data digital citra satelit untuk membuat peta sebaran bahan bakar, pemodelan spasial resiko kebakaran serta pemodelan spasial peluang kejadian kebakaran. Informasi yang dihasilkan dari GIS tersebut dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengelola kawasan untuk melakukan pencegahan, perencanaan dan penanganan kebakaran Bonazountas et al. 2007. Pemakaian GIS dan regresi logistik multivariat memberikan hasil yang cukup baik untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran. Faktor yang digunakan sebagai prediktor dalam proses tersebut mencakup demografi, sosial ekonomi, fisik, geografi dan bahan bakar kayu. GIS digunakan untuk mengkombinasikan data spasial hasil inventarisasi hutan dan data hasil sensus, serta bermanfaat untuk menghitung jarak setiap plot dalam kegiatan inventarisasi hutan terhadap lokasi aksesibilitas penduduk Zhai et al. 2003. Setiawan et al. 2004 juga menggunakan GIS berbasis grid dengan didukung Multi Criteria Analysis MCA untuk memetakan daerah-daerah yang bahayarawan kebakaran pada hutan rawa gambut. Variabel-variabel yang diuji meliputi landuse, jaringan jalan, slope, aspect, tanah, vegetasi dan ketinggian. Sebagai pembobot model digunakan skor dari proses Analitical Hierarcy Process AHP. GIS juga dapat dimanfaatkan untuk menguji hubungan antara variabel bebas terhadap variabel tak bebas tingkat kepadatan kejadian kebakaran melalui pemodelan spasial Regresi Linier Terboboti. Kepadatan hotspot dihitung dengan fungsi Kernel Density Estimate KDE dengan nilai bandwidth 2 640 feet. Bandwith yang optimal untuk fungsi kebakaran ini adalah 3 087 feet Yamashita 2008. Geographical Information System GIS juga bermanfaat untuk memetakan daerah-daerah yang terkena dampak kebakaran serta membuat model zonasi bahaya kebakaran. Data multi waktu citra satelit dapat digunakan untuk memetakan area penyebaran api serta arahnya Kunwar dan Kachhwaha 2003.

3.3 Pemodelan Spasial

Pemodelan spasial adalah proses manipulasi dan analisis data spasial atau geografis untuk membangkitkan informasi yang lebih berguna bagi pemecahan permasalahan yang komplek. Model spasial dapat digunakan untuk memprediksi berbagai fenomena alam karena beberapa alasan diantaranya : a. penemuan hubungan antar bentang alam geografis untuk pemahaman, dan mengkaitkan permasalahan utama b. pendefinisian masalah agar lebih jelas dan logis c. penyediaan kerangka pemahaman proses di dunia nyata d. simulasi untuk mengekstrak informasi yang tidak mungkin dan terlalu mahal untuk diukur Menurut Brimicombe 2010, model spasial yang memanfaatkan GIS biasanya terdiri atas tiga hal : a. garis regresi yang memprediksi nilai output berdasarkan variabel input b. sejumlah tabel yang menggambarkan hubungan dan proses yang komplek, merupakan hasil manipulasi dari beberapa layer peta c. Sejumlah formula matematika yang menggambarkan hubungan sebab akibat yang dikompilasi melalui program komputer. Dalam kaitannya dengan studi kebencanaan, dikenal tiga istilah yang menjadi obyek kajian model prediksi, yaitu tingkat bahaya hazard, kerentanan vulnerability dan resiko risk. Hazard diartikan sebagai potensi kerusakan yang mungkin terjadi pada waktu dan lokasi tertentu. Dari pengertian ini maka pemodelan hazard mencakup dua komponen utama yaitu pemodelan berdasarkan lokasi dan waktu kejadian. Sementara vulnerability diartikan sebagai tingkat kerentanan rusak atau tingkat kehilangan suatu obyek yang disebabkan oleh terjadinya hazard. Tingkat kerentanan berdasarkan kerusakan yang terjadi digambarkan pada skala 0 sampai dengan 1 skala 0 berarti tidak rentan, skala 1 berarti sangat rentan. Resiko risk merupakan ukuran dampak yang menggambarkan hasil akhir dari kombinasi peluang hazard dan vulnerability Brimicombe 2010. Barnett 2005 menyebutkan bahwa kesesuaian model untuk menjelaskan perilaku api sangat dipengaruhi oleh tingkat variasi data pada unit-unit wilayah yang seragam. Adanya variasi yang tinggi pada perilaku api dapat menyebabkan model menjadi tidak akurat. Pemodelan spasial dapat membantu para petugas yang menangani kebakaran dengan cara membuat mereka lebih fokus pada faktor- faktor yang berpengaruh penting terhadap kejadian kebakaran di suatu wilayah.

3.4 Analisis SWOT dan QSPM

Penggunaan SWOT dalam perencanaan strategis saat ini telah banyak dilakukan oleh berbagai organisasilembaga. Rangkuti 1997 mendefinisikan analisis SWOT dengan suatu alat identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan Strengths dan peluang Opportunities, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan Weaknesses dan ancaman Threats. Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencanaan strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam kondisi yang ada saat ini. Dalam aplikasinya, analisis ini tidak hanya terbatas pada lingkungan bisnis untuk meningkatkan daya saing perusahaan, namun juga dapat diaplikasikan pada berbagai bidang kehidupan. Analisis ini dapat digambarkan kedalam diagram dengan 4 kuadran sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 2 Matrik analisis SWOT Rangkuti 1997 mendeskripsikan keempat kuadran tersebut sebagai berikut : 1. Kuadran 1, merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Organisasi memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif. 2. Kuadran 2, merupakan situasi dimana perusahaan menghadapi berbagai ancaman namun masih memiliki kekuatan internal. Strategi yang harus