Latar belakang masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Runtutan penjajahan dari satu masa kemasa lainnya telah membawa Indonesia kedalam struktur ekonomi kolonialistik. Sistem ekonomi yang berwatak penjajahan ini hanya difungsikan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang dengan merampas kedaulatan rakyat. Sementara itu, kesalahan masa lalu tidak pernah menjadi cermin bagi pemerintah Indonesia. Pembangunan secara umum masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yakni berorientasi pada pertumbuhan tanpa memperdulikan proses distribusi kesejahteraan yang semakin timpang. Akibatnya terjadi pemusatan kapital yang hanya didominasi oleh kekuatan korporat dan konglomerasi. Padahal secara prinsipil, kita mengenal trilogi pembangunan yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas nasional yang dinamis dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Hal ini menjadi ciri struktur ekonomi bangsa. Sementara itu, sebagian besar rakyat hanya menjadi kuli di negerinya sendiri. Paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan telah membawa kondisi sosial dan ekonomi Indonesia menjadi terpuruk. Saat ini arah pembangunan masih diarahkan semata-mata pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ekspor. Ujung-ujungnya, kondisi sosial ekonomi menjadi keropos dan negara tidak mampu memenuhi hak sebagian besar rakyatnya untuk hidup layak dan bermartabat. Universitas Sumatera Utara 1 Hal di atas juga menimpa salah satu sektor publik yang paling di dominasi oleh masyarakat Indonesia yaitu pertanian. Sektor pertanian merupakan jantung kehidupan pedesaan. Selain berfungsi sebagai penjamin kedaulatan pangan bangsa, sektor ini juga telah menjadi tulang punggung kekuatan ekonomi nasional. Sebagai negara agraris, bagian terbesar dari penduduk Indonesia bermata pencaharian pokok sebagai petani. Hal ini berarti sumber ekonomi dan sosial penduduk sangat tergantung pada tata produksi dan hasil-hasil pertanian. Dengan demikian, persoalan pertanian sesungguhnya merupakan masalah pokok bagi masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Sekitar 46 persen rakyat Indonesia terserap di sektor ini, dan dari sembilan sektor yang ada, sektor pertanian adalah sektor penyumbang upah terbesar dari kontribusinya terhadap PDB yaitu sebesar 47.8 persen. Sementara itu sektor lainnya seperti pertambangan, listrik, gas dan air, serta sektor keuangan dan jasa hanya menyumbangkan pengembalian berupa upahpendapatan masing-masing sebesar 5,6 persen, 21,67 persen dan 7,55 persen dari GDP yang disumbangkan. Namun sayang, peran pertanian yang sangat vital ini tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk memprioritaskan penguatan dan pembangunan sektor pertanian dan pedesaan. BPS,2009 Dalam pemenuhan kebutuhan pangan, pemerintah mengimplementasikannya melalui revolusi hijau yang berideologi developmentalisme-modernisme. Ideologi inilah yang akhirnya membawa dampak buruk terhadap struktur ekonomi, sosial budaya, demografi, dan struktur Universitas Sumatera Utara 1 penguasaan sumber agraria. Dalam struktur ekonomi revolusi hijau telah membawa ketimpangan dalam kecepatan pertumbuhan ekonomi yang akhirnya menimbulkan polarisasi asset. Hal ini berimbas pada struktur sosial yang menyebabkan adanya ketimpangan pendapatan dan penguasaan lahan antar kelompok yang semakin menajam dan semakin meningkatkan potensi konflik serta melumpuhkan etika kehidupan sosial di desa. Konflik yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat tani adalah konflik agraria. Salah satu penyebab konflik agraria adalah ketidakadilan dalam struktur penguasaan dan pemilikan terhadap sumber-sumber agraria. Penguasaan atas perkebunan, kehutanan, pertambangan saat ini hanya didominasi segelintir individu dan perusahaan-perusahaan besar nasional dan asing seperti London Sumatera, Exxon, New mont, Freeport, Caltex dan lainnya yang luasnya hingga mencapai jutaan hektar. Situasi tersebut telah mendorong timbulnya ribuan konflik-konflik yang bersandar kepada perebutan penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan dan kepemilikan atas sumber-sumber agraria, baik yang sifatnya vertikal, horizontal maupun gabungan antara keduanya. Umumnya konflik yang terjadi selalu mengakibatkan petani, masyarakat adat ataupun yang termarjinalkan lainnya. Ya’kub, 2007:vii. Jelas memang hal yang paling mendasari timbulnya perlawanan kaum tani adalah ketimpangan yang terjadi akibat pola penguasaan lahan dalam struktur sosial. Pola penguasaan tanah di desa tempat petani melakukan usaha pertaniannya menyangkut masalah sebegitu rumitnya untuk dikuasai karena meliputi aspek yang sangat erat dengan nilai ekonomi, politik, hukum maupun sosialnya. Pada akhirnya dari beberapa pandangan tersebut menempatkan posisi Universitas Sumatera Utara 1 tanah menjadi rentan terhadap manipulasi pandangan yang bersifat ekonomis dan memposisikan tanah menjadi faktor produksi mutlak. Sehingga akibat dari paradigma berikut makin lama tanah menjadi barang yang langka dan mendorong perbandingan antara tanah dengan jumlah manusia terjadi ketimpangan yang begitu lebar. Hal ini dikarenakan oleh fungsi tanah yang mewadahi semua kegiatan manusia. Dimana pada zaman romawi kuno, konsep-konsep tentang lingkungan sumber daya alam dan pertambangan belum dikenal akibat terpusatnya kegiatan manusia pada kegiatan berburu dan bercocok tanam. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah, agraria tidak hanya dapat diartikan sederhana sekadar “tanah” atau “pertanian” saja. Kata-kata pedusunan, bukit dan wilayah atau teritori jelas menunjukkan arti yang lebih luas karena didalamnya termaktub segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Yakub,2007:2 Dalam setiap sumber agraria terlihat hubungan-hubungan agraria yang sangat kompleks. Hubungan agraria bukan hanya berupa hubungan antara manusia dengan objek-objek agraria khususnya tanah melainkan juga menyangkut hubungan subjek-subjek agraria secara sosial dan ekonomi bahkan politis. Situasi tersebut membentuk suatu struktur penguasaan, kepemilikan dan kepengelolaan dari sumber-sumber agraria. Jika setiap hubungan berjalan harmonis maka konflik relatif tidak muncul, sebaliknya jika terjadi ketimpangan maka konflik akan datang. Konflik agraria terjadi apabila terdapat benturan kepentingan intra dan antar subjek agraria ataupun tumpang tindih klaim atas akses terhadap objek agraria. Pada dasarnya, gejala konflik dalam hubungan agraria itu selalu ada baik Universitas Sumatera Utara 1 itu bersifat laten maupun manifest. Gejala konflik berakar dari tiga hal yaitu sebagai berikut : 1. Siapa yang berhak menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan alam yang menyertainya. 2. Siapa yang berhak memanfaatkan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam itu. 3. Siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfataan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam tersebut. Yakub,2007 : 3 Secara umum konflik agraria diawali dengan persengketaan atas sumber agraria, yang pada perkembangannya menjelma menjadi konflik yang kompleks. Intensitas konflik makin tinggi seiring dengan kebijakan-kebijakan di bidang agraria dikawal oleh suatu kekuatan besar berupa alat pemerintah maupun terlibatnya alat Negara seperti kepolisian dan militer. Sehingga yang terjadi adalah praktek dalam bentuk pemaksaan kehendak. Berbicara tentang penguasaan atas tanah tidak terlepas dengan penguatan legalitas kebijakan hukum di dalamnya. Jika kita lebih melihat secara sejarah kebijakan tanah yang ada ketika inggris menjajah Indonesia 1811-1816, legalitas agraria diatur melalui Domain Theory Raffles , yaitu kebijakan agraria didasarkan atas dan bertujuan untuk menarik pajak bumi dengan dalil bahwa tanah adalah milik RajaNegaraPemerintah. Setelah Van den bosch memegang kendali pemerintahan, selain dikeluarkan sistem tanam paksa, para petani juga diwajibkan Universitas Sumatera Utara 1 ikut membangun proyek-proyek besar waduk, jalan raya, kereta api dan bekerja diperkebunan. Kebijakan ini kemudian diganti oleh Agrarische Wet yang menetapkan asas domain veklaring, suatu prinsip yang mengatakan semua tanah tidak ada bukti kepemilikannya atau tanah terlantar adalah domain Negara. Setelah itu dikeluarkanlah Undang-Undang Agraria 1870 yang mengakomodasikan swasta Belanda berbisnis di Indonesia. Kenyataannya, perilaku berbisnis swasta Belanda yang eksploitatif terhadap petani dan lebih dari itu selalu berusaha memperoleh kepastian menjangkau penyediaan tanah dalam waktu yang panjang. Mengingat struktur kepemilikan dan penguasaan tanah masih timpang, maka setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno membuat kebijakan untuk penataan agraria, suatu kebijakan yang sangat populis dan nasionalis. Asumsinya, penataan kepemilikan dan penguasaan agraria perlu dilakukan sebelum dilakukan industrialisasi Suhendar dan Kasim,1995 : 15 Para pendiri bangsa telah merumuskan suatu kebijakan hukum yang populis dan mampu menjamin tanggung jawab nilai kerakyatan pertanian pemerintah. Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria UUPA menjadi sinyal tersendiri bagi keadilan atas penguasaan tanah tersebut, karena UU ini dianggap representatif untuk menyelesaikan konflik agraria yang ada. Karena UUPA dijalankan dengan orientasi penyediaan tanah untuk penggarap. Akan tetapi dalam proses implementasi dari undang-undang tersebut mengalami banyak kesulitan tentang frame berpikir penguasa di negeri ini. Universitas Sumatera Utara 1 UUPA tahun 1960 menegaskan batasan agraria sebagai bumi, air dan angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Artinya pengertian agraria jauh lebih luas dari pengertian tanah seperti yang di anut di mata masyarakat umum. Ruang lingkup agraria mencakup pertanahan UUPA 1960 menyebutnya sebagai permukaan bumi, termasuk tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air sehingga mencakup pertambangan; Air, termasuk air pedalaman maupun laut di wilayah indonesia termasuk kekayaan laut itu sendiri; dan ruang angkasa, yaitu ruang atas bumi dan air tersebut. Prinsip Negara sebagai penguasa tertinggi dilandasi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menempatkan negara sebagai pemilik agraria, melainkan penguasa agraria. Penjabaran Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 ini tertuang dalam Pasal 1 ayat 2 UUPA yang menyatakan ... bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara .... Pengkhianatan terhadap UUPA dimulai ketika berkuasanya rezim orde baru. Relasi kekuasaan antara petani yang diklasifikasikan sebagai rakyat dengan kekuasaan Negara terbentuk saling berkonfrontasi. Hal ini disebabkan karena cerminan pemerintahan orde baru sangat jauh dari harapan mengenai penjaminan kesejahteraan petani. Kondisi tersebut sangat jelas terlihat dengan banyaknya kebijakan dan perundangan yang banyak mengadopsi pengaruh modal daripada mewujudkan nilai-nilai dan semangat kerakyatan. Kebijakan tersebut dapat dilihat dengan banyak dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk eksploitasi sumber-sumber agraria dengan menyandarkan aktivitasnya kepada lembaga-lembaga pembangunan Universitas Sumatera Utara 1 multilateral dan perusahaan-perusahaan internasional. Bahkan didapati peraturan perundang-undangan berkenaan dengan alokasi sumber-sumber agraria tersebut justru tidak berorientasi dari UUPA dan menjadikan pengaturan masalah ini kepada masalah sektoral. Di tambah lagi dengan timbulnya UU yang secara asas bertentangan dengan UUPA tersebut, seperti Undang-undang No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan, Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, Undang-undang No. 7 tahun 2004 sumber daya air, Undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang pertambangan dan Undang-undang No.25 tahun 2007 tentang penanaman modal. Yang kesemua produk undang-undang tersebut sangat jelas menjurus pada sebuah akumulasi modal dan memberikan jalan untuk pemodal untuk menanamkan asetnya di pedesaan. Akibatnya, dengan adanya Undang- undang yang ada setelah itu dengan secara tidak langsung me”mandul”kan UUPA yang telah ada. Nasib petani di pedesaan semakin terpuruk ketika pemerintah memilih paradigma pembangunan yang mengacu kepada hasil konstruksi kekuatan capital global. Yang kenyataannya sangat problematika kepada petani dengan ditopang investasi modal asing secara besar-besaran melalui industrialisasi yang untuk keperluan operasionalnya memerlukan tanah. Akibatnya tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Proses ini tanpa disadari telah mengintegrasikan petani dengan tanahnya kedalam sistem kapitalisme melalui ekspansi pasar dengan fasilitas intervensi kebijakan Negara. Selain munculnya kebijakan nasionalisasi aset kolonial yang sebenarnya terdapat pula tanah rakyat didalamnya, juga terjadi konversi hak erfpacht yang Universitas Sumatera Utara 1 diperebutkan dengan rakyat menjadi HGU untuk diberikan pada perusahaan perkebunan swasta maupun pemerintah dalam bentuk perusahaan daerah perkebunan. Meskipun kebijakan agraria dalam UUPA terdapat peraturan yang memfasilitasi perlunya peninjuan kembali tentang terhadap penguasaan tanah untuk rakyat, namun makna Land reform yang populistik yang menjiwai UUPA tak pernah dijalankan. Situasinya semakin problematik dimana intervensi kekuatan dan kekuasaan bukan saja dilakukan oleh Negara, melainkan juga kekuatan pasar. Kecenderungan tersebut telah menegaskan bahwa yang dihadapi petani tidak saja Negara, tetapi juga kekuatan pasar global global capitalism yang pengaruhnya semakin kuat. Pada zaman orde baru yang sebegitu kuat, Negara dengan aparatnya yang tersebar di pelosok pedesaaan telah menjadi agen pembangunan secara efektif dan efisien. Sementara dalam konteks kekinian, kekuatan pasar justru semakin merajalela dan sulit dikontrol, termasuk oleh Negara sekalipun. Pasar mampu dan dengan leluasa membentuk dan menawarkan sesuatu yang menguntungkan bagi siapa saja baik individual, kelompok, organisasi sosial keagamaan dan bahkan pemerintahan lokal untuk bisa menjadi agen kepentingannya. Berbagai kebijakan Negara dan pengaruh ekonomi global sebagaimana dikemukakan diatas secara langsung atau tidak telah menyebabkan petani semakin banyak kehilangan tanahnya. Paling tidak ada 25 petani memiliki 74,8 lahan dengan luas 1-5 ha. 75 sisanya hanya menguasai 25,8 lahan dengan luas 0,1- 0,99 ha KPA, 2002. Dari data yang ada tersebut selain mengindikasikan bagaimana petani di pedesaan harus berjuang menyambung hidup pada lahan Universitas Sumatera Utara 1 pertanian yang semakin terbatas, juga memperlihatkan bagaimana para petani mempertaruhkan eksistensinya sebagai petani. Faktor kesenjangan penguasaan dan kepemilikan tanah dan terancamnya eksistensi diri para petani pada gilirannya menjadi penyebab utama terjadinya konflik pertanahan di pedesaan yang sejak belakangan ini kian marak. Arah dari serangkaian kebijakan neoliberalisme ini pada garis besarnya adalah mencabut kedaulatan petani pada sumber-sumber agraria, tidak hanya tanah tetapi benih, pupuk, teknologi, kredit, termasuk juga pasar. Kehidupan petani yang sebelumnya dihantui ketidakjelasan, dengan demikian semakin parah dengan rasa ketidakmenentuan. Kehidupan petani semakin hari bukannya semakin membaik, melainkan justru semakin tertekan dan terperosok ke dalam arus kemiskinan struktural. Semuanya itu mengakibatkan kemarahan dan rasa frustasi yang mendalam. Pada saat yang sama, rakyat petani selain tidak dapat memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya melalui institusi-institusi, juga tidak cukup mempunyai kemampuan mengekspresikan emosi secara wajar sehingga persoalan-persoalan yang muncul kemudian diarahkan menjadi kekerasan massa yang kerapkali brutal, destruktif dan radikal terhadap sasaran-sasaran yang dianggap menjadi simbol-simbol kekuasaan Negara dan pasar. Masyarakat petani merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih luas. Tata kehidupannya merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih makro, seperti sistem sosial kemasyarakatan, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Dengan demikian, persoalan pertanian sesungguhnya merupakan masalah pokok bagi Universitas Sumatera Utara 1 masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu, petani juga tidak berhenti pada satu titik saja, petani akan mengalami dinamika kehidupan. Mereka senantiasa terkait dengan perubahan sosial, dimana salah satu caranya adalah melakukan gerakan petani. Gerakan ini bukan sebagai suatu reaksi tetapi juga sebaga wahana untuk mencapai tujuan- tujuan perubahan. Gerakan petani merupakan salah satu jenis dari gerakan sosial, artinya gerakan petani itu adalah gerakan sosial yang dilakukan oleh petani. Gerakan petani merupakan gerakan reformatif, karena ia menghendaki perubahan terhadap sebagian sistem yang melingkupi kehidupannya. Gerakan petani dapat masuk dalam gerakan fase kedua, yakni fase dimana gerakan sosial sering disebut sebagai proses politik, tindakan rasional, model mobilisasi sumber tentang tindakan kolektif serta tentang gerakan itu sendiri. wahyudi, 2005 : 6. Dikalangan petani berkembang anggapan, bahwa tidak banyak pihak yang bersedia membantu secara penuh untuk membantu mengentas meeka dari posisi keterpurukan. Dalam perspektif marxis, Bahwasanya hanya suatu pihak yang dapat mengambil inisiatif revolusioner untuk melakukan reformasi agraria yaitu petani itu sendiri Mustain,2007:15. Proses perlawanan yang dilakukan oleh kaum tani tersebut tidak terlepas dari aktivitas-aktivitas organisasi yang banyak muncul untuk memperjuangkan kaum tani. Karena dalam berprilaku secara organisasilah petani dapat di stimulus Universitas Sumatera Utara 1 kesadaran akan ketertindasan mereka. Pada bulan November 1945, diselenggarakan kongres petani yang pertama dan dalam kongres tersebut lahirlah Barisan Tani Indonesia BTI. Kemudian disusul kelahiran Rukun Tani Indonesia RTI dan Sarekat Kaum Tani Indonesia Sakti. Pada tahun 1947 berdiri Serikat Tani Islam Indonesia STII yang disponsori oleh Masyumi. Menyusul PETANI yang banyak dinilai dekat dan PNI dan PETANU yang dekat dengan NU. Organisasi-organisasi tani tersebut, khususnya BTI kemudian berkembang dengan pesat, bahkan pada akhir tahun1955, anggota BTI telah mencapai angka 3 juta lebih dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Gerakan petani paska berdirinya organisasi tani modern tersebut tidak dapat dilepaskan dari gerakan massa rakyat dalam revolusi Indonesia. Program perjuangan dari organisasi tani khususnya BTI, RTI dan Sakti yang dikemudian hari meleburkan diri menjadi BTI digariskan dengan tegas yakni anti imperialisme dan juga anti feodalisme dengan memperjuangkan terlaksananya land reform. Organisasi tani inilah yang secara aktif menuntut nasionalisasi perusahaan asing dan pelaksanaan secara konsisten UUPA 1960. Pasca 1966, orde baru mempraktekkan kebijakan yang sangat mengekang kebebasan berorganisasi bagi kaum tani. Satu-satunya organisasi yang direstui oleh orde baru adalah HKTI, dan apabila kaum tani menolak masuk HKTI atau mendirikan organisasi sendiri maka akan dicap sebagai pembangkangan terhadap pemerintah. Demikian juga aturan tentang partai politik yang tidak diperbolehkan membentuk ranting sampai tingkat desa, merupakan upaya dan strategi orde baru untuk memberangus kesadaran politik kaum tani. Dan ini terbukti berhasil, di mana selama 32 tahun, kaum tani di Indonesia dibuat buta tentang politik dan Universitas Sumatera Utara 1 menganggap hal yang tabu untuk berbicara atau berurusan dengan politik. Protes dan ketidakpuasan petani juga banyak dihadapi dengan kekerasan oleh orde baru, sehingga menimbulkan ketakutan yang mendalam di kalangan kaum tani. Dapat dikatakan, selama Soeharto berkuasa, gerakan tani mengalami kemunduran yang luar biasa. Pasca Soeharto jatuh pada tahun 1998, kebebasan demokratik terbuka lebih lebar dibanding masa sebelumnya. Sehingga kemudian gerakan petani mengalami kebangkitan kembali. Aksi aksi petani menuntut dikembalikannya tanah-tanah yang dulu dirampas orde baru semakin marak terjadi di mana-mana bahkan sampai dilakukannya reklaiming dan pendudukan tanah. Demikian juga tuntutan untuk dilaksanakannya UUPA 1960 semakin bertambah besar. Organisasi-organisasi independen yang didirikan oleh kaum tani sendiri, baik di tingkat desa, kabupaten, provinsi bahkan nasional banyak bermunculan. Keberanian kaum tani dalam menyuarakan pendapat dan memperjuangkan kepentingannya semakin bertumbuh-kembang. Sekalipun demikian tetap harus menghadapi sikap yang keras dan represif dari negara, Khusus di Sumatera Utara, semangat perjuangan tani merupakan upaya untuk pemecahan masalah sosial yang mengakibatkan kondisi petani hanya menjadi kuli dirumah sendiri. Ketimpangan model penguasaan agraria terjadi akibat mengencangnya intervensi modal dan penjajahan fisik zaman kolonial Pada tahun 1950, banyak bermunculan organisasi tani yang secara tidak langsung saling bersaing dalam menguasai basis massa. Sehingga menjadi perhatian dari organisasi yang berskala nasional. Organisasi PETANI Persatuan Tani Nasional Indonesia yang bernaung dibawah payung Partai Nasional Indonesia PNI, Universitas Sumatera Utara 1 Barisan Tani Indonesia BTI sebagai underbouw PKI muncul sebagai organisasi yang kuat dan mendapat pengaruh yang luas ditingkatan nasional dan berdiri tahun 1951 di Sumatera utara. Era kekinian pasca reformasi, semangat perjuangan tani di Sumatera Utara belum berubah secara substansi. Gejolak perlawanan yang dilakukan oleh kaum petani menjadi alternatif sikap petani untuk mendapatkan keadilan. Karena jika melewati prosedural resmi tersebut tidak mungkin dapat memperoleh persetujuan, maka mereka menempuh dengan cara kekerasan, sehingga gerakan ini disebut dengan aksi sepihak. Kondisi di atas persis dengan metode perjuangan yang dilakukan oleh Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara yang berorientasi pada reforma agraria pembaharuan agraria, reforma agraria sendiri adalah suatu upaya korektif untuk menata ulang struktur agraria yang timpang, yang memungkinkan eksploitasi manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendi kepada keadilan agraria. Keadilan agraria itu sendiri adalah suatu keadaan dimana tidak ada konsentrasi berlebihan dalam penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria pada segelintir orang. Yakub,2007 : 10 Adapun semangat perjuangan Serikat petani wilayah Sumatera utara tersebut menuju pada upaya pelaksanaan pembaharuan agraria dimulai dari dilaksanakannya program land reform, yaitu suatu upaya yang mencakup pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usaha tani, dan perubahan skala pemilikan. Kemudian dilanjutkan dengan peningkatan kemampuan petani dengan berbagai program-program pendidikan, upaya penyediaan kredit, pemilikan Universitas Sumatera Utara 1 teknologi pertanian, sistem perdagangan yang adil, dan mendorong tumbuhnya organisasi-organisasi massa petani dan koperasi petani, serta infrastruktur lainnya. Secara umum, tujuan gerakan SPI ini adalah untuk tujuan sosial-ekonomi, sosial- politik dan sosial-budaya Dari peninjauan sebelumnya, tercatat ada 13 kabupatenkota yang telah menyebar organisasi ini. Secara struktural Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia di Sumatera Utara sebagai pimpinan tertinggi di wilayah Sumatera Utara menanggung jawabi kesemua itu sampai ketingkatan desa. Maka atas dasar orientasi perjuangan yang dilakukan oleh Serikat Petani Indonesia wilayah Sumatera utara yang fokus terhadap permasalahan petani yang semakin jauh dari rasa keadilan, dengan hal itulah penulis ingin melakukan penelitian untuk melihat bagaimana pola pengorganisasian tani yang dilakukan Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara secara kongkrit.

1.2 Perumusan masalah