Perdagangan Bebas dan Lingkungan

13 dengan harapan bahwa penggunaan sumberdaya dunia akan lebih efisien dan menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Semua teori perdagangan memperlihatkan bahwa perdagangan bebas membawa manfaat bagi negara yang berdagang dan dunia Yusdja, 2004. Dengan didasarkan atas teori tersebut maka hampir sebagian besar negara di dunia bersepakat melakukan liberalisasi perdagangan internasional dengan membentuk WTO World Trade Organization pada tahun 1995. Menjadi anggota WTO berarti bersedia membuka pasar dalam negeri bagi produksi negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan bebas. WTO diciptakan untuk meluaskan liberalisasi perdagangan dengan memaksa pemerintahan negara-negara lain untuk memecahkan masalah tenaga kerja, lingkungan, dan standar-standar keamanan yang dianggap sebagai penghambat bagi perdagangan. Tujuan utama dari WTO adalah untuk “menghilangkan semua hambatan atau penghalang bagi perdagangan bebas di seluruh dunia”. Sejak WTO diresmikan hingga tahun 2003, tidak ada sebuah negara pun yang bersedia begitu saja membuka keran impor. Bahkan negara maju seperti Uni Eropa UE dan Amerika Serikat AS yang merupakan penggagas perdagangan bebas ternyata tidak berhati penuh membuka keran impor dengan menggunakan sejuta dalih Gilpin dan Gilpin, 2000. Azis 2008 menyebutkan bahwa Amerika Serikat AS tergolong macan kertas, yang dari posisinya yang keras menuntut liberalisasi sektor pertanian yang sangat ditentang oleh Eropa, mereka akhirnya tunduk juga pada UE. Perubahan posisi ini yang kemudian membuat Putaran Uruguay berhasil diselesaikan tahun 1994. Perubahan sikap tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh tekanan terhadap AS dimana satu pasal dalam undang-undang pertanian AS menyebutkan bahwa tidak semua sektor pertanian siap untuk masuk ke pasar bebas. Banyak negara anggota WTO mengadukan berbagai penyimpangan dan ketidakjujuran serta ketidakadilan dalam perdagangan dunia, namun WTO hampir selalu gagal membuat penyelesaian atau bahkan mendapat kesulitan membawa masalah itu ke dalam sidang anggota-anggota WTO Buckinghann et al., 2001. Azis 2008 menyebutkan pula bahwa di bidang jasa AS tidak berminat untuk menciptakan perdagangan bebas, tetapi mereka menginginkan akses pasar yang lebih besar bagi industri jasa mereka. Kondisi 14 yang sama terjadi pula di kawasan Amerika Latin yang walaupun sudah ada FTAA dan Mercosur, banyak negara anggota yang tidak terlalu bersemangat menjalankan perdagangan bebas, misalnya Brasil yang dengan defisit perdagangan yang makin besar cenderung untuk menangguhkan ide pasar bebasnya Azis, 2008. Di kawasan Asia Pasifik yang di awal tahun 1990-an bersemangat dengan perdagangan bebas, dan sejumlah statistik klasik selalu dipaparkan untuk menunjukkan dampak positif dari peningkatan perdagangan di kawasan ini akhirnya mendorong lahirnya AFTA dan APEC. Namun, setelah banyak negara anggota mengalami kesulitan neraca pembayaran maka tindakan mengurangi impor mulai diterapkan. Oleh karena itu, prinsip perdagangan bebas banyak dilanggar demi kepentingan nasional masing-masing negara Modjo, 2003; Yusdja; 2004; Azis, 2008. Dalam kerjasama ekonomi ASEAN, negara-negara anggotanya telah bersepakat untuk : a mempercepat tercapainya jadwal perdagangan bebas ASEAN, yaitu dari tahun 2008 menjadi tahun 2003; b pada tahun 2003, tarif dari produk hasil industri menjadi 0-5, hambatan non-tarif dihapus, sehingga diharapkan ada peningkatan perdagangan intra ASEAN; c mengikutsertakan produk-produk hasil pertanian yang tidak peka dan jasa-jasa Soemarno, 2001. Liberalisasi perdagangan di tingkat APEC pun telah menyepakati diwujudkannya perdagangan bebas di wilayah APEC, tahun 2010 untuk anggota maju dan tahun 2020 untuk anggota berkembang yang ditunjang oleh kebebasan arus investasi. Dalam deklarasi tersebut ditekankan pula, pola dasar kemitraan karena keanggotaan APEC yang beranekaragam. Oleh karena itu, selain adanya akses pasar di negara maju pada tahun 2010 yang dapat dimanfaatkan oleh negara berkembang, maka dikembangkan pula kerjasama pengembangan ekonomi yang mencakup kerjasama dalam pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan lnfrastruktur, pengembangan usaha kecil dan menengah, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pelestarian lingkungan Soemarno,2001. Keterbukaan dalam perdagangan bebas internasional berpengaruh terhadap kualitas lingkungan sejalan dengan meningkatnya perhatian global terhadap masalah lingkungan global Antweiler et al., 2001; Frankel dan Rose, 2002; Copeland dan Taylor, 2004. Perdagangan, pertumbuhan, dan lingkungan pun 15 terus menjadi fokus perhatian dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas Copeland dan Taylor, 2004. Liang 2006 mengemukakan bahwa isu masalah lingkungan terkait dengan perdagangan sudah dimulai sejak tahun 1970-an dengan riset yang masih bersifat normatif. Riset positif untuk menguji hipotesis tentang kebijakan perdagangan dan dampak pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dipelopori oleh Grossman dan Kruiger pada tahun 1993 di NAFTA dengan mengkaji data dari 58 negara Antweiler et al., 2001; Liang, 2006. Antweiler et al. 2001 menyebutkan apabila keterbukaan pasar internasional meningkat, baik input maupun outputnya sebesar 1, tingkat polusi akan menurun sebesar 1 pula akibat diterapkannya teknologi yang lebih ramah lingkungan dalam kegiatan produksinya. Antweiler et al. 2001 juga membedakan dampak lingkungan dan sumber pendapatannya, yaitu pendapatan yang diperoleh dari perdagangan cenderung menurunkan polusi, akan tetapi pendapatan yang diperoleh dari akumulasi modal cenderung meningkatkan polusi; sehingga perdagangan yang lebih bebas cenderung baik untuk lingkungan. Kondisi sebaliknya dikemukakan oleh Vutha dan Jalalain 2008 yang menyebutkan bahwa perdagangan bebas menyebabkan degradasi lingkungan khususnya terjadi di negara-negara berkembang dengan regulasi lingkungan yang longgar tetapi memiliki kapasitas besar untuk mengabsorbsi polusi. Apak 2003 menyebutkan beberapa faktor perdagangan bebas yang berdampak terhadap lingkungan adalah: a. Efisiensi alokatif. Perdagangan bebas umumnya menggunakan faktor- faktor produksi secara lebih efisien, sehingga penggunaan sumberdaya alam dapat lebih hemat dan ramah lingkungan; b. Dampak skala kegiatan. Skala kegiatan ekonomi yang mendorong pertumbuhan dan peningkatan pendapatan akan cenderung mengikuti kurva lingkungan Kuznet dimana pada tingkat pendapatan tertentu yang tinggi, maka kebutuhan akan lingkungan yang bersih makin tinggi dan kerusakan lingkungan makin menurun; c. Komposisi output. Ketika pendapatan makin tinggi maka kegiatan sektor jasa lebih penting daripada kegiatan manufaktur, sehingga akan menurunkan tingkat pencemaran per kegiatan ekonomi; 16 d. Penggunaan teknologi. Peningkatan penggunaan inovasi teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan akan menurunkan tingkat pencemaran; e. Kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk mengadopsi dan menerapkan standar kualitas lingkungan internasional akan mendorong penurunan tingkat kerusakan lingkungan akibat perdagangan bebas. Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan untuk mengetatkan arus barang dan jasa dalam perdagangan bebas yang dianggap membahayakan lingkungan. Perdagangan internasional akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Adanya pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap lingkungan. Lingkungan secara bertahap mengalami degradasi mengikuti pertumbuhan ekonomi global yang cepat. Salah satu teori yang menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dengan dampak lingkungan adalah Environmental Kuznet Curve EKC atau kurva lingkungan Kuznet Antweiler, 2001; Copeland dan Taylor, 2004; Vutha dan Jalalain, 2008. Kurva EKC menunjukkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kualitas lingkungan dalam bentuk kurva U terbalik. Kurva EKC melukiskan hubungan antara pendapatan per kapita absis dengan kualitas lingkungan ordinat, dan memprediksikan bahwa kerusakan lingkungan akan meningkat pada tingkat pendapatan rendah environmental decay phase, mencapai tingkat maksimum turning point income, dan menurun sesudahnya environmental improvement. Logika hubungan EKC tersebut adalah bahwa pada tahapan awal dari industrialisasi dan pembangunan, kegiatan ekonomi menggunakan banyak sumberdaya alam dan teknologi kotor sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Ketika kualitas kehidupan meningkat sebagai hasil pembangunan, maka orang akan membutuhkan kualitas lingkungan yang lebih baik dan mendorong pemerintahnya untuk menetapkan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas lingkungannya Vutha dan Jalalain, 2008. Grossman dan Krueger 1995 menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahap awal membawa pada fase penurunan kualitas lingkungan. Selanjutnya dengan meningkatnya pendapatan akan menuju pada fase peningkatan kualitas 17 lingkungan. Titik balik pendapatan per kapita ketika kebutuhan publik akan lingkungan yang lebih baik minimal sebesar US 5.000 per kapita per tahun CEC, 2002 sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Gallageher 2004 menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi menimbulkan polusi, tetapi dampak skala scale effect ditanggulangi dengan dampak komposisi dan dampak teknis. Dampak komposisi terjadi ketika ekonomi yang telah tumbuh cenderung meningkatkan kegiatan jasa dan mengurangi kegiatan ekonomi yang kurang polusi, sedangkan dampak teknis menunjukkan bahwa dengan meningkatnya pendapatan akan cenderung meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan melalui penggunaan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Dengan demikian kebijakan lingkungan yang lebih kuat dapat diartikan sebagai kebutuhan kelas masyarakat menengah untuk mendapatkan kualitas lingkungan yang lebih baik, sehingga penurunan polusi berkaitan dengan dengan kesejahteraan CEC, 2002, Gallageher, 2004. Gambar 2. Hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dengan jumlah emisi pencemar CEC, 2002 Kurva lingkungan Kuznets tersebut secara umum dipakai untuk menggambarkan pola hubungan antara tingkat pendapatan dan kualitas lingkungan, tetapi pola tersebut tidak akan terjadi walaupun pendapatan tinggi apabila perhatian pemerintah terhadap program perlindungan lingkungannya kurang Gallagher, 2004. Lebih lanjut Gallagher 2004 menyebutkan bahwa kondisi tersebut terjadi di Mexico yang walaupun pendapatannya telah mencapai 18 US 5.000 per kapita per tahun, tetapi degradasi lingkungannya tetap tinggi. Hal tersebut dikarenakan kebijakan lingkungan dinilai lebih longgar terhadap industri dan kegiatan ekonomi yang menghasilkan limbah. Liberalisasi perdagangan dapat memberikan dampak positif atau dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini tergantung pada keunggulan komparatif yang dimiliki, kebijakan-kebijakan perdagangan dan lingkungan yang ada, serta manajemen sumberdaya alam yang dimiliki. Dalam negosiasi perdagangan, koordinasi dan harmonisasi kebijakan lingkungan diantara mitra perdagangan dan lingkungan masih sedikit diperhatikan. Oleh karena itu, mengkaitkan antara pengelolaan lingkungan dengan perdagangan bebas adalah hal yang mendesak untuk dilakukan sebagai upaya melindungi lingkungan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan Vutha dan Jalalain, 2008. Adanya keterkaitan antara perdagangan dan lingkungan di tingkat global tersebut telah mendorong berkembangnya standarisasi lingkungan. Conference on Human and Environment oleh PBB pada tahun 1972 di Stockholm telah melahirkan pemikiran bahwa pembangunan industri yang tidak terkendali akan mempengaruhi kelangsungan dunia usaha. Pemikiran tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan United Nations Environment Program UNEP dan World Commission on Environment and Development WCED. Istilah Sustainable Development pembangunan berkelanjutan yang diperkenalkan dalam laporan WCED pada tahun 1987 juga mencakup pengertian bahwa kalangan industri sudah harus mulai mengembangkan sistem pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan secara efektif. Selanjutnya diselenggarakan United Nations Conference on Environment and Development UNCED di Rio de Janeiro tahun 1992. Menindaklanjuti gagasan tersebut, lnggris mengeluarkan standar pengelolaan lingkungan yang pertama kali di dunia pada tahun 1992, yaitu British Standard BS 7750. Komisi Uni Eropa mulai memberlakukan Eco-Management and Audit Scheme EMAS pada 1993. Dengan diberlakukannya EMAS, BS 7750 direvisi dan kembali ditetapkan pada tahun 1994. Beberapa negara Eropa yang lain juga mulai mengembangkan standarisasi pengelolaan lingkungan Soemarno 2001 menyebutkan bahwa di tingkat internasional, dengan dorongan kalangan dunia usaha International Standardization Organization ISO dan 19 International Electrotechnical Commission IEC membentuk Strategic Advisory Group on the Environment SAGE pada bulan Agustus 1991. SAGE merekomendasikan kepada ISO akan perlunya suatu Technical Committee TC yang khusus bertugas untuk mengembangkan suatu seri standar pengelolaan lingkungan yang berlaku secara internasional. Pada tahun 1993, ISO membentuk TC 207 yang khusus bertugas mengembangkan standar pengelolaan lingkungan yang dikenal sebagai ISO seri 14000 dengan mengembangkan standar yang meliputi : Environmental Management System EMS; Environmental Auditing EA; Environmental Labelling EL; Environmental Performance Evaluation EPE; Life Cycle Analysis LCA; Term and Definitions TD. Soemarno 2001 menyatakan bahwa beberapa pokok pikiran yang mendasari ISO seri 14000 adalah : a menyediakan elemen-elemen dari suatu sistem pengelolaan lingkungan yang efektif dan dapat dipadukan dengan persyaratan pengelolaan lainnya; b membantu tercapainya tujuan ekonomi dan lingkungan dengan meningkatkan kinerja lingkungan dan menghilangkan serta mencegah terjadinya hambatan dalam perdagangan; c tidak dimaksudkan sebagai hambatan perdagangan non-tarif atau untuk mengubah ketentuan-- ketentuan hukum yang harus ditaati; d dapat diterapkan pada semua tipe dan skala organisasi; e agar tujuan dan sasaran lingkungan dapat tercapai maka harus didorong dengan penggunaan Best Practicable Pollution Control Technology Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Praktis dan Best Available Pollution Control Technology EconomicaIly Achieveable Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Tersedia. Gang 2004 dan Linde-Rahr 2005 menyebutkan bahwa keterbukaan pasar bebas harus diikuti dengan perangkat kebijakan pengelolaan lingkungan yang sesuai compatible.

2.2. Kawasan Perdagangan Bebas Batam

Untuk menarik investasi yang lebih besar, berbagai negara telah menetapkan satu atau beberapa titik wilayahnya sebagai kawasan perdagangan bebas free trade zone, misalnya wilayah Batam di Indonesia yang ditunjuk sebagai kawasan perdagangan bebas berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007. Pengembangan suatu wilayah sebagai kawasan perdagangan bebas berpengaruh 20 terhadap kondisi lingkungan di wilayah tersebut, sehingga pengendalian lingkungan perlu dilakukan dengan mengembangkan kebijakan pengendalian lingkungannya khusus di kawasan perdagangan bebas tersebut. Kawasan perdagangan bebas atau export processing zone EPZ adalah suatu kawasan khusus yang ditetapkan di suatu negara dimana beberapa hambatan perdagangan normal seperti tarif dan kuota dihapuskan serta persyaratan birokrasi diturunkan dengan harapan akan menarik masuknya investasi dan bisnis baru di kawasan tersebut Wikipedia, 2008. Zone perdagangan bebas dapat digambarkan sebagai pusat pabrikasi tenaga kerja yang intensif yang melibatkan impor dari komponen atau bahan baku serta ekspor dari produk pabrik. Kebanyakan FTZ berada di negara berkembang. Kawasan perdagangan bebas di Amerika Latin dimulai sejak awal dekade dari abad 20. Peraturan perdagangan bebas yang pertama di daerah ini ditetapkan di Uruguay dan Argentina pada tahun 1920-an. Pada tahun 2002, ada 43 juta tenaga kerja di sekitar 3000 FTZ di 116 negara- negara yang memproduksi pakaian, sepatu, sepatu karet, elektronika, dan mainan. Sasaran dasar dari EPZ adalah untuk meningkatkan devisa, mengembangkan industri berorientasi ekspor dan untuk menghasilkan peluang ketenaga-kerjaan Wikipedia, 2008. Terminologi FTZ dan AFTA dalam prakteknya mempunyai perbedaan yang mendasar. AFTA lebih ditekankan pada upaya untuk mengurangi hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif. Salah satu hambatan perdagangan yang akan dikurangi dalam konsep ini, adalah tarif bea masuk hingga mencapai nol persen sampai 5 persen. Jika Indonesia tidak siap, maka akan berakibat pada membanjirnya produk luar negeri yang mempunyai kualitas dan harga bersaing yang pada akhirnya bermuara pada terancamnya produk dalam negeri. Konsep FTZ sendiri difokuskan pada upaya menarik investasi asing yang berorientasi ekspor. Industri seperti ini mempunyai beberapa manfaat yaitu menghasilkan setoran pajak PPh, menyerap tenaga kerja, menumbuhkembangkan industri lokal UKM yang menjadi mitra perusahaan PMA dan tumbuhnya industri jasa pendukung. Industri lokal didaerah FTZ tidak akan terganggu, karena produk dari PMA di daerah FTZ adalah berorientasi ekspor sehingga tidak akan menyaingi ataupun mematikan produk lokal. Ditinjau dari prosedur ekspor dan impor, 21 meskipun diberlakukan AFTA, prosedur ekspor impor tetap mengacu pada prosedur bea cukai masing-masing negara anggota. Bagi wilayah yang ditunjuk sebagai FTZ yang memberikan insentif berupa pembebasan bea masuk, PPN dan PPnBM, maka prosedur ekspor dan impor yang harus dilalui menjadi lebih mudah dan cepat, karena tidak perlu melalui pemeriksaan yang berkaitan dengan pemungutan bea masuk, PPN dan PPnBm. Seperti di Batam yang selama ini telah berfungsi sebagai FTZ, prosedur keluar masuk barang dapat dipangkas dari 25 proses menjadi 11 proses Bagian Pemasaran Otorita Batam, 2001. Kawasan perdagangan bebas KPB atau free trade zone FTZ telah berkembang sejak tahun 1934 di Amerika Serikat setelah Undang-Undang tentang KPB di Amerika Serikat disahkan, tetapi baru tahun 1970-an perusahaan- perusahaan merasakan manfaat dari keberadaan KPB tersebut, baik untuk kepentingan ekspor dan impornya Alavi dan Thompson, 1988. Perusahaan memanfaatkan KPB dalam melakukan kegiatan pengujian, penyortiran, pengemasan kembali, penyimpanan, dan persiapan penjualan barang ke penyalur. Alavi dan Thompsom 1988 lebih lanjut menjelaskan manfaat KPB dalam kegiatan impor dan ekspor barang, yaitu : a Di dalam KPB importir dapat menguji dan menyortir barang yang cacat dan rusak, sehingga dapat dikembalikan; b Beberapa barang seringkali perlu dirakit sebelum dipasarkan dengan menggunakan beberapa komponen lainnya yang berasal dari dalam negeri atau negara lainnya; c Kawasan KPB menjadi pusat distribusi barang sebelum barang diekspor ke luar negeri; d Barang domestik yang masuk ke KPB dapat memperoleh status ekspor. Mongelluzzo 2003 menyebutkan bahwa KPB dapat memangkas biaya dan mengetatkan roda suplai barang. Riset Mongelluzo 2003 di Los Angeles menunjukkan bahwa perbandingan total biaya kegiatan ekonomi di kawasan non-KPB dengan KPB masing-masing adalah US 11.615.000 dan US 10.845.920, sehingga adanya KPB dapat menghemat biaya sebesar US769.080. Keberadaan KPB memungkinkan terjadinya pemindahan kegiatan ekonomi dari negara investor ke negara yang memiliki KPB host country. Pemindahan kegiatan tersebut selain berdampak terhadap peningkatan pendapatan negara pemilik KPB juga akan memberikan dampak terhadap lingkungan wilayah KPB.