Dari Buruh Perkebunan Ke Petani : Pengaruh Gerakan 30 September Terhadap Masyarakat Desa Baja Dolok Kabupaten Simalungun (1973-2000)

(1)

DARI BURUH PERKEBUNAN KE PETANI : PENGARUH

GERAKAN 30 SEPTEMBER TERHADAP MASYARAKAT DESA BAJA DOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN (1973-2000)

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA : RATNA SARI NIM : 090706030

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMAETRA UTARA MEDAN

2013 FA

K ULTA

S

IL M

U B UDAY


(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

DARI BURUH PERKEBUNAN KE PETANI : PENGARUH

GERAKAN 30 SEPTEMBER TERHADAP MASYARAKAT DESA BAJA DOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN (1973-2000)

Yang Diajukan Oleh : Nama : Ratna Sari NIM : 090706030

Telah Disetujui Untuk Diajukan Dalam Ujian Skripsi Oleh : Pembimbing

Drs. S P. Dewi Murni, M.A. Tanggal, 20 Juli 2013 NIP : 195408141984032002

Ketua Departemen

Drs. Edi Sumarno, M.Hum Tanggal, 22 Juli 2013 NIP : 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

DARI BURUH PERKEBUNAN KE PETANI : PENGARUH

GERAKAN 30 SEPTEMBER TERHADAP MASYARAKAT DESA BAJA DOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN (1973-2000)

Skripsi Sarjana Dikerjakan Oleh :

Ratna Sari 090706030

Pembimbing

Dra. S P. Dewi Murni, M.A. NIP : 195408141984032002

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Ilmu Budaya Dalam Bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Lembar Persetujuan Ketua Jurusan

Disetujui Oleh :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum. NIP : 196409221989031001


(5)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN :

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Ilmu Budaya Dalam Bidang Ilmu Sejarah Pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada : Hari : Sabtu Tanggal : 27 Juli 2013

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP : 195110131976031001

Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno. M. Hum. ( ……... )

2. Dra. Nurhabsyah, M. Si. (……….. )

3. Dra. S P. Dewi Murni, M.A. (………)

4. Drs. Wara Sinuhaji, M. Hum. (………)


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya

sehingga skripsi dengan judul “DARI BURUH PERKEBUNAN KE PETANI:

PENGARUH GERAKAN 30 SEPTEMBER TERHADAP MASYARAKAT DESA BAJA DOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN (1973-2000)” ini dapat selesai tepat waktunya. Skripsi ini disusun sedemikian rupa agar para pembaca mendapatkan kemudahan dalam memahami maksud dan tujuan dari skripsi ini.

Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini. Karena tanpa dukungan dari semua pihak, tentu penulis mengalami berbagi kesulitan. Kepada dosen yang telah banyak membimbing penulis sehingga ilmu yang diperoleh penulis dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Penulis menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Jadi apabila di dalam skripsi ini terdapat kesalahan ataupun kekurangan penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dilain kesempatan penulis dapat memberikan perbaikan ataupun penyajian yang lebih baik dari sekarang.

Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan semoga skripsi ini berguna dan dapat dimanfaatkan dengan baik.

Medan, Juli 2013


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan, meskipun banyak hambatan dan kekurangan. Shalawat beriring salam penulis persembahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan sekaligus untuk meraih gelar kesarjanaan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Penulisan ini juga tidak akan pernah dapat terwujud tanpa bantuan, kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, inilah saat yang tepat bagi penulis untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada :

1. Kedua orang tuaku Ibunda Suyati dan Ayahanda Slamat yang telah memberikan dukungan, kasih sayang, perhatian, pengorbanan serta do’a yang tak pernah henti sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

2. Dekan Fakultas Sastra, Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., serta Pembantu Dekan I, Bapak Dr. M. Husnan Lubis, M.A., Pembantu Dekan II, Bapak Drs. Samsul Tarigan, dan Pembantu Dekan III, Bapak Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menjalani ujian meja hijau agar mendapatkan gelar kesarjanaan.

3. Ketua Departemen Sejarah, Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, yang telah

memberikan banyak bantuan, kemudahan serta pengalaman selama penulis menjalani masa perkuliahan. Terima kasih juga kepada sekretaris Departemen Sejarah, Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si. yang terus memacu semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(8)

4. Ibu Dra. S.P Dewi Murni, M.A. selaku dosen wali dan dosen pembimbing yang telah banyak memberikan nasehat, sabar membimbing penulis, meluangkan waktu serta memberikan masukan dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

5. Seluruh staf pengajar di Departemen, terima kasih penulis ucapkan atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama ini semoga nantinya menjadi manfaat bagi penulis.

6. Seluruh informan yang sudah memberikan keterangan dan penjelasan selama

proses pengumpulan data di lapangan. Kepada kakekku tersayang Alm.Ngadiran terima kasih telah menginspirasi penulis untuk menulis tentang buruh perkebunan yang terlibat PKI.

7. Bang Ampera Wira yang banyak membantu penulis selama menjalani

perkuliahan.

8. Kakak-kakakku Yayuk Juliana, Indra Sebayang, Ika Handayani dan adikku Rena Lestari terima kasih atas doa, semangat dan dukungannya baik secara moril maupun materil. Meskipun kalian cerewet tetapi selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ketika penulis merasa malas dan jenuh.

9. Sahabatku Nia dan Lisa Keter terima kasih telah menemani hari-hari yang tak akan terlupakan, jangan pernah lelah dengan perjalanan ini, semoga kita akan memakai toga di hari yang sama.


(9)

10.Terima kasih banyak kepada seperti Elisa, Mumus, Toti, Wifky, Dara, Shinta, Rona, Sigmer, Andri, dan teman-teman stambuk 2009 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga kenangan kita di masa perkuliahan tak pernah terlupakan. 11.Teman seperjuanganku ketika bekerja di Carrefour, Hendra, Alpa dan Roni yang

menjadi teman di kampus, di tempat bekerja , dan kebersamaan ketika bergabung menjadi partisipan di Badan Warisan Sumatera.

12.Sepupuku Diana dan Sindi, terima kasih atas doa, semangat dan bantuan selama penulis mengumpulkan data di lapangan, untuk Diana cerewet semangat buat kuliahnya, biar jadi ustadzah.

13.Terakhir untuk aa Rudi Ruhyadi, terima kasih atas do’a, dukungan, pengertian dan perhatian yang selalu diberikan saat penyusunan skripsi ini.

Medan, Juli 2013


(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Dari Buruh Perkebunan Ke Petani : Pengaruh Gerakan 30 September Terhadap Masyarakat Desa Baja Dolok Kabupaten Simalungun (1973-2000), yaitu peralihan mata pencaharian buruh perkebunan menjadi petani setelah terjadinya peristiwa G 30 S 1965 hingga pada tahun 1973 mereka dikeluarkan dari pondok perkebunan dan memilih menetap di wilayah perkampungan menjadi petani.

Baja Dolok merupakan desa yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun. Mayoritas penduduknya adalah orang Jawa yang merupakan keturunan kuli kontrak. Wilayah desa ini terbagi menjadi dua yaitu wilayah perkampungan dan pondok perkebunan kelapa sawit. Setelah terjadinya peristiwa G 30 S 1965 para buruh yang berdiam di pondok perkebunan mulai memasuki wilayah perkampungan dan melakukan peralihan mata pencaharian menjadi petani.

Tulisan ini membahas tentang latar belakang para buruh perkebunan melakukan peralihan mata pencaharian menjadi petani, juga membahas kehidupan buruh perkebunan sebelum mereka melakukan peralihan mata pencaharian. Kemudian membahas mengenai kehidupan buruh setelah menjadi petani di wilayah perkampungan dan kehidupan sosial budaya mereka di wilayah yang baru.

Dalam tulisan ini penulis berusaha mendeskripsikan bagaimana kehidupan buruh eks PKI setelah beralih mata pencaharian menjadi petani, di mana sebagai orang Eks- PKI memiliki keterbatasan berbuat dalam lingkungan masyarakat pada masa Orde Baru.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kehidupan buruh di perkebunan, mengetahui latar belakang peralihan buruh perkebunan menjadi petani dan membahas kehidupan buruh setelah menjadi petani.

Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode sejarah, yaitu Heuristik (pengumpulan sumber), Verifikasi (kritik sumber), Interpretasi dan yang terakhir adalah Historiografi (penulisan). Pada tahap heuristik, penulis menggunakan dua metode penelitian yakni, metode kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field Research) melalui wawancara.

Hasil dari penelitian di lapangan menunjukkan bahwa kehidupan buruh perkebunan yang bergabung dengan SARBUPRI dan Gerwani pada tahun 1973 dikeluarkan dari pondok perkebunan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, setelah pindah ke perkampungan mereka beradaptasi dengan lingkungan baru dan menyandang status eks-PKI. Keberhasilan ekonomi setelah menjadi petani menyebabkan perkembangan dalam bidang pendidikan sehingga meleburkan identitas mereka sebagai eks-PKI.


(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan dan Manfaat ... 6

1.4. Tinjaun Pustaka ... 7

1.5. Metode Penelitian ... 9

BAB II GAMBARAN UMUM DESA BAJA DOLOK ... 13

2.1. Letak dan Keadaan Desa ... 13

2.2. Sejarah Desa Baja Dolok ... 16

2.3. Penduduk ... 19

2.4. Pemerintahan Desa ... 25

BAB III KEHIDUPAN BURUH PERKEBUNAN ... 27

3.1. Buruh di Perkebunan ... 27

3.2. Upah, Utang, dan Jaminan Kerja bagi Buruh di Perkebunan ... 33

3.3. Organisasi Buruh di Perkebunan ... 40


(12)

4.1. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 ... 48

4.2 Pembersihan Komponen-Komponen PKI di Perkebunan ... 52

4.3 Perpindahan Buruh dari Pondok Perkebunan ke Wilayah Perkampungan 62 BAB V KEHIDUPAN BURUH EKS PKI MENJADI PETANI ... 66

5.1 Kepemilikan Tanah ... 66

5.2 Kegiatan Ekonomi Sebagai Petani ... 73

5.3 Kehidupan Sosial-Budaya ... 81

BAB VI KESIMPULAN... 91

6.1 Kesimpulan ... 91

6.2 Saran ... 94 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Penduduk Desa Baja Dolok dari Tahun 1980-2000 ... 19

Tabel 2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur Tahun 1980 ... 20

Tabel 3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 1987 ... 21

Tabel 4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2000 ... 22


(14)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Dari Buruh Perkebunan Ke Petani : Pengaruh Gerakan 30 September Terhadap Masyarakat Desa Baja Dolok Kabupaten Simalungun (1973-2000), yaitu peralihan mata pencaharian buruh perkebunan menjadi petani setelah terjadinya peristiwa G 30 S 1965 hingga pada tahun 1973 mereka dikeluarkan dari pondok perkebunan dan memilih menetap di wilayah perkampungan menjadi petani.

Baja Dolok merupakan desa yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun. Mayoritas penduduknya adalah orang Jawa yang merupakan keturunan kuli kontrak. Wilayah desa ini terbagi menjadi dua yaitu wilayah perkampungan dan pondok perkebunan kelapa sawit. Setelah terjadinya peristiwa G 30 S 1965 para buruh yang berdiam di pondok perkebunan mulai memasuki wilayah perkampungan dan melakukan peralihan mata pencaharian menjadi petani.

Tulisan ini membahas tentang latar belakang para buruh perkebunan melakukan peralihan mata pencaharian menjadi petani, juga membahas kehidupan buruh perkebunan sebelum mereka melakukan peralihan mata pencaharian. Kemudian membahas mengenai kehidupan buruh setelah menjadi petani di wilayah perkampungan dan kehidupan sosial budaya mereka di wilayah yang baru.

Dalam tulisan ini penulis berusaha mendeskripsikan bagaimana kehidupan buruh eks PKI setelah beralih mata pencaharian menjadi petani, di mana sebagai orang Eks- PKI memiliki keterbatasan berbuat dalam lingkungan masyarakat pada masa Orde Baru.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kehidupan buruh di perkebunan, mengetahui latar belakang peralihan buruh perkebunan menjadi petani dan membahas kehidupan buruh setelah menjadi petani.

Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode sejarah, yaitu Heuristik (pengumpulan sumber), Verifikasi (kritik sumber), Interpretasi dan yang terakhir adalah Historiografi (penulisan). Pada tahap heuristik, penulis menggunakan dua metode penelitian yakni, metode kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field Research) melalui wawancara.

Hasil dari penelitian di lapangan menunjukkan bahwa kehidupan buruh perkebunan yang bergabung dengan SARBUPRI dan Gerwani pada tahun 1973 dikeluarkan dari pondok perkebunan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, setelah pindah ke perkampungan mereka beradaptasi dengan lingkungan baru dan menyandang status eks-PKI. Keberhasilan ekonomi setelah menjadi petani menyebabkan perkembangan dalam bidang pendidikan sehingga meleburkan identitas mereka sebagai eks-PKI.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Buruh adalah orang yang bekerja pada orang lain dan mendapatkan upah. Mereka menjual tenaga mereka kepada majikan demi mendapatkan pekerjaan. Adanya hubungan timbal balik antara buruh dan majikan yang keduanya saling membutuhkan. Namun buruh dianggap sebagai suatu kelas yang selalu dieksploitasi oleh majikan, sehingga akan selalu berusaha menghancurkan majikan dalam perjuangan dan dipersepsikan dengan kelompok tenaga kerja dari golongan bawah yang bekerja hanya mengandalkan otot.1

Pada masa kolonial, khususnya di Sumatera Timur buruh-buruh sengaja didatangkan oleh pengusaha perkebunan dari Malaya, Singapura, Cina, dan kemudian disusul dari desa-desa miskin di Jawa Tengah.2

Pada masa pergerakan nasional sekitar tahun 1900-an, buruh merupakan cikal bakal partai komunis lokal. Buruh dianggap basis dalam melakukan perlawanan terhadap penguasa-penguasa dan pemilik modal. Sehingga PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai partai yang menyuarakan rakyat kecil untuk memimpin negara melakukan perekrutan besar-besaran terhadap buruh dan petani. Partai ini menguasai organisasi buruh untuk dijadikan

Mereka dipekerjakan untuk membuka hutan-hutan, menanam, merawat dan memanen hasil perkebunan. Hal ini terjadi karena penduduk setempat tidak mau bekerja dengan pihak asing.

1

Eggi Sudjana, Buruh Menggugat: Prespektif Islam, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002, hlm. 7.

2

Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera ,1870-1979,


(16)

onderbouw.3

Pada tahun 1965 terjadi peristiwa-peristiwa dramatis, khususnya peristiwa pembantaian dan penghancuran elemen PKI, hal ini yang mengubah secara permanen konstelasi kekuatan politik yang akhirnya berdampak secara mendalam terhadap organisasi buruh. Kebijakan Perburuhan masa Orde Baru ditandai oleh kontrol yang kuat dari negara terhadap buruh.

Hal ini dilakukan untuk menentang segala kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang melakukan eksploitasi terhadap masyarakat Indonesia.

4

Orang-orang yang terlibat atau tidak secara paksa dijadikan tapol (tahanan politik) Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kudeta yang dilakukan oleh para buruh yang dianggap sebagai pengkhianat negara dan pemerintah yang berkuasa ketika itu melakukan pembersihan secara besar-besaran terhadap komponen-komponen PKI.

5

3

Pada awal pembentukannya PKI memilih petani dan buruh sebagai basis dalam melawan kaum imperialis, tuan tanah dan kaum borjuis. Kekuatan progresif buruh dan petani yang menjadi tulang punggung kekuatan revolusioner PKI dalam menentang pemerintahan kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia organisasi buruh dan petani mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Organisasi petani yang berafiliasi dengan PKI adalah Rukun Tani Indonesia (RTI), Sarekat Kerukunan Tani Indonesiai (SAKTI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) yang pada tahun 1953 ketiga organisasi tersebut difusikan oleh PKI dengan tetap menggunakan nama BTI, dengan demikian keanggotaan BTI semakin besar. Organisasi buruh yang berafiliasi dengan PKI adalah Sentral Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang dibentuk pada tahun 1946 dan mampu mengkonsolidasikan 34 serikat buruh, salah satu organisasi buruh yang tergabung dalam SOBSI adalah

SARBUPRi. Lihat Syarif Arifin,dkk, Memetakan Gerakan Buruh, Depok : Kepik, 2012, hlm. 68. Lihat juga

Noer Fauzi, Petani & Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 135.

dan untuk menghindari hukuman mati para tapol harus menandatangani surat pernyataan untuk

4

Muhtar Habibi, Gemuruh Buruh di Tengah Pusaran Neoliberalisme: Pengadopsian Kebijakan

Perburuhan Neoliberal Pasca ORBA, Yogyakarta: Gava Media, 2009, hlm. 2.

5

Setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) dan PKI dianggap sebagai dalang dari kejadian itu maka terjadi aksi-aksi spontan dari berbagai kelompok pemuda, mahasiswa dan pelajar terhadap markas-markas PKI. Orang-orang yang tergabung dalam organisasi yang berhaluan kiri segera ditangkap, karena mereka dianggap mendukung terjadinya peristiwa G 30 S. Penangkapan dilakukan secara membabi buta dan adanya sentimen pribadi antara si penangkap dan orang yang ditangkap, karena adanya rasa ingin balas dendam dengan masa lalu mereka yang pernah terjadi seperti percekcokan dalam pekerjaan. Walau pada kenyataan orang yang ditangkap tidak pernah tergabung dalam organisasi yang berafiliasi dengan PKI.


(17)

tidak melakukan kegiatan-kegiatan politik praktis. Setelah keluar dari rumah tahanan, para tapol ini menyandang gelar ET (Eks-Tapol) yang dapat dilihat pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) sesuai dengan ketetapan yang dikeluarkan pemerintah.6

Desa Baja Dolok adalah salah satu desa yang termasuk kedalam wilayah Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Mata pencaharian penduduk di desa ini adalah petani. Mayoritas penduduknya merupakan etnis Jawa yang memeluk agama Islam. Di desa ini juga menetap orang-orang yang dulunya pernah bekerja sebagai buruh perkebunan, namun setelah terjadinya peristiwa G 30 S 1965 kehidupan buruh ini mengalami perubahan. Kebijakan pemerintah untuk melakukan pembersihan terhadap para komponen-komponen juga berimbas kepada buruh perkebunan yang menjadi anggota Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi buruh perkebunan yang berafiliasi dengan PKI, sehingga mereka yang bergabung dalam organisasi ini ditangkap oleh pihak perkebunan dan militer.

Namun sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila mereka dikembalikan ke masyarakat diusahakan untuk mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan yang ada.

7

Para buruh yang menjadi anggota SARBUPRI dan Gerwani ini tidak ditahan dan dipenjarakan karena mendapat perlindungan dari pihak perkebunan, tetapi diwajibkan melaporkan diri dan melakukan penandatangan tentang kesetian mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mereka menyandang sebagai eks-PKI. Selesainya

6

Amurwani Dwi Lestariningsih, Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, Jakarta: Kompas

Media Nusantara, 2011, hlm. 263. 7

Penangkapan dilakukan oleh orang-orang yang mendapat kuasa dari pihak perkebunan, hansip dan

pihak militer yang bermarkas di Koramil Kec. Tanah Jawa. Wawancara dengan Boini pada tanggal 19 Oktober


(18)

pembersihan terhadap anggota-anggota PKI maka buruh-buruh ini tetap melakukan pekerjaan sebagai buruh di perkebunan.

Pada pertengahan tahun 1972 pihak perkebunan memiliki kebijakan baru terhadap orang-orang yang terlibat dalam organisasi PKI, mereka diberlakukan secara tidak adil. Para buruh di PHK secara sepihak dengan alasan pensiun muda (krimping) dengan jaminan masa tua atau pesangon yang lebih sedikit jika dibanding dengan pensiunan biasanya.

Pemecatan secara besar-besaran pada masa Orde Baru 8

Terjadinya pergeseran-pergeseran gaya kehidupan yang awalnya menjadi buruh perkebunan kini menjadi petani. Selanjutnya muncul stigma negatif terhadap buruh eks-PKI ini yang dianggap sebagai pengkhianat negara. Namun seiring dengan perbaikan ekonomi dan perkembangan pendidikan masyarakat eks-PKI mampu menciptakan sebuah counter stigma terhadap stigma negatif tentang eks-PKI dan didukung dengan jatuhnya rezim Orde Baru yang menentang orang-orang kiri. Dari sini dilihat bahwa politik memiliki peranan yang sangat penting terhadap berjalannya kehidupan suatu komunitas yang biasanya berhubungan dengan ekonomi.

ini menyebabkan para buruh eks-PKI keluar dari pondok-pondok perkebunan dan memasuki wilayah perkampungan di sekitar perkebunan yang selanjutnya tinggal menetap di sana dengan membuka lahan-lahan pertanian atau membeli lahan pertanian dari masyarakat di Desa Baja Dolok.

8

Orde Baru berlangsung selama 32 tahun di bawah kepemimpinan Soeharto dan dalam sejarah politik Indonesia, rezim ini digunakan untuk membedakannya dengan Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno. Soeharto memiliki kontrol yang sangat kuat terhadap pemerintahan Indonesia seperti penciptaan stabilitas


(19)

Uraian di atas membuat penulis tertarik untuk mendalami tentang kehidupan buruh

perkebunan eks-PKI sehingga diangkatlah judul “ DARI BURUH PERKEBUNAN KE

PETANI: PENGARUH GERAKAN 30 SEPTEMBER TERHADAP MASYARAKAT DESA BAJA DOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN (1973-2000)”.Penelitian ini akan lebih ditekankan kepada buruh eks-PKI yang berasal dari etnis Jawa, karena kebanyakan buruh yang menjadi anggota SARBUPRI dan Gerwani adalah buruh perkebunan yang pindah ke wilayah perkampungan Desa Baja Dolok hampir seluruhnya orang Jawa.

Skop temporal yang diambil adalah antara tahun 1973 sampai 2000. Pada tahun 1973 dianggap sebagai tahun di mana banyak para buruh perkebunan yang beralih mata pencarian menjadi petani setelah keluar dari pondok-pondok perkebunan dan tinggal menetap di Desa Baja Dolok sedangkan tahun 2000 merupakan tahun di mana reformasi mulai terasa di Desa ini, setelah pada tahun 1998 rezim Orde Baru telah diruntuhkan, hal ini yang membawa perubahan pada kehidupan eks-PKI. Pada tahun 2000 juga wilayah Desa Baja Dolok ini dilebur menjadi dua desa yaitu Desa Baja Dolok dan Desa Baliju. Dalam rentang waktu antara 1973 sampai 2000 adalah masa dimana penulis akan membahas bagaimana kehidupan buruh perkebunan yang beralih mata pencarian menjadi petani yang dipengaruhi oleh Gerakan 30 September 1965.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan sebuah penelitian, maka yang menjadi landasan dari penelitian adalah akar masalah yang ada dalam topik yang dibahas. Hal inilah yang nantinya akan diungkapkan dalam pembahasannya. Akar permasalahan dianggap penting karena di


(20)

dalamnya diajukan konsep yang akan dibawa dalam penelitian dan menjadi alur dalam penulisan.

Berdasarkan uraian di atas maka dibuatlah suatu batasan pokok masalah. Untuk mempermudah memahami permasalahan dalam penelitian ini maka penulis mengambil beberapa pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ke beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kehidupan buruh perkebunan hingga tahun 1973?

2. Apa yang melatarbelakangi para buruh perkebunan melakukan peralihan mata

pencaharian menjadi petani?

3. Bagaimana kehidupan buruh perkebunan setelah menjadi petani pada tahun 1973-2000?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan kehidupan buruh perkebunan hingga tahun 1973.

2. Menjelaskan apa saja yang melatarbelakangi para buruh perkebunan ini menjadi petani.

3. Menguraikan bagaimana kehidupan buruh perkebunan setelah menjadi petani pada tahun 1973-2000.

Manfaat dari penelitian ini adalah:


(21)

2. Menjadi bahan rujukan dalam mengungkap kehidupan buruh perkebunan yang menjadi korban dari ketidakadilan penguasa.

3. Dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain manakala penelitian ini dirasa perlu penyempurnaan ataupun sebagai referensi.

1.4 Tinjauan Pustaka

Buku-buku yang membahas tentang buruh perkebunan yang telibat PKI dan melakukan peralihan matapencaharian menjadi petani memang hampir dikatakan tidak ada. Sedikitnya sumber tertulis tentang peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan peristiwa G 30 S 1965, maka penulis menggunakan literatur-literatur yang berkaitan dengan buruh yang terlibat PKI dengan mengumpulkan artikel-artikel, tesis dan buku-buku yang yang berkaitan dengan penelitian ini.

Ann Laura Stoler dalam bukunya “ Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra,1870-1979” buku ini mengisahkan tentang kehidupan buruh di daerah Sabuk Perkebunan. Dimulai dari pembukaan perkebunan di Deli, perekrutan para pekerja perkebunan dari luar Sumatera, buruh pada masa pendudukan Jepang, revolusi nasionalis dan menjelaskan tentang gerakan pekerja di perkebunan pasca kemerdekaan. Buku ini juga menggambarkan tentang kehidupan buruh di perkebunan, termasuk hierarki yang ada di perkebunan, tentang serikat buruh perkebunan, salah satunya adalah SARBUPRI, yang merupakan serikat buruh di perkebunan yang membela buruh dari tekanan para pengusaha perkebunan. Banyaknya tuntutan-tuntutan SARBUPRI tentang kenaikan upah dan perbaikan buruh di perkebunan menyebabkan serikat buruh ini banyak mendapat dukungan dari para


(22)

buruh dan dalam beberapa tahun pembentukan sudah banyak merekrut massa. Namun pasca peristiwa G 30 September 1965 buruh yang tergabung dalam serikat buruh ini masuk ke dalam daftar hitam, dan beberapa tahun kemudian banyak buruh perkebunan yang dipecat karena masa lalu mereka pernah terlibat dalam PKI. Kemudian tinggal menetap di daerah pinggiran perkebunan membentuk komunitas yang mayoritas orang Jawa, hidup sebagai petani dan menjadi buruh lepas di perkebunan.

Amurwani Dwi Lestariningsih dalam bukunya yang berjudul “ Gerwani: Kisah Tahanan Politik di Kamp Plantungan”. Dalam buku ini menceritakan tentang wanita tahanan politik yang dianggap sebagai pendukung gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan ikut serta dalam melakukan kudeta-kudeta yang dilancarkan PKI,mereka dianggap sebagai pengkhianat negara. Bagaimana penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh pihak militer terhadap onderbouw PKI termasuk Gerwani. Pada pemberlakuan pembersihan massal

orang-orang yang dianggap sebagai onderbouw PKI ditangkap dan dibuang ke dalam

penjara. Penangkapan dilakukan secara membabi buta tanpa membawa surat penangkapan, apakah orang tersebut terlibat atau tidak, apakah mereka orang-orang PKI atau tidak, sehingga banyak yang salah tangkap. Berbagai macam hukuman dan perlakuan yang tidak wajar diterima oleh para tahananan. Pemindahan tahanan ke Plantungan, sebuah tempat terpencil. Selain menerima perlakuan yang tidak adil mereka juga bekerja di ladang-ladang yang telah disediakan. Hingga pada awal tahun 1970-an mereka keluar dari kamp Plantungan dengan menandatangani surat pernyataan untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan politik dan melakukan wajib lapor dan pemberian kode-kode tertentu pada kartu identitas mereka.


(23)

dengan kebudayaan yang hal ini dianggap memiliki peranan yang penting dalam pertanian. Dalam buku ini menceritakan tentang kearifan tradisi yang tercermin dalam sistem pengetahuan dan teknologi lokal di masyarakat dari berbagai daerah yang masih mengembangkan nilai-nilai adat seperti prinsip-prinsip konservasi, menejemen, eksploitasi sumber daya alam, ekonomi dan sosial. Kapitalisme industri pada awal abad ke-20 telah menimbulkan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, faktor kesuburan tanah, dan proses komersialisasi yang semakin agresif pada pasca Orde Baru. Akibatnya penguasaan Tanah perorangan juga semakin meningkat yang akhirnya menciptakan proses peralihan penguasaan tanah di pedesaan.9

Sekretariat Negara Republik Indonesia, dalam buku yang berjudul “Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan penumpasannya”. Buku ini merupakan buku putih yang diterbitkan oleh pemerintah, buku yang menyatakan tentang keterlibatan PKI sebagai dalang dari pembunuhan para petinggi Angkatan Darat. Buku ini menjelaskan bagaimana latar belakang terbentuknya Partai Komunis Indonesia, pemberontakan dan perjuangan yang pernah dilakukan untuk menentang segala kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda ataupun Pemerintah Indonesia Pasca Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Berbagai kudeta yang dilakukan oleh PKI juga dijelaskan pada buku ini, apalagi kudeta yang terjadinya 30 September 1965 dan setelahnya. Termasuk penyelesaian hukum terhadap pelaku-pelaku dan yang menjadi onderbouw PKI.

9

Kusnaka Adimihardja, Petani: Merajut Tradisi Era Globalisasi, Bandung: Humaniora Utama Press,


(24)

1.5 Metode Penelitian

Dalam penulisan sejarah yang ilmiah, pemakaian metode sejarah yang ilmiah sangatlah penting. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode itu sendiri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis.10

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam metode sejarah adalah:

Sejumlah sistematika penulisan yang terangkum di dalam metode sejarah sangat membantu setiap penelitian di dalam merekonstruksi kejadian pada masa yang telah lalu.

1. Heuristik, mengumpukan data atau sumber melalui studi kepustakaan (library

research) dari buku, arsip, artikel. Sumber-sumber tertulis diperoleh dari perpustakaan daerah Sumut, Perpustakaan USU, Perpustakaan dan Arsip Pematang Siantar, dan disamping koleksi pribadi. Adapun buku yang dipergunakan ialah; Ann Laura Stoler dalam buku yang berjudul Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra, 1870-1979; Amurwani Dwi Lestariningsih dalam bukunya Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, buku ini cukup membantu peneliti dalam membandingkan data yang dibutuhkan dalam penulisan; Kusnaka Adimihardja dalam bukunya Petani: Merajut Tradisi Era Globalisasi, yang diperlukan penulis dalam menguraikan kehidupan petani yang memang diperlukan dalam penulisan. Buku putih yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia yang berjudul Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan penumpasannya. Selain buku-buku tersebut penulis juga melakukan wawancara

10


(25)

dengan orang-orang yang pernah tergabung menjadi anggota SARBUPRI dan Gerwani, orang yang pernah tinggal di perkebunan, penduduk desa Baja Dolok, mantan kepala desa, kepala desa yang sedang menjabat dan Sekertaris desa, dan masyarakat yang pernah merasakan peristiwa pada tahun 1965.

2. Semua sumber sejarah baik lisan maupun tulisan yang telah diperoleh menggunakan metode kepustakaan dan sejarah lisan (wawancara) akan dikritik secara eksternal dan internal untuk memastikan bahwa sumber sejarah itu asli dan data yang diperoleh kredibel. Krirtik ekstern dilakukan terhadap sisi luar dari sebuah dokumen seperti bahan, jenis tulisan, bahasa, cap atau stempel dengan melakukan kolaborasi dengan dokumen atau sumber lain. Setelah diketahui bahwa sumber atau dokumen itu asli, maka dilakukan kritik intern untuk memastikan bahwa sumber sejarah itu benar-benar kredibel (melaporkan kejadian atau fakta yang sebenar-benarnya) dengan cara membandingkan dengan sumber lainnya. Kritik terhadap sejarah lisan (wawancara) dilakukan pada saat wawancara dan setelah wawancara, menyangkut isi yang disampaikan oleh informan.

3. Interpretasi, merupakan tahap dimana peneliti mencoba menafsirkan data yang

diperoleh dan diharapkan dapat menjdi data yang objektif. Interpretasi dibagi dua yakni analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan fakta yang banyak mengandung berbagai kemungkinan, sedangkan sintesis berarti menyatukan berbagai fakta agar dapat diketahui makna dan hubungan antara fakta yang kompleks tersebut. Dalam hal ini adalah interpretasi dari hasil pengumpulan sumber, kritik tentang objek kajian peneliti tentang buruh perkebunan yang menjadi petani di Desa Baja Dolok.


(26)

Interpretasi ini diharapkan dapat menjadi data sementara sebelum peneliti menuangkannya kedalam sebuah tulisan.

4. Historiografi, adalah tahapan akhir dari penelitian atau dapat juga dikatakan sebagai penulisan akhir. Dengan hasil akhir dari suatu penulisan yang diperoleh dari fakta-fakta yang dilakukan secara sistematis dan kronologis untuk menghasilkan tulisan sejarah yang ilmiah dan objektif. Historiografi ini merupakan hasil dari pengumpulan sumber, kritik (baik kritik intern maupun ekstern) serta hasil dari interpretasi.


(27)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA BAJA DOLOK

2.1 Letak dan Keadaan Desa

Kabupaten Simalungun secara geografis terletak di antara 20 36'- 30 18' Lintang Utara dan 980 32' – 990 35' Bujur Timur dan berbatasan dengan Kabupaten Asahan di sebelah timur, Kabupaten Karo di sebelah barat , Kabupaten Serdang Bedagai disebelah utara, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Samosir. Kabupaten ini memiliki 21 kecamatan, 14 kelurahan dan 237 desa dengan luas 438.660 ha atau 6,12 % dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara. Salah satu kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Tanah Jawa.11

Kecamatan Tanah Jawa Terletak 100 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan luas

wilayah kecamatan mencapai 491,75 Km2, dengan jumlah penduduk 49.483 jiwa.

Kecamatan ini berjarak ± 50 Km dari kantor Bupati Simalungun dengan waktu tempuh ± 1 jam, sedangkan dengan Pematang Siantar hanya berjarak ± 21 Km dengan waktu tempuh ± 30 menit. Untuk menuju ibukota kabupaten masyarakat Kecamatan Tanah Jawa harus melalui Pematang Siantar.

Kecamatan Tanah Jawa terdiri dari 1 kelurahan dan 19 nagori. Adapun kelurahan dan nagori tersebut adalah Kelurahan Tanah Jawa, Nagori Mekar Mulia, Nagori Pardamean Asih, Nagori Marubun Jaya, Nagori Totap Majawa,Nagori Balimbingan, Nagori Bah Kisat, Nagori Maligas Tongah, Nagori P.Marjanji, Nagori Tanjung Pasir, Nagori Muara Mulia,

11


(28)

Nagori Bosar Galugur, Nagori Baja Dolok, Nagori Bah Jambi II, Nagori Pagar Jambi, Nagori Bayu Bagasan, Nagori Baliju, Nagori Bah Jambi III, Nagori Marubun Bayu, dan Nagori Parbalogan.

Penelitian terfokus di Desa Baja Dolok. Desa Baja merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Luas wilayah desa ini adalah 15,50 Km2 yang terletak di dataran rendah dengan ketinggian tanah 260 M di atas permukaan laut dengan suhu udara rata-rata 23o C.

Batas-batas wilayah desa Baja Dolok yaitu:

- Sebelah Utara : Desa Bosar Galugur

- Sebelah Selatan : Desa Bah Jambi II

- Sebelah Barat : Desa Tanjung Maraja

- Sebelah Timur : Kelurahan Pematang Tanah Jawa

Jarak Desa Baja Dolok ke kota kecamatan sejauh ± 3 Km. Untuk memasuki desa ini melawati jalan-jalan kecil yang belum tersentuh oleh pembangunan pemerintahan. Letak desa yang diapit oleh dua perkebunan yaitu perkebunan Dolok Sinumbah dan perkebunan Bah Jambi maka tidak jarang jika melintasi jalan penghubung antar desa akan melihat hamparan luas tanaman kelapa sawit.

Desa Baja Dolok terdiri dari lima dusun yaitu dusun 1 Afdeling VIII Bah Jambi, dusun II yang terdiri dari Kampung Jawa Atas, Kampung Jawa Tengah dan Kampung Jawa Bawah, dusun III Kampung Banua, Dusun IV Kampung Balimbingan dan dusun V Afdeling VII Bah Jambi.


(29)

Pembangunan desa yang berasal dari pemerintah diawali dengan pembangunan balai desa, kantor kepala desa, irigasi untuk lahan pertanian yang kemudian dibangun jembatan sebagai penghubung antara wilayah perkampungan dengan wilayah pertanian. Hingga awal tahun 1990-an sudah ada enam jembatan sebagai penghubung ke wilayah pertanian. Pembangunan aliran listrik dimulai pada tahun 1990, yang dimulai dari dusun II, hingga dusun IV. Sedangkan untuk dusun I dan V pembangunan listrik ditanggungjawabi oleh pihak perkebunan. Untuk persedian kebutuhan air minum masyarakat desa mereka memperolehnya dari mata air yang ada di Desa Baja Dolok. Setelah pembangunan listrik maka disusul dengan pengaliran air minum untuk kebutuhan air masyarakat desa dari Perusahaan Dagang Air Minum Tirta Lihou (PDAM Tirta Lihou).

Wilayah perkampungan di Desa Baja Dolok masih berupa semak belukar yang ditumbuhi dengan pohon-pohon yang besar, jumlah penduduknya yang masih jarang pada tahun 1960-an sehingga jarak antara rumah penduduk yang satu dengan lainnya berjauhan yaitu sekitar ± 400 meter. Bentuk rumah terbuat dari papan dan anyaman bambu dan setelah tahun 1970-an perumahan di desa ini juga mengalami perubahan yang lebih baik.

Pembangunan sarana pendidikan seperti sekolah dasar sudah ada di dusun I dan dusun V karena berada di wilayah perkebunan sehingga sarana dan prasana tersebut disediakan perkebunan sejak masa pemerintahan Belanda. Sedangkan di wilayah perkampungan belum ada pembangunan gedung sekolah, rencana pembangunan sudah ada sejak tahun 1974, namun pada tahun 1978 rencana pembangunan baru mulai terealisasi, pembangunan gedung sekolah dasar dimulai di dusun II dan hanya tiga kelas. Sehingga anak-anak yang memiliki biaya sekolah akan melanjutkan sekolah dasar ke Desa Balimbingan yang berjarak ±3 Km. Hal serupa juga dialami oleh anak-anak yang berada di dusun III. Untuk bangunan Sekolah


(30)

Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) tidak ada di desa ini.

Sarana Kesehatan seperti Pusat Kesehatan Masyrakat (Puskesmas) juga tidak ada di Desa Baja Dolok. Alasan pemerintah tidak membangun Puskesmas di desa ini karena letak desa berdekatan dengan ibu kota kecamatan, sehingga jika berobat ke Puskesmas yang ada di Kecamatan. Ketika melakukan Posyandu, penduduk melakukannya di Balai desa.

Koperasi Unit Desa (KUD) sudah dibangun pada tahun 1970-an oleh pemerintah. KUD ini berfungsi untuk menyediakan kebutuhan pertanian masyarakat desa. Namun pada awal tahun 1990-an KUD ini tidak lagi berfungsi dengan baik. Karena masyarakat lebih banyak yang menjual hasil panennya kepada agen dan tauke, begitu juga untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari sudah banyak penduduk yang mulai membuka warung-warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari.

2.2 Sejarah Desa Baja Dolok

Mengenai sejarah Desa Baja Dolok belum ada sumber-sumber tertulis yang menyatakan tetantang bagaimana asal-muasal desa ini. Sejarah desa ini diketahui hanya melalui cerita-cerita masyarakat desa yang diperoleh secara turun-temurun. Sebelum dihuni para kuli kontrak Jawa dari perkebunan Simalungun, wilayah ini telah berdiri sebuah kerajaan Batak yang bernama Parpagaran oleh Datuk Urung Tuan Banua yang bermarga Sinaga dibantu oleh Panglima Sibungkuk dan Tuan Joreng. Datuk Urung Tuan Banua membangun istana di wilayah yang sekarang masuk ke Dusun II, kemudian istana dipindahkan ke daerah Jambi-Jambi oleh Raja hingga sistem kerajaan berakhir. Pemindahan


(31)

istana Parpagaran ini didukung dengan letak wilayah Jambi-Jambi yang lebih strategis. 12

Sekitar tahun 1920-an wilayah kerajaan Parpagaran mulai di huni oleh orang Jawa yang berasal dari perkebunan Simalungun.

Bekas istana yang ditinggalkan oleh Tuan Banua dikelilingi oleh hutan dan hanya dihuni oleh beberapa suku Batak yang masih mau tinggal diwilayah tersebut.

13

Setelah agresi Militer Belanda II berakhir, jumlah penduduk Jawa semakin bertambah karena banyak pondok-pondok perkebunan di Simalungun dibakar oleh para pekerja dengan alasan agar tidak diduduki kembali oleh Belanda. Para buruh-buruh yang menetap di pondok perkebunan memilih mengungsi di wilayah perkampungan. Semakin hari semakin banyak penduduk dari pemukiman liar yang ada di wilayah perkebunan pindah ke wilayah ini.

Kuli kontrak Jawa pertama yang membuka hutan di wilayah kerajaan Parpagaran adalah Kramayuda setelah mendapat persetujuan dari Tuan Banua, kemudian diikuti oleh kuli kontrak Jawa lainnya. Kebanyakan dari mereka adalah kuli kontrak yang telah habis masa kontraknya dengan pihak perkebunan. Mereka memilih untuk tetap menetap di Sumatera dibandingkan harus kembali ke Jawa dan mulai membuka hutan untuk tempat tinggal dan lahan pertanian.

Kedatangan mantan kuli kontrak Jawa dari perkebunan yang berlangsung secara terus menerus menyebabkan populasi orang Jawa lebih banyak dibanding dengan orang Batak. Setelah sistem kerajaan telah lenyap maka kepemimpinan Batak mulai digantikan dengan

12

Wawancara dengan Riduan Sinaga pada tanggal 21 Juni 2013 di Huta I Baliju.

13

Menjelang 1920-an hampir sepertiga orang Jawa yang bertempat tinggal di perkebunan Simalungun mulai menetap di luar perkebunan. Setidaknya separuh dari mereka telah menjadi bagian dari proletariat kota di pusat-pusat perdagangan dan administrasi Medan, Pematang Siantar, Tebing Tinggi dan Kisaran yang sedang tumbuh cepat. Meraka yang tidak tinggal di pusat-pusat perkotaan telah membentuk sebuah sub kelas baru di

wilayah pedalaman dengan bermukim di desa-desa Melayu di atas tanah “pinjaman” sebagai penumpang.

Mereka melakukan pekerjaan pertanian sebagai imbalan untuk memperoleh upah dan hak pakai atas petak-petak tanah di desa. Lihat Ann Stoler, op.cit., hlm. 57.


(32)

orang Jawa. Karena mayoritas penduduk yang menghuni di wilayah ini adalah suku Jawa maka daerah ini di kenal dengan kampung Jawa. Setelah tahun 1966 penggunaan desa baru ditetapkan dengan nama Baja Dolok yang merupakan gabungan dari Afdelling VIII, Kampung Jawa, Kampung Banua, Kampung Balimbingan dan Afdeling VII.14

Mengenai pemberian nama Baja Dolok sendiri ada dua versi. Pertama, nama Baja Dolok diambil karena wilayah desa Baja Dolok yang diapit oleh dua perkebunan yaitu perkebunan Bah Jambi dan perkebunan Dolok Sinumbah. “Baja” yang berarti perkebunan Bah Jambi. “Dolok” yang berarti Perkebunan Dolok Sinumbah. Kedua, nama Baja Dolok diambil dari nama-nama dusun yaitu “Ba” yang berarti Banua dan Balimbingan yaitu kampung Banua dan kampung Balimbingan, “Ja” yang berarti Jawa dan yang dimaksud kampung Jawa dan Dolok yaitu Dolok Sinumbah, hal ini berkaitan dengan dua dusun yang masuk ke dalam wilayah perkebunan Dolok Sinumbah yaitu Afdeling VII dan Afdeling VIII.15

Penggabungan lima wilayah ini merupakan titik awal pembangunan desa yang dimulai dengan pembangunan balai desa, kantor kepala desa, irigasi, pembangunan sekolah dasar, jembatan, tempat ibadah seperti mesjid dan gereja, serta pembangunan jalan desa. Namun sesuai dengan peraturan pemerintah pada Desember 2000 Desa Baja Dolok mengalami pemekaran daerah menjadi dua desa yaitu Desa Baja Dolok dan Desa Baliju. Desa Baja Dolok dengan wilayah kampung Jawa dan Afdelling VIII yang selanjutnya dibagi ke dalam empat dusun dan Desa Baliju yang merupakan penggabungan dari Kampung Banua, Kampung Balimbingan dan Afdelling VII.


(33)

2.3 Penduduk

Menurut hasil Sensus Penduduk tahun 1980, jumlah penduduk Desa Baja Dolok adalah 3.625 jiwa yang terdiri atas 1.803 orang laki-laki dan 1.822 orang perempuan yang termasuk dalam 728 kepala keluarga (kk) dan tersebar di lima dusun. Data penduduk desa Baja Dolok dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Tabel 1

Jumlah Penduduk Desa Baja Dolok dari tahun 1980-2000

NO TAHUN JUMLAH

1 1980 3.625

2 1987 3.927

3 1993 3.848

4 2000 4.037

Sumber: Data Monografi Desa Baja Dolok tahun 1980-2000

Jumlah penduduk Desa Baja Dolok mengalami peningkatan yang sangat tinggi pada tahun 1980 hingga 1987 sebanyak 302 jiwa bertambah dalam kurun waktu delapan tahun. Selain dipengaruhi oleh angka kelahiran bayi dan kematian, pertambahan penduduk ini juga dipengaruhi oleh keadaan desa yang semakin berkembang dan sistem pertanian dengan sistem irigasi yang baik sehingga banyak orang-orang yang memilih untuk pindah ke Desa Baja Dolok, karena dianggap mampu menjamin kehidupan mereka. Kebanyakan dari mereka yang pindah ke desa ini adalah pensiunan dari pondok-pondok perkebunan. Keadaan yang sama juga terjadi pada tahun 1993 hingga tahun 2000, jumlah penduduk meningkat dari


(34)

3.848 menjadi 4.037, pertambahannya mencapai 189 jiwa. Namun pada tahun 1987 hingga tahun 1993 jumlah penduduk mengalami dari 3.927 menjadi 3.848, pengurangan ini karena sistem pendidikan yang mulai maju dan kesadaran penduduk akan pendidikan yang semakin meningkat sehingga mereka yang memiliki pendidikan memilih untuk meninggalkan desa dan memilih kota sebagai tujuan mereka untuk memperbaiki keadaan ekonomi karena adanya anggapamn bahwa bekerja di kota memiliki penghasilan yang lebih tinggi. Kota-kota yang menjadi tujuan adalah Medan dan Riau.

Tabel 2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur Tahun 1980

NO USIA/TAHUN

JENIS KELAMIN

LAKI-LAKI PEREMPUAN

1 0-4 290 274

2 5-9 321 305

3 10-14 246 252

4 15-24 327 378

5 25-49 398 413

6 50 ke atas 221 200

JUMLAH 1.803 1.822

Sumber: Hasil sensus penduduk tahun 1980

Dari tabel 2 yang berisikan jumlah penduduk di Desa Baja Dolok berdasarkan sensus penduduk tahun 1980 bahwa kelahiran bayi laki-laki lebih tinggi dibanding dengan bayi perempuan, selisinya mencapai 16 jiwa, namun pada usia 5-49 tahun jumlah penduduk


(35)

laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Jumlah penduduk yang berumur 15-49 tahun mencampai 1516 jiwa (49%), usia tersebut dikategorikan usia produktif yang mampu mendukung kebutuhan tenaga kerja di sektor pertanian, terutama pada saat musim tanam maupun musim panen. Sedangkan jumlah penduduk berumur 50 tahun ke atas berjumlah 421 jiwa (12%) , sebagian dari mereka juga masih mampu mengerjakan lahan pertanian yang mereka miliki.

Tabel 3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan tahun 1987

NO Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Belum sekolah/tidak pernah sekolah 1.084

2 SD sederajat 1.565

3 SLTP sederajat 1.169

4 SLTA sederajat 102

5 Akademik/Universitas 7

JUMLAH 3.927

Sumber: Data Monografi Desa Baja Dolok tahun 1987

Jumlah penduduk Desa Baja Dolok belum sekolah dan mereka yang tidak pernah sekolah mencapai 1.084. tingkat pendidikan SD berada di urutan kedua yaitu sebanyak 1.565, kemudian diikuti oleh tingkat pendidikan SLTP sebanyak 1.169, ini dapat dikatakan bahwa pendidikan di Desa Baja Dolok pada tahun 1987 sudah mengalami peningkatan dilihat dari jumlah penduduk yang telah mengenal huruf lebih tinggi yaitu 2.843 dan peningkatan semakin terlihat karena di desa ini sudah penduduk yang berada pada tinngkat pendidikan akademik/universitas. Hal ini yang kemudian membawa dampak yang positif terhadap


(36)

perkembangan desa. Perkembangan pendidikan di Desa Baja Dolok dapat dilihat pada tabel 1.4 di bawah.

Tabel 4

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2000

NO Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Belum sekolah/tidak pernah sekolah 861

2 SD sederajat 995

3 SLTP sederajat 1.232

4 SLTA sederajat 917

5 Akademik/Universitas 32

JUMLAH 4.037

Sumber: Data Monografi Desa Baja Dolok tahun 2000

Jumlah penduduk yang belum sekolah dan tidak pernah sekolah sebanyak 861 jiwa, jika dibanding tahun 1987 jumlah ini mengalami penurunan, sama halnya dengan jumlah penduduk yang berada ditingkat pendidikan SD mengalami penurunan. Peningkatan kualitas pendidikan penduduk dialami pada tingkat SLTP, SLTA dan Universitas. Dari sini dapat dilihat bahwa kehidupan ekonomi penduduk sangat mempengaruhi kualitas pendidikan di Desa Baja Dolok.

Pada tahun 1987 penduduk Desa Baja Dolok terdiri dari empat suku bangsa yaitu Jawa, Simalungun, Toba dan Mandailing. Masing-masing Jawa 3.038 jiwa (77,36%), Simalungun 808 jiwa (20,58%), Toba 80 jiwa (2,02%) dan Mandailing 1 jiwa (0,02%). Orang Jawa umumnya tersebar di dusun Kampung Jawa dan Balimbingan, sementara di dusun


(37)

suku bangsa seperti Simalungun, Toba dan Jawa. Namun di dusun kampung Jawa ini ada sebuah wilayah pemukiman khusus untuk etnis Batak yang beragama Kristen dengan nama Pagar Jawa.16

Penduduk Desa Baja Dolok menganut agama yang berbeda-beda seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik dan Budha. Penduduk yang menganut agama Islam ada 3.039 jiwa, Kristen Protestan 874 jiwa, Kristen Katolik 8 jiwa dan Budha sebanyak 6 jiwa. Mayoritas penduduk Jawa yang menganut agama Islam dan suku Batak beragama Kristen. Banyaknya penduduk yang beragama Islam dapat dilihat dengan jumlah bangunan mesjid yang ada di Desa Baja Dolok, hingga tahun 2000 terdapat tujuh mesjid dan dua gereja HKBP namun tidak ada vihara sebagai tempat ibadah bagi orang Budha.

Di Wilayah dusun ini benar-benar terpisah antara suku Batak yang beragama Kristen dan suku Jawa yang beragama Islam secara letak pemukiman, namun interaksi dalam kehidupan sehari-hari tetap terjalin, baik di bidang ekonomi maupun politik.

Bahasa yang dipakai dalam pergaulan hidup sehari-hari dengan sesama orang Jawa adalah bahasa Jawa, tetapi bukan hal yang aneh jika orang Toba dan Simalungun mampu berbahasa Jawa, hal ini dilakukan bila berinteraksi dengan orang Jawa dan seringkali terlihat bahwa orang Toba dan Simalungun mengunakan bahasa Jawa dibanding dengan menggunakan bahasa Indonesia.

16

Pagar Jawa merupakan bekas istana Parpagaran sebelum dipindahkan ke daerah Jambi-jambi. Pagar

Jawa masuk ke dusun II Kampung Jawa Tengah untuk memasuki wilayah ini harus menyebrangi sungai dan melewati lahan pertanian milik penduduk, wilahnya terpisah dari pemukiman orang Jawa. Meskipun penduduknya merupakan orang Batak, baik Batak Toba maupun Simalungun yang beragama Kristen namun tidak ada gereja. Mereka memilih beribadah di gereja-gereja yang ada di kecamatan Tanah Jawa dibandingkan dengan gereja yang berada di Dusun III Banua, hal ini berkaitan dengan letak gereja yang jauh.


(38)

Bahasa Jawa juga diturunkan kepada anak-anak mereka, namun bahasa Jawa yang digunakan sudah tidak berbahasa Jawa “halus atau krama”.17

Pada tahun 1987 mata pencaharian penduduk Desa Baja Dolok adalah sebagai petani dan buruh, baik buruh perkebunan maupun buruh tani, hanya sedikit yang bekerja sebagai wiraswasta atau pegawai negeri sipil, di bidang kesehatan hanya ada satu mantri dan satu bidan melahirkan, sedangkan penduduk yang bekerja di bidang militer tidak ada.

Karena orang tua mereka bukan berasal golongan priyayi ketika di Jawa, mereka hanyalah wong cilik yang dikontrak menjadi kuli kontrak di Sumatera.

2.4 Pemerintahan Desa

Desa Baja Dolok secara administratif berada di wilayah pemerintahan Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun tergolong desa Swakarya menurut tataran desa-desa di Indonesia. Roda pemerintahan desa dikendalikan oleh seorang kepala desa, dibantu oleh kepala dusun, badan perwakilan desa, ketua RW dan RT. Namun sebelum penggabungan menjadi sebuah desa, wilayah ini terdiri dari dusun-dusun dan setiap dusun memiliki ketua yang disebut lurah.

Tahun 1966 kelima dusun disatukan menjadi sebuah wilayah pedesaan, maka dibuatlah sebuah pemillihan kepala desa. Kepala desa pertama yang terpilih adalah Suyoto. Dari sini

17

Secara teoritis bahasa Jawa memiliki berbagai macam tingkatan bahasa seperti Ngoko, Madya, Krama,

Krama Inggil, Basa Kedathon, Krama Desa, dan Basa Kasar. Namun yang sering digunakan dan didengar di

kalangan masyrakat desa di pedesaan Jawa adalah Ngoko, Madya dan Krama. Ngoko digunakann untuk

komunikasi akrab sehingga dianggap kurang santun dan sering dianggap kasar. Madya dianggap setengah


(39)

dimulailah suatu pemerintahan desa. Masa jabatan seorang kepala desa berlangsung selama delapan tahun selanjutnya dilakukan pemilihan kembali. Setelah memiliki pemerintahan desa maka pada tahun 1972 dibangunlah sebuah balai pertemuan yang disebut balai desa dan tahun 1974 dibangun kantor kepala desa , kedua bangunan ini didirikan di dusun II.

Pemberlakuan otonomi daerah di Simalungun pada tahun 2000 menyebabkan Desa Baja Dolok dibagi menjadi dua desa yaitu Desa Baja Dolok dan Desa Baliju. Hal ini juga mengubah desa menjadi nagori, kepala desa menjadi pangulu,dusun menjadi huta, kepala dusun menjadi gamot, badan perwakilan desa menjadi maujana nagori, rukun warga menjadi urung, rukun tetangga menjadi dihilangkan kerena tidak berfungsi secara efektif dan perangkat desa diganti menjadi tungkat nagori.18

18


(40)

Susunan Organisasi dan Tata Pemerintahan Nagori dan Tungkat Nagori di Kabupaten Simalungun.

PANGULU

UPTL UPTL

MAUJANA NAGORI

SEKRETARIS DESA

KAUR PEMERINTAHAN

DAN KEMASYARAKATAN

KAUR PEREKONOMIAN

DAN PEMBANGUNAN NAGORI

KAUR ADMINISTRASI

DAN KEUANGAN NAGORI

GAMOT GAMOT GAMOT GAMOT GAMOT


(41)

BAB III

KEHIDUPAN BURUH PERKEBUNAN

3.1 Buruh di Perkebunan

Menurut Buntaran Sanusi buruh yaitu mereka yang melakukan pekerjaan dalam satu hubungan kerja untuk majikan dengan menerima upah. Adanya hubungan timbal balik antara buruh dan majikan yang keduanya saling membutuhkan. Namun buruh dianggap sebagai suatu kelas yang selalu dieksploitasi oleh majikan, sehingga akan selalu berusaha menghancurkan majikan dalam perjuangan dan dipersepsikan dengan kelompok tenaga kerja dari golongan bawah yang bekerja hanya mengandalkan otot.

Sejarah buruh di Indonesia telah ada sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, begitu juga halnya di Sumatera Timur. Setelah dibukanya perkebunan di Sumatera Timur oleh Jacobus Neinhuys pada tahun 1863, untuk memperlancar aktivas produksi di perkebunan para pekerja sengaja didatangkan dari luar Sumatera Timur karena penduduk setempat tidak mau bekerja dengan pihak pengusaha asing. Bersamaan dengan pesatnya pembukaan lahan baru untuk perkebunan tembakau, tahun 1890-1920 adalah era dimana masuknya gelombang kuli untuk bekerja di perkebunan tembakau swasta milik Belanda datang secara besar-besaran. Para kuli yang disebut kuli kontrak adalah kebanyakan dari Jawa. Kebanyakan dari mereka tertipu oleh bujukan para agen pencari kerja yang mengatakan kepada mereka bahwa Deli adalah tempat dimana pohon yang berdaun uang (metafor dari tembakau).19

19

Deli memang menjadi koloni Belanda yang paling menonjol di Sumatera Timur dan disebut sebagai

Het Dollar Landsch. Ini menunjukkan bahwa mampun menghasilkan jutaan gulden keuntungan. Lihat

Alexander Avan, Parijs van Soematra, Reinmaker: Medan, 2010, hlm. 43.


(42)

akan kaya raya namun kenyataannya mereka dijadikan budak. Selama puluhan tahun mereka menjalani kehidupan yang sangat tidak manusiawi, upah yang sangat rendah, perlakuan kasar majikan.

Awalnya para pengusaha asing yang ada di Sumatera Timur mendatangkan para pekerja dari Cina melalui Pulau Pinang untuk dijadikan pekerja. Adanya proteksi Inggris terhadap orang-orang Cina menyebabkan penyaluran tenaga kerja Cina ke Deli menjadi terhambat. Sebagai solusinya kemudian didatangkan pekerja India. Para pekerja India ini pun diproteksi oleh Inggris, hingga akhirnya para pengusaha perkebunan mendatangkan pekerja dari Jawa untuk diperkerjakan di lahan-lahan perkebunan tembakau Deli. Semua pekerja ini diikat oleh perjanjian yang disebut dengan “Contract Koeli”. Ini lah yang mendasari penyebutan koeli kontrak pada para pekerja kebun di Sumtim.20

Kedatangan kuli kontrak yang berasal dari Jawa dimulai pada tahun 1880, ketika pemerintah Inggris makin mempersulit tenaga kerja Cina datang ke Deli. Sementara pemerintah Inggris di India juga mengajukan berbagai persyaratan bagi pekerja Tamil yang hendak ke Deli, namun calo buruh di Penang dan Singapura tetap memasok tenaga ke Deli, dengan tipuan hendak memperkerjakan meraka ke Johor. Pada tahun 1880 merupakan awal kedatangan buruh Jawa ke Deli berjumlah 150 orang berasal Bagelen, Jawa Tengah. Pada tahun 1911 lebih dari 50.000 buruh didatangkan dari Jawa Tengah.21 Jumlah ini mengalir terus, sampai akhirnya mengalahkan jumlah buruh kebun asal Cina dan Tamil.


(43)

Pada masa pemerintaha Belanda di Sumatera Timur, para pekerja yang didatang dari luar Sumatera Timur untuk bekerja di perkebunan disebut koeli kontrak. Istilah “koeli” itu sendiri awalnya bukan merupakan hal dipandang rendah tetapi bermakna sebagai “pengambil upah”, dari bahasa Tamil dengan ejaan Inggris: cooli yaitu orang yang mengambil upah ini menggunakan kemampuannya untuk merampungkan sesuatu pekerjaan yang diminta. Jadi sama dengan pengertian sekarang “karyawan” , hal ini dianggap rendah karena bentuk kedudukan seorang yang melakukan kerja hanya berupa pekerjaan kasar, yang hanya bekerja ketika mendapatkan perintah dari majikan untuk menyelesaikan tugas tanpa memiliki hak untuk melawan atau angkat muka. Selama pekerjaan kasar yang dilakukan oleh pekerja maka disebut dengan kuli, maka istilah yang bagaimanapun merdunya didengar akan berakibat bahwa istilah “kuli” itu sendiri turut menurun “status”-nya.22

Pada penelitian ini lebih terfokus pada buruh-buruh perkebunan di Desa Baja Dolok yaitu Afdeling VII dan Afdeling VIII yang merupakan perkebunan kelapa sawit yang berada di bawah naungan perkebunan Dolok Sinumbah. Unit Usaha Dolok Sinumbah adalah salah satu Unit Usaha PT.Perkebunan Nusantara IV yang didirikan pada masa Pemerintahan Belanda pada tahun 1928 yang bernama NV.Handle Veronigging Amsterdam ( NV.HVA )

yang bergerak dibidang usaha Budi Daya Tanaman Kelapa sawit. Sehubungan Peraturan Pemerintah RI No.13 tahun 1959 tgl. 2 Mei 1959, semua perusahaan yang tadinya dikelola Istilah koeli kontrak, buruh maupun karyawan sebenarnya sama, hanya konteks zaman yang memiliki istilah yang berbeda.

22

Muhammad Said, Koeli Kontrak tempo Doelo: Dengan Derita dan Kemarahannya, Harian Waspada:


(44)

oleh Pemerintah Belanda diambil alih oleh Negara termasuk kebun Dolok Sinumbah yang diberi nama Perusahaan Perkebunan Negara Baru (PPN Baru) eks HVA.

Selama periode 1957-1960 telah terjadi beberapa perubahan penting dalam kehidupan politik yang mempengaruhi kebijaksanaan pemerintahan dalam sektor perekonomian, antara lain perubahan struktur politik dari sistem demokrasi liberal ke sistem demokrasi terpimpin. Hal ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan kebijakan pemerintah di sektor perekonomian, yang mencakup perdagangan, perindustrian dan perkebunan yang disebut dengan Deklarasi Ekonomi.23

Sejalan dengan deklarasi kebijaksanaan ekonomi, pemerintah memiliki dasar untuk melaksanakan usaha kepemilikan modal secara langsung, dengan jalan mengambil alih perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang ada di Indonesia, sebagai sisa dari masa penjajahan. Proses pengambilalihan perusahaan Belanda ini berlangsung sejak Desember 1957 yang dikenal dengan proses “ Nasionalisasi” perusahaan asing.

Pada tahun 1960 Badan Pimpinan Umum (BPU), yang mengelola perusahaan-perusahaan negara secara sektoral, misalnya perdagangan, perkebunan dan industri. Perlu dipahami bahwa bekas perusahaan perkebunan swasta Belanda yang diambil alih oleh pemerintah tanggal 10 Desember 1957, tidak digabungkan dalam PPN yang sebelumnya sudah ada, tetapi digabungkan ke dalam organisasi pengelolahan perusahaan negara yang

23

Isi deklarasi tersebut adalah:1) negara mengkordinasikan dan mengatur semua kegitan sektor perekonomian Indonesia. Negara akan mengatur perencanaan dan pengawasan terhadap distribusi kredit, produksi dan investasi. 2) Penghancuran sisa imperialisme, dan penempatan modal asing untuk kepentingan


(45)

dibentuk baru, yaitu PPN Baru Pusat. Dengan dibentuknya PPN Baru, maka PPN yang telah ada sebelumnya disebut PPN Lama.

Pada Agustus 1960 Perkebunan Dolok Sinumbah masuk ke dalam PPN Baru yang merupakan bekas perkebunan HVA dan pada tahun yang sama struktur organisasi PPN baru disempurnakan dengan pembagian rayon, dan Pre-unit dalam setiap rayonnya. Unit-unit perusahaan menurut P.P No. 141 s/d 175 tahun 1961, dijadikan kesatuan-kesatuan perusahaan negara yang bertugas menyelenggarakan kegiatan di bidang produksi. Sementara itu PPN Lama dan PPN Baru Pusat digabungkan menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perusahaan Negara ( BPU-PPN). Sejak saat itu, PPN Lama Dan PPN Baru lebur menjadi PPN Kesatuan, yang terbagi dalam berbagai unit kerja perkebunan. Adapun unit kerja perkebunan itu adalah Unit Aceh, Unit Sumatera Utara 1 s/d X, Unit Sumatera Selatan I s/d II, Unit Jawa Barat I s/d VI, Unit Jawa Tengah I s/d V, Unit Jawa Timur I s/d X, PPN Perintis, dan Unit Penelitian.24

Kemudian Kebun Dolok Sinumbah masuk kedalam Perusahaan Perkebunan Persatuan Sumut III dalam jenis komoditi yang sama yaitu kelapa sawit. Tahun 1973 terjadi lagi reorganisasi didalam lingkungan Perusahaan Persatuan Sumut III dan Kebun Dolok Sinumbah masuk kedalam Perusahaan Negara Perkebunan VII ( PNP VII ) dimana Kebun Dolok Sinumbah diperluas menjadi 2 rayon yaitu Rayon 1 yang terdiri dari Afdeling I – VIII

24


(46)

masuk ke dalam Kebun Dolok Sinumbah, Rayon 2 yang terdiri dari Afdeling IX – X masuk kedalam eks Kebun Tonduhan.25

Pergeseran dalam politik nasional Indonesia, telah mengubah ulang prospek ekonomi industri perkebunan dan juga prospek dari berbagai kelompok sosial yang menggantungkan mata pencahariannya secara langsung. Pengambilalihan perkebunan milik Belanda menjadi milik Indonesia atau yang dikenal dengan “Nasionalisasi” pada tahun 1957 juga membawa perubahan, termasuk di dalamnya hierarki perkebunan dan kehidupan para buruh di perkebunan dan buruh tetap berada pada kelas terbawah.

Dalam hal ini, struktur formal hierarki mempertahankan sebagian besar dari bentuk permukaan struktur hierarki kolonial. Bentuk yang ada samapada zaman Belanda seperti ketua administrasi perkebunan (ADM), pengurus sistem umum (asisten kepala, ASKEP), pengawas asisten yang diberi tugas mengepalai divisi khusus penanaman, pegawai kantor (krani), teknisi, mandor yang mengepalai pada tiap blok di dalam tiap divisi dan akhirnya para buruh perkebunan yang bertanggung jawab kepada para mandor.

Ketika Belanda masih berkuasa di Sumatera Timur dan memiliki kuasa di perkebunan, penggolongan hierarki status begitu terlihat jelas. Sedangkan para kuli kontrak yang menjadi pekerja adalah kaum-kaum yang diperlakukan secara tidak adil dan berada pada kelas yang sangat rendah. Pada saat itu yang telihat sangat mencolok adalah bahwa pekerja di perkebunan merupakan komunitas heterogen yang terdiri dari berbagai etnis. Sehingga pembagian kerja diperkebunan dilakukan atas dasar etnisitas. Orang Jawa biasanya


(47)

dipekerjakan untuk menyiapkan lahan dan melaksanakan pekerjaan lain di ladang yang tidak memerlukan keahlian dan diawasi oleh seorang mandor. Orang India bekerja melakukan penggalian lubang bangunan, orang Melayu untuk transportasi dan orang Cina melakukan pekerjaan di kebun seperti orang Jawa. Hingga nasionalisasi perkebunan-perkebunan asing namun para pekerja di perkebunan-perkebunan masih memperkerjakan orang Jawa yang merupak keturunan-keturunan kuli kontrak.

3.2 Upah, Utang, dan Jaminan Kerja bagi Buruh di Perkebunan

Setelah Indonesia merdeka dan perkebunan sudah di nasionalisasikan. Penyebutan untuk kuli kontrak tidak lagi disebutkan bagi para pekerja di perkebunan. Keadaan orang Jawa sebagai buruh perkebunan secara substantif tidak banyak membawa perubahan, kecuali poenale sanctie telah dihapuskan. Kemiskinan dan ketertinggalan masih membalut kuat generasi keempat dan kelima para kuli yang telah bertukar namanya menjadi buruh atau karyawan.

Meskipun perkebunan asing milik Belanda sudah dinasionalisasikan, namun kehidupan para pekerja diperkebunan masih sama seperti pada masa Belanda bahkan keadaannya dapat dikatakan semakin memburuk. Para buruh perkebunan memiliki tugas yang berbeda-beda, ada yang membuat keranjang, menanam bibit baru, menyiram bibit tanaman, memanen hingga mengangkutnya ke pabrik kelapa sawit. Mereka memulai aktifitas bekerjanya pada


(48)

pukul 07.00 WIB dan selesai pada pukul 14.00 WIB sesuai dengan pekerjaan yang mereka peroleh di perkebunan, istirahat hanya diberikan waktu satu jam. 26

Memanen tanaman kelapa sawit sebelum tahun 1972 masih dilakukan dengan cara manual para pekerja harus menaiki pohon kelapa sawit dengan mengunakan sebatang pohon bambu yang setiap ruasnya diberi lubang, setelah diatas mereka harus mengaitkan tali yang ada di badan mereka dengan bambu dan batang pohon kelapa sawit. Setelah itu mereka memulai memanen, buah yang tidak selalu berdekatan membuat mereka harus memutar bambu tersebut tanpa turun terlebih dahulu. Dalam waktu satu jam para pekerja ini hanya bisa memanen satu pohon dengan jumlah buah yang dipanen ±5 tandan.27

Setelah dipanen buah dikumpulkan disetiap beberapa pohon dengan menggunakan keranjang yang dipikul oleh pekerja ke setiap blok, setelah terkumpul maka akan diangkut oleh pekerja lain dengan menggunakan gerobak yang ditarik oleh seekor sapi menuju perlintasan kereta api pengangkut kelapa sawit yang disebut muntik. Muntik inilah yang selanjutnya membawa hasil panen dari perkebunan kelapa sawit dari Afdeling VII dan Afdeling VIII ke pabrik kelapa sawit yang ada di Dolok Sinumbah.28

Biasanya orang bekerja untuk mendapatkan upah yang pemberiannya ditetapkan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian kerja, seperti dalam peraturan majikan, dalam peraturan

26

Berdasarkan peraturan tertulis, para buruh memulai pekerjaan pada pukul 7.00-14.00 dengan satu jam istirahat. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan sangat jauh berbeda, kadang kala mereka bekerja hingga

pukul 15.00 atau 17.00 WIB. Wawancara dengan Ngadikan pada tanggal 16 Februari 2013 di Huta II Baja


(49)

upah atau dalam perjanjian perburuhan.29

Masalah pengupahan pada buruh perkebunan masih saja mengadopsi cara pengupahan pada masa kolonial Belanda. Pemberian upah atau gajian dilakukan secara kontan dan berkala. Setiap buruh perkebunan mendapat upah dua kali dalam sebulan yaitu gajian besar pada awal bulan dan gajian kecil pada pertengahan bulan.

Mengenai bentuk upah yang biasanya berupa uang dan barang. Jika dibayar dengan uang maka pembayaran harus dilakukan dalam alat pembayaran yang sah di Indonesia. Selain uang pekerja juga mendapatkan tambahan berupa barang keperluan sehari-hari yang disebut dengan upah-innatura atau catu.

30

Pada saat gajian besar uang yang diterima dua kali lipat dari jumlah uang yang diterima pada gajian kecil. Jika pada gajian kecil mendapatkan uang sebanyak Rp 30.000,- maka jika gajian besar mendapat Rp 60.000,- atau lebih. Selain uang juga mendapatkan catu berupa barang keperluan sehari-hari seperti beras, minyak goreng, minyak tanah, garam,gula pasir, bubuk teh, ikan asin, kacang hijau, susu dan kain. Kain diberikan setiap enam bulan sekali. Pekerja perkebunan biasanya mendapatkan jatah sebesar enam meter, istri yang ikut suami sebesar tiga meter dan tiga meter untuk setiap anak.

Jumlah pembayaran upah pada gajian kecil biasanya lebih sedikit dibanding dengan gajian besar. Pada saat gajian selain mendapatkan upah berupa uang, buruh juga mendapatkan catu.

31

29

Halili Toha dan Hari Pramono, Hubungan Kerja Antara Majikan dan Buruh, Bina Aksara: Jakarta,

1987, hlm. 57. 30

Pada masa pemerintahan Belanda, perkebunan membayarkan upah pada hari-hari tertentu (hari besar) biasanya pada tanggal 1 dan 15 setiap bulan. Lihat Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatera Timur pada Awal Abad ke-20, Pustaka Utama Grafiti: Jakarta, 1997, hlm. 116.

31


(50)

Pemotongan upah pada saat gajian besar tidak dapat dihindarkan. Potongan tersebut mampu menghabiskan semua jumlah gaji yang diperoleh, jika sisa pun tidak mempu menompang kebutuhan hidup beberapa hari ke depannya. Upah buruh perkebunan yang sangat kecil, yang tidak sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan, ditambah dengan jumlah tanggungan yang banyak membuat upah yang diperoleh tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. 32

Tradisi utang juga diwarisi dari masa kolonial. Pada masa kolonial Belanda. Para buruh yang berasal dari Pulau Jawa mendapatkan uang panjar, sebenarnya uang panjar ini adalah utang yang kemudian hari ketika sudah bekerja di Sumatera Timur akan ditagih. Ketika di perkebunan dengan hidup yang sulit dan merebaknya perjudian33

Tidak jauh berbeda dengan kehidupan buruh setelah dinasionalisasi. Para buruh biasanya meminjam di koperasi-koperasi yang telah disediakan di pondok perkebunan. Koperasi ini menyediakan bahan makan pokok seperti beras, minyak, gula garam dan lain-lain. Jika persedian para buruh sudah habis, maka buruh mengambil terlebih dahulu di koperasi. Pada saat gajian besar datang, utang tersebut harus dibayar ke koperasi. Seringkali

sistem utang pun semakin berkembang, hal ini bertujuan untuk mengikat para kuli kontrak dengan pihak perekebunan.

32

Ibid.,

33

Ketika tiba gajian besar pihak perkebunan menyediakan pertunjukan seperi wayang atau teater Cina yang bertujuan untuk menghilangkan rasa bosan bekerja di perkebunan, namun yang jauh lebih penting untuk mengurangi kebosanan adalah perjudian. Perjudian secara resmi dibatasi hanya untuk gajian besar, semula pemerintah melarang sepenuhnya aktivitas perjudian di perkebunan, tetapi kemudian pemerintah membatalkannya karena protes dari para tuan kebun. Hal ini karena menguntungkan bagi para tuan kebun.


(51)

jumlah gaji yang diuperoleh habis untuk membayar utang. Kebiasaan ini terus berlangsung dan berkesinambungan.34

Untuk mengikat para buruh perkebunan dengan pihak perkebunan untuk memaksimalkan hasil pekerjaan, maka pihak perkebunan menyediakan perumahan untuk tempat tinggal para buruh dan keluarganya. Tempat tinggal ini juga disesuaikan dengan pekerjaan para buruh sendiri. Para buruh biasanya tinggal di perumahan berdinding papan, atapnya terbuat dari ijuk atau daun enau yang sudah di ikat. Ini sering disebut pondok panjang yang biasanya terdiri dari enam belas rumah yang berjajar, hampir menyerupai bangsal-bangsal.35

Keadaan perumahan ini jauh dari kata rumah yang layak huni. Karena Kondisi perumahan dan fasilitas yang tersedia pada sebuah rumah cukup berpengaruh terhadap kesehatan penghuninya. Di indonesia, sebuah rumah cukup dikatakan sehat jika: air yang dapat digunakan memenuhi syarat kesehatan, sistem pembuangan air bekas yang baik, fasilitas untuk mandi yang baik, fasilitas pembuangan tinja yang sehat, anggota sekeluarga yang sebanding dengan luasnya kamar, ventilasi yang baik dan kekuatan bangunan yang ditempati.36

34

Wawancara dengan Boini pada tanggal 17 Februari 2013 di Huta II Baja Dolok.

Bangunan rumah di pondok perkebunan di Afdeling VII dan VIII tidak memiliki jendela, fasilitas untuk mandi yang baik tidak ditemukan di perumahan yang disediakan, mereka para buruh biasanya mengambil air dari bak umum, baik air untuk kebutuhan makan minum, dan mandi.

35 Ibid.,

36

Selo Sumardjan, Migrasi, Kolonialialisasi, Perubahan Sosial, Pustaka Grafika Kita: Jakarta, 1988, hlm. 88.


(52)

Pada masa pemerintahan Belanda, perumahan kuli ditempatkan dalam barak yang digunakan sebagai bangsal tidur bersama dan tempat tinggal bersama yang tersiri dari 10-20 orang, berlantai tanah, berdinding papan dan beratap daun enau, tidak ada lubang angin, sehingga pengap dan kotor. Barak-barak kuli berdiri berjajar, atau berupa bujur sangkar mengelilingi lapangan yang di dalamya didirikan dapur. Untuk kakus digunakan lubang-lubang terbuka yang terbuat tidak jauh dari perumahan.37

Jaminan tempat tinggal ini berlaku selama buruh masih memiliki ikatan kerja dengan pihak perkebunan. Perumahan ini tidak menjadi hak milik atau tempat tinggal tetap bagi para buruh perkebunan. Hal ini dikarenakan sering terjadinya perpindahan bagi para buruh ke perkebunan lain atau afdeling lain sesuai dengan kebijakan perkebunan. Sehingga perpindahan tempat tinggal para buruh di pondok perkebunan itu juga tidak dapat dihindari.

Pembagian bangsal ini disesuaikan dengan etnis masing-masing. Orang Jawa bergabung dengan orang Jawa, Cina dengan Cina, India dengan India dan lain sebagainya. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan keadaan perumahan buruh perkebunan di Dolok Sinumbah, hanya saja sudah didirikan untuk setiap keluarga.

Para buruh perkebunan mendapatkan sarana dan prasarana untuk mendukung pekerjaan mereka dari pihak perkebunan. Misalnya bagi orang yang bekerja mengangkut hasil perkebunan kelapa sawit yang menggunakan sapi, maka pekerja tersebut mendapatkan sapi untuk bekerja. Pengangkutan ini dilakukan dari tiap blok menuju perlintasan kereta api. Kereta api ini disebut masyarakat setempat dengan sebutan muntik. Setelah dipindahkan ke


(53)

Sedangkan untuk pemetik panen kelapa sawit disediakan peralatan untuk memotong dan peralatan yang terbuat dari bambu yang biasanya disediakan sendiri oleh para buruh.38

Sebelum tahun 1972 semua peralatan untuk buruh yang dari perkebunan kelapa sawit di dukung oleh peralatan yang terbuat dari bambu, seperti tangga yang digunakan untuk memanjat saat panen kelapa sawit dan skop untuk mengumpulkan kelapa sawit yang rontok dari Tandan Buah Segar (TBS) begitu juga keranjang untuk mengumpulkan hasil panen semuanya terbuat dari bambu. Sementara penanaman bibit kelapa sawit juga menggunakan anyaman bambu yang menyerupai pas untuk bunga.39

Melihat keadaan tempat tinggal dan suasana kerja yang dilakukan secara tradisonal, dan alat pengaman yang sangat minim menyebabkan kecelakaan sering terjadi, hal ini seringkali dialami bagi buruh yang mendapat tugas sebagai pemanen kelapa sawit. Dengan alat yang tradisional dan pengaman yang sangat minim sehingga tidak jarang terjadi kecelakaan menyebabkan buruh mengalami kelumpuhan hingga kematian. Keadaan yang demikian sehingga diterapkanlah jaminan kesehatan untuk para buruh dan keluarganya.40

Para buruh yang berada di Dolok Sinumbah dapat merujuk jaminan kesehatan di Rumah Sakit Balimbingan. Rumah Sakit Balimbingan adalah salah satu Unit Rumah Sakit di PTP.Nusantara IV (Persero) Medan selain RS.Laras dan RS.Pabatu. Didirikan pada tahun 1926 oleh HVA (Belanda). Hingga saat ini bangunan dan bentuknya ± 80% masih original

38

Wawancara dengan Ngadikan pada tanggal 16 Februari 2013 diHuta II Baja Dolok

39 Ibid.,

40 Ibid.,


(54)

bangunan Belanda, meski disebahagian fisik bangunannya telah beberapa kali dilaksanakan rehabilitasi. RS.Balimbingan adalah eks PT.Perkebunan VIII sebelum bergabung dengan PTP.Nusantara IV (Persero) Ruangan rawat terdiri dari 10 bangsal ditambah 1 Unit ruangan Kelas I.Kapasitas tampung berkisar sampai 400 orang pasien yang dulunya diperuntukkan bagi seluruh karyawan kebun HVA di Kabupaten Simalungun.41

Jaminan kesehatan juga diberikan kepada para buruh diperkebunan. Ini diberlakukan ketika terjadi kecelakaan kerja, istri melahirkan serta jaminan kesehatan untuk semua anaknya. Jaminan kesehatan untuk setiap anak berlaku sebelum tahun 1972, karena setelah itu terjadi pembatasan untuk jaminan kesehatan anak.42

3.3 Organisasi Buruh di Perkebunan

Buruh selain bekerja di perkebunan mereka juga memiliki serikat sendiri untuk menampung segala aspirasi dan keluhan selama mereka selama bekerja di perkebunan. Serikat buruh - serikat buruh ini merupakan tempat untuk berpolitik bagi kelompok buruh, tetapi perjuangan serikat buruh adalah perjuangan yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan langsung daripada para anggotanya, untuk perbaikan upah dan syarat-syarat kerja, suatu perjuangan yang terbatas pada soal-soal sosial ekonomi. Kesadaran yang diperoleh lewat aksi-aksi dan pemogokan-pemogokan belumlah mencapai tingkat kesadaran kelas yang sempurna, tetapi baru pada tingkat kesadaran pertentangan antara mereka sebagai buruh-upahan terhadap majikannya itu sendiri yang memeras tenaganya, tingkat kesadaran yang


(55)

elementer, kesadaran yang masih terbatas untuk memperjuangkan nasibnya sendiri, nasib golongannya. Adapun organisasi buruh yang ada di perkebunan adalah Persatuan Karyawan Perkebunan Negara dan Pekebun (PERKAPPEN), Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Pembentukan organisasi ini bersamaan dengan pemberian penampungan kepada para simpatisan serta pasukan-pasukan Republik, buruh perkebunan menjadi terorganisasi dan mengorganisasi diri di Sumatera Utara. Setelah kemerdekaan Agustus 1945, dibentuklah Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang berpangkalan di Jawa, dan setahun kemudian munculah Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang mewakili gerakan buruh yang berhaluan kiri.

SARBUPRI merupakan sarikat pekerja yang paling banyak diikuti oleh buruh di perkebunan Dolok Sinumbah dibanding dengan PERKAPPEN dan Gerwani. SARBUPRI didirikan pada pertengahan tahun 1947 dan diperkirakan satu juta orang buruh perkebunan menjadi anggota SARBUPRI, hal ini yang mengakibatkan SARBUPRI menjadi serikat buruh terbesar yang melampaui serikat buruh lainnya di Indonesia. SARBUPRI membatasi usaha-usahanya pada pembangunan lasykar buruh dan pemberian dukungan terhadap hak-hak petani liar. Dan keunggulanya acap kali menjumpai tantangan dari serikat-serikat buruh tandingan dan federasi-federasi anti komunis. Menjelang 1949 serikat-serikat buruh “bermunculan bak jamur di musim penghujan” yang menampilkan diri di seluruh


(56)

cultuurgebied, dengan hampir 50 serikat buruh baru yang dibentuk dalam jangka waktu 6 bulan.43

SARBUPRI yang berada di bawah naungan SOBSI mampu menarik simpati para buruh di perkebunan. Di mana pada tahun 1950-an SOBSI mampu manaikkan gaji para buruh sebesar 30% dan menuntut agar pekerja diberi tempat tinggal yang layak, serta bekerja sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dalam internal manajemen perusahaan, tidak disukai, diganti dengan yang baik hati dan mengetahui urusan buruh.

Lebih lagi, pola tempat tinggal para pekerja menguntungkan sekali untuk rapat-rapat umum dan arus informasi secara mudah dan dapat diakses, karena para buruh bertempat tinggal di dalam kelompok-kelompok perumahan perkebunan. Dalam lingkungan yang belum stabil dan penuh dengan emosi inilah anggota-anggota serikat buruh direkrut dengan cepatnya, dibina dengan seksama, dan dari keinginan mereka secara sendirilah secara aktif mereka terjun ke dalam kegiatan-kegiatan.44

Kekuatan SARBUPRI didukung dengan berjalannya sistem kaderisasi dengan baik, pola perekrutan dilakukan secara intensif melalui diskusi yang meterinya dimulai dari pengenalan organisasi, pemetaan situasi politik-ekonomi, diantaranya menyangkut mengapa buruh selalu ditindas hingga penguatan ideologi. Sistem kaderisasi menghasilkan kader-kader


(57)

bagi organisasi, buruh terbaik dipilih untuk menjadi ketua SARBUPRI, sehingga pemimpin dalam serikat buruh tidak dihasilkan secara singkat.45

Pemogokan dibawah pimpinan SARBUPRI pada bulan Agustus-September 1950 menghasilkan kenaikan yang besar upah minimum pekerja perkebunan dan pemogokan bulan September 1953 menghasikan kenaikan upah sebesar 30%. Dalam tahun 1951 di sahkan undang-undang perburuhan yang memuat persetujuan perusahaan-perusahaan atas tujuh jam kerja sehari dan empat puluh jam kerja seminggu.46

Di Pantai Sumatera SARBUPRI melancarkan kampanye untuk melenyapkan sisa-sisa terakhir perumahan barak, dan menuntut agar para pekerja diberi bahan (material) dan kesempatan waktu (selama jam kerja yang dibayar) untuk memperbaiki tempat tinggalnya. Tentang persoalan internal menjemen, SARBUPRI dengan efektif mendesak dikeluarkanya para mandor “yang tidak disukai” dan menggantikannya dengan orang-orang yang lebih baik hati dengan urusan buruh. Mengenai soal-soal kehidupan sehari-hari, atas kasus pembagian jatah beras berkualitas rendah atau pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan oleh atasanya protes dilakukan secara teratur dan efektif-yang menurut seorang menejer asing dilakukan dengan kegigihan yang menakutkan.47

Dengan usaha-usaha keras yang dilakukan oleh pihak SARBUPRI inilah para buruh yang sebelumya termasuk ke dalam organisasi PERKAPPEN lebih memilih untuk bergabung

45

Wawancara dengan Suratemin pada tanggal 30 Juni 2013 di Huta III Baja Dolok.

46

Ann Stoler, op.cit., hlm. 222.

47


(58)

dengan SARBUPRI. PERKAPPEN yang merupakan bentukan pihak perkebunan dianggap tidak terlalu memihak kepada buruh dan lebih condong ke pihak perkebunan.48

Kondisi yang ada dianggap tidak menguntungkan bagi buruh pada saat itu, karena buruh menginginkan kenaikan upah dan perbaikan kehidupan kearah yang lebih baik. SARBUPRI yang pada awal pembentukannya merupakan organisasi yang banyak diminati oleh buruh perkebunan di Sumatera inilah yang menarik simpati para buruh yang ada di kebun Dolok Sinumbah, khusunya Afdeling VII dan Afdeling VIII.49

Banyaknya bentuk nyata yang telah diperoleh setelah bergabung dengan SARBUPRI sehingga mengalami perubahan seperti kenaikan upah, pengembalian catu perkebunan yang buruk kualitasnya dan penggantian mandor-mandor yang semena-mena terhadap buruh. Hasil yang sedemikian ini membuat mayoritas buruh perkebunan yang ada di Afdeling VII dan Afdeling VIII bergabung menjadi anggota SARBUPRI dan meninggalkan PERKAPPEN. Di Afdeling VIII sendiri hanya 9 buruh yang tidak mau bergabung dalam organisasi

SARBUPRI.50

Pada pemilu tahun 1955 PKI mendapat tempat terhormat dan menduduki posisi nomor empat setelah PNI, Masyumi dan NU. Padahal PKI pada tahun 1948 mendapat predikat cacat sebagai partai yang baru melakukan kudeta, namun setelah pemilu partai ini mendapat

48


(59)

dukungan terutama bagi petani dan buruh, hal ini karena pada saat itu keadaan ekonomi yang semakin membaik.

SARBUPRI sebagai organisasi buruh di perkebunan yang merupakan onderbouw PKI ini semakin gencar melakukan kampanye di pihak perkebunan menjelang pemilu selanjutnya. Setiap anggota diiming-imingin siapa yang selalu mendukung dan setia kepada PKI akan dijadikan lurah. Janji-janji yang diberikan SARBUPRI tersebut membuat para buruh selalu medukung apa saja kegiatan yang dilakukan organisasi tersebut. Namun setelah terjadinya peristiwa 30 September 1965, kehidupan organisasi ini benar-benar mati, karena orang-orang yang tergabung di dalamnya diberingus oleh pihak yang berkuasa.51

Selain SARBUPRI dan PERKAPPEN, buruh di perkebunan ada juga yang tergabung dalam organisasi gerakan wanita (Gerwani), namun jumlah buruh perempuan yang tergabung dalam organisasi ini hanya berjumlah 15 orang. Gerwani merupakan organisasi wanita terbesar di Indonesia, pada awalnya organisasi ini bernama Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis).52

Gerwis berganti nama menjadi Gerwani setelah diadakan kongres II Gerwis pada tahun 1954, sejak saat itulah Gerwani menjadi organisasi wanita yang berorientasi pada

51

Wawancara dengan Lasimin pada tanggal 18 Mei 2013 di Huta III Baja Dolok.

52

Gerwis didirikan pada tanggal 4 Juni 1950 sebagai peleburan dari 7 organisasi wanita yaitu Rukun Putri Indonesia, Persatuan Wanita Sedar Surabaya dan Bandung, Gerakan Wanita Rakyat Indonesia, Perdjoangan Putri Republika Indonesia, Wanita Madura dan Persatuan Wanita Indonesia. Gerwis didirikan atas dasar dan pengertian dan keyakinan bahwa wanita mempunyai kepentingan dalam perjuangan anti penjajahan dalam bentuk dan corak apapun dengan tujuan untuk mengarahkan tenaga wanita dari berbagai golongan dan

tingkatan seperti buruh dan tani sebagai tenaga pokok revolusi. Lihat Alex Dinuth, Kewaspadaan Nasional dan


(60)

penggalangan massa seluas-luasnya dan berjuang demi hak-hak wanita dan anak-anak. Tujuan dan tugas Gerwani adalah menghilangkan diskriminasi antara wanita dan pria dalam pembayaran upah, kesempatan kerja, perlindungan kerja, pendidikan dan perkawinan, termasuk dalam petunjuk-petunjuk tentang cara kaum wanita mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin tinggi dan hak-hak kaum wanita.53

Di pondok perkebunan Afdeling VII dan Afdeling VIII aktivitas Gerwani lebih menekankan tentang persamaan gender antara perempuan dan laki-laki, juga tentang bagaimana mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan upah suami sebagai buruh perkebunan kecil dan seringkali tidak mencukupi semua kebutuhan hidup. Di bidang pendidikan para anggota Gerwani hanya ditekankan pada pengenalan baca tulis untuk memberantas buta huruf.54

Perekrutan Anggota Gerwani berasal dari seluruh lapisan masyarakat yang berusia 16 tahun keatas baik yang belum atau sudah menikah dan untuk menjadi anggota Gerwani tidak perlu mengisi formulir ataupun tanda tangan karena anggota Gerwani di pondok ini hanya berpendidikan SD bahkan ada yang tidak pernah sekolah/buta huruf. Untuk itu mereka hanya membirakan stempel cap jempol. Kebayakan dari mereka ingin menjadi anggota Gerwani karena ingin sekedar bertemu dengan teman-teman dan tertarik dengan kegiatanya yang berisikan tentang kehidupan dalam rumah tangga.55

53


(61)

Sama halnya dengan SARBUPRI, organisasi ini juga termasuk dalam organisasi terlarang pada masa Orde Baru. Setelah peristiwa G 30 S 1965 kegiatan Gerwani benar-benar terhenti, semua orang-orang tergabung ditangkap oleh pihak militer dan pihak yang memiliki kekuasaan pada saat itu.


(1)

(2)

Irigasi di dusun III Banua

Sumber : Koleksi pribadi yang diambil pada 28 Juni 2013

Sumber : Koleksi pribadi yang diambil pada 28 Juni 2013


(3)

(4)

Rumah penduduk yang didirikan sekitar tahun 1930-an

Sumber: Koleksi pribadi yang diambil pada 18 Juli 2013

Rumah buruh eks-PKI setelah menjadi petani


(5)

(6)