4.1. Penentuan Kondisi Alat Kromatogafi Gas yang Optimum
Kadar residu glifosat dalam CPO ditentukan dengan kromatografi gas menggunakan detektor penangkap elektron. Untuk mendapatkan hasil yang baik,
terlebih dahulu dicari kondisi optimum dari sistem kromatografi.
Pada analisis residu glifosat dengan metode kromatografi gas pada CPO, langkah pertamayang dilakukan adalah dengan mencari kondisi optimum dan
kesesuaian sistem kromatografi gas yang akan digunakan agar sistem dapat memisahkan residu glifosat dalam analit dengan baik. Sistem kromatografi gas
diatur sedemikian rupa sehingga didapat teknik analisis yang optimum dimana gas pembawa yang digunakan adalah gas Nitrogen dengan detektor penangkap
elektron sehingga akan terjadi penangkapan elektron oleh senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menagkap elektron bebas tersebut. Dalam
detektor, gas akan terionisasi oleh partikel yang dihasilkan dari Ni
63
. Jenis detektor ini peka terhadap senyawa halogen, karbonil terkonjugasi, nitril, nitro,
dan organo logam.
Temperatur kolom mulai 70
O
C kemudian ditahan selama 2 menit sampai dengan 300
O
C yang ditahan selama 2 menit. Suhu kolom diatur terprogram dimana tiap permenitnya suhu di kolom akan mengalami kenaikan 20
o
C. Temperatur injeksi 325
O
C dan temperatur detektor 325
o
C. Suhu detektor lebih tinggi dibandingkan dengan suhu kolom sehingga komponen yang dianalisis dapat
terdorong keluar dari kolom menuju detektor. Sebelum detektor dinyalakan laju aliran gas pembawa Nitrogen diukur dengan flow meter dengan mengatur knob
colomn head pressure karena laju aliran gas pembawa Nitrogen sangat berpengaruh terhadap waktu retensi. Laju aliran gas pembawa Nitrogen dalam
sistem kromatografi gas yang digunakan yaitu 1mLmenit. 31
Universitas Sumatera Utara
Kolom yang dipakai adalah jenis jenis Rtx-1
®
yang mengandung fase diam dimethyl polysiloxane 100 pabrikan Crossbond
®,
, panjang kolom 15 m, diameter dalam 0,25 mm dan ketebalan film 0,25 µ m.
Dalam proses injeksi sampel ke dalam sistem kromatografi ada dua cara yang dilakukan yaitu injeksi split dan injeksi splitless. Injeksi split merupakan
teknik pemecah suntikan dimana jika ada 1µL sampel dimasukkan ke dalam ruang suntik maka akan terpecah dua dimana hanya 0,01µL yang akan masuk ke kolom
dan sisanya dibuang Rohman, 2007. Hal ini menyebabkan kesensitivitasan alat kromatografi gas dalam mendeteksi residu glifosat akan semakin kecil. Ini
ditunjukkan pada penggukuran standar glifosat 5µgmL tampak bahwa bentuk dari kromatogram yang dihasilkan kurang baik seperti pada Gambar 3 di bawah
ini.
Gambar 3. Kromatogram standar glifosat 5µgmL dengan metode split
Sementara itu, injeksi splitless merupakan kebalikan dari injeksi secara split dimana sampel lebih banyak masuk ke dalam kolom dibandingkan dengan
yang dibuang. Ini terlihat jelas seperti tampak pada Gambar 4 di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Dimana kromatogram yang dihasilkan pada pengukuran konsentrasi standar glifosat 5µgmL sangat baik dan jelas.
Gambar 4. Kromatogram standar glifosat 5µgmL dengan metode splitless
Dilihat perbandingan metode injeksi di atas tampak bahwa metode injeksi secara splitless sangat baik untuk pengukuran konsentrasi standar glifosat
selanjutnya juga dalam proses recovery senyawa glifosat dalam minyak kelapa sawit bebas cemaran residu glifosat serta analisis residu glifosat dalam CPO.
Senyawa glifosat terdeteksi pada waktu retensi ±5 menit, hal ini menunjukkan secara kualitatif adanya senyawa glifosat pada analit yang diteliti pada waktu
retensi tersebut.
Waktu retensi merupakan waktu sejak penyuntikan sampai maksimum puncak. Sifat ini merupakan ciri khas sampel dan fase cair pada suhu tertentu.
Tiap senyawa hanya memiliki satu waktu retensi saja, dimana waktu retensi ini tidak terpengaruh oleh adanya komponen lain Bonelli, 1988.
4.2. Pembuatan Kurva Kalibrasi Standar Glifosat