Pengaruh Pengeluaran dan Harga Pangan terhadap Diversifikasi

Adapun komoditas pangan yang elastisitas harga sendiri-nya bersifat elastis adalah komoditas terigu, daging sapi, dan rokok kretek filter. Di antara ketiga komoditas pangan tersebut, komoditas daging sapi memiliki nilai elastisitas harga sendiri yang paling tinggi, yaitu sebesar -1.956. Nilai tersebut menunjukkan bahwa jika harga daging sapi meningkat sebesar 10.00 persen maka permintaan terhadap daging sapi akan menurun sebesar 19.56 persen. Berbeda dengan hasil tersebut, penelitian Widiasih 2009 menghasilkan nilai elastisitas harga sendiri yang berbeda untuk daging ruminansia. Permintaan terhadap daging ruminansia di wilayah Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara memiliki sifat yang inelastis, yaitu masing-masing bernilai -0.683, -0.407, dan -0.527. Adapun hasil penelitian Saliem 2002 menghasilkan nilai yang elastis -1.359, namun tidak membedakan jenis dagingnya unggasruminansia. Elastisitas harga silang memiliki dua kemungkinan nilai, yaitu negatif dan positif. Variabel yang memiliki nilai elastisitas silang-nya negatif menunjukkan bahwa hubungan antara dua komoditas tersebut adalah komplementer. Sebaliknya, nilai elastisitas silang positif menunjukkan hubungan dua komoditas yang substitusi. Elastisitas harga silang komoditas beras memiliki lebih banyak nilai negatif dibandingkan nilai positif, yang menunjukkan lebih banyak hubungan komplementer dengan komoditas pangan lain daripada hubungan substitusi. Beras berhubungan komplementer paling erat dengan komoditas ikan yang diawetkan. Nilai elastisitas harga silang beras terhadap ikan diawetkan sebesar -0.028, yang berarti kenaikan harga ikan yang diawetkan sebesar 10.00 persen hanya akan menurunkan permintaan terhadap beras sebesar 0.28 persen, sedangkan komoditas komplementer lainnya hanya akan menurunkan permintaan terhadap beras kurang dari 0.28 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa permintaan beras tidak responsif terhadap perubahan harga barang komplementer-nya. Hubungan komplementer komoditas beras dengan ikan yang diawetkan yang lebih erat daripada dengan komoditas lain didukung oleh penelitian Cahyaningsih 2008, Putranto Taofik 2014, dan Jayati et.al. 2014 yang menyatakan bahwa kebutuhan pangan sumber protein hewani rumah tangga di Provinsi Jawa Barat didominasi oleh ikan. Adapun komoditas yang berhubungan substitusi dengan beras adalah komoditas daging sapi dan tahu, namun hubungan tersebut bersifat inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga daging sapi dan tahu sebesar 10.00 persen akan meningkatkan permintaan beras sebesar 0.89 persen dan 0.02 persen, yang dilakukan rumah tangga untuk tetap memenuhi kebutuhan kalori hariannya. Adapun komoditas terigu memiliki lebih banyak hubungan substitusi dibandingkan dengan hubungan komplementer. Tidak berbeda dengan komoditas beras, elastisitas harga silang komoditas terigu dengan komoditas lainnya juga bersifat inelastis sehingga permintaan terhadap terigu tidak responsif terhadap perubahan harga barang lainnya, namun responsif terhadap harganya sendiri. Nilai elastisitas harga silang yang inelastis juga terjadi pada komoditas lainnya, yaitu ikan yang diawetkan, daging ayam ras, telur ayam ras, sayur sopcapcay, jeruk, mie instan, rokok kretek filter, dan tahu. Hal ini menunjukkan harga tidak akan terlalu memengaruhi permintaan terhadap komoditas-komoditas pangan tersebut. Hubungan permintaan daging sapi dengan sesama anggota kelompok daging- dagingan, yaitu daging ayam ras, merupakan hubungan substitusi. Peningkatan harga daging ayam ras sebesar 10.00 persen akan meningkatkan permintaan terhadap daging sapi sebesar 2.27 persen. Sebaliknya, jika harga daging sapi meningkat sebesar 10.00 maka akan meningkatkan permintaan terhadap daging ayam ras sebesar 0.48 persen. Barang substitusi daging ayam ras yang memiliki nilai elastisitas paling tinggi adalah ikan yang diawetkan. Peningkatan harga ikan yang diawetkan sebesar 10.00 persen akan meningkatkan permintaan terhadap daging ayam ras sebesar 0.74 persen. Komoditas sayur sopcapcay memiliki hubungan komplementer dengan komoditas beras. Peningkatan harga beras sebesar 10.00 persen akan menurunkan permintaan terhadap sayur sopcapcay sebesar 3.51 persen. Sebaliknya, hubungan sayur sopcapcay dengan daging sapi merupakan hubungan substitusi, dimana peningkatan harga daging sapi sebesar 10.00 persen akan meningkatkan permintaan terhadap sayur sopcapcay sebesar 0.99 persen. Komoditas jeruk memiliki hubungan saling menggantikan dengan rokok kretek filter. Peningkatan harga rokok kretek filter sebesar 10.00 persen akan meningkatkan permintaan terhadap jeruk sebesar 2.91 persen. Sebaliknya jika harga jeruk meningkat sebesar 10.00 persen peningkatan permintaan terhadap rokok kretek filter hanya sebesar 0.03 persen. Namun, selain komoditas jeruk nilai elastisitas silang komoditas lainnya menunjukkan nilai positif, yang menunjukkan bahwa komoditas lainnya merupakan barang komplementer. Hal ini menunjukkan bahwa bagi rumah tangga pengonsumsi rokok kretek filter tidak ada komoditas lain yang dapat menyubstitusinya sehingga rokok kretek filter merupakan komoditas pangan yang sangat penting. Diversifikasi pangan akan terjadi jika terdapat permintaan terhadap berbagai komoditas pangan. Ketika harga beras turun maka akan terjadi peningkatan tingkat diversifikasi pangan Tabel 20 dan Tabel 21. Hal ini dapat diestimasi bahwa penurunan harga beras sebesar 10.00 persen akan meningkatkan permintaan terhadap terigu sebesar 3.64 persen, ikan diawetkan sebesar 4.48 persen, daging ayam ras sebesar 0.08 persen, telur ayam ras sebesar 0.91 persen, sayur sopcapcay sebesar 3.51 persen, jeruk sebesar 1.59 persen, mie instan sebesar 2.06 persen, dan rokok kretek filter sebesar 7.31 persen Tabel 23. Meski demikian, penurunan harga beras juga akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap beras sebesar 7.18 persen. Pengaruh penurunan harga beras terhadap permintaan komoditas pangan lain dan diversifikasi pangan jauh lebih besar daripada jika komoditas pangan lain diturunkan harganya. Diversifikasi pangan berhubungan dengan masalah ketersediaan energi energy availability dan akses pangan dalam isu ketahanan pangan. Selain dapat meningkatkan permintaan komoditas pangan lain, penurunan harga beras dapat meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga dengan berperan dalam meningkatkan ketersediaan energi, baik bersumber dari beras maupun komoditas pangan lainnya. Namun hal ini juga dapat berdampak buruk jika banyak rumah tangga yang hanya meningkatkan permintaan terhadap beras saja, karena meningkatkan permintaan beras nasional dan mengancam ketahanan pangan nasional. Oleh sebab itu, diperlukan program lain, khususnya edukasi komposisi gizi dan edukasi pemanfaatan sumber karbohidrat lokal lain non-beras dan non- terigu kepada rumah tangga dan anak sekolah. Berdasarkan Tabel 24 dapat diketahui bahwa berdasarkan hasil model LAAIDS selain komoditas rokok kretek filter komoditas pangan yang lain merupakan barang pokok. Komoditas-komoditas yang termasuk barang pokok tersebut yaitu beras, terigu, ikan yang diawetkan, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, sayur sopcapcay, jeruk, mie instan, dan tahu. Kondisi tersebut sama dengan yang terjadi di Sumatera Barat dan Jawa Tengah Widiasih 2009. Kondisi dimana komoditas-komoditas tersebut merupakan barang pokok juga terjadi di Sulawesi Selatan, kecuali komoditas daging sapi yang merupakan barang mewah karena memiliki nilai elastisitas pengeluaran di atas 1.00 Widiasih 2009. Tabel 24 Nilai elastisitas pengeluaran berdasarkan parameter LAAIDS dan estimasi double log Pangan LAAIDS Double Log Beras 0.388 0.090 Terigu 0.341 0.108 Ikan Diawetkan 0.429 -0.059 Daging Sapi 0.022 0.112 Daging Ayam Ras 0.345 0.201 Telur Ayam Ras 0.426 0.375 Sayur SopCapcay 0.351 0.104 Jeruk 0.323 0.214 Mie Instan 0.472 0.202 Rokok Kretek Filter 1.321 0.292 Tahu 0.379 0.135 Adapun permintaan terhadap rokok kretek filter responsif terhadap perubahan pengeluaran rumah tangga, karena peningkatan pengeluaran rumah tangga sebesar 10.00 akan meningkatkan permintaan rokok kretek filter sebesar 13.21. Komoditas daging sapi termasuk barang pokok dengan peningkatan permintaan hanya 0.22 persen jika pengeluaran rumah tangga meningkat 10.00 persen tidak sesuai dengan hipotesis bahwa daging sapi merupakan barang mewah. Hal ini menunjukkan permintaan terhadap sapi tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor pengeluaran rumah tangga, namun lebih dipengaruhi oleh faktor harga pangan dan faktor non-ekonomi, seperti budaya atau selera. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Cahyaningsih 2008, Putranto Taofik 2014, dan Jayati et.al. 2014 yang menyebutkan bahwa kebutuhan pangan sumber protein hewani rumah tangga di Provinsi Jawa Barat didominasi oleh ikan, sehingga ketika terjadi peningkatan pengeluaran rumah tangga hanya terjadi sedikit peningkatan permintaan terhadap daging sapi. Nilai elastisitas pengeluaran rokok kretek filter sebesar 1.321 menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran rumah tangga sebesar 10.00 persen akan meningkatkan permintaan terhadap rokok kretek filter sebesar 13.21 persen. Elastis-nya nilai elastisitas pengeluaran rokok kretek filter dan tidak adanya barang substitusi merupakan hal yang tidak baik dan harus diantisipasi. Rokok merupakan barang yang menghasilkan dampak yang buruk jika dikonsumsi. Dampak buruk rokok pada kesehatan akan mengakibatkan turunnya produktivitas tenaga kerja dan turunnya ekspektasi hidup yang berdampak pada terhambatnya atau turunnya pembangunan ekonomi Provinsi Jawa Barat, bahkan nasional. Berdasarkan nilai elastisitas-nya diketahui bahwa elastisitas pengeluaran rokok kretek filter lebih besar dibandingkan nilai elastisitas harga sendiri, sehingga kebijakan yang tepat untuk mengendalikan permintaan terhadap rokok dapat berupa peningkatan cukai rokok atau kewajiban sejenis asuransi kesehatan dengan premi tinggi. Kebijakan tersebut dapat mengakibatkan peningkatan harga rokok, namun hal tersebut hanya akan mengakibatkan penurunan permintaan terhadap beras, daging sapi, daging ayam ras, dan mie instan dalam jumlah kecil. Tabel 24 juga menunjukkan bahwa berdasarkan model double log seluruh komoditas pangan yang diteliti merupakan barang pokok. Nilai negatif pada elastisitas pengeluaran ikan yang diawetkan menunjukkan bahwa komoditas ini adalah barang inferior. Peningkatan pengeluaran rumah tangga sebesar 10.00 persen akan mengakibatkan penurunan permintaan terhadap ikan yang diawetkan sebesar 0.59 persen. Hasil perhitungan elastisitas dengan menggunakan model LAAIDS dan model double log menunjukkan bahwa nilai elastisitas harga sendiri suatu pangan lebih besar daripada nilai elastisitas pengeluaran. Hal tersebut menunjukkan bahwa permintaan pangan rumah tangga lebih dipengaruhi oleh harga pangan daripada oleh pengeluarannya. Oleh sebab itu, kebijakan untuk mengendalikan permintaan pangan lebih baik dilakukan melalui pengendalian harga pangan dibandingkan melalui kebijakan yang memengaruhi pengeluaran rumah tangga misal: pajak. Terdapat beberapa hasil yang berbeda dari dua model tersebut. Selain nilai model double log yang lebih kecil daripada model LAAIDS, terdapat beberapa nilai yang menghasilkan intepretasi berbeda. Berdasarkan nilai elastisitas harga sendiri, komoditas terigu dan daging sapi bersifat elastis pada model LAAIDS, sebaliknya pada hasil model double log bersifat inelastis. Komoditas ikan yang diawetkan merupakan barang pokok pada model LAAIDS, namun pada model double log ikan yang diawetkan merupakan barang inferior. Adapun pada model LAAIDS rokok kretek filter merupakan barang mewah, namun pada model double log merupakan barang pokok. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa model LAAIDS lebih baik untuk digunakan untuk mengestimasi permintaan dan elastisitas harga pengeluaran sebab dapat memberikan hasil dan kesimpulan yang lebih baik dan sesuai dengan keadaan di masyarakat.

7. SIMPULAN SARAN

7.1. Simpulan

Adapun simpulan yang didapatkan dari penelitian ini yaitu: 1. Food share rumah tangga di perkotaan dan perdesaan masih bernilai tinggi dan pengeluaran pangan masih didominasi oleh pangan kelompok padi-padian. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat masih relatif rendah. Selain kelompok padi-padian, kelompok pangan dengan share pengeluaran yang paling tinggi adalah kelompok makanan minuman jadi dan kelompok tembakau sirih; 2. Tingkat diversifikasi pangan rumah tangga dapat diketahui berdasarkan nilai Berry index. Rata-rata Berry index rumah tangga di perkotaan dan perdesaan Provinsi Jawa Barat tidak jauh berbeda, masing-masing yaitu 0.797 dan 0.803. Semakin tinggi pengeluaran per kapita rumah tangga nilai Berry index akan semakin meningkat. Nilai tersebut, yang semakin mendekati nilai 1.00, juga memperlihatkan bahwa rumah tangga telah mengonsumsi produk hampir semua kelompok pangan yang ada telah mendiversifikasi pangan. Adapun berdasarkan nilai Modified Berry index diketahui bahwa rumah tangga di Provinsi Jawa Barat masih belum mendiversikasikan pangannya sesuai target Pola Pangan Harapan PPH tahun 2015 dan masih sangat bergantung pada komoditas beras; 3. Peningkatan pengeluaran per kapita meningkatkan tingkat diversifikasi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat. Adapun harga pangan yang secara umum berpengaruh terhadap peningkatan tingkat diversifikasi pangan rumah tangga adalah harga beras. Penurunan harga beras dapat menyebabkan rumah tangga dapat mengalokasikan pengeluaran pangannya untuk jenis pangan yang lain; dan 4. Permintaan hampir semua komoditas pangan yang diteliti tidak responsif terhadap perubahan harga-nya sendiri inelastis harga, kecuali pada komoditas terigu, daging sapi, dan rokok kretek filter yang elastis harga. Adapun permintaan hampir semua komoditas pangan tidak responsif terhadap perubahan pengeluaran rumah tangga inelastis pengeluaran, kecuali pada rokok kretek filter. Rokok kretek filter memiliki permintaan yang responsif terhadap perubahan pengeluaran rumah tangga elastis pengeluaran, yaitu peningkatan pengeluaran rumah tangga sebesar 10.00 persen akan meningkatkan permintaan terhadap rokok kretek filter sebesar 13.21 persen.

7.2. Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu: 1. Rumah tangga di perdesaan dengan golongan pengeluaran per kapita antara Rp . 100 000 hingga Rp 749 999 dan di perkotaan antara Rp 100 000 hingga Rp.499 999 merupakan rumah tangga yang memiliki food share di atas 60 persen, sehingga sensitif terhadap kenaikan harga pangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa golongan rumah tangga tersebut merupakan golongan