penyimpanan saat pembongkaran yaitu 5 jam, sehingga ikan telah mengalami penurunan nilai pH. Hasil tangkapan pun ditangani kurang sesuai dengan
ketentuan penanganan menurut Ilyas 1993. Pada umumnya, ikan yang baru saja mati memiliki pH alkalin dan kemudian
mencapai pH minimum pada saat rigor mortis sekitar 5,8 sampai 6,2 Rahayu et al., 1992. Fase rigor maksimum akan dicapai setelah ikan mati dengan kisaran
nilai pH 6,2 sampai 6,6 Ilyas, 1993. Nilai pH ikan swanggi pada saat pembongkaran berkisar antara 6,23 sampai 6,75, hal ini menunjukkan ikan baru
saja mati dan dalam tahap rigor mortis. Setelah ikan mati, sirkulasi darah terhenti mengakibatkan runtutan perubahan yang terjadi dalam ototjaringan ikan.
Berawal dari terhentinya sirkulasi darah yang mengakibatkan terhentinya suplai O
2
sehingga mempengaruhi metabolisme dalam tubuh. Pernapasan terhenti dan mengakibatkan terjadinya proses glikolisis yang mengubah glikogen menjadi
asam laktat yang akan menurunkan pH tubuh sehingga membebaskan dan mengaktifkan katepsin Eskin, 1990. Sehingga saat proses produksi dan saat di
pasar pH ikan swanggi sudah turun karena adanya proses perubahan glikogen menjadi asam laktat.
Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat bahwa pH ikan swanggi yang diperoleh lebih dipengaruhi oleh waktu pengiriman ikan ke CV. Bahari Express
dibandingkan alat tangkap yang digunakan. Semakin lama waktu pengiriman dilakukan maka nilai pH ikan swanggi akan cenderung lebih rendah. Hal ini
disebabkan proses glikolisis sudah mulai berlangsung, yang mengubah glikogen menjadi asam laktat sehingga akan menurunkan pH Eskin, 1990.
5.3.3 Perubahan nilai Total Volatile Base TVB
Penanganan ikan yang baik harus memperhatikan suhu ikan, karena kenaikan suhu berkorelasi positif dengan peningkatan kadar Total Volatile Base
TVB pada ikan yang merupakan koreksi terhadap kesegarannya Suryawan, 2004. Dari Gambar 27 dapat dilihat bahwa selama pendistribusian nilai TVB
ikan swanggi mengalami peningkatan dari proses pembongkaran sampai lokasi pasar. Pada saat proses pembongkaran, nilai TVB ikan swanggi yaitu 13,07 mgN
100 g meningkat menjadi 28 mgN 100 g pada saat proses produksi. Untuk ikan reject dan ikan yang telah sampai di pasar kadar TVBnya 42 mgN 100 g.
Menurut Soekarto 1990 yang menyatakan tingkat kesegaran hasil perikanan berdasarkan TVBN dikelompokkan menjadi 4, yaitu :
Ikan sangat segar dengan kadar TVBN 10 mgN 100 g atau lebih kecil; Ikan segar dengan kadar TVBN sebesar 10-20 mgN 100 g;
Ikan yang berada pada garis batas kesegaran yang masih dapat dikonsumsi
dengan kadar TVBN 20-30 mgN 100 g; Ikan busuk yang tidak dapat dikonsumsi dengan kadar TVBN lebih besar
dari 30 mgN 100 g. Maka saat proses pembongkaran ikan masih dalam kelompok ikan segar,
dan ikan segar di perusahaan masih dalam kelompok ikan yang berada pada garis batas kesegaran yang masih dapat dikonsumsi, sedangkan ikan reject di
perusahaan dan ikan yang dijual di pasar termasuk ikan busuk yang tidak dapat dikonsumsi.
Hal ini diduga karena tidak dijaganya suhu pada saat proses penanganan ikan seperti waktu penangkapan oleh nelayan yang dikelola supplier tidak
menggunakan es pada waktu musim paceklik, juga suhu air di tempat supplier untuk mencuci ikan lebih dari 10 ºC. Peningkatan kandungan TVB di lokasi
supplier menuju pabrik diduga akibat degradasi protein atau derivatnya yang menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap seperti amoniak, histamin dan
H
2
S. Enzim-enzim alami pada ikan, seperti enzim proteolitik dan lipolitik dalam proses penurunan mutu ikan. Beberapa enzim alami pada ikan yang mengurai
protein adalah amino peptidase, tripsin dan urease. Kenaikan TVB akibat enzim protein secara autolisis menjadi asam karboksilat, asam sulfida, NH
3
dan sebagainya. Meningkatnya TVB disebabkan oleh terbentuknya amoniak dan
senyawa trimetilamin dan basa volatil lainnya yang mengandung nitrogen, secara keseluruhan dinyatakan sebagai basa volatil total TVB Suryawan, 2004.
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan