Gambar 9 Persentase share rata-rata rumah tangga di Provinsi Jawa Barat
untuk konsumsi produk kelompok buah-buahan
Berdasarkan Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9 dapat diketahui bahwa
Hukum Bennet berlaku pada rumah tangga di Provinsi Jawa Barat. Hukum ini menyatakan bahwa semakin kaya suatu masyarakat, mereka akan mengubah pola
konsumsi mereka, yang awalnya didominasi oleh simple starchy plant berubah menjadi lebih bervariasi, yaitu mengonsumsi sayuran, buah, produk susu, dan
terutama daging. Semakin tinggi pengeluaran per kapita rumah tangga di Provinsi Jawa Barat, baik di perkotaan maupun perdesaan, mengalami penurunan share
produk padi-padian, terutama beras, disertai dengan peningkatan share pengeluaran pangan untuk mengonsumsi produk buah-buahan dan daging. Perubahan ini terjadi
karena peningkatan pengeluaran per kapita rumah tangga tidak disertai dengan peningkatan kuantitas produk padi-padian yang dikonsumsi, namun disertai dengan
peningkatan jenis pangan yang dikonsumsi, yaitu pangan dari kelompok daging dan buah-buahan.
Gambar 10 Persentase share rata-rata rumah tangga di Provinsi Jawa Barat
untuk konsumsi produk kelompok tembakau sirih
.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00 7.00
8.00
G - 1 G - 2
G - 3 G - 4
G - 5 G - 6
G - 7 G O L O N G A N P E N D A P A T A N
P E
R S
E N
T A
S E
S H
A R
E
Perkotaan Perdesaan
.00 5.00
10.00 15.00
20.00 25.00
G - 1 G - 2
G - 3 G - 4
G - 5 G - 6
G - 7 G O L O N G A N P E N D A P A T A N
P E
R S
E N
T A
S E
S H
A R
E
Perkotaan Perdesaan
Peningkatan pengeluaran per kapita juga mngakibatkan peningkatan pengeluaran untuk konsumsi kelompok tembakau sirih. Bahkan rata-rata laju
peningkatan konsumsi kelompok ini lebih tinggi daripada rata-rata laju kelompok lainnya. Rata-rata laju peningkatan konsumsi produk kelompok tembakau sirih
pada rumah tangga perkotaan sebesar 14.34 persen dan di perdesaan sebesar 15.04 persen. Hasil ini sesuai dengan Kosen 2008 dan Purwaningsih et al. 2010 yang
menyebutkan bahwa berbagai studi empiris menunjukkan bahwa masyarakat miskin cenderung menggunakan tembakau rokok lebih banyak dibandingkan
masyarakat kaya. Meski demikian, terdapat kecenderungan penurunan share konsumsi kelompok ini pada rumah tangga G-7, baik di perkotaan maupun
perdesaan Gambar 10. Gambar 10 juga menunjukkan bahwa pola konsumsi produk kelompok tembakau sirih bersifat kuadratik. Penurunan share ini dapat
diakibatkan oleh meningkatnya kesadaran akan bahaya rokok terhadap kesehatan sehingga rumah tangga mengurangi konsumsi rokoknya.
6.2. Tingkat Diversifikasi Pangan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat
Tingkat diversifikasi pangan dapat diukur dengan menggunakan Indeks Berry Berry Index. Secara umum, berdasarkan share pengeluaran rumah tangga
diketahui bahwa rata-rata Berry index rumah tangga di perkotaan dan perdesaan tidak jauh berbeda, masing-masing yaitu 0.797 dan 0.803. Hal ini menunjukkan
tidak terdapat perbedaan antara rumah tangga di perkotaan dan perdesaan dalam melakukan diversifikasi pangan dari sisi pengeluaran pangan rumah tangga. Nilai
tersebut, yang semakin mendekati nilai 1.00, juga memperlihatkan bahwa rumah tangga telah mengonsumsi produk hampir semua kelompok pangan yang ada.
Berbeda dengan perekonomian rumah tangga yang timpang, rumah tangga di Provinsi Jawa Barat tidak mengalami ketimpangan diversifikasi pangan. Hal ini
dapat dilihat dari nilai Gini ratio yang diukur menggunakan nilai Berry index. Gini ratio digunakan untuk melihat ketimpangan pendapatan, namun dengan
menggunakan nilai Berry index kita dapat melihat ketimpangan tingkat diversifikasi pangan antara rumah tangga di Provinsi Jawa Barat. Nilai Gini ratio dari diversitas
pangan rumah tangga pada tahun 2015 bernilai 0.06, menunjukkan telah terjadi pemerataan pola pangan yang terdiversifikasi di rumah tangga Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita diketahui bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita maka semakin tinggi tingkat diversifikasi pangan
rumah tangga Gambar 11. Rata-rata laju peningkatan Berry index pada peningkatan kelompok pengeluaran per kapita sebesar 2.07 persen pada rumah
tangga perkotaan. Adapun laju pada rumah tangga perdesaan adalah sebesar 2.26 persen.
Gambar 11 Tingkat Berry index berdasarkan golongan pengeluaran per
kapita rumah tangga perkotaan dan perdesaan Provinsi Jawa Barat
Tabel 14 Rata-rata nilai indikator berdasarkan kelompok golongan pengeluaran per kapita sebulan dan
Berry index rumah tangga Provinsi Jawa Barat tahun 2015
Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan Rupiah
Kelompok Berry
Index Rata-rata
Berry Index
Food Share Kalori
kkal
100 000 - 149 999 G-1 K-1
65.23 1 266
0.59 K-2
65.57 1 213
0.76 K-3
- -
- 150 000 - 199 999 G-2
K-1 66.48
1 505 0.59
K-2 65.99
1 342 0.76
K-3 63.48
1 159 0.85
200 000 - 299 999 G-3 K-1
63.25 1 704
0.58 K-2
63.86 1 558
0.77 K-3
63.90 1 426
0.86 300 000 - 499 999 G-4
K-1 65.94
1 828 0.58
K-2 64.54
1 874 0.78
K-3 64.30
1 817 0.86
500 000 - 749 999 G-5 K-1
63.04 1 994
0.55 K-2
59.11 2 135
0.78 K-3
58.90 2 163
0.86 750 000 - 999 999 G-6
K-1 56.99
2 094 0.55
K-2 55.19
2 245 0.78
K-3 55.34
2 391 0.86
1 000 000 dan lebih G-7 K-1
44.24 2 256
0.52 K-2
43.50 2 444
0.78 K-3
41.94 2 636
0.87
.64 .66
.68 .70
.72 .74
.76 .78
.80 .82
.84
G - 1 G - 2
G - 3 G - 4
G - 5 G - 6
G - 7 G O L O N G A N P E N D A P A T A N
Perkotaan Perdesaan
Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa berbeda dengan kelompok pengeluaran lainnya, kelompok G-1 hanya terdiri atas kelompok rumah tangga yang
berdiversitas pangan rendah dan sedang. Hal ini bukan merupakan hal yang aneh, sebab dengan rata-rata nilai food share yang tinggi dan asupan kalori harian yang
rendah tujuan utama dari rumah tangga kelompok ini adalah meningkatkan asupan kalori harian yang dikonsumsinya. Oleh sebab itu, share terbesar pengeluaran
pangan rumah tangga G-1 adalah untuk produk kelompok padi-padian Gambar 7.
Kelompok G-2 hingga G-4 telah terdapat rumah tangga yang memiliki diversitas pangan yang tinggi. Namun, pada kelompok ini peningkatan tingkat
diversitas pangan disertai dengan penurunan rata-rata asupan kalori harian. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga G-2 hingga G-4 dapat mengonsumsi berbagai
produk dari kelompok pangan yang berbeda namun dengan bayaran berkurangnya asupan kalori harian.
Berbeda dengan golongan lainnya, peningkatan tingkat diversitas pangan rumah tangga kelompok G-5 hingga G-7 disertai dengan penurunan food share per
bulan dan peningkatan asupan kalori harian. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga kelompok ini telah sejahtera dari sisi ekonomi dan gizi. Masih adanya rumah
tangga yang berdiversitas rendah diduga dikarenakan tingginya pengeluaran pangan untuk kelompok makanan minuman jadi, sehingga rumah tangga tersebut
memiliki tingkat diversitas yang rendah namun telah mencapai rata-rata asupan kalori 2 150 kkal per hari.
Tabel 15 Share pengeluaran pangan rumah tangga perkotaan Provinsi Jawa
Barat berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan
Kelompok Perkotaan
G-1 G-2
G-3 G-4
G-5 G-6
G-7
Padi 47.85 38.28 30.39 21.27 18.15 15.16 12.79
Umbi 1.71
1.99 2.21
2.11 1.87
1.73 1.79
Ikan 5.01
4.83 4.99
5.80 5.53
5.97 7.45
Daging 5.01
6.72 5.88
5.22 5.92
6.42 8.69
Telur Susu 5.01
5.05 5.13
5.00 5.74
6.10 7.89
Sayur-sayuran 8.11
6.62 6.62
6.69 6.20
6.04 6.01
Kacang 3.88
3.41 3.90
3.14 3.20
2.93 2.74
Buah-buahan 6.08
3.36 3.90
4.81 4.54
5.04 7.00
Minyak 4.60
3.45 3.32
3.81 2.85
2.65 2.65
Konsumsi Lainnya 4.07
3.99 3.68
3.20 3.20
3.05 2.88
Tembakau Sirih 8.23 14.01 16.90 18.90 18.79 19.27 15.67
Bahan Minuman 3.51
4.44 3.87
3.51 3.74
3.47 3.27
Bumbu-bumbuan 2.38
2.27 2.24
2.48 2.20
2.08 1.93
Makanan Minuman Jadi
19.20 22.28 23.08 26.96 29.83 31.83 33.89
Total food share 64.51 65.11 62.09 62.13 56.97 53.73 41.02
Rumah tangga di tiap golongan pengeluaran per kapita baik di perkotaan maupun di perdesaan telah melakukan diversifikasi pangan dengan mengonsumsi
semua kelompok pangan yang ada Tabel 15 dan Tabel 16. Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa rumah tangga G-1 hingga G-7 memiliki pola pengeluaran pangan
yang hampir sama, yaitu memiliki share yang besar untuk kelompok pangan padi- padian, makanan minuman jadi, dan tembakau sirih.
Tabel 16 Share pengeluaran pangan rumah tangga perdesaan Provinsi Jawa
Barat berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan
Kelompok Perdesaan
G-1 G-2
G-3 G-4
G-5 G-6
G-7
Padi
47.56 44.50 37.00 28.05 22.82 19.42 17.65
Umbi 1.35
2.36 1.88
1.72 1.64
1.73 1.78
Ikan 3.50
5.67 5.87
6.12 5.81
5.92 7.09
Daging .00
7.25 6.26
6.17 6.05
6.11 7.38
Telur Susu
8.71
4.73 4.92
4.70 4.81
5.10 5.89
Sayur-sayuran 5.56
6.88 6.98
6.59 6.26
6.15 6.52
Kacang 7.20
4.48 3.95
3.38 3.13
2.93 2.88
Buah-buahan 4.03
3.96 4.38
4.51 4.32
4.81 6.01
Minyak 5.39
4.59 4.06
3.59 3.03
2.84 2.79
Konsumsi Lainnya 3.59
3.95 3.46
3.27 3.13
3.18 3.33
Tembakau Sirih
8.48 10.29 16.07 19.16 20.70 20.33 17.72
Bahan Minuman 3.69
3.87 3.84
3.92 3.93
4.00 4.19
Bumbu-bumbuan 2.56
2.33 2.28
2.33 2.32
2.25 2.42
Makanan Minuman Jadi
14.87 16.43 18.23 20.66 24.58 25.95 26.32
Total food share 68.26 66.51 65.98 67.49 62.23 59.37 49.45
Rumah tangga di perdesaan menunjukkan pola perilaku yang sama, yaitu
memiliki share yang besar untuk produk pangan kelompok padi-padian, makanan minuman jadi, dan tembakau sirih. Perbedaan antara rumah tangga di
perkotaan dan perdesaan hanya pada rumah tangga G-1 yang lebih banyak mengeluarkan pengeluarannya untuk produk pangan kelompok telur susu
dibandingkan kelompok tembakau sirih, meskipun perbedaan share kedua kelompok tersebut tidak terlalu besar.
Tabel 17 memperlihatkan perbandingan nilai Berry Index BI dan Modified Berry Index MBI. Nilai BI dan MBI baik di perkotaan maupun perdesaan
menunjukkan bahwa rumah tangga di Provinsi Jawa Barat telah memiliki tingkat diversifikasi pangan yang cukup tinggi, baik dari jenis pangan yang dikonsumsi
maupun sumber asupan kalorinya. Seiring dengan peningkatan pengeluaran per kapita terjadi peningkatan nilai BI dan MBI. Namun pada BI terjadi penurunan nilai
Berry index sejak pengeluaran per kapita di atas Rp 500 000. Adapun pada nilai MBI penurunan tersebut baru terjadi setelah pengeluaran per kapita sebulan di atas
Rp 1 000 000. Selain itu, pada nilai MBI dapat diketahui bahwa rumah tangga di perkotaan memiliki tingkat diversitas pangan yang lebih tinggi daripada rumah
tangga di perdesaan.
Tabel 17 Perbandingan nilai Berry index BI dengan Berry index yang
dimodifikasi MBI
Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan
Rupiah Perkotaan
Perdesaan BI
MBI BI
MBI 100 000 - 149 999 G-1
0.698 0.687
0.712 0.654
150 000 - 199 999 G-2 0.749
0.715 0.723
0.706 200 000 - 299 999 G-3
0.789 0.773
0.765 0.732
300 000 - 499 999 G-4 0.808
0.815 0.807
0.795 500 000 - 749 999 G-5
0.803 0.830
0.804 0.814
750 000 - 999 999 G-6 0.798
0.840 0.809
0.820 1 000 000 dan lebih G-7
0.787 0.801
0.813 0.808
Nilai MBI lebih rendah daripada nilai BI dapat dijelaskan pada Tabel 18 dan
Tabel 19. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa terjadi pemusatan share kalori pada komoditas beras, baik pada rumah tangga perkotaan maupun pada
rumah tangga perdesaan. Hal tersebut menyebabkan nilai MBI lebih rendah daripada dengan BI.
Tabel 18 Share asupan kalori harian rumah tangga perkotaan Provinsi Jawa
Barat berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan
Jenis Pangan Share Rumah Tangga Perkotaan
G-1 G-2
G-3 G-4
G-5 G-6
G-7
Beras 64.11
59.59 53.82
47.21 41.62
38.60 31.42
Tepung Terigu 0.41
0.33 0.52
0.67 0.86
0.95 0.98
Singkong 0.63
0.75 0.63
0.61 0.53
0.46 0.35
Mujair 0.09
0.03 0.13
0.18 0.19
0.22 0.22
Daging Sapi 0.00
0.00 0.02
0.01 0.04
0.10 0.43
Daging Ayam 0.28
0.29 0.98
1.81 2.54
3.12 3.50
Cabe Merah 0.05
0.07 0.06
0.08 0.10
0.12 0.13
Jeruk 0.00
0.02 0.04
0.08 0.14
0.20 0.34
Pepaya 0.03
0.00 0.05
0.07 0.10
0.14 0.20
Minyak Goreng 10.05
8.20 9.07
10.30 10.76
11.09 11.12
Lainnya 24.35
30.72 34.67
38.99 43.12
45.00 51.31
Berdasarkan perbandingan Tabel 18 dan Tabel 19 terhadap Tabel 15 dan Tabel 16 dapat ditemukan kesesuaian bahwa rumah tangga di perdesaan
mengonsumsi dan memperoleh asupan kalori-nya paling banyak dari jenis pangan beras. Selain dari beras, baik rumah tangga di perkotaan dan perdesaan memperoleh
asupan kalori yang besar dari minyak goreng. Selain kelompok pangan padi-padian beras dan tepung terigu dan minyak goreng, rata-rata share kalori dari kelompok
pangan lain masih di bawah target PPH 2015. Kelompok rumah tangga dengan
pengeluaran per kapita di atas Rp 300 000 G-4 hingga G-7 merupakan kelompok rumah tangga yang share asupan kalori harian-nya mendekati nilai PPH 2015.
Tabel 19 Share asupan kalori harian rumah tangga perdesaan Provinsi Jawa
Barat berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan
Jenis Pangan Share Rumah Tangga Perdesaan
G-1 G-2
G-3 G-4
G-5 G-6
G-7
Beras
67.25 60.95
58.81 52.21
46.62 42.53
38.34
Tepung Terigu 0.00
0.42 0.44
0.72 0.83
1.03 1.00
Singkong 1.29
2.22 1.18
1.09 0.96
0.74 0.62
Mujair 0.00
0.17 0.17
0.26 0.28
0.27 0.30
Daging Sapi 0.00
0.02 0.01
0.01 0.03
0.05 0.17
Daging Ayam
0.00 0.12
0.52 1.11
1.59 2.05
2.58
Cabe Merah 0.01
0.02 0.04
0.05 0.06
0.07 0.07
Jeruk 0.00
0.01 0.03
0.05 0.09
0.14 0.23
Pepaya 0.00
0.04 0.04
0.06 0.06
0.06 0.08
Minyak Goreng 8.02
9.25 9.65
9.98 10.40
10.36 10.35
Lainnya 23.42
26.79 29.11
34.47 39.08
42.70 46.27
BI maupun MBI merupakan indikator yang baik untuk mengukur tingkat diversifikasi pangan rumah tangga. Berry index mudah diaplikasikan dan dapat
digunakan untuk mengukur data dengan cakupan yang luas. Di sisi lain, Berry index memiliki kelemahan, yaitu jika data yang digunakan tidak memberikan informasi
yang lengkap, seperti data kelompok ‘Makanan Minuman Jadi’ pada SUSENAS. Hal ini dapat mengakibatkan nilai yang dihasilkan menurun ketika terjadi
peningkatan pengeluaran per kapita rumah tangga. Namun hal ini dapat digunakan sebagai gambaran telah terjadi perubahan gaya hidup rumah tangga, yaitu menjadi
lebih banyak mengonsumsi makanan minuman dari luar rumah tidak memasak sendiri lagi.
Nilai BI dan MBI memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berdasarkan nilai BI dapat digunakan untuk mengetahui seberapa banyak
kelompok pangan yang dikonsumsi rumah tangga, yang diketahui berdasarkan pengeluaran kelompok pangannya. Umumnya rumah tangga di Provinsi Jawa Barat
telah mengonsumsi hampir seluruh kelompok pangan, sehingga nilai BI-nya relatif tinggi. Adapun nilai MBI dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar
ketergantungan rumah tangga terhadap konsumsi beras sebagai sumber kalori utama rumah tangga di Provinsi Jawa Barat umumnya, dimana semakin kecil nilai
MBI-nya berarti semakin besar ketergantungan rumah tangga tersebut terhadap beras. Adapun kelemahan nilai BI adalah sangat sensitif terhadap share kelompok
makanan minuman jadi, sehingga peningkatan share kelompok tersebut menyebabkan penurunan nilai BI. Di sisi lain, kelemahan nilai MBI adalah
tingginya ketergantungan rumah tangga pada beras dan nilai kalori yang
dihasilkannya akan menyebabkan nilai MBI akan cenderung kecil dan sulit untuk mencapai nilai MBI dari target PPH 2015.
6.3. Pengaruh Pengeluaran dan Harga Pangan terhadap Diversifikasi
Pangan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat
Tujuan untuk mengetahui pengaruh pengeluaran dan harga pangan terhadap diversifikasi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat dilakukan dengan
menggunakan regresi model Ordinary Least Square OLS. Syarat baik atau tidaknya hasil parameter yang dihasilkan dari metode OLS adalah BLUE Best
Linear Unbiased Estimator. BLUE didapatkan jika dalam model tidak terdapat multikolinearitas, autokorelasi, dan bersifat homoskedastisitas. Namun dalam
penelitian ini tidak dilakukan uji autokorelasi disebabkan data yang digunakan merupakan data cross section, sehingga tidak akan memiliki permasalahan yang
berhubungan dengan deret waktu autokorelasi.
Hasil pengujian multikolinearitas menghasilkan nilai VIF berkisar 1.044 hingga 4.503. Nilai tersebut menunjukkan bahwa korelasi antara variabel satu
dengan variabel lainnya tidak serius. Tidak adanya variabel dengan nilai VIF lebih besar dari 10 menunjukkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas dalam model ini.
Adapun hasil dari uji Glejser menunjukkan bahwa masih terdapat variabel yang memiliki heteroskedastistisitas. Hal ini ditunjukkan oleh nilai signifikansi
yang lebih kecil daripada α = 0.05. Variabel yang masih memiliki heteroskedastisitas yaitu log pengeluaran per kapita per harga beras, log harga
daging sapi per beras, log harga daging diawetkan per beras, log harga rokok kretek filter per beras, log jumlah anggota rumah tangga, dan dummy tipe wilayah. Namun,
dalam pembuatan suatu model analisis syarat yang paling utama adalah nilai estimasi parameter yang dihasilkan sesuai dengan teor
i ‘a priori’ ekonomi dan hasil uji ekonometrika merupakan indikator terakhir, sehingga masih adanya
heteroskedastisitas dalam model dapat ditidakacuhkan. Hasil uji statistik F menghasilkan nilai signifikansi 0.000. Nilai tersebut lebih
kecil daripada α = 0.05, sehingga menunjukkan bahwa model yang digunakan merupakan model yang baik. Berdasarkan nilai tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat setidaknya satu variabel independent yang secara bersama-sama memengaruhi tingkat diversifikasi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat.
Adapun nilai R
2
dari model ini sebesar 0.884 dan nilai Adj R
2
-nya sebesar 0.884. Nilai ini menunjukkan bahwa 88.40 persen tingkat diversifikasi pangan
rumah tangga dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independent yang digunakan dalam model ini. Adapun 11.60 persen tingkat diversifikasi pangan dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model ini.
Selain memiliki hasil uji-F yang baik dan nilai Adj R
2
, model ini juga memiliki nilai standar error yang rendah, yaitu sebesar 0.091. Nilai standar error
yang semakin mendekati nilai 0 menunjukkan bahwa model yang digunakan merupakan model yang baik untuk digunakan untuk menganalisis pengaruh
pengeluaran dan harga pangan terhadap tingkat diversifikasi pangan rumah tangga.
Berdasarkan hasil software SPSS 21, maka didapatkan nilai estimasi parameter dari model terbaik faktor-faktor determinan terhadap diversifikasi
pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat Tabel 20. Model yang digunakan
merupakan model yang telah mengalami transformasi akibat adanya heteroskedastisitas pada model level. Transformasi yang digunakan adalah
pembobotan satu per harga beras.
Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa sebagian besar variabel independent yang digunakan memiliki nilai uji-t yang signifikan. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya variabel independent yang memiliki nilai p-value lebih kecil daripada nilai α = 0.05. Variabel independent yang tidak signifikan hanyalah
variabel harga cabe merah per harga beras dan harga tahu per harga beras, yang memiliki nilai p-value
lebih besar dari α = 0.05.
Tabel 20 Hasil regresi model pengaruh pengeluaran dan harga pangan terhadap tingkat diversifikasi pangan rumah tangga di Provinsi
Jawa Barat variabel tidak bebas adalah BI
Variabel Parameter
Estimasi Standard Error
P-value
Konstanta -5.043
0.043 0.000
ln_ekpb -0.157
0.003 0.000
ln_tr1b 0.063
0.006 0.000
ln_skb 0.041
0.004 0.000
ln_mjb 0.094
0.006 0.000
ln_ia1b 0.018
0.002 0.000
ln_sp1b 0.252
0.009 0.000
ln_ay1b 0.090
0.006 0.000
ln_dab 0.046
0.005 0.000
ln_skmb 0.049
0.005 0.000
ln_ta1b 0.020
0.003 0.000
ln_so1b 0.024
0.003 0.000
ln_cab 0.002
0.002 0.194
ln_th1b 0.003
0.004 0.507
ln_tpb 0.010
0.004 0.011
ln_jr1b 0.022
0.004 0.000
ln_pyb 0.030
0.005 0.000
ln_mi1b 0.075
0.006 0.000
ln_rk1b 0.071
0.005 0.000
ln_art -0.029
0.003 0.000
D_Wil 0.052
0.003 0.000
Keterangan: = Signifikan pada taraf nyata 95 persen lbib
: ln dari nilai BI dalam persentase dibagi harga beras lekpb : ln dari pengeluaran per kapita didekati dengan data pengeluaran dibagi harga beras
ltrb : ln dari harga terigu per harga beras
lskb : ln dari harga singkong per harga beras
lmjb : ln dari harga mujair per harga beras liab
: ln dari harga ikan diawetkan per harga beras lspb
: ln dari harga daging sapi per harga beras layb : ln dari harga daging ayam ras per harga beras
ldab : ln dari harga daging diawetkan per harga beras lskmb : ln dari harga susu kental manis per harga beras
ltab : ln dari harga telur ayam ras per harga beras
lsob : ln dari harga sayur sopcapcay per harga beras
lcab : ln dari harga cabe merah per harga beras
lthb : ln dari harga tahu per harga beras