Kebijakan pengendalian lingkungan di kawasan perdagangan bebas Batam

(1)

i

KEBIJAKAN PENGENDALIAN LINGKUNGAN

DI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS BATAM

WALTER GULTOM P 062059444

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul Kebijakan

Pengendalian Lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam adalah karya

saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Januari 2011

Walter Gultom NRP. P062059444


(3)

iii

ABSTRACT

WALTER GULTOM. 2011. Environmental Control Policy at Batam Free Trade

Zone. Under supervision of SANTUN RP SITORUS, ETTY RIANI, and BAMBANG PRABOWO SOEDARSO. Free trade, economics growth, and environment are chains of international free trade activity which is each other interconnected. Batam Region is one of free trade area (FTZ) which acted by the Government Regulation Number 46 year 2007. Openess policy in FTZ Batam is estimated having environmental impact for Batam region, so that environmental controlling policy must be studied .This research aims to: (1) Assess level of sustainability of FTZ Batam; (2) Analyses policy effectivity and law and regulation in FTZ Batam development; (3) Analyses role of stakeholders in environmental management at FTZ Batam; and (4) To determine policy alternative of environmental management at FTZ Batam. The results of research showed that the sustainability status of FTZ Batam is categorized bad, so that need improvements to the attributes that affect the sustainability of the region. Implementation of environmental control policies in the FTZ Batam had not been effective because of the constraints in the implementation of rules, inadequate regulatory supervision, law enforcement is still weak, lack of environmental awareness, and limited human resources in controlling environmental pollution. Understanding and interaction between stakeholders on the importance of environmental control is good enough, so that the process of policy formulation and implementation of environmental control in the FTZ Batam can be done quite well.


(4)

iv

RINGKASAN

WALTER GULTOM. 2011. Kebijakan Pengendalian Lingkungan di Kawasan

Perdagangan Bebas Batam. Dibimbing oleh: SANTUN RP SITORUS, ETTY RIANI, dan BAMBANG PRABOWO SOEDARSO.

Perkembangan kegiatan ekonomi dunia di era globalisasi ekonomi menuntut dikuranginya hambatan perdagangan (trade barriers). Hambatan perdagangan seperti tarif, pajak dan kuota barang dikurangi atau dihilangkan di kawasan perdagangan bebas (KPB) untuk menarik investasi domestik dan asing. Akibat aktifitas perdagangan bebas tersebut menimbulkan eksternalitas terhadap lingkungan, karena lingkungan berperan sebagai barang konsumsi, penyedia sumberdaya alam, dan tempat menampung limbah. Dalam hal ini kegiatan perdagangan bebas tidak terlepas dari permasalahan lingkungan.

Batam merupakan salah satu KPB yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Batam yang secara de facto telah lama menjadi kawasan perdagangan bebas merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang pesat di Indonesia dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7,5% per tahun. Pertumbuhan ekonomi di awal industrialisasi selain meningkatkan pendapatan juga menurunkan kualitas lingkungan. Indikator kualitas lingkungan di Batam selama ini mengindikasikan adanya permasalahan lingkungan (environmental

problems) yang terjadi di dalam dan sekitar KPB Batam. Upaya merumuskan

kebijakan pengendalian lingkungan untuk mengoptimalkan kegiatan perekonomian di KPB Batam yang bersinergis dengan perlindungan lingkungan dan ekosistemnya diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui tingkat keberlanjutan kawasan KPB Batam saat ini, (2) Mengetahui efektifitas kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam pengembangan KPB Batam dalam kaitannya dengan pengendalian lingkungan di kawasan tersebut, (3) Mengetahui peranan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pelaksanaan sistem pengendalian lingkungan di KPB Batam dan (4) Menyusun arahan kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dengan pengembangan KPB Batam. Metode yang digunakan adalah metode pendekatan kritis (critical

approach), analisis stakeholders dengan pendekatan 4Rs, metode AHP untuk

menganalisis alternatif kebijakan pengendalian lingkungan di KB Batam, dan metode rapfish yang dimodifikasi untuk menganalisis status keberlanjutan kawasan perdagangan bebas Batam ( Rap-KAPERBA, Rapid Appraisal Kawasan Perdagangan Bebas Batam).

Hasil analisis keberlanjutan wilayah Batam menunjukkan bahwa wilayah KPB Batam masih tergolong kategori sebagai wilayah yang belum berkelanjutan

(not sustainable). Pertumbuhan ekonomi di KPB Batam akibat berlakunya

perdagangan bebas belum diimbangi dengan kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dan memadai (compatible environmental policies) sesuai dengan statusnya sebagai KPB bertaraf internasional. Kebijakan pengembangan KPB Batam masih lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada kelestarian lingkungan, sehingga kebijakan pengembangan KPB Batam dalam perspektif lingkungan masih mengikuti hipotesis pollution havens yang menerapkan standar kualitas lingkungan secara lebih longgar. Para pemangku kepentingan


(5)

v

(stakeholders) dengan peranannya masing-masing berpendapat sama bahwa

pengendalian lingkungan perlu diintegrasikan dengan kebijakan pertumbuhan ekonomi. Keberlanjutan KPB Batam yang saat ini masih tergolong buruk perlu segera dibenahi dengan berbagai penataan kebijakan yang sifatnya mengatur dan mengendalikan (command and control policies), berupa peraturan legal yang mengikat para pemangku kepentingan (stakeholders). Kebijakan command and control perlu diterapkan dalam kondisi kepedulian para pemangku kepentingan terhadap pentingnya keterpaduan lingkungan dalam pembangunan ekonomi masih rendah. Oleh karena itu, dengan adanya aturan tersebut diharapkan akan meningkatkan ketaatan (compliance) para pemangku kepentingan tentang pentingnya pencapaian pembangunan berkelanjutan di KPB Batam. Rumusan kebijakan dalam pengendalian lingkungan untuk perbaikan keberlanjutan KPB Batam dalam jangka waktu menengah lebih diarahkan pada kebijakan yang bersifat command and control dengan memperhatikan 11 (sebelas) faktor kunci keberlanjutan KPB Batam, yaitu: (1) keanekaragaman hayati, (2) ketersediaan sumberdaya air, (3) kejadian erosi tanah, (4) upaya perlindungan lingkungan dari pencemaran; (5) pendapatan per kapita, (6) kawasan bisnis dan industri, dan (7) investasi asing; (8) tingkat pendidikan relatif, (9) konflik penggunaan lahan, (10) tingkat kesehatan masyarakat, dan (11) tingkat pertumbuhan penduduk. Usulan kebijakan perbaikan keberlanjutan KPB Batam dalam jangka menengah adalah sebagai berikut : a) melakukan pengamanan dan perlindungan kawasan lindung di KPB Batam; b) melakukan perlindungan daerah resapan air di KPB Batam yang menjadi sumber air bagi masyarakat di KPB Batam; c) melakukan kegiatan rehabilitasi lahan dan reboisasi hutan yang kritis; d) melakukan pemantauan dan pengendalian pencemaran, serta penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran; e) melakukan upaya-upaya peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat; f) melakukan peningkatan kerjasama produksi antara industri kecil, menengah, dan besar dalam meningkatkan nilai kompetitif industri di KPB Batam; g) meningkatkan kemitraan bisnis antara investor asing dengan investor dalam negeri; h) meningkatkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat; i) meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan; j) menyelesaikan konflik agraria dan tata ruang di KPB Batam; k) menerapkan kebijakan keluarga berencana untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk di KPB Batam.


(6)

vi

@Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi undang-undang

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber:

a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(7)

vii

KEBIJAKAN PENGENDALIAN LINGKUNGAN

DI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS BATAM

WALTER GULTOM P 062059444

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

viii Penguji luar komisi pada:

Ujian Tertutup

Tanggal : 18 Nopember 2010

1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.

Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).

2. Dr. Ir. Machfud , MS.

Staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB)

Ujian Terbuka

Tanggal : 27 Januari 2011

1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS.

Staf pengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB).

2. Dr. Ir. Ning Purnomohadi, M.Si.

Tenaga pengajar tidak tetap di Jurusan Ilmu Kelautan Program Pasca Sarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (UI).


(9)

ix Judul Disertasi : Kebijakan Pengendalian Lingkungan di Kawasan

Perdagangan Bebas Batam Nama Mahasiswa : Walter Gultom

Nomor Pokok : P 062059444

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof.Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua

Dr. Ir. Etty Riani, MS. Dr. Bambang Prabowo Soedarso,SH., MES.

Plh.Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan

Anggota Anggota

Diketahui :

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. drh. Hasim, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(10)

(11)

i

Prakata

Perkembangan kegiatan ekonomi dunia yang mengarah pada globalisasi ekonomi menuntut dikuranginya hambatan di bidang perdagangan. Pengurangan hambatan tersebut juga merupakan kondisi yang memberikan peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan ekspor dan investasi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, di antaranya dengan adanya kebijakan pengembangan ekonomi wilayah tertentu untuk menarik potensi pasar internasional dan mendorong peningkatan daya tarik pertumbuhan suatu kawasan atau wilayah ekonomi khusus yang bersifat strategis. Kawasan ekonomi khusus tersebut berupa kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free port) yang dimaksudkan untuk mendatangkan devisa bagi negara, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kepariwisataan, serta meningkatkan penanaman modal asing dan dalam negeri. Adanya kawasan perdagangan bebas (KPB) atau Free Trade

Zone (FTZ) tersebut diharapkan akan mendorong kegiatan perdagangan

internasional yang mendatangkan devisa bagi negara yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Wilayah Batam merupakan salah satu dari KPB yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Tujuan penelitian ini adalah: (a) menganalisis keterkaitan antara ancaman degradasi lingkungan dengan keberlanjutan investasi di KPB Batam; (b) menganalisis efektifitas kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam pengembangan KPB Batam dalam kaitannya dengan pengendalian lingkungan di kawasan tersebut; dan (c) mendisain kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dengan pengembangan KPB Batam.

Puji dan syukur disampaikan kepada Tuhan karena atas perkenan-Nya-lah penulisan Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik dengan judul “Kebijakan Pengendalian Lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam” yang merupakan salah satu syarat penyelesaian pendidikan Program Doktoral (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(12)

ii Dengan terselesaikannya Disertasi ini, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis, terutama kepada Yth:

1. Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus, Dr. Ir. Etty Riani, MS., dan Dr. Bambang Prabowo Soedarso, SH., MES. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, dan saran-saran, sejak penyusunan proposal sampai penyelesaian Disertasi ini

2. Prof. Dr. Ir.Surjono. H.Sutjahjo, MS. selaku Dosen dan orang tua yang selalu mengingatkan saya agar cepat menyelesaikan Disertasi supaya tidak menjadi beban dan berguna untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang.

3. Dr. drh. Hasim, DEA. selaku Plh Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana IPB, atas bantuan, perhatian, dan arahan serta bimbingan dalam menyelesaikan Disertasi ini.

4. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di PSL-IPB.

5. Dirjen Bea dan Cukai serta Bapak Kepala Kantor Wilayah V Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tanjung Balai Karimun Kepulauan Riau.

6. Dr. Ir. Hikmat Ramdan, M.Si. yang telah memberikan masukan dalam penulisan Disertasi ini.

7. Secara khusus diucapkan terima kasih kepada keluarga besar Gultom dan keluarga besar Girsang atas pengertian, perhatian, dan motivasinya. 8. Ucapan terima kasih disampaikan kepada istri tercinta Dr. Betty

Setianingsih dan anak-anakku berlima yang paling saya sayangi Maria Pade Rohana, Rumondang Stella Retta, Dewata Vinansius Adam Gultom, Abraham Rodo Suryono Gultom, dan Patricia Gabe Ratu atas perhatian, pengertian, pengorbanan yang tulus serta semangat dan do’a yang selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini.


(13)

iii 9. Kepada Oppung Pade boru khususnya yang selalu mendoakan penulis

setiap saat.

10.Akhirnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan dukungan dan kontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis sampaikan terima kasih, atas segala sesuatu yang terbaik yang telah diberikan agar senantiasa menjadi berkat bagi kita semua.

Penulis berdoa kepada Tuhan semoga pengorbanan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis diberkati oleh Tuhan serta semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bogor, Januari 2011


(14)

iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungkean Pulau Samosir, 13 September 1953. Penulis merupakan putra ke-7 (tujuh) dari 8 (delapan) bersaudara dari keluarga besar Bapak Payas Gultom (almarhum) dan Ibunda Muliana Br.Samosir (almarhumah).

Penulis menikah dengan Betty Setianingsih pada tanggal 11 Februari 1983 dikaruniai 5 (lima) orang anak, yaitu: Maria Pade Rohana, Rumondang Stella Retta, Dewata Vinansius Adam Gultom, Abraham Rudo Suryono, Patricia Gabe Ratu.

Pendidikan penulis dimulai dengan memasuki Sekolah Dasar pada tahun 1962 di Indrapura-Sumatera Utara, dan lulus tahun 1967. Lulus Sekolah Menengah Pertama di Pematang Panjang Indrapura-Sumatera Utara tahun 1970, lulus Sekolah Menengah Tingkat Atas Budi Mulia di Pematang Siantar tahun 1973. Pada tahun 1974 mengikuti Pendidikan Departemen Keuangan dan lulus kerja di Bea Cukai. Pada tahun 1986 memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Krisna Dwipayana Jakarta, dan pada tahun 2000 memperoleh gelar Magister Management (MM) dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Jakarta. Pada tahun 2005 penulis mengikuti Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Semenjak tahun 1974 penulis bekerja di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan telah Pensiun tanggal 1 Oktober 2009 dan terakhir bertugas di Kantor Wilayah Khusus Kepulauan Riau (Kepri) Tanjung Balai Karimun.


(15)

v

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 5

1.3. Perumusan Masalah ... 7

1.4. Tujuan Penelitian ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

1.6. Kebaruan (Novelty) ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Perdagangan Bebas dan Lingkungan ... 11

2.2. Kawasan Perdagangan Bebas Batam ... 19

2.3. Analisis Kebijakan Pengendalian Lingkungan ... 28

2.4. Pengelolaan Lingkungan ... 35

2.5. Analisis Stakeholders ... 41

III. METODOLOGI ... 45

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 45

3.2. Jenis Data dan Sumber Data ... 45

3.3. Rancangan Penelitian ... 47

3.3.1. Analisis Keberlanjutan KPB Batam ... 47

3.3.2. Analisis Efektifitas Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 49

3.3.3. Analisis Para Pihak dalam Pengendalian Kebijakan Lingkungan di KPB Batam ... 50

3.3.4. Penentuan Alternatif Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 53

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61

4.1. Keberlanjutan Wilayah KPB Batam ... 61

4.1.1. Perkembangan Wilayah Batam ... 61

4.1.2. Analisis Keberlanjutan Batam ... 72

4.2. Efektifitas Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 103

4.3. Peranan Para Pihak dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 117

4.4. Arahan Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 123

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 129

5.1. Kesimpulan ... 129

5.2. Saran ... 131

DAFTAR PUSTAKA ... 133


(16)

vi

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Jenis data, sumber data, teknis analisis data dan keluaran

yang diharapkan dari tiap tujuan penelitian ... 46

2. Atribut keberlanjutan KPB Batam ... 48

3. Kerangka dasar pendekatan 4R ... 52

4. Relationship stakeholders dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 52

5. Skala penilaian perbandingan berpasangan ... 58

6. Contoh matriks perbandingan berpasangan ... 58

7. Nilai indeks random (Saaty, 2001)... 60

8. Perkembangan status Batam (1968-2007) ... 62

9. Perkembangan investasi di Batam ... 74

10. Waduk dan kapasitas pengolahan air baku ... 78

11. Parameter kualitas air di Pelabuhan Sekupang ... 80

12. Parameter kualitas air di Pelabuhan Sagulung ... 81

13. Parameter kualitas air di Pelabuhan Batu Ampar ... 81

14. Perubahan hutan lindung di KPB Batam (Bapedalda Batam, 2007) ... 82

15. Indikator lingkungan di Kota Batam ... 83

16. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-Kaperba ... 89

17. Atribut-atribut kunci kawasan perdagangan bebas (KPB) Kota Batam ... 89

18. Penentuan status keberlanjutan KPB Batam ... 92

19. Hasil analisis Rap-KAPERBA untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R2) kawasan pendagangan bebas Batam ... 92

20. Keadaan masing-masing faktor kunci status keberlanjutan KPB Batam dalam rangka penyusunan kebijakan pengendalian lingkungan sebagai kawasan perdagangan bebas ... 94

21. Hasil analisis skenario strategi peningkatan status keberlanjutan Kota Batam sebagai kawasan perdagangan bebas ... 96

22. Hasil analisis skenario strategi peningkatan nilai status keberlanjutan KPB Batam sebagai kawasan perdagangan bebas ... 97


(17)

vii 23. Perubahan nilai indeks keberlanjutan KPB Batam sebagai

kawasan perdagangan bebas berdasarkan skenario

1,skenario 2 dan skenario 3 ... 97 24. Usulan materi perbaikan faktor kunci untuk perbaikan

keberlanjutan KPB Batam dalam jangka waktu menengah ... 98 25. Teknik pengelolaan, cara pembuangan, dan larangan

pembuangan ... 104 26. Kewajiban pemerintah serta hak dan kewajiban

masyarakat dalam pengendalian pencemaran dan

perusakan lingkungan ... 107 27. Kegiatan pengendalian pencemaran dan perusakan

lingkungan ... 108 28. Ketentuan pidana pencemaran dan atau perusakan

lingkungan hidup ... 111 29. Ketentuan sanksi administratif ... 113 30. Pendapat bentuk tanggung jawab pengendalian

lingkungan di KPB Batam ... 118 31. Pendapat, hak dan kewajiban pengendalian lingkungan di

KPB Batam ... 120 32. Bentuk manfaat pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 122 33. Tingkat interaksi antar pemangku kepentingan ... 123


(18)

viii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6

2. Hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dengan jumlah ... 17

3. Proses pembuatan kebijakan (Cubbage, et al.1993) ... 31

4. Lokasi penelitian ... 45

5. Kerangka 4R untuk mendefinisikan peranan stakeholders ... 51

6. Hirarki kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam. ... 55

7. Pertumbuhan penduduk Batam (Kota Batam, 2008) ... 73

8. Nilai ekspor non migas Batam tahun 2004-2008 (Batam, 2009) ... 74

9. Nilai penerimaan pajak Batam tahun 2004-2008 (Batam, 2009) ... 75

10. Nilai pendapatan daerah Batam (Batam, 2009) ... 75

11. Diagram layang-layang nilai indeks keberlanjutan kawasan perdagangan bebas Batam ... 84

12. Status keberlanjutan dimensi lingkungan kawasan perdagangan bebas Batam ... 85

13. Peran masing-masing atribut dimensi lingkungan yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). ... 85

14. Status keberlanjutan dimensi ekonomi kawasan perdagangan bebas Batam ... 86

15. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). ... 87

16. Status keberlanjutan dimensi sosial kawasan perdagangan bebas Batam ... 88

17. Peran masing-masing atribut dimensi sosial yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). ... 88

18. Hirarki kebijakan pengendalian lingkungan KPB Batam ... 124

19. Urutan prioritas faktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 124

20. Urutan prioritas aktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 127

21. Urutan prioritas tujuan yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 128


(19)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman 1 Identitas responden kebijakan pengendalian lingkungan

di Kawasan Perdagangan Bebas Batam ... 140 2 Hasil kuesioner 4rs kebijakan pengendalian lingkungan di

Kawasan Perdagangan Bebas Batam

(Peraturan-peraturan daerah dan atau keputusan walikota yang terkait dengan pengelolan lingkungan di wilayah

KPB Batam) ... 142 3 Efektifitas peraturan daerah dan atau keputusan walikota

yang terkait dengan pengelolan lingkungan di wilayah

KPB Batam ... 145 4 Kepentingan para pihak terhadap pentingnya

pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 147 5 Pemahaman para pihak terhadap pengendalian

lingkungan di KPB Batam ... 151 6 Bentuk tanggung jawab dari instansi/lembaga responden

terhadap kelestarian dan pengendalian lingkungan di

KPB Batam ... 155 7 Bentuk hak dan kewajiban instansi/lembaga responden

dalam kelestarian dan pengendalian lingkungan di KPB

Batam ... 158 8 Manfaat apabila dampak negatif lingkungan kegiatan

pembangunan ekonomi di KPB Batam dapat

dikendalikan ... 161 9 Tingkat interaksi antar stakeholders dalam pengendalian

lingkungan di KPB Batam selama ini ... 164 10 Kendala-kendala yang telah dan mungkin terjadi dalam

pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 165 11 Bentuk kelembagaan yang dianggap efektif dalam

pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 170 12 Apakah Pemkot Batam perlu mengeluarkan kebijakan

yang bersifat insentif atau disinsentif untuk mendorong kesadaran pelaku usaha dan masyarakat dalam menjaga

kelestarian lingkungan di KPB Batam ... 172 13 Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar

faktor terhadap fokus pengendalian lingkungan di KPB

Batam ... 174 14 Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat

kepentingan antar faktor terhadap fokus Pengendalian


(20)

x 15 Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar

faktor dalam mempengaruhi faktor daya tarik investasi di

KPB Batam ... 176 16 Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat

kepentingan antar aktor dalam mempengaruhi faktor daya

tarik investasi di KPB Batam ... 177 17 Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar

aktor dalam mempengaruhi faktor perlindungan ekosistem di KPB Batam faktor : Perlindungan

Ekosistem ... 178 18 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Aktor dalam Mempengaruhi Faktor

Perlindungan Ekosistem di KPB Batam ... 179 19 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Aktor dalam Mempengaruhi Faktor Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di KPB Batam Faktor : Pertumbuhan

Ekonomi Wilayah ... 180 20 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Aktor dalam Mempengaruhi Faktor

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di KPB Batam ... 181 21 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Aktor dalam Mempengaruhi Konflik Antara Masyarakat dan KPB Batam Faktor : Konflik Antara

Masyarakat Dan KPB Batam ... 182 22 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Aktor dalam Mempengaruhi Konflik

Antara Masyarakat dan KPB Batam ... 183 23 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Pemerintah dalam Pengendalian

Lingkungan di KPB Batam Aktor : Pemerintah ... 184 24 Hasil Pengolahan HIPRE 3+Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pemerintah dalam

Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 185 25 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Pemerintah Daerah dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Aktor :

Pemerintah Daerah ... 186 26 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pemerintah Daerah

dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 187 27 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Pelaku Usaha dalam Pengendalian


(21)

xi 28 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pelaku Usaha dalam

Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 189 29 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Masyarakat dalam Pengendalian

Lingkungan di KPB Batam Aktor : Masyarakat ... 190 30 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Tujuan Bagi Masyarakat dalam

Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 191 31 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Legislatif dalam Pengendalian

Lingkungan di KPB Batam Aktor : Legislatif ... 192 32 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Tujuan Bagi Legislatif dalam

Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 193 33 Nilai (Bobot) Setiap Elemen dalam Hirarki Disain

Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 194 34 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Faktor

terhadap Fokus Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 195 35 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Aktor

terhadap Faktor dalam Pengendalian Lingkungan

di KPB Batam ... 196 36 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Tujuan

bagi Aktor dalam Pengendalian Lingkungan

di KPB Batam ... 197 37 Nilai status keberlanjutan kawasan perdagangan bebas

Batam berdasarkan hasil analisis Monte Carlo ... 198 38 Kuesioner analisis keberlanjutan kawasan perdagangan

bebas Batam ... 201 39 Nilai Status Keberlanjutan Kota Batam ke Depan sebagai

Kawasan Perdagangan Bebas berdasarkan Skenario 1 ... 205 40 Nilai Status Keberlanjutan Kota Batam ke Depan sebagai

Kawasan Perdagangan Bebas berdasarkan Skenario 2 ... 206 41 Nilai Status Keberlanjutan Kota Batam ke Depan sebagai

Kawasan Perdagangan Bebas berdasarkan Skenario 3 ... 207 42 Nilai Indeks Keberlanjutan Gabungan Kota Batam

sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Berdasarkan


(22)

(23)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan kegiatan ekonomi dunia yang mengarah pada globalisasi ekonomi menuntut dikuranginya hambatan di bidang perdagangan. Pengurangan hambatan tersebut juga merupakan kondisi yang memberikan peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan ekspor dan investasi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, diantaranya dengan adanya kebijakan pengembangan ekonomi wilayah tertentu untuk menarik potensi pasar internasional dan mendorong peningkatan daya tarik pertumbuhan suatu kawasan atau wilayah ekonomi khusus yang bersifat strategis bagi pengembangan perekonomian wilayah. Kawasan ekonomi khusus tersebut berupa kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free port) dimaksudkan untuk mendatangkan devisa bagi Negara, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kepariwisataan, serta meningkatkan penanaman modal asing dan dalam negeri. Adanya kawasan perdagangan bebas (KPB) atau free trade zone (FTZ) tersebut diharapkan akan mendorong kegiatan perdagangan internasional yang mendatangkan devisa bagi negara yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Wilayah Batam merupakan salah satu dari KPB yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Penunjukan kawasan Batam sebagai KPB ditetapkan untuk jangka waktu selama 70 (tujuh puluh) tahun sampai dengan tahun 2077. Pertimbangan utama penetapan Batam sebagai KPB didasarkan atas letaknya yang strategis di jalur perdagangan internasional paling ramai di dunia yang diharapkan menjadi salah satu gerbang bagi arus masuk investasi, barang, dan jasa dari luar negeri yang berguna bagi peningkatan pembangunan Indonesia. Kawasan Batam pun berfungsi sebagai tempat pengumpulan dan penyaluran hasil produksi dari dan ke seluruh wilayah Indonesia dan negara-negara lainnya, serta pusat pengembangan industri sarat teknologi. Letaknya yang tepat pada jalur kapal laut internasional memungkinkan kawasan tersebut dikembangkan menjadi pusat pelayanan lalu lintas kapal internasional. Selain faktor letak strategisnya


(24)

2 tersebut, Batam didukung pula dengan adanya ketersediaan lahan, infrastruktur dan industri pendukung yang memadai karena sebelum ditetapkan sebagai KPB kawasan Batam merupakan kawasan berikat (bonded area) daerah industri Pulau Batam. Oleh karena itu, sesuai dengan PP Nomor 46 Tahun 2007 telah ditetapkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang dapat dilakukan dalam KPB Batam meliputi kegiatan sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan bidang lainnya. Untuk mendorong pengembangan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, pemerintah telah menetapkan sejumlah insentif utama, diantaranya adalah dengan kebijakan pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan barang mewah, dan cukai.

Dalam rangka pengembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Indonesia, di tingkat nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2008 tanggal 7 Mei 2008 telah ditunjuk Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (DN-KPPB) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dewan tersebut bertugas untuk: (a) menetapkan kebijakan umum dalam rangka percepatan pengembangan kawasan sehingga mampu bersaing dengan kawasan sejenis di negara lain; (b) membantu Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, termasuk dalam upaya penyelesaian permasalahan strategis yang timbul dalam pengelolaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPPB); serta (c) melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan KPPB.

Dewan KPPB Batam ditunjuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2008 tertanggal 7 Mei 2008 yang diketuai oleh Gubernur Kepulauan Riau dengan wakil ketuanya adalah Walikota. Anggota dari Dewan KPPB Batam terdiri dari Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Provinsi Kepulauan Riau, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Provinsi Kepulauan Riau, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kepulauan Riau, Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau, Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Kepulauan Riau, Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut IV, Komandan Gugus Keamanan Laut Wilayah Barat, Komandan Resort Militer 033/Wirapratama, dan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.


(25)

3 Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam dengan kegiatan ekonominya yang berkembang pesat telah menjadi daya tarik bagi banyak orang untuk datang menetap dan bekerja. Pertumbuhan ekonomi dan kegiatan pembangunan di Batam yang pesat selain mendatangkan sejumlah keuntungan finansial dan ekonomi, juga menimbulkan eksternalitas negatif terhadap kelestarian ekosistem wilayah baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti adanya limbah domestik maupun limbah industri dan limbah B3, terjadinya kerusakan lingkungan akibat dari pembukaan lahan untuk kegiatan perumahan, menurunnya populasi mangrove akibat reklamasi, cut and fill,

menurunnya populasi terumbu karang akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab, penambangan pasir ilegal, terjadinya pencemaran laut akibat tumpahan minyak dari kapal, serta pembersihan lambung kapal kegiatan konstruksi kapal yang ada di pesisir pantai wilayah Kota Batam dan sekitarnya (Bapedalda Batam, 2006).

Hasil studi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Batam (2006) menunjukkan dari 12 (dua belas) titik pengambilan sampel air laut, parameter kualitas air laut baik fisik maupun kimia ada yang kadarnya melebihi ambang batas dan ada juga yang masih di bawah ambang batas yang ditetapkan. Dari semua parameter fisik yang ada, kekeruhan yang mendominasi dengan nilai yang mencapai bahkan melebihi baku mutu yang telah ditetapkan hampir di semua titik lokasi pengambilan sampel, seperti di Perkampungan Batu Merah, Tanjung Sengkuang–Sei Tering, Pantai Tanjung Uma, Pelabuhan Ferry-Reklamasi Pulau OB, Bengkong Laut, Pulau Belakang Padang, Pulau Bulan, Reklamasi Pulau Buluh, Pantai Melur, Pulau Kunangan. Sementara itu, kadar kekeruhan di Teluk Sinimba dan Pelabuhan Telaga Punggur masih dibawah baku mutu. Selain kekeruhan, kadar TSS dengan nilai di atas baku mutu juga dijumpai di Tanjung Sengkuang-Sei Tering, Pelabuhan Ferry-Reklamasi OB, Pulau Kunangan, Reklamasi Pulau Buluh. Tingginya nilai TSS dan kekeruhan kemungkinan berasal dari aktivitas transportasi laut dan kegiatan reklamasi.

Selain itu, perumahan pasang surut di sekitar perairan juga menjadi sumber pencemaran limbah domestik, baik limbah padat maupun limbah cair, yang dibuang langsung ke perairan tanpa pengelolaan terlebih dahulu. Selain parameter


(26)

4 fisik tersebut, parameter kimia seperti salinitas DO, BOD, nitrat, ammonia dengan nilai tinggi terdeteksi di beberapa lokasi. Terdeteksinya parameter ini kemungkinan berasal dari aktivitas permukiman pasang surut seperti antara lain di perairan Pantai Tanjung Uma, Perkampungan Batu Merah sampai Tanjung Sengkuang. Di beberapa lokasi ada beberapa logam berat yang melebihi baku mutu seperti Cd, Zn, Cr6+

Indikator kualitas lingkungan yang menurun sebagaimana diuraikan sebelumnya mengindikasikan adanya permasalahan lingkungan (environmental

problems) yang terjadi di dalam dan sekitar KPB Batam. Permasalahan

lingkungan tersebut perlu dikendalikan melalui sejumlah kebijakan (policy), sehingga pembangunan ekonomi KPB (FTZ) Batam dapat berjalan secara berkelanjutan. Adanya permasalahan lingkungan membutuhkan upaya pengendalian lingkungan melalui kebijakan, karena kebijakan dibuat untuk mengantisipasi dan menyelesaikan masalah yang ada dalam suatu komunitas serta menjadi salah satu instrumen dalam pengelolaan sumberdaya alam (Ramdan et

, CU, Ni seperti pada Pelabuhan Telaga Punggur, Pelabuhan Ferry-reklamasi OB, Pulau Belakang Padang, Pulau Bulan dan reklamasi Pulau Buluh. Tingginya kandungan logam berat ini dapat berasal dari aktifitas transportasi laut yang berlangsung di daerah pelabuhan, dan pencemaran dari kegiatan industri lokasi sekitarnya yang membuang limbah ke perairan tanpa diolah terlebih dahulu. Secara umum logam berat tersebut merupakan bahan yang digunakan dalam suatu kegiatan industri dan sebagai elemen dari komponen-komponen manufaktur yang merupakan bahan pendukung kegiatan industri manufaktur di kawasan industri (Bapedalda Kota Batam, 2006).

Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa Batam yang secara de facto telah lama menjadi kawasan perdagangan bebas merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang pesat di Indonesia dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7,5% per tahun (Batam, 2009). Pertumbuhan ekonomi di awal industrialisasi selain meningkatkan pendapatan juga menurunkan kualitas lingkungan (Katz, 2000; Copeland dan Taylor, 2004). Dalam hal ini aktifitas perdagangan bebas selalu terkait permasalahan lingkungan, sehingga kebijakan perdagangan bebas pun dalam kerangka pembangunan berkelanjutan akan terkait dengan kebijakan lingkungan yang diterapkannya (Butler, 1992).


(27)

5

al., 2003). Upaya mencari alternatif kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam perlu dilakukan sebagai upaya mengoptimalkan kegiatan perekonomian di KPB Batam yang bersinergis dengan perlindungan lingkungan dan ekosistemnya. Adanya sinergitas antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan di KPB Batam diharapkan akan meningkatkan daya tarik masuknya investasi yang lebih besar ke kawasan Batam tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan di kawasan tersebut. Oleh karena itu, perlu dikaji tingkat keberlanjutan KPB Batam, kebijakan pengelolaan lingkungan, peranan para pihak dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam untuk mendapatkan alternatif kebijakan yang sesuai di KPB Batam yang mampu mensinergikan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan.

1.2. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran penelitian yang dilakukan disajikan pada Gambar 1. Pasar bebas dunia yang mengarah pada globalisasi ekonomi telah mendorong dikembangkannya zona/kawasan perdagangan bebas (KPB). Pada umumnya suatu kawasan KPB yang juga dikenal sebagai export processing zone (EPZ) merupakan kawasan khusus di sebuah negara yang menghilangkan hambatan perdagangan (trade barriers) normal seperti tarif, pajak, dan kuota barang, serta menurunkan persyaratan birokrasi dengan harapan dapat menarik bisnis baru serta investasi domestik dan asing. Aktifitas ekonomi perdagangan bebas menimbulkan eksternalitas terhadap lingkungan, karena lingkungan berperan sebagai barang konsumsi, penyedia sumberdaya alam, dan tempat menampung limbah (Butler, 1992). Oleh karena itu, kegiatan perdagangan bebas tidak terlepas dari lingkungan.

Kota Batam sebagai kawasan KPB telah berkembang menjadi pusat perdagangan internasional dan kawasan industri dengan sejumlah insentif kebijakan yang umumnya terkait dengan penurunan atau penghapusan sejumlah bea dengan harapan menjadi daya tarik investasi nasional dan internasional, sehingga investasi nasional dan internasional di kawasan tersebut meningkat. Dampak dari adanya peningkatan investasi tersebut adalah terciptanya pertumbuhan ekonomi wilayah dan nasional. Namun di sisi lain daya tarik


(28)

6

Pasar Bebas Kawasan Perdagangan Bebas

Pusat Perdagangan dan Kawasan Industri Bebas Batam

Daya Tarik Investasi Nasional/Internasional

Eksternalitas Kegiatan di Kawasan Perdagangan

Bebas (KPB) Batam

Pencemaran Lingkungan di Kawasan Perdagangan

Bebas Batam

Peningkatan Resiko Lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam Peningkatan Investasi

Nasional/Internasional

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah dan Nasional

Keberlanjutan Wilayah KPB Batam

Analisis Kebijakan dan Regulasi terkait KPB

Batam

Analisis Tingkat Keberlanjutan Wilayah

KPB Batam

Analisis Peranan

Stakeholders

Faktor Kunci Keberlanjutan KPB Batam

Arahan Kebijakan Keberlanjutan KPB Batam

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

kawasan perdagangan bebas tersebut menimbulkan eksternalitas negatif di kawasan tersebut yang diindikasikan dengan terjadinya pencemaran di KPB tersebut. Adanya pencemaran lingkungan dan degradasi lingkungan lainnya akan meningkatkan resiko lingkungan di kawasan tersebut yang akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan wilayah KPB Batam.

Adanya permasalahan lingkungan di KPB Batam akibat kegiatan perekonomian yang berkembang pesat memerlukan upaya pengendalian lingkungan. Keberlanjutan wilayah KPB Batam berkaitan dengan tingkat keberlanjutan KPB Batam saat ini, peraturan dan kebijakan terkait dengan


(29)

7 pengembangan kawasan Batam, serta peranan dari masing-masing stakeholders. Oleh karena itu, diperlukan analisis tentang keberlanjutan wilayah, analisis peraturan-peraturan dan kebijakan pengembangan KPB Batam, serta analisis

stakeholders untuk mendapatkan alternatif kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai (compatible environmental policy) dengan kondisi KPB Batam.

1.3. Perumusan Masalah

Wilayah Kota Batam yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam, memiliki luas administratif 1.570,35 km2

Kota Batam yang sebelum ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas merupakan kawasan berikat (bonded area) yang memiliki daya tarik ekonomi bagi pengembangan kegiatan perdagangan dan industri. Sebagai kawasan perdagangan dan industri dengan status sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPPB) telah mendorong berkembangnya pembangunan infrastruktur fisik, seperti pusat industri, pemukiman penduduk, serta pemrosesan kegiatan industri yang memiliki potensi dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan dari ekosistem di kawasan tersebut. Pertumbuhan ekonomi Batam dengan laju pertumbuhan ekonomi 7,5% per tahun selama ini cenderung menurunkan kualitas lingkungan, karena di awal kegiatan pertumbuhan industri membutuhkan kebutuhan sumberdaya alam yang banyak (air, lahan, bahan bakar minyak) dan membuang limbah ke lingkungan. Menurut Katz (2000) perdagangan bebas mendorong peningkatan pendapatan dan tingkat pencemaran sampai pada suatu titik balik dimana pendapatan akan meningkat dan kebutuhan masyarakat terhadap lingkungan yang lebih baik akan tinggi, sehingga publik akan menuntut ditetapkannya kebijakan pengelolaan

yang terdiri dari pulau besar dan pulau kecil dibagi ke dalam delapan (8) kecamatan, yaitu: Kecamatan Belakang Padang, Kecamatan Bulang, Kecamatan Galang, Kecamatan Sei Beduk, Kecamatan Nongsa, Kecamatan Sekupang, Kecamatan Lubuk Raja dan Kecamatan Batu Ampar. Sejak tahun 2006 delapan kecamatan tersebut telah dimekarkan menjadi 12 (dua belas) kecamatan.


(30)

8 lingkungan yang lebih baik. Kondisi KPB Batam yang tingkat pendapatannya belum setinggi di negara maju masih memiliki potensi degradasi lingkungan yang cukup tinggi. Tanda (symptom) dari permasalahan lingkungan di kawasan tersebut adalah pencemaran lingkungan di KPB Batam, terutama pencemaran air yang dapat menurunkan keseimbangan dan daya dukung lingkungan dari ekosistem di kawasan tersebut. Atas dasar permasalahan pengendalian lingkungan di kawasan Batam tersebut, maka disusun empat pertanyaan penelitian sebagai berikut :

a. Bagaimana tingkat keberlanjutan KPB Batam sekarang?

b. Apakah kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan KPB Batam saat ini efektif dalam mengendalikan permasalahan lingkungan di kawasan tersebut ?

c. Bagaimana peranan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan sistem pengendalian lingkungan di KPB Batam ?

d. Bagaimana kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dan dapat diterapkan di KPB Batam ?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui tingkat keberlanjutan kawasan KPB Batam saat ini.

2. Mengetahui efektifitas kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam pengembangan KPB Batam dalam kaitannya dengan pengendalian lingkungan di kawasan tersebut.

3. Mengetahui peranan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pelaksanaan sistem pengendalian lingkungan di KPB Batam

4. Menyusun arahan kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dengan pengembangan KPB Batam.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa manfaat praktis dalam menata kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam. Selain itu, dari aspek pengembangan keilmuan diharapkan bermanfaat dalam mengembangkan ilmu lingkungan yang terkait dengan pengembangan kawasan perdagangan bebas.


(31)

9

1.6. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Melakukan penilaian keberlanjutan KPB Batam dengan analisis MDS Rap-KAPERBA (Multi Dimensional Scaling Rapid Apraisal Kawasan Perdagangan Bebas). Analisis tersebut merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang didesain untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap;

b. Mengembangkan metode analisis stakeholders 4 Rs sebagai instrumen analisis tentang peranan para pihak yang terkait dengan kinerja KPB Batam yang menyangkut analisis tentang rights, responsibilities, return

dan relationship diantara para pihak. Analisis stakeholders 4Rs

sebelumnya dikembangkan dan digunakan untuk menganalisis peranan


(32)

(33)

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perdagangan Bebas dan Lingkungan

Perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antar negara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang atau jasa atas dasar suka rela dan saling menguntungkan dengan harapan akan terbangunnya kemakmuran dan perbaikan distribusi pendapatan melalui sistem perdagangan bebas (Modjo, 2003; Muhsin, 2007). Perdagangan internasional tersebut dipengaruhi oleh : (a) kemampuan suatu negara dalam memproduksi barang atau jasa yang terbatas; (b) adanya manfaat yang diperoleh dari adanya perbedaan harga; (c) adanya perbedaan produksi yang dimiliki masing-masing negara; (d) perbedaan sosial budaya; (e) perbedaan selera masyarakat; serta (f) adanya sarana komunikasi dan transportasi (Muhsin, 2007).

Konsep perdagangan bebas pertama kali dirumuskan oleh Adam Smith yang kemudian dikembangkan oleh David Ricardo tahun 1887. Masa itu adalah zaman negara-negara Eropa melakukan penjajahan dan ahli-ahli ekonomi di negara tersebut sedang berdebat sengit antara pro dan kontra tentang peran pemerintah dalam perdagangan. Ricardo adalah salah seorang ekonom yang tidak menyetujui kebijakan pemerintah dalam pembatasan perdagangan. Menurut Ricardo alasan utama yang mendorong perdagangan internasional adalah perbedaan keunggulan komparatif relatif antar negara dalam menghasilkan suatu komoditas. Suatu negara akan mengekspor komoditas yang dihasilkan lebih murah dan mengimpor komoditas yang dihasilkan lebih mahal dalam penggunaan

Teori perdagangan dunia menyatakan bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif absolut dan relatif dalam menghasilkan suatu komoditas dibandingkan negara lainnya. Suatu negara akan mengekspor komoditas yang memiliki keunggulan komparatif lebih tinggi dan mengimpor komoditas yang keunggulan komparatifnya lebih rendah (Yusdja, 2004). Lebih lanjut Yusdja (2004) menyebutkan bahwa adanya perdagangan antar negara akan membawa dunia pada penggunaan sumberdaya langka secara lebih efisien dan setiap negara dapat melakukan perdagangan bebas yang menguntungkan dengan melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya.


(34)

12 sumberdaya (Lindert dan Kindleberger, 1983). Perdagangan internasional semacam itu akan mendorong peningkatan konsumsi dan keuntungan. Sebaliknya, kebijakan pembatasan perdagangan oleh pemerintah justru memberikan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dalam negeri dibandingkan manfaat yang diperoleh. Setelah Ricardo, banyak ekonom lain muncul memberikan kritikan atau memperluas dan mendorong penyempurnaan konsep perdagangan keunggulan komparatif. Pada umumnya para ahli ekonomi tidak ada yang membantah thesis Ricardo tetapi lebih memfokuskan diri dalam mengembangkan konsep perdagangan yang lain seperti konsep keunggulan daya saing dan sebagainya. Dalam semua konsep perdagangan internasional yang pernah ada, terdapat kesamaan pijakan yakni bahwa pasar adalah bebas dan bahwa persaingan akan meningkatkan efisiensi dan bahwa dunia benar-benar secara absolut dipisahkan oleh batas-batas negara. Namun demikian model perdagangan Ricardo merupakan gagasan besar dalam ilmu ekonomi (Krugman dan Obstfel, 2002).

Liberalisasi perdagangan dunia muncul makin kuat bersamaan dengan krisis dunia tahun 1929. Samuelson (2007) menjelaskan bahwa pada saat itu ada kepercayaan bahwa adanya proteksionisme akan memperparah kondisi great depression. Faktor lain pendorong diberlakukannya liberalisasi adalah terkait dengan perang dingin yaitu dengan adanya keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan negara-negara melalui perdagangan bebas. Pertimbangan tersebut selanjutnya memperkuat tentang pentingnya perdagangan internasional yang bebas. Yusdja (2004) menyebutkan bahwa teori ekonomi konvensional perdagangan internasional telah menjelaskan bahwa dengan adanya perdagangan dunia yang bebas

Teori keunggulan daya saing berkembang lebih jauh dengan meletakkan harga dunia sebagai acuan lalu lintas pertukaran barang-barang antar negara dapat meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut. Gang (1999) menyebutkan bahwa globalisasi ekonomi bermanfaat terhadap negara berkembang, terutama dalam: (a) mendorong industri domestik masuk ke dalam persaingan global yang menuntut standar kualitas tinggi; serta (b) investasi langsung asing (foreign direct investment, FDI) membawa modal yang lebih besar dan teknologi yang lebih efisien.


(35)

13 dengan harapan bahwa penggunaan sumberdaya dunia akan lebih efisien dan menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Semua teori perdagangan memperlihatkan bahwa perdagangan bebas membawa manfaat bagi negara yang berdagang dan dunia (Yusdja, 2004). Dengan didasarkan atas teori tersebut maka hampir sebagian besar negara di dunia bersepakat melakukan liberalisasi perdagangan internasional dengan membentuk WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995. Menjadi anggota WTO berarti bersedia membuka pasar dalam negeri bagi produksi negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan bebas. WTO diciptakan untuk meluaskan liberalisasi perdagangan dengan memaksa pemerintahan negara-negara lain untuk memecahkan masalah tenaga kerja, lingkungan, dan standar-standar keamanan yang dianggap sebagai penghambat bagi perdagangan. Tujuan utama dari WTO adalah untuk

“menghilangkan semua hambatan atau penghalang bagi perdagangan bebas di seluruh dunia”.

Sejak WTO diresmikan hingga tahun 2003, tidak ada sebuah negara pun yang bersedia begitu saja membuka keran impor. Bahkan negara maju seperti Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) yang merupakan penggagas perdagangan bebas ternyata tidak berhati penuh membuka keran impor dengan menggunakan sejuta dalih (Gilpin dan Gilpin, 2000). Azis (2008) menyebutkan bahwa Amerika Serikat (AS) tergolong macan kertas, yang dari posisinya yang keras menuntut liberalisasi sektor pertanian yang sangat ditentang oleh Eropa, mereka akhirnya tunduk juga pada UE. Perubahan posisi ini yang kemudian membuat Putaran Uruguay berhasil diselesaikan tahun 1994. Perubahan sikap tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh tekanan terhadap AS dimana satu pasal dalam undang-undang pertanian AS menyebutkan bahwa "tidak semua sektor pertanian siap untuk

masuk ke pasar bebas". Banyak negara anggota WTO mengadukan berbagai

penyimpangan dan ketidakjujuran serta ketidakadilan dalam perdagangan dunia, namun WTO hampir selalu gagal membuat penyelesaian atau bahkan mendapat kesulitan membawa masalah itu ke dalam sidang anggota-anggota WTO (Buckinghann et al., 2001). Azis (2008) menyebutkan pula bahwa di bidang jasa AS tidak berminat untuk menciptakan perdagangan bebas, tetapi mereka menginginkan akses pasar yang lebih besar bagi industri jasa mereka. Kondisi


(36)

14 yang sama terjadi pula di kawasan Amerika Latin yang walaupun sudah ada FTAA dan Mercosur, banyak negara anggota yang tidak terlalu bersemangat menjalankan perdagangan bebas, misalnya Brasil yang dengan defisit perdagangan yang makin besar cenderung untuk menangguhkan ide pasar bebasnya (Azis, 2008). Di kawasan Asia Pasifik yang di awal tahun 1990-an bersemangat dengan perdagangan bebas, dan sejumlah statistik klasik selalu dipaparkan untuk menunjukkan dampak positif dari peningkatan perdagangan di kawasan ini akhirnya mendorong lahirnya AFTA dan APEC. Namun, setelah banyak negara anggota mengalami kesulitan neraca pembayaran maka tindakan mengurangi impor mulai diterapkan. Oleh karena itu, prinsip perdagangan bebas banyak dilanggar demi kepentingan nasional masing-masing negara (Modjo, 2003; Yusdja; 2004; Azis, 2008).

Dalam kerjasama ekonomi ASEAN, negara-negara anggotanya telah bersepakat untuk : (a) mempercepat tercapainya jadwal perdagangan bebas ASEAN, yaitu dari tahun 2008 menjadi tahun 2003; (b) pada tahun 2003, tarif dari produk hasil industri menjadi 0-5%, hambatan non-tarif dihapus, sehingga diharapkan ada peningkatan perdagangan intra ASEAN; (c) mengikutsertakan produk-produk hasil pertanian yang tidak peka dan jasa-jasa (Soemarno, 2001). Liberalisasi perdagangan di tingkat APEC pun telah menyepakati diwujudkannya perdagangan bebas di wilayah APEC, tahun 2010 untuk anggota maju dan tahun 2020 untuk anggota berkembang yang ditunjang oleh kebebasan arus investasi. Dalam deklarasi tersebut ditekankan pula, pola dasar kemitraan karena keanggotaan APEC yang beranekaragam. Oleh karena itu, selain adanya akses pasar di negara maju pada tahun 2010 yang dapat dimanfaatkan oleh negara berkembang, maka dikembangkan pula kerjasama pengembangan ekonomi yang mencakup kerjasama dalam pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan lnfrastruktur, pengembangan usaha kecil dan menengah, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pelestarian lingkungan (Soemarno,2001).

Keterbukaan dalam perdagangan bebas internasional berpengaruh terhadap kualitas lingkungan sejalan dengan meningkatnya perhatian global terhadap masalah lingkungan global (Antweiler et al., 2001; Frankel dan Rose, 2002; Copeland dan Taylor, 2004). Perdagangan, pertumbuhan, dan lingkungan pun


(37)

15 terus menjadi fokus perhatian dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas (Copeland dan Taylor, 2004). Liang (2006) mengemukakan bahwa isu masalah lingkungan terkait dengan perdagangan sudah dimulai sejak tahun 1970-an dengan riset yang masih bersifat normatif. Riset positif untuk menguji hipotesis tentang kebijakan perdagangan dan dampak pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dipelopori oleh Grossman dan Kruiger pada tahun 1993 di NAFTA dengan mengkaji data dari 58 negara (Antweiler et al., 2001; Liang, 2006). Antweiler et al. (2001) menyebutkan apabila keterbukaan pasar internasional meningkat, baik input maupun outputnya sebesar 1%, tingkat polusi akan menurun sebesar 1% pula akibat diterapkannya teknologi yang lebih ramah lingkungan dalam kegiatan produksinya. Antweiler et al. (2001) juga membedakan dampak lingkungan dan sumber pendapatannya, yaitu pendapatan yang diperoleh dari perdagangan cenderung menurunkan polusi, akan tetapi pendapatan yang diperoleh dari akumulasi modal cenderung meningkatkan polusi; sehingga perdagangan yang lebih bebas cenderung baik untuk lingkungan. Kondisi sebaliknya dikemukakan oleh Vutha dan Jalalain (2008) yang menyebutkan bahwa perdagangan bebas menyebabkan degradasi lingkungan khususnya terjadi di negara-negara berkembang dengan regulasi lingkungan yang longgar tetapi memiliki kapasitas besar untuk mengabsorbsi polusi. Apak (2003) menyebutkan beberapa faktor perdagangan bebas yang berdampak terhadap lingkungan adalah:

a. Efisiensi alokatif. Perdagangan bebas umumnya menggunakan faktor-faktor produksi secara lebih efisien, sehingga penggunaan sumberdaya alam dapat lebih hemat dan ramah lingkungan;

b. Dampak skala kegiatan. Skala kegiatan ekonomi yang mendorong pertumbuhan dan peningkatan pendapatan akan cenderung mengikuti kurva lingkungan Kuznet dimana pada tingkat pendapatan tertentu yang tinggi, maka kebutuhan akan lingkungan yang bersih makin tinggi dan kerusakan lingkungan makin menurun;

c. Komposisi output. Ketika pendapatan makin tinggi maka kegiatan sektor jasa lebih penting daripada kegiatan manufaktur, sehingga akan menurunkan tingkat pencemaran per kegiatan ekonomi;


(38)

16 d. Penggunaan teknologi. Peningkatan penggunaan inovasi teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan akan menurunkan tingkat pencemaran;

e. Kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk mengadopsi dan menerapkan standar kualitas lingkungan internasional akan mendorong penurunan tingkat kerusakan lingkungan akibat perdagangan bebas. Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan untuk mengetatkan arus barang dan jasa dalam perdagangan bebas yang dianggap membahayakan lingkungan.

Perdagangan internasional akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Adanya pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap lingkungan. Lingkungan secara bertahap mengalami degradasi mengikuti pertumbuhan ekonomi global yang cepat. Salah satu teori yang menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dengan dampak lingkungan adalah Environmental Kuznet Curve (EKC) atau kurva lingkungan Kuznet (Antweiler, 2001; Copeland dan Taylor, 2004; Vutha dan Jalalain, 2008). Kurva EKC menunjukkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kualitas lingkungan dalam bentuk kurva U terbalik. Kurva EKC melukiskan hubungan antara pendapatan per kapita (absis) dengan kualitas lingkungan (ordinat), dan memprediksikan bahwa kerusakan lingkungan akan meningkat pada tingkat pendapatan rendah (environmental decay phase), mencapai tingkat maksimum (turning point income), dan menurun sesudahnya (environmental improvement). Logika hubungan EKC tersebut adalah bahwa pada tahapan awal dari industrialisasi dan pembangunan, kegiatan ekonomi menggunakan banyak sumberdaya alam dan teknologi kotor sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Ketika kualitas kehidupan meningkat sebagai hasil pembangunan, maka orang akan membutuhkan kualitas lingkungan yang lebih baik dan mendorong pemerintahnya untuk menetapkan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas lingkungannya (Vutha dan Jalalain, 2008). Grossman dan Krueger (1995) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahap awal membawa pada fase penurunan kualitas lingkungan. Selanjutnya dengan meningkatnya pendapatan akan menuju pada fase peningkatan kualitas


(39)

17 lingkungan. Titik balik pendapatan per kapita ketika kebutuhan publik akan lingkungan yang lebih baik minimal sebesar US$ 5.000 per kapita per tahun (CEC, 2002) sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Gallageher (2004) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi menimbulkan polusi, tetapi dampak skala (scale effect) ditanggulangi dengan dampak komposisi dan dampak teknis. Dampak komposisi terjadi ketika ekonomi yang telah tumbuh cenderung meningkatkan kegiatan jasa dan mengurangi kegiatan ekonomi yang kurang polusi, sedangkan dampak teknis menunjukkan bahwa dengan meningkatnya pendapatan akan cenderung meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan melalui penggunaan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Dengan demikian kebijakan lingkungan yang lebih kuat dapat diartikan sebagai kebutuhan kelas masyarakat menengah untuk mendapatkan kualitas lingkungan yang lebih baik, sehingga penurunan polusi berkaitan dengan dengan kesejahteraan (CEC, 2002, Gallageher, 2004).

Gambar 2. Hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dengan jumlah emisi pencemar (CEC, 2002)

Kurva lingkungan Kuznets tersebut secara umum dipakai untuk menggambarkan pola hubungan antara tingkat pendapatan dan kualitas lingkungan, tetapi pola tersebut tidak akan terjadi walaupun pendapatan tinggi apabila perhatian pemerintah terhadap program perlindungan lingkungannya kurang (Gallagher, 2004). Lebih lanjut Gallagher (2004) menyebutkan bahwa kondisi tersebut terjadi di Mexico yang walaupun pendapatannya telah mencapai


(40)

18 US$ 5.000 per kapita per tahun, tetapi degradasi lingkungannya tetap tinggi. Hal tersebut dikarenakan kebijakan lingkungan dinilai lebih longgar terhadap industri dan kegiatan ekonomi yang menghasilkan limbah.

Liberalisasi perdagangan dapat memberikan dampak positif atau dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini tergantung pada keunggulan komparatif yang dimiliki, kebijakan-kebijakan perdagangan dan lingkungan yang ada, serta manajemen sumberdaya alam yang dimiliki. Dalam negosiasi perdagangan, koordinasi dan harmonisasi kebijakan lingkungan diantara mitra perdagangan dan lingkungan masih sedikit diperhatikan. Oleh karena itu, mengkaitkan antara pengelolaan lingkungan dengan perdagangan bebas adalah hal yang mendesak untuk dilakukan sebagai upaya melindungi lingkungan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (Vutha dan Jalalain, 2008).

Adanya keterkaitan antara perdagangan dan lingkungan di tingkat global tersebut telah mendorong berkembangnya standarisasi lingkungan. Conference on

Human and Environment oleh PBB pada tahun 1972 di Stockholm telah

melahirkan pemikiran bahwa pembangunan industri yang tidak terkendali akan mempengaruhi kelangsungan dunia usaha. Pemikiran tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan United Nations Environment Program (UNEP) dan World

Commission on Environment and Development (WCED). Istilah Sustainable

Development (pembangunan berkelanjutan) yang diperkenalkan dalam laporan

WCED pada tahun 1987 juga mencakup pengertian bahwa kalangan industri sudah harus mulai mengembangkan sistem pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan secara efektif. Selanjutnya diselenggarakan United Nations

Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro tahun

1992. Menindaklanjuti gagasan tersebut, lnggris mengeluarkan standar pengelolaan lingkungan yang pertama kali di dunia pada tahun 1992, yaitu British

Standard (BS) 7750. Komisi Uni Eropa mulai memberlakukan Eco-Management

and Audit Scheme (EMAS) pada 1993. Dengan diberlakukannya EMAS, BS

7750 direvisi dan kembali ditetapkan pada tahun 1994. Beberapa negara Eropa yang lain juga mulai mengembangkan standarisasi pengelolaan lingkungan Soemarno (2001) menyebutkan bahwa di tingkat internasional, dengan dorongan kalangan dunia usaha International Standardization Organization (ISO) dan


(41)

19

International Electrotechnical Commission (IEC) membentuk "Strategic Advisory

Group on the Environment" (SAGE) pada bulan Agustus 1991. SAGE

merekomendasikan kepada ISO akan perlunya suatu Technical Committee (TC) yang khusus bertugas untuk mengembangkan suatu seri standar pengelolaan lingkungan yang berlaku secara internasional. Pada tahun 1993, ISO membentuk TC 207 yang khusus bertugas mengembangkan standar pengelolaan lingkungan yang dikenal sebagai ISO seri 14000 dengan mengembangkan standar yang meliputi : Environmental Management System (EMS); Environmental Auditing

(EA); Environmental Labelling (EL); Environmental Performance Evaluation

(EPE); Life Cycle Analysis (LCA); Term and Definitions (TD).

Soemarno (2001) menyatakan bahwa beberapa pokok pikiran yang mendasari ISO seri 14000 adalah : (a) menyediakan elemen-elemen dari suatu sistem pengelolaan lingkungan yang efektif dan dapat dipadukan dengan persyaratan pengelolaan lainnya; (b) membantu tercapainya tujuan ekonomi dan lingkungan dengan meningkatkan kinerja lingkungan dan menghilangkan serta mencegah terjadinya hambatan dalam perdagangan; (c) tidak dimaksudkan sebagai hambatan perdagangan non-tarif atau untuk mengubah ketentuan--ketentuan hukum yang harus ditaati; (d) dapat diterapkan pada semua tipe dan skala organisasi; (e) agar tujuan dan sasaran lingkungan dapat tercapai maka harus didorong dengan penggunaan Best Practicable Pollution Control Technology

(Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Praktis) dan Best Available

Pollution Control Technology EconomicaIly Achieveable (Teknologi

Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Tersedia). Gang (2004) dan Linde-Rahr (2005) menyebutkan bahwa keterbukaan pasar bebas harus diikuti dengan perangkat kebijakan pengelolaan lingkungan yang sesuai (compatible).

2.2. Kawasan Perdagangan Bebas Batam

Untuk menarik investasi yang lebih besar, berbagai negara telah menetapkan satu atau beberapa titik wilayahnya sebagai kawasan perdagangan bebas (free trade zone), misalnya wilayah Batam di Indonesia yang ditunjuk sebagai kawasan perdagangan bebas berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007. Pengembangan suatu wilayah sebagai kawasan perdagangan bebas berpengaruh


(42)

20 terhadap kondisi lingkungan di wilayah tersebut, sehingga pengendalian lingkungan perlu dilakukan dengan mengembangkan kebijakan pengendalian lingkungannya khusus di kawasan perdagangan bebas tersebut.

Kawasan perdagangan bebas atau export processing zone (EPZ) adalah suatu kawasan khusus yang ditetapkan di suatu negara dimana beberapa hambatan perdagangan normal seperti tarif dan kuota dihapuskan serta persyaratan birokrasi diturunkan dengan harapan akan menarik masuknya investasi dan bisnis baru di kawasan tersebut (Wikipedia, 2008). Zone perdagangan bebas dapat digambarkan sebagai pusat pabrikasi tenaga kerja yang intensif yang melibatkan impor dari komponen atau bahan baku serta ekspor dari produk pabrik. Kebanyakan FTZ berada di negara berkembang. Kawasan perdagangan bebas di Amerika Latin dimulai sejak awal dekade dari abad 20. Peraturan perdagangan bebas yang pertama di daerah ini ditetapkan di Uruguay dan Argentina pada tahun 1920-an. Pada tahun 2002, ada 43 juta tenaga kerja di sekitar 3000 FTZ di 116 negara-negara yang memproduksi pakaian, sepatu, sepatu karet, elektronika, dan mainan. Sasaran dasar dari EPZ adalah untuk meningkatkan devisa, mengembangkan industri berorientasi ekspor dan untuk menghasilkan peluang ketenaga-kerjaan (Wikipedia, 2008).

Terminologi FTZ dan AFTA dalam prakteknya mempunyai perbedaan yang mendasar. AFTA lebih ditekankan pada upaya untuk mengurangi hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif. Salah satu hambatan perdagangan yang akan dikurangi dalam konsep ini, adalah tarif bea masuk hingga mencapai nol persen sampai 5 persen. Jika Indonesia tidak siap, maka akan berakibat pada membanjirnya produk luar negeri yang mempunyai kualitas dan harga bersaing yang pada akhirnya bermuara pada terancamnya produk dalam negeri. Konsep FTZ sendiri difokuskan pada upaya menarik investasi asing yang berorientasi ekspor. Industri seperti ini mempunyai beberapa manfaat yaitu menghasilkan setoran pajak (PPh), menyerap tenaga kerja, menumbuhkembangkan industri lokal (UKM) yang menjadi mitra perusahaan PMA dan tumbuhnya industri jasa pendukung. Industri lokal didaerah FTZ tidak akan terganggu, karena produk dari PMA di daerah FTZ adalah berorientasi ekspor sehingga tidak akan menyaingi ataupun mematikan produk lokal. Ditinjau dari prosedur ekspor dan impor,


(43)

21 meskipun diberlakukan AFTA, prosedur ekspor impor tetap mengacu pada prosedur bea cukai masing-masing negara anggota. Bagi wilayah yang ditunjuk sebagai FTZ yang memberikan insentif berupa pembebasan bea masuk, PPN dan PPnBM, maka prosedur ekspor dan impor yang harus dilalui menjadi lebih mudah dan cepat, karena tidak perlu melalui pemeriksaan yang berkaitan dengan pemungutan bea masuk, PPN dan PPnBm. Seperti di Batam yang selama ini telah berfungsi sebagai FTZ, prosedur keluar masuk barang dapat dipangkas dari 25 proses menjadi 11 proses (Bagian Pemasaran Otorita Batam, 2001).

Kawasan perdagangan bebas (KPB) atau free trade zone (FTZ) telah berkembang sejak tahun 1934 di Amerika Serikat setelah Undang-Undang tentang KPB di Amerika Serikat disahkan, tetapi baru tahun 1970-an perusahaan-perusahaan merasakan manfaat dari keberadaan KPB tersebut, baik untuk kepentingan ekspor dan impornya (Alavi dan Thompson, 1988). Perusahaan memanfaatkan KPB dalam melakukan kegiatan pengujian, penyortiran, pengemasan kembali, penyimpanan, dan persiapan penjualan barang ke penyalur. Alavi dan Thompsom (1988) lebih lanjut menjelaskan manfaat KPB dalam kegiatan impor dan ekspor barang, yaitu : (a) Di dalam KPB importir dapat menguji dan menyortir barang yang cacat dan rusak, sehingga dapat dikembalikan; (b) Beberapa barang seringkali perlu dirakit sebelum dipasarkan dengan menggunakan beberapa komponen lainnya yang berasal dari dalam negeri atau negara lainnya; (c) Kawasan KPB menjadi pusat distribusi barang sebelum barang diekspor ke luar negeri; (d) Barang domestik yang masuk ke KPB dapat memperoleh status ekspor. Mongelluzzo (2003) menyebutkan bahwa KPB dapat memangkas biaya dan mengetatkan roda suplai barang. Riset Mongelluzo (2003) di Los Angeles menunjukkan bahwa perbandingan total biaya kegiatan ekonomi di kawasan non-KPB dengan KPB masing-masing adalah US$ 11.615.000 dan US$ 10.845.920, sehingga adanya KPB dapat menghemat biaya sebesar US$769.080.

Keberadaan KPB memungkinkan terjadinya pemindahan kegiatan ekonomi dari negara investor ke negara yang memiliki KPB (host country). Pemindahan kegiatan tersebut selain berdampak terhadap peningkatan pendapatan negara pemilik KPB juga akan memberikan dampak terhadap lingkungan wilayah KPB.


(44)

22 Katz (2000) menyebutkan bahwa adanya pengurangan tarif di KPB akan meningkatkan investasi dalam fasilitas produksi dan arus transportasi lebih besar, sehingga menciptakan resiko terhadap peningkatan : (a) konsumsi air dan polusi yang bersumber dari kegiatan industri dan rumah tangga; (b) polusi udara yang bersumber dari kegiatan industri dan rumah tangga; (c) produksi limbah padat yang berasal dari peningkatan kegiatan produksi dan konsumsi rumah tangga; (d) kehilangan lahan terbuka, termasuk berkurangnya zona resapan air dan habitat satwa liar; (e) ekstraksi sumberdaya alam, termasuk penambangan bahan bakar dan mineral; serta (f) polusi perairan laut dan tekanan terhadap wilayah pesisir.

Kawasan perdagangan bebas pun memiliki daya tarik ekonomi bagi pekerja, sehingga terjadi kenaikan populasi penduduk. Lebih lanjut Katz (2000) menyebutkan bahwa kebijakan penghilangan penghambat perdagangan (trade barriers) di Eropa menjadi penyebab langsung peningkatan kegiatan transportasi, polusi udara dan polusi limbah rumah tangga. Setiap kenaikan 1,5% pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan 10-20% emisi polusi udara di Eropa (Katz, 2000). Namun hasil riset Liang (2006) tentang dampak investasi asing terhadap KPB di Cina menunjukkan bahwa adanya investasi memberikan manfaat terhadap perbaikan lingkungan karena investor tersebut menerapkan teknologi yang lebih efisien sehingga produktifitas lebih tinggi dan penggunaan sumberdaya alam lebih hemat. Perbedaan dampak dari KPB terhadap lingkungan tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah masing-masing dalam penyelenggaraan KPB (Katz, 2000; Liang, 2006). Linde-Rahr (2005) menyebutkan bahwa di tingkat nasional kebijakan lingkungan yang keras (stringent environmental policy) tidak cukup signifikan dalam pemilihan lokasi industri dibandingkan dengan pertimbangan faktor transportasi dan pertumbuhan ekonominya, tetapi di tingkat provinsi kebijakan lingkungan yang keras dapat mengurangi investasi asing.

Dampak lingkungan KPB dianalisis dengan mengacu pada kurva EKC (Katz, 2000; Copeland dan Taylor, 2004; Liang, 2006). Katz (2000) menyebutkan bahwa titik pendapatan dimana kepedulian terhadap lingkungan meningkat dicapai pada pendapatan per kapita per tahun sebesar US$5.000 di kawasan Mediteranian, sedangkan menurut Grossman dan Krueger (1999) sebesar US$8.000. Untuk mencapai pendapatan sebesar US$5.000 per kapita di Mesir


(45)

23 diprediksikan akan tercapai setelah 40 tahun dengan asumsi bahwa ada kegiatan ekonomi yang agresif melalui ekspansi ekonomi secara konsisten (Katz, 2000). Setiap negara tentunya memiliki kebijakan yang berbeda terkait dengan penerapan KPB di negaranya. Frankel dan Rose (2002) menyebutkan terdapat dua proposisi yang berkaitan dengan dampak lingkungan dari KPB, yaitu hipotesis pollution haven dan hipotesis Porter. Hipotesis pollution haven umumnya dilakukan oleh negara yang mengadopsi standar lingkungan yang longgar (lax environmental

standards) dengan tujuan untuk menarik minat investasi dari perusahaan

multinasional yang regulasi pengendalian lingkungan di negara asalnya dilakukan ketat. Hipotesis ini umumnya dilakukan oleh negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang yang memiliki KPB cenderung lebih kotor daripada negara maju yang menerapkan standar kualitas lingkungan lebih tinggi. Misalnya Sarkar (2009) menyoroti perjanjian di kawasan perdagangan bebas antara Amerika Serikat dan Dominika, dimana walaupun dalam perjanjian tersebut dimasukkan aspek lingkungan tetapi investor lebih tertarik menanamkan investasi di Dominika karena upah yang murah dan persyaratan lingkungan yang rendah, sehingga berdampak terhadap menurunnya peluang kerja dan investasi modal di wilayah Amerika Serikat.

Cole dan Fredikkson (2005) menyatakan bahwa hipotesis pollution haven

akan terjadi pada kondisi dimana keterlibatan struktur legislatif dan partisipasi publik rendah. Hipotesis Porter dilakukan dengan menerapkan kebijakan pengaturan lingkungan yang lebih ketat terhadap investor di KPB dengan tujuan untuk mendorong digunakannya inovasi teknologi dalam kegiatan produksi ekonominya yang lebih ramah lingkungan. Dalam hal ini regulasi lingkungan akan mendorong pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih efisien dan lebih produktif, sehingga tekanan terhadap lingkungan dapat dikurangi. Hipotesis

Porter akan efektif dilakukan pada KPB yang kebijakan pengendalian

lingkungannya bersifat merit system atau insentif/disinsentif (Frankel dan Rose, 2002). Cole et al. (2006) menyebutkan bahwa investasi asing mempengaruhi kebijakan lingkungan dan dampaknya bersifat kondisional tergantung tingkat korupsi (degree of corruptibility) dari pemerintah setempat, yaitu pada tingkat korupsi pemerintahannya tinggi maka investasi asing cenderung menurunkan


(46)

24 standar kualitas lingkungan dan sebaliknya dengan makin bersihnya penyelenggaraan pemerintahan maka investasi asing cenderung mendorong peningkatan standar kualitas lingkungan. Dalam hal ini transparansi, demokrasi, dan tata kelola pemerintahan menjadi kunci penataan kebijakan perdagangan bebas yang sinergis dengan pengendalian lingkungan (CEC, 2002).

Integrasi kebijakan lingkungan dan perdagangan bebas masih lemah, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan (Butler, 1992; CEC, 2002). Seale dan Fairchild (1994) menyebutkan bahwa sejumlah kelompok pro lingkungan telah sejak lama meminta pelaksanaan perdagangan internasional dikaitkan dengan regulasi lingkungan, karena kebijakan perdagangan dapat digunakan untuk mempengaruhi negara lain dalam hal perbaikan lingkungan. Upaya untuk mengintegrasikan lingkungan ke dalam pengelolaan KPB dilakukan oleh CEC (2002) dengan meningkatkan partisipasi publik terhadap kegiatan pengembangan KPB. Lebih lanjut CEC (2002) menyebutkan bahwa keterlibatan publik sejak awal KPB penting difasilitasi untuk memantau dampak lingkungan dari perdagangan bebas yang terjadi. Hal ini terkait dengan dijalankannya pemerintahan yang transparan dan demokratis. Keterlibatan publik dalam pemantauan lingkungan KPB penting sebagai legitimasi bagi pengelola kawasan bahwa kegiatannya tidak menurunkan kualitas lingkungan, karena kebijakan lingkungan banyak yang memerlukan komitmen dan dukungan publik (CEC, 2002). Lebih lanjut CEC (2002) menyebutkan bahwa untuk mendorong partisipasi publik terhadap pengendalian lingkungan di KPB yang berada di Amerika Utara telah difasilitasi terbentuknya kelompok penasehat (advisory group) yang beranggotakan pakar dan kelompok pemerhati lingkungan untuk memberikan masukan dan memantau kualitas lingkungan di KPB dan sekitarnya kepada badan pengelola kawasan secara mandiri (independent).

Salah satu wilayah di Indonesia yang ditetapkan sebagai KPB adalah Batam. Pembangunan Pulau Batam dimulai oleh Pertamina berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang Pengembangan Pembangunan Daerah Pulau Batam dan dimaksudkan sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi guna menunjang eksplorasi minyak dan gas bumi lepas pantai. Dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1974 tentang


(47)

25 Penunjukan dan penetapan beberapa wilayah usaha bonded warehouse di daerah industri Pulau Batam, wilayah di daerah Batu Ampar, dan wilayah di daerah Sekupang bagian barat Pulau Batam ditetapkan lokasi tersebut sebagai bonded

warehouse. Adapun perusahaan yang bertindak sebagai bonded warehouse

adalah PT. Persero Pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam. Sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1972 tentang bonded warehouse, bonded warehouse adalah suatu sarana institusional dalam bidang perekonomian dan perdagangan yang mempunyai wilayah pengusahaan tertentu dalam daerah pabean Indonesia sebagai suatu tempat untuk menyimpan, menimbun, meletakkan, mengemas, dan atau mengolah barang-barang yang berasal: (a) dari luar daerah pabean tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai, pajak, dan atau pungutan negara lainnya sampai barang-barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor atau tujuan re-ekspor tanpa diolah terlebih dahulu di dalam bonded warehouse, atau (b) dari dalam daerah pabean tanpa terlebih dahulu dikenakan pengutan bea, cukai, pajak, dan atau pungutan negara lainnya sampai barang-barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan ekspor (Ditjen Bea Cukai, 2008).

Dalam perkembangan selanjutnya seluruh daerah industri Pulau Batam ditetapkan sebagai wilayah usaha bonded warehouse berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan Seluruh Daerah Industri Pulau Batam sebagai Wilayah Usaha bonded warehouse. Kemudian dengan Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan penetapannya sebagai wilayah usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone), wilayah lingkungan kerja daerah industri Pulau Batam ditambah dengan Pulau Rempang dan Pulau Galang. Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007, Nomor 47 Tahun 2007, dan Nomor 48 Tahun 2007, Kawasan Batam, Kawasan Bintan, dan Kawasan Karimun masing-masing ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) dengan mendapat fasilitas fiskal berupa bebas dari pengenaan bea masuk, PPN, PPnBM, dan cukai atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KPBPB. Kawasan Batam meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setotok, Pulau


(48)

26 Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru (Ditjen Bea Cukai, 2008).

Batam selaku kota industri yang terkemuka di Asia Pasifik telah lama memikirkan akibat-akibat yang ditimbulkan globalisasi ekonomi terhadap kinerja pertumbuhan Batam. Sebagai barometer pertumbuhan ekonomi nasional, Batam secara signifikan harus mampu memperbaiki kinerjanya dalam meningkatkan jumlah investasi dan pertumbuhan ekonominya. Salah satu hal yang menjadi isu utama di Batam saat ini setidaknya adalah mengenai penerapan FTZ terhadap Batam. Seperti diketahui, selama ini Batam hanya dijadikan sebagai bonded zone, yang telah mengalami banyak perkembangan, sehingga diperlukan adanya satu perubahan konsep dari bonded menjadi FTZ. Namun sebagian orang ada yang menentang penerapan free trade ini dengan alasan bahwa pasar bebas yang akan diterapkan di ASEAN dengan adanya AFTA akan menjadikan status FTZ Batam menjadi percuma. Alasan yang dikemukakan dengan menghadapkan antara free

trade dan AFTA sebenarnya tidak relevan dalam memandang Batam, karena ada

perbedaan yang mendasar antara FTZ dan AFTA, walaupun keduanya berarti pasar bebas yang ada di suatu kawasan. Jadi pada dasarnya upaya menjadikan Batam sebagai FTZ tak lain adalah mempertahankan situasi dan kondisi Batam yang ada sekarang ini yang sebenarnya telah menjalankan fungsi-fungsi FTZ.

(Ditjen Bea Cukai, 2008).

Bagi Batam, dengan diterapkannya free trade zone, tidak ada sesuatu yang baru dan tidak ada perubahan yang mendasar. Hal ini merupakan legitimasi baru bagi pulau Batam untuk melanjutkan fungsi pulau Batam sebagai daerah industri yang berstandar internasional dan kompetitif di Asia Pasifik dan memberikan manfaat bagi masyarakat disekitarnya. Kesalahan persepsi atas konsep free trade zone yang dialami oleh segelintir pihak belakangan ini dapat berdampak negatif bagi perkembangan Batam, khususnya di mata investor asing yang sangat membutuhkan kepastian hukum bagi status pulau Batam. Perusahaan Penanaman Modal Asing berorientasikan ekspor bersedia merelokasikan pabriknya semata-mata untuk mencari efisiensi ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara asalnya. Penerapan FTZ secara de facto di Batam, diakui telah mampu memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan efisiensi biaya produksi.


(1)

188

Lampiran 27. Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi pelaku usaha dalam pengendalian lingkungan

di KPB Batam

Aktor : PELAKU USAHA

TUJUAN

RESPONDEN

Rata-rata Geometris

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Perlindungan Ekosistem KPB Batam - Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam

9 1 3 3 1 1 1 3 1 7 5 5 1 1 5 8 9 1 8 1 3 5 1 5 5 0.3 2

Perlindungan Ekosistem KPB Batam - Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan

9 1 1 1 1 9 1 3 1 7 3 1 3 3 2 9 9 1 7 7 3 5 1 5 5 0.3 3

Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam - Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secar Berkelanjutan

9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 1 2 2 3 9 9 9 9 1 7 3 1 3 3 1 2


(2)

Lampiran 28. Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi pelaku usaha dalam pengendalian

lingkungan di KPB Batam

Perlindungan Ekosistem KPB Batam

Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan

Perlindungan Ekosistem KPB Batam

2 3

Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam

2

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan

Tujuan Bobot

Perlindungan Ekosistem KPB Batam 0.540

Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam 0.297

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan 0.163 CR = 0,007


(3)

190

190

Lampiran 29. Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi masyarakat dalam pengendalian lingkungan

di KPB Batam

Aktor : MASYARAKAT

TUJUAN

RESPONDEN

Rata-rata Geometris

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Perlindungan Ekosistem KPB Batam - Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam

9 1 1 1 1 1 1 3 1 3 1 1 1 1 3 1 1 1 7 1 1 5 1 5 5 3 2

Perlindungan Ekosistem KPB Batam - Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan

9 1 1 1 1 1 1 3 3 5 3 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 3 1 3 3 3 2

Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam - Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secar Berkelanjutan


(4)

Lampiran 30. Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi masyarakat dalam pengendalian lingkungan

di KPB Batam

Perlindungan Ekosistem KPB Batam

Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan

Perlindungan Ekosistem KPB Batam 2 2

Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam 1

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan

Tujuan Bobot

Perlindungan Ekosistem KPB Batam 0.500

Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam 0.250

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan 0.250 CR = 0,0


(5)

192

192

Lampiran 31. Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi legislatif dalam pengendalian lingkungan

di KPB Batam

Aktor : LEGISLATIF

TUJUAN

RESPONDEN

Rata-rata Geometris

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Perlindungan Ekosistem KPB Batam - Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam

7 3 5 5 3 1 1 3 1 1 3 5 1 1 3 7 9 1 8 1 3 5 1 5 5 1 3

Perlindungan Ekosistem KPB Batam - Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan

7 3 1 1 5 9 1 3 1 1 3 1 7 7 5 7 9 1 8 1 1 3 1 3 3 1 3

Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam - Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secar Berkelanjutan


(6)

Lampiran 32. Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi legislatif dalam pengendalian lingkungan di

KPB Batam

Perlindungan Ekosistem KPB Batam

Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan

Perlindungan Ekosistem KPB Batam 3 3

Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam 2

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan

Tujuan Bobot

Perlindungan Ekosistem KPB Batam 0.594

Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam 0.249

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan 0.157 CR = 0,046