Sejarah Kelurahan Aur Prasarana dan Sarana Transportasi

pribadi baik, baik itu kendaraan roda dua ataupun kendaraan roda empat. Namun ada juga yang masih belum memiliki kendaraan pribadi, tetapi mereka bisa memanfaatkan sarana transportasi yang tersedia sesuai dengan tujuan mereka.

2.3.4 Sejarah Kelurahan Aur

Sejarah mengenai berdirinya Kelurahan Aur sampai saat ini belum ada secara tertulis, hanya saja penulis mendapatkan informasi melalui wawancara dengan staff kelurahan dan informasn di Kampung Aur. Sejarah berdirinya Kelurahan Aur ini diawali ketika pada zaman penjajahan Belanda. Perkebunan yang dikelola oleh Belanda memerlukan tenaga kerja dalam mengerjakan perkebunan tersebut, oleh karena itu banyak pekerja yang berdatangan ke Kota Medan, diantara pekerja tersebut terdapat pekerja-pekerja yang berasala dari Padang, Sumatera Barat. Aur dalam bahasa Minang berarti bambu. sekitar tahun 1943-an ketiga orang yang pertama kali menjadikan lahan ini berubah menjadi pemukiman adalah Sabaruddin, Muncak Roro dan Amirudin, kemudian diikuti oleh pekerja-pekerja suku minang lainnya. Titik pusatnya ketiga orang tersebut membuka lahan pemukiman adalah di jalan Mantri lingkungan III dan di jalan Kampung Aur lingkungan IV. Itu sebabnya Kampung Aur di dominasi oleh orang Minang, bahkan dari generasi ke generasi tetap bertahan untuk tinggal di Kampung Aur. Mereka menganggap Kampung Aur adalah tempat titik berkumpulnya warga Minang. Universitas Sumatera Utara Menurut cerita warga di Kampung Aur pernah tinggal seorang penyair Khairil Anwar dan mantan Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir. Hal tersebut pernah di muat di media cetak: “Dalam suatu versi sejarah, Khairil Anwar yang dikenal “gila” membaca, berpenampilan necis dan mempunyai pergaulan luas ini diketahui lahir di Kampung Aur Kota Medan, sebuah perkampngan legendaries yang hidup dan berdenyut di jantung Kota Medan. Tak hanya Khairil, beberapa tokoh bangsa yang lain seperti mantan Perdana Menteri RI, Sutan Sjahrir juga dikabarkan pernah tinggal di kampung itu.” – Spektrum, edisi 2 Agustus 2009 Jalan Mantri adalah salah satu titik penting di Kampung Aur. Di sana masih ditemukan salah satu tempat di Medan yang masih memiliki rumah panggung ala Melayu yang sudah berusia puluhan tahun. Ini yang menjadikan Jalan Mantri sebagai salah satu situs sejarah kota Medan yang sesekali dikunjungi wisatawan. Salah satu rumah bersejarah itu kini ditinggali oleh salah seorang keturunan Abdul Mutholib, salah seorang tokoh lokal yang berasal dari Bonjol, Sumatera Barat dan menetap di Jalan Mantri pada akhir abad 19. Kampung aur yang menjadi salah satu pemukiman yang pada zaman kolonial Belanda, merupakan tempat yang paling aman karena diapit oleh markas militer dan polisi. Namun sekarang markas militer dan polisi tersebut sudah tidak bisa ditemukan lagi pada saat ini karena sudah berganti menjadi bangunan lain dan berubah fungsi. Jalan mantri ini dulunya merupakan pemukiman para mantra di rumah sakit Belanda di Jalan Timor. Waktu itu, rumah-rumah masih berbentuk panggung meskipun sebagian berdinding beton tidak kayu seperti kebanyakan rumah tradisional Melayu. Setelah Konferensi Meja Bundar KMB 1949, dan Belanda sudah mengakui Universitas Sumatera Utara kemerdekaan Indonesia, berangsur-angsur orang-orang Belanda mulai kembali ke Negara asalnya meninggalkan rumah mereka. Saat itu, tidak ada orang pribumi yang berani masuk ke rumah-rumah Belanda tersebut. Setelah ada instruksi nasionalisasi oleh Presiden Soekarno pada 1950, barulah rumah-rumah tersebut diambil alih. Hingga sekarang Kelurahan Aur menjadi pemukiman padat penduduk,salah satunya di lingkungan IV yang menjadi fokus penelitian. Berbagai macam etnis ada di sana, Minang, Jawa, Tionghoa, Tamil dan suku lainnya. Semua saling menjaga dan menghormati satu sama lain, tidak ada tindakan kriminal yang terjadi di tempat ini sehingga ikatan persaudaraan terasa amat kental di Kampung Aur. Universitas Sumatera Utara

BAB III PERILAKU MASYARAKAT KAMPUNG AUR DI BANTARAN SUNGAI DELI

Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia memiliki karakteristik yang berbeda- beda. Manusia memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda-beda, nilai-nilai dan norma yang dianutnya, maupun dalam pola-pola perilaku sehari-harinya. Berkenaan dengan perilaku dan tindakannya, setiap individu memiliki alasan-alasan sendiri, mengapa ia mewujudkan perilaku atau melakukan tindakan tersebut. Meskipun demikian, oleh karena setiap manusia selalu hidup di tengah suatu masyarakat dari sejak ia dilahirkan sampai matinya, maka setiap manusia selalu mempengaruhi dan dipengaruhi melalui proses komunikasi dalam kehidupan sehari-hari dan proses internalisasi. Pengaruh-pengaruh ini dapat berupa antara lain pandangan-pandangan hidup, nilai-nilai dan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakatnya. Dari pengaruh ini akhirnya terbentuk pola-pola perilaku yang kurang lebih sama antara individu satu dengan individu yang lainnya dalam suatu komunitas atau masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pola-pola perilaku yang terlihat dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan hasil dari perwujudan dari berbagai pandangan, nilai, norma dan aturan yang mereka anut. Gugusan atau kumpulan pandangan, nilai, norma dan aturan inilah yang seringkali disebut sebagai kebudayaan. 26 26 Ahimsa, H. S. P. Etno Bencana – Etnosains Untuk Kajian Bencana. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Tidak diterbitkan Universitas Sumatera Utara