Kawasan Perdagangan Bebas Batam
21 meskipun diberlakukan AFTA, prosedur ekspor impor tetap mengacu pada
prosedur bea cukai masing-masing negara anggota. Bagi wilayah yang ditunjuk sebagai FTZ yang memberikan insentif berupa pembebasan bea masuk, PPN dan
PPnBM, maka prosedur ekspor dan impor yang harus dilalui menjadi lebih mudah dan cepat, karena tidak perlu melalui pemeriksaan yang berkaitan dengan
pemungutan bea masuk, PPN dan PPnBm. Seperti di Batam yang selama ini telah berfungsi sebagai FTZ, prosedur keluar masuk barang dapat dipangkas dari 25
proses menjadi 11 proses Bagian Pemasaran Otorita Batam, 2001. Kawasan perdagangan bebas KPB atau free trade zone FTZ telah
berkembang sejak tahun 1934 di Amerika Serikat setelah Undang-Undang tentang KPB di Amerika Serikat disahkan, tetapi baru tahun 1970-an perusahaan-
perusahaan merasakan manfaat dari keberadaan KPB tersebut, baik untuk kepentingan ekspor dan impornya Alavi dan Thompson, 1988. Perusahaan
memanfaatkan KPB dalam melakukan kegiatan pengujian, penyortiran, pengemasan kembali, penyimpanan, dan persiapan penjualan barang ke penyalur.
Alavi dan Thompsom 1988 lebih lanjut menjelaskan manfaat KPB dalam kegiatan impor dan ekspor barang, yaitu : a Di dalam KPB importir dapat
menguji dan menyortir barang yang cacat dan rusak, sehingga dapat dikembalikan; b Beberapa barang seringkali perlu dirakit sebelum dipasarkan
dengan menggunakan beberapa komponen lainnya yang berasal dari dalam negeri atau negara lainnya; c Kawasan KPB menjadi pusat distribusi barang sebelum
barang diekspor ke luar negeri; d Barang domestik yang masuk ke KPB dapat memperoleh status ekspor. Mongelluzzo 2003 menyebutkan bahwa KPB dapat
memangkas biaya dan mengetatkan roda suplai barang. Riset Mongelluzo 2003 di Los Angeles menunjukkan bahwa perbandingan total biaya kegiatan ekonomi
di kawasan non-KPB dengan KPB masing-masing adalah US 11.615.000 dan US 10.845.920, sehingga adanya KPB dapat menghemat biaya sebesar
US769.080. Keberadaan KPB memungkinkan terjadinya pemindahan kegiatan ekonomi
dari negara investor ke negara yang memiliki KPB host country. Pemindahan kegiatan tersebut selain berdampak terhadap peningkatan pendapatan negara
pemilik KPB juga akan memberikan dampak terhadap lingkungan wilayah KPB.
22 Katz 2000 menyebutkan bahwa adanya pengurangan tarif di KPB akan
meningkatkan investasi dalam fasilitas produksi dan arus transportasi lebih besar, sehingga menciptakan resiko terhadap peningkatan : a konsumsi air dan polusi
yang bersumber dari kegiatan industri dan rumah tangga; b polusi udara yang bersumber dari kegiatan industri dan rumah tangga; c produksi limbah padat
yang berasal dari peningkatan kegiatan produksi dan konsumsi rumah tangga; d kehilangan lahan terbuka, termasuk berkurangnya zona resapan air dan habitat
satwa liar; e ekstraksi sumberdaya alam, termasuk penambangan bahan bakar dan mineral; serta f polusi perairan laut dan tekanan terhadap wilayah pesisir.
Kawasan perdagangan bebas pun memiliki daya tarik ekonomi bagi pekerja, sehingga terjadi kenaikan populasi penduduk. Lebih lanjut Katz 2000
menyebutkan bahwa kebijakan penghilangan penghambat perdagangan trade barriers di Eropa menjadi penyebab langsung peningkatan kegiatan transportasi,
polusi udara dan polusi limbah rumah tangga. Setiap kenaikan 1,5 pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan 10-20 emisi polusi udara di Eropa Katz, 2000.
Namun hasil riset Liang 2006 tentang dampak investasi asing terhadap KPB di Cina menunjukkan bahwa adanya investasi memberikan manfaat terhadap
perbaikan lingkungan karena investor tersebut menerapkan teknologi yang lebih efisien sehingga produktifitas lebih tinggi dan penggunaan sumberdaya alam lebih
hemat. Perbedaan dampak dari KPB terhadap lingkungan tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah masing-masing dalam penyelenggaraan KPB Katz, 2000;
Liang, 2006. Linde-Rahr 2005 menyebutkan bahwa di tingkat nasional kebijakan lingkungan yang keras stringent environmental policy tidak cukup
signifikan dalam pemilihan lokasi industri dibandingkan dengan pertimbangan faktor transportasi dan pertumbuhan ekonominya, tetapi di tingkat provinsi
kebijakan lingkungan yang keras dapat mengurangi investasi asing. Dampak lingkungan KPB dianalisis dengan mengacu pada kurva EKC
Katz, 2000; Copeland dan Taylor, 2004; Liang, 2006. Katz 2000 menyebutkan bahwa titik pendapatan dimana kepedulian terhadap lingkungan meningkat
dicapai pada pendapatan per kapita per tahun sebesar US5.000 di kawasan Mediteranian, sedangkan menurut Grossman dan Krueger 1999 sebesar
US8.000. Untuk mencapai pendapatan sebesar US5.000 per kapita di Mesir
23 diprediksikan akan tercapai setelah 40 tahun dengan asumsi bahwa ada kegiatan
ekonomi yang agresif melalui ekspansi ekonomi secara konsisten Katz, 2000. Setiap negara tentunya memiliki kebijakan yang berbeda terkait dengan penerapan
KPB di negaranya. Frankel dan Rose 2002 menyebutkan terdapat dua proposisi yang berkaitan dengan dampak lingkungan dari KPB, yaitu hipotesis pollution
haven dan hipotesis Porter. Hipotesis pollution haven umumnya dilakukan oleh negara yang mengadopsi standar lingkungan yang longgar lax environmental
standards dengan tujuan untuk menarik minat investasi dari perusahaan multinasional yang regulasi pengendalian lingkungan di negara asalnya dilakukan
ketat. Hipotesis ini umumnya dilakukan oleh negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang yang memiliki KPB cenderung lebih kotor daripada
negara maju yang menerapkan standar kualitas lingkungan lebih tinggi. Misalnya Sarkar 2009 menyoroti perjanjian di kawasan perdagangan bebas antara
Amerika Serikat dan Dominika, dimana walaupun dalam perjanjian tersebut dimasukkan aspek lingkungan tetapi investor lebih tertarik menanamkan investasi
di Dominika karena upah yang murah dan persyaratan lingkungan yang rendah, sehingga berdampak terhadap menurunnya peluang kerja dan investasi modal di
wilayah Amerika Serikat. Cole dan Fredikkson 2005 menyatakan bahwa hipotesis pollution haven
akan terjadi pada kondisi dimana keterlibatan struktur legislatif dan partisipasi publik rendah. Hipotesis Porter dilakukan dengan menerapkan kebijakan
pengaturan lingkungan yang lebih ketat terhadap investor di KPB dengan tujuan untuk mendorong digunakannya inovasi teknologi dalam kegiatan produksi
ekonominya yang lebih ramah lingkungan. Dalam hal ini regulasi lingkungan akan mendorong pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih efisien dan lebih
produktif, sehingga tekanan terhadap lingkungan dapat dikurangi. Hipotesis Porter akan efektif dilakukan pada KPB yang kebijakan pengendalian
lingkungannya bersifat merit system atau insentifdisinsentif Frankel dan Rose, 2002. Cole et al. 2006 menyebutkan bahwa investasi asing mempengaruhi
kebijakan lingkungan dan dampaknya bersifat kondisional tergantung tingkat korupsi degree of corruptibility dari pemerintah setempat, yaitu pada tingkat
korupsi pemerintahannya tinggi maka investasi asing cenderung menurunkan
24 standar kualitas lingkungan dan sebaliknya dengan makin bersihnya
penyelenggaraan pemerintahan maka investasi asing cenderung mendorong peningkatan standar kualitas lingkungan. Dalam hal ini transparansi, demokrasi,
dan tata kelola pemerintahan menjadi kunci penataan kebijakan perdagangan bebas yang sinergis dengan pengendalian lingkungan CEC, 2002.
Integrasi kebijakan lingkungan dan perdagangan bebas masih lemah, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan Butler, 1992; CEC, 2002. Seale dan
Fairchild 1994 menyebutkan bahwa sejumlah kelompok pro lingkungan telah sejak lama meminta pelaksanaan perdagangan internasional dikaitkan dengan
regulasi lingkungan, karena kebijakan perdagangan dapat digunakan untuk mempengaruhi negara lain dalam hal perbaikan lingkungan. Upaya untuk
mengintegrasikan lingkungan ke dalam pengelolaan KPB dilakukan oleh CEC 2002 dengan meningkatkan partisipasi publik terhadap kegiatan pengembangan
KPB. Lebih lanjut CEC 2002 menyebutkan bahwa keterlibatan publik sejak awal KPB penting difasilitasi untuk memantau dampak lingkungan dari
perdagangan bebas yang terjadi. Hal ini terkait dengan dijalankannya pemerintahan yang transparan dan demokratis. Keterlibatan publik dalam
pemantauan lingkungan KPB penting sebagai legitimasi bagi pengelola kawasan bahwa kegiatannya tidak menurunkan kualitas lingkungan, karena kebijakan
lingkungan banyak yang memerlukan komitmen dan dukungan publik CEC, 2002. Lebih lanjut CEC 2002 menyebutkan bahwa untuk mendorong partisipasi
publik terhadap pengendalian lingkungan di KPB yang berada di Amerika Utara telah difasilitasi terbentuknya kelompok penasehat advisory group yang
beranggotakan pakar dan kelompok pemerhati lingkungan untuk memberikan masukan dan memantau kualitas lingkungan di KPB dan sekitarnya kepada badan
pengelola kawasan secara mandiri independent. Salah satu wilayah di Indonesia yang ditetapkan sebagai KPB adalah Batam.
Pembangunan Pulau Batam dimulai oleh Pertamina berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang Pengembangan Pembangunan Daerah
Pulau Batam dan dimaksudkan sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi guna menunjang eksplorasi minyak dan gas bumi
lepas pantai. Dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1974 tentang
25 Penunjukan dan penetapan beberapa wilayah usaha bonded warehouse di daerah
industri Pulau Batam, wilayah di daerah Batu Ampar, dan wilayah di daerah Sekupang bagian barat Pulau Batam ditetapkan lokasi tersebut sebagai bonded
warehouse. Adapun perusahaan yang bertindak sebagai bonded warehouse adalah PT. Persero Pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam. Sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1972 tentang bonded warehouse, bonded warehouse adalah suatu sarana institusional dalam bidang
perekonomian dan perdagangan yang mempunyai wilayah pengusahaan tertentu dalam daerah pabean Indonesia sebagai suatu tempat untuk menyimpan,
menimbun, meletakkan, mengemas, dan atau mengolah barang-barang yang berasal: a dari luar daerah pabean tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea,
cukai, pajak, dan atau pungutan negara lainnya sampai barang-barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor atau tujuan re-ekspor tanpa diolah terlebih dahulu
di dalam bonded warehouse, atau b dari dalam daerah pabean tanpa terlebih dahulu dikenakan pengutan bea, cukai, pajak, dan atau pungutan negara lainnya
sampai barang-barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan ekspor Ditjen Bea Cukai, 2008.
Dalam perkembangan selanjutnya seluruh daerah industri Pulau Batam ditetapkan sebagai wilayah usaha bonded warehouse berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan Seluruh Daerah Industri Pulau Batam sebagai Wilayah Usaha bonded warehouse. Kemudian dengan Keputusan
Presiden Nomor 28 tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan penetapannya sebagai wilayah usaha Kawasan
Berikat Bonded Zone, wilayah lingkungan kerja daerah industri Pulau Batam ditambah dengan Pulau Rempang dan Pulau Galang. Kemudian dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007, Nomor 47 Tahun 2007, dan Nomor 48 Tahun 2007, Kawasan Batam, Kawasan Bintan, dan Kawasan Karimun masing-masing
ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas KPBPB dengan mendapat fasilitas fiskal berupa bebas dari pengenaan bea masuk, PPN,
PPnBM, dan cukai atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KPBPB. Kawasan Batam meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setotok, Pulau
26 Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru Ditjen Bea Cukai,
2008. Batam selaku kota industri yang terkemuka di Asia Pasifik telah lama
memikirkan akibat-akibat yang ditimbulkan globalisasi ekonomi terhadap kinerja pertumbuhan Batam. Sebagai barometer pertumbuhan ekonomi nasional, Batam
secara signifikan harus mampu memperbaiki kinerjanya dalam meningkatkan jumlah investasi dan pertumbuhan ekonominya. Salah satu hal yang menjadi isu
utama di Batam saat ini setidaknya adalah mengenai penerapan FTZ terhadap Batam. Seperti diketahui, selama ini Batam hanya dijadikan sebagai bonded zone,
yang telah mengalami banyak perkembangan, sehingga diperlukan adanya satu perubahan konsep dari bonded menjadi FTZ. Namun sebagian orang ada yang
menentang penerapan free trade ini dengan alasan bahwa pasar bebas yang akan diterapkan di ASEAN dengan adanya AFTA akan menjadikan status FTZ Batam
menjadi percuma. Alasan yang dikemukakan dengan menghadapkan antara free trade dan AFTA sebenarnya tidak relevan dalam memandang Batam, karena ada
perbedaan yang mendasar antara FTZ dan AFTA, walaupun keduanya berarti pasar bebas yang ada di suatu kawasan. Jadi pada dasarnya upaya menjadikan
Batam sebagai FTZ tak lain adalah mempertahankan situasi dan kondisi Batam yang ada sekarang ini yang sebenarnya telah menjalankan fungsi-fungsi FTZ.
Ditjen Bea Cukai, 2008. Bagi Batam, dengan diterapkannya free trade zone, tidak ada sesuatu yang
baru dan tidak ada perubahan yang mendasar. Hal ini merupakan legitimasi baru bagi pulau Batam untuk melanjutkan fungsi pulau Batam sebagai daerah industri
yang berstandar internasional dan kompetitif di Asia Pasifik dan memberikan manfaat bagi masyarakat disekitarnya. Kesalahan persepsi atas konsep free trade
zone yang dialami oleh segelintir pihak belakangan ini dapat berdampak negatif bagi perkembangan Batam, khususnya di mata investor asing yang sangat
membutuhkan kepastian hukum bagi status pulau Batam. Perusahaan Penanaman Modal Asing berorientasikan ekspor bersedia merelokasikan pabriknya semata-
mata untuk mencari efisiensi ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara asalnya. Penerapan FTZ secara de facto di Batam, diakui telah mampu
memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan efisiensi biaya produksi.
27 Oleh sebab itu, Batam dilukiskan sebagai kawasan yang memenuhi persyaratan
yang diperlukan bagi PMA berorientasi ekspor untuk menjalankan aktivitasnya. Motivasi para pengusaha swasta dalam relokasi adalah untuk memperluas pasar
bagi produksinya di luar negara asal dan dalam perkembangan selanjutnya, karena persaingan global yang semakin ketat, maka perusahaan tersebut harus
merelokasikan usahanya ke negara lain yang dapat memberikan efisiensi ekonomi yang lebih menarik Ditjen Bea Cukai, 2008..
Sementara itu, fasilitas perpajakan merupakan salah satu tolak ukur bagi perusahaan-perusahaan PMA untuk menentukan lokasi industrinya setelah
membandingkan dengan kawasan-kawasan lain di berbagai negara. Batam tetap menarik minat investor untuk menanamkan investasinya. Fasilitas keringanan
berupa keringanan perpajakan dan bea masuk yang diberikan kepada Batam telah mampu memberikan nilai tambah yang cukup besar bagi Batam dalam bersaing
memperebutkan investasi atas kawasan sejenis lainnya yang ada di Asia Pasifik seperti Subic Filipina, Johor Malaysia, Shenzhen Cina, Vietnam dan
Thailand. Hingga akhir tahun 2007, ada 978 perusahaan PMA yang telah menanamkan investasinya di Batam.Lebih dari 8000 perusahaan skala kecil dan
menengah UKM juga menjalankan aktivitasnya di Batam sebagai pendukung atau subcontractor bagi perusahaan PMA. Pertambahan jumlah perusahaan ini
juga berimplikasi pada naiknya nilai investasi yang masuk ke Batam. Untuk tahun 2007 nilai investasi tercatat 4.765 juta untuk investasi PMA. Berlandaskan dari
banyaknya perusahaan baru yang berorientasi ekspor di Batam menjalankan aktivitasnya, nilai ekspor non migas untuk tahun 2007 sebesar 6,06 milyar. Nilai
ekspor tersebut meningkat sekitar 0.82 milyar dari ekspor tahun 2006 sebesar 5,24 milyar Batam, 2008. Negara-negara tujuan ekspor Batam masih tetap
didominasi oleh negara-negara yang menanamkan investasinya di Batam seperti Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Thailand, Uni Eropa, Bulgaria, Polandia dan
beberapa negara lainnya di berbagai belahan dunia. Rata-rata negara yang menjadi tujuan ekspor telah menandatangani perjanjian penghapusan maupun pengurangan
bea masuk yang ditandai dengan penerbitan CO certificate of origin pada produk perusahaan tersebut Abdulah, 2001.
28 Meskipun era globalisasi akan membentuk persaingan pasar internasional
yang terbuka, Indonesia harus dapat mempersiapkan diri agar dapat menjadi salah satu pemeran dalam kawasan Asia Pasifik. Dengan pertumbuhan pesat dan
keadaan Batam hingga saat ini, prospek Indonesia untuk dapat berkancah dalam dunia internasional semakin besar. Dengan memanfaatkan lokasi yang strategis
pada jalur pelayaran yang ramai di Selat Malaka, disertai dengan fasilitas dan infrastruktur serta sumberdaya manusia yang memadai, Batam dapat menjadi
pusat ekspor Indonesia. Eksportir-eksportir Indonesia dapat menggunakan momentum free trade zone Batam untuk berinvestasi di Batam, sebagai langkah
awal dalam upaya menjangkau pasar dan persaingan global Abdulah, 2001. Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa globalisasi ekonomi dan
penunjukan Batam sebagai KPB diprediksi akan berdampak terhadap lingkungan di kawasan tersebut. Selama ini walaupun sejak lama kawasan Batam secara de
facto merupakan wilayah perdagangan bebas, tetapi pengendalian lingkungannya masih belum efektif.