Alih Fungsi Lahan Yang Berfungsi Sebagai Simpanan Air Permukaan

3.2.3 Alih Fungsi Lahan Yang Berfungsi Sebagai Simpanan Air Permukaan

Pengalihan fungsi lahan yang semula adalah areal golongan hutan menjadi areal perkebunan masyarakat, mengundang bertumbuhkembangnya pemukiman masyarakat. Keadaan ini memberikan sumbangan yang besar terhadap kerusakan DAS Deli terutama bagi kelancaran aliran air Sungai Deli. Hal ini disebabkan karena Sungai Deli harus menanggung beban limbah domestik secara langsung ke badan sungai. Hal tersebut tidak terlepas dari campur tangan masyarakat pinggiran sungai dengan harapan lahannya semakin besar dan akibatnya lebar sungai semakin menyempit. Bagian tengah dan hilir Sungai Deli dominan menjadi areal pemukiman, dipenuhi oleh aktivitas masyarakat yang memanfaatkan sungai, memperluas lahan tempat tinggal sehingga hal tersebut mengarah pada penurunan dan kemampuan lahan dalam peresapan tanah. Akibatnya aliran air run off pada saat terjadi curah hujan tidak bisa secara maksimal diserap oleh tanah dan menimbulkan limpasan air yang tinggi. Di sisi lain, DAS sebenarnya berfungsi menampung air hujan dan sumber air lainnya yang kemudian mengalirkannya melalui proses aliran permukaan run-off, aliran bawah permukaan sub- surface flow, dan aliran air bumi ground water flow ke saluran-saluran drainase yang akhirnya ke sungai utama yang bermuara di laut dan danau. Dengan penurunan fungsi tersebut, maka air hujan langsung terlimpas ke sungai. Tahun 2012 yang lalu oleh pemerintah Kota Medan bantaran sungai Deli telah di bangun dinding penahan tanah untuk mencegah terjadinya abrasi dan tanah longsor yang mengancam hunian masyarakat Kampung Aur terseret arus banjir. Memang dengan adanya dinding tersebut bibir sungai Deli menjadi lebih rapi dan kelihatan Universitas Sumatera Utara bagus. Namun pada kenyataannya dengan adanya dinding penahan tanah membuat masyarakat semakin banyak yang mandi, cuci, buang air dan membuang sampah ke sungai sehingga menyebabkan kualitas air sungai Deli semakin buruk dan kuantitas air sungai semakin sedikit. Ditambah lagi akan sangat sulit jika melalui penghijauan, menanam pepohonan yang dapat berfungsi sebagai sebagai simpanan air permukaan. Dari fakta di lapangan tidak bisa dipungkiri bahwa peran areal terbuka hijau yang berfungsi untuk tata air telah berganti dengan areal beton bangunan dan aspal jalan. Dengan kondisi demikian, kapasitas infiltrasi tanah yang seharusnya dapat menyimpan air maksimum 50 dari volume limpasan run off menjadi tidak berfungsi. Alih fungsi lahan menjadi bangunan akhirnya menjadikan air hujan langsung mengalir ke sungai. Ibarat jalan tol, maka curah hujan yang rata-rata besarnya antara 3000 – 4000 mmtahun pun langsung mengalir ke sungai dan menimbulkan limpasan yang tinggi. http:atang-trisnanto.blogspot.com201303banjir-kiriman-atau-banjir- pesanan.html diakses 31 Juli 2013 pukul 13.00 WIB Banjir yang terjadi di Kampung Aur lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia itu sendiri. Banjir yang terjadi, selain karena kerusakan lingkungan di daerah hulu, juga diperparah oleh sistem tata wilayah di daerah hilir. Penyumbatan aliran sungai, pembangunan di bantaran sungai, hingga sistem saluran air yang tidak baik juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya banjir. Universitas Sumatera Utara 3.3 Pengaruh Banjir Terhadap Kehidupan Masyarakat Kampung Aur 3.3.1 Perilaku Masyarakat Kampung Aur Ketika Banjir Datang Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Kampung Aur dan dari berita- berita media cetak ataupun media elektronik, diketahui bahwa daerah Kampung Aur memang sudah menjadi langganan banjir. Bahkan menurut pengakuan Kepala Lurah Aur Ibu Yunasri Nasution, Kampung Aur sudah terkenal dari Sabang sampai Merauke karna tingginya frekuensi banjir yang terjadi di lingkungan ini. Seperti yang diceritakan oleh Pak Angkasa Silalahi yang sudah hampir setengah abad tinggal di Kampung Aur: “Kampung Aur memang sudah menjadi langganan banjir. Setidaknya di waktu musim hujan saja, banjir bisa terjadi dalam seminggu penuh. Terkadang kalau di Medan tidak hujan, tetapi kalau di Berastagi hujan, maka kami yang menjadi imbasnya karena banjir kiriman dari gunung. Ditambah lagi dengan keadaan sungai Deli yang dangkal dan banyaknya sampah membuat air cepat meluap.” Angkasa Silalahi, 65 tahun Hal senada juga diungkapkan oleh Pak Icap, mengenai banjir yang sering terjadi di Kampung Aur: “Asallah saja di Berastagi sudah hujan, walaupun di Medan panas terik, air sungai pasti akan meluap dan banjir… kalau sudah begitu, kami semua kerepotan. Yang ibu-ibu menyelamatkan anak-anak untuk di bawa ke lantai dua. Kami yang bapak-bapak menyelamatkan barang-barang elektronik ke lantai dua. Tapi kalau macam kursi-kursi plastik atau barang-barang yang mudah hanyut yang tak sempat kami naikkan, kami ikat aja ditiang supaya tak terbawa arus... Kalau kami lihat air semakin lama semakin naik dan sudah mulai menutupi rumah lantai satu kami terpaksa harus naik ke jalan pakai ban bekas dan mengungsi. Tapi karna udah seringkali banjir disini, kami udah biasa, kami Universitas Sumatera Utara dah tau kalo misalnya mau banjir, bahkan anak-anak malah senang berenang- renang, melompat dari jembatan HVA atau dari atap rumah.” Syafri Icap, 42 tahun Dapat dibayangkan kerepotan yang terjadi di Kampung Aur ketika banjir datang seperti yang diceritakan oleh Pak Icap, para warga harus menaikkan perabotan rumah tangga dan barang-barang elektronik ke lantai dua dan yang paling penting adalah menyelamatkan seluruh anggota keluarga, terutama balita. Rumah bang Budi yang kebetulan persis berada di pinggir sungai memiliki beranda yang biasanya di jadikan tempat kumpul dan tempat santai oleh warga setempat. Beranda tersebut bila di malam hari di pakai oleh beberapa pemuda yang secara sukarela meronda dan berjaga-jaga kalau misalnya banjir terjadi di malam hari. Seperti pengalaman Agus yang menceritakan bagaimana waktu bulan November 2012 yang lalu banjir datang ketika warga sedang tidur nyenyak. “Untung ada tempat ini kak beranda rumah bang Budi jadi kami bisa tidur disini sambil berjaga-jaga. Waktu aku dan teman-teman sedang jaga malam kak, kami lihat aliran sungai mulai deras tak seperti biasanya, banyak sampah dan air mulai naik semata kaki. Waktu itu kira-kira jam 12 malam. Kami segera bertindaklah, segera kami melapor sama bang Sabil Kepala Lingkungan dan memberitahukan kalau air sungai sudah naik melalui mikrofon Mesjid Ja’ami. Dalam keadaan mengantuk, kami harus membantu warga menyelamatkan keluarga dan barang-barangnya. ” Agus, 20 tahun Adapula lagi cerita dari seorang ibu tentang pengalamannya ketika banjir: “Aduh dek, kalo masalah banjir udah kayak makanan sehari-harilah, kami udah pada kenyanglah kalo banjir-banjir gini dek. Sudah jadi rutinitas kami harus Universitas Sumatera Utara menaikkan barang, menurunkan barang dari lantai dua. Kadangkan baru satu hari aja banjir surut, kami sudah bersih-bersih rumah, sudah turunkan barang- barang, ehhh malamnya banjir lagi… terpaksa harus ngangkat-ngangkat lagikan?? Tapi dah biasalah kayak gitu. Anak-anak senang kalipun kalau banjir datang, semua pada ngambil ban dan berenang-renang, kadang melompat dari jembatan HVA…. Karna udah sangking seringnya tempat ini banjir dek, nggak pernah ada orang yang hanyut ataupun meninggal karna banjir.” Syarifah, 30 tahun Spradley 1997:10 mengungkapkan bahwa kebudayaan sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Dengan kebudayaan sebagai sistem pengetahuan yang di miliki oleh masyarakat Kampung Aur, mereka melewati proses belajar yaitu dengan melihat bagaimana keadaan sungai ketika banjir hendak datang, dengan demikian mereka mampu menyusun strategi dan berkomunikasi dengan sesamanya, bagaimana caranya agar tidak ada korban jiwa. Dan dengan sistem pengetahuan yang mereka miliki mereka mampu beradaptasi, salah satunya dengan membangun rumah menjadi dua tingkat.

3.3.2 Perilaku Masyarakat Kampung Aur Setelah Banjir Surut