Elastisitas Pengeluaran dan Elastisitas Harga Produk Pangan
Tabel 9 Gini ratio Provinsi Jawa Barat Indonesia tahun 2013-2015
Daerah Jawa Barat
a
Indonesia
b
2013 2014
2015 2013
2014 2015
Perkotaan n.a
n.a 0.46
0.43 0.43
n.a Perdesaan
n.a n.a
0.33 0.32
0.32 n.a
Perkotaan + Perdesaan 0.40
0.40 0.43
0.41 0.41
0.41
hasil olahan data SUSENAS 2015; n.a = data tidak tersedia Sumber:
a
BPS Jawa Barat 2016,
b
BPS 2016b
Ketimpangan ekonomi di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat dari nilai Gini
ratio-nya, dimana nilai Gini ratio di perkotaan, sebesar 0.46, jauh lebih tinggi daripada nilai Gini ratio perdesaan, yaitu sebesar 0.32 Tabel 9. Hal ini
menggambarkan bahwa perekonomian di perkotaan jauh lebih timpang dibandingkan di perdesaan. Nilai Gini ratio tahun 2015 meningkat dari tahun 2014,
yaitu dari sebesar 0.40 menjadi 0.43, menunjukkan semakin buruknya pemerataan ekonomi di masyarakat Provinsi Jawa Barat. Nilai tersebut bahkan lebih tinggi
dibandingkan nilai Gini ratio Indonesia tahun 2015, sebesar 0.41. Hal ini menunjukkan bahwa program pemerataan ekonomi di Provinsi Jawa Barat
merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan. Tabel 10 Rata-rata
food share rumah tangga sebulan di Provinsi Jawa Barat tahun 2013-2015
Wilayah Jawa Barat
Indonesia 2013
2014 2015
2013 2014
Perkotaan 48.02
44.59 53.41
45.86 44.93
Perdesaan 62.20
58.53 61.82
59.18 58.81
Perkotaan + Perdesaan 51.17
47.90 56.45
50.66 50.04
hasil olahan data SUSENAS 2015 Sumber: BPS 2016
Rata-rata food share rumah tangga sebulan di perkotaan sebesar 53.41 persen, lebih rendah daripada rata-rata rumah tangga di perdesaan, yaitu sebesar 61.82
persen Tabel 10. Rata-rata food share secara umum dan di perkotaan mengalami peningkatan dengan laju rata-rata 6.32 persen per tahun, yang berarti porsi
pengeluaran untuk pangan rumah tangga semakin meningkat setiap tahunnya. Meski demikian, rata-rata food share rumah tangga di perkotaan Provinsi Jawa
Barat masih di bawah 60.00 persen sehingga tidak termasuk rumah tangga yang rentan pangan. Peningkatan food share di rumah tangga perkotaan yang disertai
dengan peningkatan share pengeluaran pangan untuk kelompok makanan minuman jadi menunjukkan telah terjadi perubahan pola hidup masyarakat di
perkotaan, yaitu bergantung pada industri makanan minuman jadi akibat kesibukan mereka tidak sempat memasak dan adanya hedonitas terhadap pangan.
Berbeda dengan rumah tangga di perkotaan, rumah tangga di perdesaan Provinsi Jawa Barat memiliki laju penurunan rata-rata food share sebesar 0.14
persen per tahun, namun nilai rata-rata food share-nya lebih besar daripada 60.00 persen sehingga secara umum rumah tangga di perdesaan termasuk ke dalam rumah
tangga yang rentan pangan. Selain itu, rata-rata food share rumah tangga di Provinsi Jawa Barat lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata food share rumah tangga
nasional. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga di Provinsi Jawa Barat lebih rentan pangan dibandingkan rata-rata rumah tangga nasional. Fakta ini
mengimplikasikan dibutuhkannya perhatian yang lebih dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat agar rumah tangga di Provinsi Jawa Barat menjadi lebih sejahtera
dan tidak terlalu tertinggaltimpang dengan provinsi lainnya. Di sisi lain, meski rata-rata pengeluaran dan food share rumah tangga di kedua tipe wilayah tersebut
berbeda, namun rata-rata kalori rumah tangga di kedua wilayah tersebut tidak berbeda jauh, yaitu sebesar 2 131 kkal perkotaan dan 2 189 kkal perdesaan.
Meskipun terjadi kenaikan pengeluaran per kapita per bulan namun pada rumah tangga di Provinsi Jawa Barat terjadi kenaikan food share Tabel 8 dan Tabel
10. Hal ini tidak sesuai dengan teori Hukum Engel. Hal ini terjadi akibat terjadinya kenaikan harga atau inflasi akibat dirubahnya skema subsidi BBM di awal tahun
2015. Perubahan skema subsidi BBM berupa skema fixed subsidy mengakibatkan terjadinya harga secara signifikan dan temporer sehingga memengaruhi
pengeluaran efektif rumah tangga dan menyebabkan meningkatnya food share rumah tangga.
Tabel 11 Rata-rata
food share sebulan dan kalori harian rumah tangga berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan di Provinsi
Jawa Barat tahun 2015
Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan
Rupiah Food Share
Kalori kkal Perkotaan
Perdesaan Perkotaan
Perdesaan
100 000 - 149 999 G-1 64.51
68.26 1 256
1 156 150 000 - 199 999 G-2
65.11 66.51
1 379 1 324
200 000 - 299 999 G-3 62.09
65.98 1 517
1 561 300 000 - 499 999 G-4
62.13 67.49
1 811 1 894
500 000 - 749 999 G-5 56.97
62.23 2 055
2 244 750 000 - 999 999 G-6
53.73 59.37
2 220 2 497
1 000 000 dan lebih G-7 43.06
49.86 2 434
2 773
Berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan, pada tahun 2015 diketahui rumah tangga di perkotaan dengan golongan pengeluaran di bawah
Rp .
500 .
000 dan di perdesaan dengan golongan pengeluaran di bawah Rp 750 000 memiliki food share di atas 60.00 persen Tabel 11, menunjukkan bahwa golongan
pengeluaran ini rentan pangan jika harga pangan meningkat. Hukum Engel menyatakan bahwa semakin kaya suatu rumah tangga, food share mereka akan
semakin turun. Berdasarkan hukum tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kelompok G-1 sampai G4 di perkotaan dan kelompok G-1 sampai G-5 di perdesaan
merupakan kelompok rumah tangga yang rentan pangan. Nilai food share yang masih tinggi 60.00 persen dan asupan kalori harian yang masih belum mencapai
2 150 kkal menunjukkan bahwa di perkotaan golongan pengeluaran G-1 sampai G-4 dan di perdesaan golongan G-1 sampai G-5 merupakan kelompok yang paling
pantas untuk mendapatkan program bantuan pangan jika terjadi kenaikan harga pangan yang besar.
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa golongan yang merupakan pembatas adalah golongan pengeluaran Rp 300 000
– Rp 499 999 G-4. Rumah tangga G-4 memiliki food share yang lebih tinggi daripada G-3, namun rata-rata
kalori harian rumah tangga ini jauh lebih tinggi daripada rumah tangga G-3. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pola konsumsi pangan yang signifikan, sehingga terjadi
perbaikan asupan kalori harian rumah tangga.
Di sisi lain, meskipun rumah tangga di perkotaan sudah memiliki food share di bawah 60.00 persen pada G-5 dan rumah tangga di perdesaan belum namun pada
tingkat G-5 tersebut justru rumah tangga di perdesaan yang sudah memenuhi kalori di atas 2 150 kkal. Hasil yang berbeda dari kedua indikator tersebut menunjukkan
bahwa rumah tangga di perkotaan dan perdesaan memiliki pola pangan yang berbeda, dimana rumah tangga di perkotaan dengan food share yang lebih rendah
memiliki selisih yang kecil untuk mencapai pemenuhan kebutuhan kalori 2 150 kkal.
Tabel 12 Jumlah persentase rumah tangga berdasarkan golongan
pengeluaran per kapita sebulan dan asupan kalori per hari tahun 2015
Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan
Rupiah Perkotaan
Perdesaan
2 150 kkal ≥ 2 150 kkal
2 150 kkal ≥ 2 150 kkal
100 000 - 149 999 G-1 100.00
0.00 100.00
0.00 150 000 - 199 999 G-2
97.50 2.50
98.57 1.43
200 000 - 299 999 G-3 95.88
4.12 94.85
5.15 300 000 - 499 999 G-4
82.24 17.76
75.75 24.25
500 000 - 749 999 G-5 62.51
37.49 46.32
53.68 750 000 - 999 999 G-6
49.85 50.15
28.25 71.75
1 000 000 dan lebih G-7 36.94
63.06 19.68
80.32
Tingkat pengeluaran per kapita rumah tangga tidak selalu dapat diasosiasikan dengan tercapainya pemenuhan kalori 2 150 kkal per hari. Tabel 12
memperlihatkan persentase rumah tangga golongan 1 hingga 7 di perkotaan dan perdesaan yang dapat memenuhi asupan kalori 2 150 kkal per hari dan tidak.
Golongan 1 baik di perkotaan dan perdesaan tidak ada satu pun rumah tangga yang dapat memenuhi kebutuhan kalori 2 150 kkal per hari, sedangkan rumah tangga G-
2 dan G-3 hampir 100.00 persen tidak mencapai pemenuhan kebutuhan kalori 2 150 kkal per hari. Hal ini menunjukkan bahwa Golongan 1 hingga 3 masih belum
mampu untuk mengonsumsi pangan yang cukup untuk mendukung hidup yang sehat dan produktif. Tingkat pengeluaran di atas Rp 1 000 000 G-7 bahkan tidak
menjamin terpenuhinya asupan kalori 2 150 kkal. Jika berdasarkan rata-rata pengeluaran disimpulkan rumah tangga di perkotaan lebih sejahtera, sebaliknya jika
berdasarkan pemenuhan asupan kalori per hari maka dapat disimpulkan rumah tangga di perdesaan lebih sejahtera. Hal tersebut dikarenakan persentase rumah
tangga golongan 7 di perdesaan yang mampu memenuhi 2 150 kkal per hari 80.32 persen lebih besar daripada persentase rumah tangga di perkotaan 63.06 persen.
Salah satu dugaan penyebab hal ini adalah perbedaan pola konsumsi pangan rumah tangga di perkotaan dan perdesaan, seperti masyarakat perdesaan mengonsumsi
pangan kelompok padi-padian lebih banyak dibandingkan masyarakat perkotaan.
Rumah tangga di perkotaan dan perdesaan memiliki pola pangan yang berbeda. Tabel 13 memperlihatkan perbedaan pola pangan rumah tangga perkotaan
dan perdesaan di Provinsi Jawa Barat, dengan asumsi harga yang dihadapi oleh semua rumah tangga di Provinsi Jawa Barat sama per kelompok pangannya. Tabel
13 memperlihatkan bahwa perbedaan terbesar pola pangan di kedua wilayah tersebut ada pada kelompok padi-padian dan makanan minuman jadi.
Tabel 13. Rata-rata food share rumah tangga berdasarkan kelompok pangan
Kelompok Rata-rata
share Perkotaan
Perdesaan Selisih
Padi-padian 17.56
24.57 -7.01
Umbi-umbian 1.89
1.73 0.16
Ikan 6.19
6.13 0.06
Daging 6.84
6.41 0.43
Telur Susu 6.22
5.00 1.22
Sayur-sayuran 6.27
6.46 -0.19
Kacang-kacangan 3.05
3.22 -0.17
Buah-buahan 5.44
4.74 0.70
Minyak 3.01
3.25 -0.24
Konsumsi Lainnya 3.12
3.24 -0.12
Tembakau Sirih 17.88
19.29 -1.41
Bahan Minuman 3.51
3.97 -0.46
Bumbu-bumbuan 2.17
2.33 -0.16
Makanan Minuman Jadi 30.35
23.23 7.12
Total food share 52.35
61.73 -9.38
Rumah tangga di perdesaan mengonsumsi lebih banyak pangan padi-padian
sehingga menghabiskan rata-rata 24.57 dari pengeluaran pangannya, lebih besar 7.01 persen dibandingkan rumah tangga di perkotaan. Nilai tersebut menunjukkan
penurunan dari keadaan tahun 2002, yaitu pengeluaran pangan untuk kelompok padi-padian mencapai 19.10 persen pada perkotaan dan 29.00 persen pada
perdesaan Ariani Purwantini 2006. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian Purwaningsih et al. 2010, dimana share pengeluaran untuk padi-padian
di rumah tangga perdesaan lebih tinggi daripada rumah tangga perkotaan.
Sebaliknya, rumah tangga di perkotaan mengonsumsi lebih banyak, baik kuantitas maupun jenis, makanan minuman jadi sehingga menghabiskan rata-rata
30.35 persen dari pengeluaran pangannya. Jumlah tersebut lebih besar 7.12 persen
dibandingkan pengeluaran pangan rumah tangga perdesaan untuk makanan minuman jadi. Hasil ini sejalan dengan penelitain Purwaningsih et al. 2010 yang
menemukan bahwa pada semua tingkat ketahanan pangan memiliki alokasi pengeluaran untuk kelompok makanan dan minuman jadi yang tinggi. Hal ini
dipengaruhi dengan perbedaan gaya hidup dan kesibukan masyarakat perkotaan dan perdesaan. Masyarakat perkotaan umumnya memiliki kesibukan di luar rumah dan
hampir sepanjang hari mengharuskan mereka untuk mengonsumsi makanan dan minuman jadi. Selain itu, gaya hidup urban yang senang berkumpul dan makan di
luar rumah turut meningkatkan proporsi pengeluaran makanan dan minuman jadi, serta meningkatkan industri makanan dan minuman jadi.
Selain kedua jenis kelompok pangan tersebut, kelompok pangan lain yang memiliki share besar adalah kelompok tembakau sirih. Hal ini masih sama
dengan keadaan pada tahun 2007 Purwantini Ariani 2008. Tidak terdapat perbedaan yang jauh antara rumah tangga perkotaan dan perdesaan dalam
mengonsumsi tembakau sirih, masing-masing rumah tangga rata-rata mengeluarkan 17.88 persen dan 19.29 persen pengeluaran pangannya untuk
mengonsumsi produk tembakau sirih. Rumah tangga yang mengonsumsi produk kelompok tembakau sirih mencapai 66.47 persen dari jumlah rumah tangga
perkotaan dan 73.87 persen dari jumlah rumah tangga perdesaan. Produk kelompok tersebut yang paling banyak dikonsumsi adalah rokok berbagai tipe rokok telah
ditetapkan sebagai produk yang berbahaya bagi kesehatan. Banyak orang yang beranggapan bahwa rokok merupakan hal yang penting, kareng rokok merupakan
media interaksi sosial dengan teman atau saudara Purwantini Ariani, 2008. Banyaknya jumlah rumah tangga yang mengonsumsi produk kelompok tembakau
sirih dan besarnya share yang dikeluarkan untuk mengonsumsinya menunjukkan rendahnya kesadaran rumah tangga di Provinsi Jawa Barat untuk menjaga
kesehatannya. Hal ini akan berakibat pada buruknya kesehatan individu, hilangnya tahun hidup produktif dan produktivitas angkatan kerja, meningkatkan biaya
kesehatan, dan mengakibatkan terhambat atau turunnya pembangunan ekonomi nasional Kosen 2008.
Gambar 7 Persentase share rata-rata rumah tangga di Provinsi Jawa Barat
untuk konsumsi produk kelompok padi-padian
.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00
G - 1 G - 2
G - 3 G - 4
G - 5 G - 6
G - 7 G O L O N G A N P E N D A P A T A N
P E
R S
E N
T A
S E
S H
A R
E
Perkotaan Perdesaan