diarahkan untuk memahami peranan ekosistem hutan, sehingga aktivitas sehari- hari mereka lebih selektif dan memperkecil dampak negatif terhadap kawasan
hutan. Berdasarkan penetapannya, setiap kawasan yang sudah ditetapkan harus
memiliki area yang dipertahankan alami sebagai pelestarian plasma nutfah. Area ini paling tidak mencapai 10 dari seluruh kawasan untuk menunjang ekosistem
di dalamnya. Setiap area hendaknya memiliki koridor hutan yang saling menghubungkan antara satu dan lainnya.
Pembangunan insfrastruktur seperti jalan, bangunan dan lainnya sebagai pendukung pengelolaan dan kepentingan lainnya hendaknya memperhatikan
dampak bagi satwa. Seperti misalnya ungko dan siamang sebagai satwa arboreal, habitatnya akan terputus dengan adanya jalan yang memisahkan tajuk-tajuk
pohon.
Solusinya adalah tersusun status fungsi hutan yang jelas berdasarkan kondisi terkini sehingga KHBT memiliki proporsi pengelolaan yang jelas dan efektif.
Status yang ditentukan akan memberikan ruang pemanfaatan sesuai peruntukannya dan memiliki batasan aktivitas yang diperbolehkan. Hal ini akan
lebih efektif dengan terbentuknya dasar hukum dan dilaksanakan secara konsiarean oleh pihak-pihak terkait. Sehingga diperlukan Badan Pengelolaan
Hutan yang partisipatif dalam menaungi hak dan kewajiban pihak-pihak terkait. Selain itu penyadartauan masyarakat sekitar kawasan hutan sehingga dapat turut
serta dalam pengelolaan secara bijaksana.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Ungko dan siamang tersebar hampir di seluruh area Stasiun Penelitian
YEL-SOCP. Walaupun terjadi tumpang tindih antar spesies maupun antar kelompok, setiap kelompok ungko dan siamang tetap memiliki
teritori yang dipertahankan. Keduanya dapat hidup simpatrik karena memiliki mekanisme hidup sendiri dengan kelebihan dan kelemahan
masing-masing serta tidak berada pada relung ekologi yang sama. 2.
Kepadatan populasi ungko dan siamang di Stasiun Penelitian YEL- SOCP berturut-turut sebesar 5,12 kelompokkm
2
dan 3,37 kelompok km
2
atau 16 individukm
2
dan 9 individu km
2
. KHBT yang berupa hutan pegunungan bawah dan hutan Dipterocarpaceae merupakan
habitat terbaik bagi ungko. Ukuran populasi yang tinggi masing-masing spesies dapat bertahan dalam jangka panjang jika kondisi habitat
bertahan tanpa adanya degradasi. 3.
Ungko melakukan vokalisasi lebih awal dibandingkan siamang. terjadi semacam pergantian pangil antara ungko dan siamang. Ketika frekuensi
ungko mulai menurun setelah pukul 08.00 WIB, saat itu frekuensi panggil siamang naik hingga puncaknya antara pukul 09.00-10.00 WIB.
Probabilitas vokalisasi kedua spesies stabil pada hari ke-4.
7.2 Saran
1.
Penggunaan metode triangle count pada lokasi penelitian bertopografi curam hendaknya mengunakan lebih dari satu set triangle count yang
masing-masing tumpang tindih. Hal ini bermanfaat untuk mengoreksi data dan mengantisipasi daerah yang suaranya tidak terdengar karena
terhalang bukit.
2.
Perlu dikaji lebih lanjut mengenai perilaku sosial pada ungko dan siamang terkait persaingan intra-interspesifik dan relung masing-
masing.
3.
Perlu adanya evaluasi penetapan fungsi hutan KHBT karena memiliki biodiversitas tinggi termasuk satwa-satwa langka beserta habitat di
dalamnya. Selain itu kawasan ini juga memiliki peranan penting bagi masyarakat disekitar hutan sebagai daerah resapan air.
DISTRIBUSI DAN KEPADATAN SIMPATRIK UNGKO
Hylobates agilis DAN SIAMANG Symphalangus syndactylus DI KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA
AKROM MUBAROK
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012