Perburuan dan perdagangan beberapa jenis kelelawar di dalam dan sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara

(1)

KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA

RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA

RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Dibimbing oleh HARYANTO R. PUTRO dan ANI MARDIASTUTI.

Sebahagian besar masyarakat di dalam dan sekitar Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) memiliki matapencaharian yang bertumpu pada sektor pertanian. Durian dan petai banyak dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi dan sangat digemari. Satwa utama yang membantu penyerbukan durian dan petai adalah kelelawar (Chiroptera: Megachiroptera). Tidak hanya itu, kelelawar juga berperan penting dalam menjaga ekosistem di KHBT, karena membantu penyerbukan dan penyebaran biji beberapa jenis tumbuhan di sana. Masyarakat di dalam dan sekitar KHBT didominasi oleh suku Batak, dan sangat gemar mengkonsumsi daging kelelawar (Pteropodidae). Perburuan yang tidak lestari dikhawatirkan akan menekan populasi kelelawar. Untuk itu perlu dilakukan survei perburuan dan perdagangan kelelawar. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai perburuan dan perdagangan beberapa jenis kelelawar yang terjadi di dalam dan sekitar KHBT, dalam upaya konservasi kelelawar.

Lokasi penelitian berada di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatra Utara. Penelitian dilaksanakan bulan November 2009-Juni 2010. Alat yang digunakan adalah peta kawasan, buku panduan lapang “Kelelawar di Indonesia” (Suyanto 2001), GPS, kamera digital, camera trap, binokuler, senter, alkohol 90%, dan panduan wawancara. Objek yang di teliti adalah jenis kelelawar yang diburu, pemburu, pengumpul dan pedagang, pembeli, pemilik rumah makan dan warung tuak, pengkonsumsi, serta petani durian. Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, wawancara, observasi lapangan dan pemasangan camera trap. Data dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelelawar yang diburu adalah kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak. Jenis kalong kapauk lebih banyak diburu daripada lalai kembang dan kusing dayak. Perburuan dengan tujuan komersial ini dilakukan dengan menggunakan jaring, namun ada juga sebahagian kecil yang menggunakan senapan angin dan rawe. Perburuan kalong kapauk berlangsung musiman (musim bunga durian), sedangkan perburuan lalai kembang dan kusing dayak tidak.

Perdagangan kelelawar terjadi secara lokal. Harga seekor kalong kapauk dari pedagang kepada pembeli sekitar Rp 15.000-40.000, sedangkan lalai kembang dan kusing dayak dijual seharga Rp 1.000 per ekor. Bentuk pemanfaatan kelelawar adalah sebagai sumber protein, menu makanan ekstrem, dijadikan serbuk obat asma, dan sebagai tambul. Diperlukan suatu upaya konservasi untuk menyelamatkan populasi kelelawar yang diperkirakan terus menurun ini, yaitu dengan mengadakan penyuluhan mengenai fungsi penting kelelawar, pendidikan konservasi dibangku sekolah, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyuluhan pertanian, dan perbaikan habitat kelelawar.


(4)

Some Species of Bats inside and surround Forest Area of Batang Toru, North Sumatra. Under supervision of HARYANTO R. PUTRO and ANI MARDIASTUTI

Most of local people surround Batang Toru Forest Area work at agriculture sectors. Durian and petai are mostly cultivated due to those commodities have high economic value. The main wild animals that help pollination of durian and petai is bat (Chiroptera: Megachiroptera). Not only help durian and petai pollination, but bats also help other plants pollination and spread some seeds. Therefore bats also have function as forest ecosystem keeper. The local people inside and surrounding Batang Toru forest is dominated by Batak ethnic. They are found of consuming bats meat (Pteropodidae). Unsustainable bat hunting is worrying since it can decrease bats population. The aims of study is to get information concerning the hunt and trade of some species of bats inside and surrounding Batang Toru Forest Area from conservation perspective.

The locations of study were at Batang Toru Forest Area, surrounding Batang Toru Forest Area. The study was conducted during November 2009 - June 2010. The tools that were used consisted of map of area, guidance book “Kelelawar di Indonesia”, GPS, digital camera, 2 unit of trap camera, binocular, flash light, watch, alcohol 90% and guidance questioner. The objects of this study were kalong kapauk, lalai kembang and kusing dayak, bats hunters, bats collectors, bats sellers, bats buyers, food shop owners, toddy shop owners, bats consumers and durian farmers. The data was collected through literature study, interview, field observation and video from trap camera. The data then was analyzed descriptively.

The bats trades happen locally. The price of one kalong kapauk can reach Rp 15.000,00 – Rp 40.000,00, while one lalai kembang or kusing dayak is only paid Rp 1.000,00. The utilizations of bats are usually for protein source, extreme menu, medicine and Snacks. Concerning the important aim of bats in the ecosystem, it needs conservation effort to conserve bat population that is getting decrease. The conservation effort can be giving socialization to local people regarding important aim of bats to the ecosystem, delivering conservation education to pupils in the schools, increasing local people welfare by giving agricultural illumination and repairing the habitat of bats.


(5)

Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

Ronald Andreas Paja Siagian NRP E34050078


(6)

Nama : Ronald Andreas Paja Siagian

NIM : E34050078

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Mengetahui: Ketua Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB,

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S NIP. 19580915 198403 1 003

Tanggal:

Pembimbing I,

Ir. Haryanto R. Putro, MS NIP. 19600928 198503 1 004

Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc NIP. 19590925 198303 2 002


(7)

segala rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan pada bulan November 2009-Juni 2010 adalah Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan di bawah bimbingan Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.

Maraknya perburuan kelelawar yang terjadi di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) menimbulkan kekhawatiran bagi sebahagian pihak yang peduli terhadap masalah lingkungan. Penulis melakukan penelitian ini untuk melihat kondisi perburuan dan perdagangan kelelawar yang terjadi sejauh ini. Sumber dana dalam pelaksanaan penelitian ini diperoleh dari Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Ekosistem Lestari (LSM YEL).

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun selama proses penyelesaian karya ilmiah ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2011


(8)

berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Keluarga besar penulis khususnya Bapa dan Mama atas kasih sayang, nasehat, kesabaran, dan dukungan doa.

2. Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc atas semua masukan berharga serta motivasi dan nasihat-nasihatnya kepada penulis. 3. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen

Manajemen Hutan.

4. Ir. Jajang Suryana, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan. 5. Ir. Oemijati Rachmatisjah, MS sebagai dosen penguji dari Departemen

Silvikultur.

6. Yayasan Ekosistem Lestari, Gabriella Fredriksson, Graham User, dan Helga Peters atas kesempatan, masukan-masukan, bantuan selama di lapangan, dan bantuan dana penelitian yang telah diberikan.

7. Seluruh staf YEL Batang Toru (Pinda Sianturi, S.Hut, M Faesal Rakhman Khakim, S.Hut, Sri Mahaini, Jumiatik, Subroto, Waldi Sipahutar, Rijal Simangunsong, Pak Buyung, Con, dan Kalam) atas bantuannya di lapangan. 8. Lina Kristina Dewi, S.Hut dan Insan Kurnia, S.Hut atas masukan dan

bantuannya.

9. Keluarga besar KSHE 42 atas semua perjuangan dan kebersamaannya.

10.Keluarga besar Himakova khususnya Kelompok Pemerhati Gua (G-12) atas semua perjuangan dan kebersamaannya.

11.Keluarga besar KSHE atas bantuannya kepada penulis selama menimba ilmu di IPB.

12.Keluarga besar UKM PMK IPB khususnya Komisi Pelayanan Siswa atas pengalaman dan persahabatan yang dirasakan penulis.

13.Penghuni kost Sakura (David Siagian, A.Md, Dian Firdaus, S.Hut, Dion, Christian, dan Boyce).


(9)

tanggal 12 Juli 1987 sebagai anak keempat dari empat bersaudara pasangan Arnold Siagian dan Tianur Saragih. Pendidikan formal penulis dimulai di SDN IV Ajamu (1993-1999), kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Yapendak Ajamu (1999-2002). Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU RK Bintang Timur Rantauprapat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru IPB. Penulis memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Himakova Kelompok Pemerhati Gua (G-12) tahun 2006-2008, koordinator bidang pelayanan Komisi Pelayanan Siswa Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB tahun 2007-2008, dan wakil koordinator II bidang eksternal Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB tahun 2008-2009. Kegiatan lapang yang pernah diikuti adalah Eksplorasi Fauna dan Flora Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Gunung Simpang Bandung (2008).

Kegiatan akademik lapang yang pernah diikuti antara lain Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap dan BKPH Gunung Slamet Barat Baturaden Jawa Tengah (2007), Praktek Pengelolaan Konservasi Eksitu di Kebun Tanaman Obat Karya Sari Leuwiliang Bogor dan Taman Margasatwa Ragunan Jakarta Selatan. Selain itu penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur (2009).

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara dibimbing oleh Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.


(10)

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Kerangka Pemikiran ... 3

1.4 Maksud dan Tujuan ... 3

1.5 Manfaat ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Bio-Ekologi Kelelawar ... 5

2.1.1 Kalong Kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758) ... 6

2.1.2 Lalai Kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) ... 11

2.1.3 Kusing Dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890) ... 12

2.2 Fungsi di Alam ... 13

2.3 Alat dan Cara Perburuan ... 14

2.4 Perdagangan ... 16

2.5 Upaya Konservasi ... 18

III. METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Waktu dan Tempat ... 19

3.2 Alat dan Bahan ... 19

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan ... 19

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 20

3.4.1 Pengamatan (Observasi) ... 20

3.4.2 Wawancara (Interviu) ... 21

3.4.3 Camera Trap ... 21

3.4.4 Jenis Kelelawar yang Diburu dan Diperdagangkan ... 22

3.4.5 Perburuan Kelelawar ... 23

3.4.6 Perdagangan Kelelawar ... 23

3.4.7 Karakteristik Responden ... 23

3.4.8 Kondisi Habitat ... 24

3.4.9 Kebun Durian ... 24

3.5 Analisis Data ... 24

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 25

4.1 Letak dan Luas ... 25

4.1.1 Kabupaten Tapanuli Utara ... 25

4.1.2 Kabupaten Tapanuli Tengah ... 26

4.1.3 Kabupaten Tapanuli Selatan ... 27

4.2 Topografi dan Geologi ... 28

4.3 Iklim ... 29

4.4 Potensi Fauna dan Flora ... 29

4.5 Kondisi Masyarakat ... 30

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

5.1 Pengenalan Kalong Kapauk, Lalai Kembang dan Kusing Dayak ... 31


(11)

5.2.1.2 Senapan Angin ... 35

5.2.1.3 Rawe (Mata Kail Pancing) ... 35

5.2.2 Daerah dan Lokasi Perburuan ... 36

5.2.3 Waktu Perburuan ... 38

5.2.4 Frekuensi Perburuan ... 39

5.2.5 Estimasi Jumlah Tangkapan ... 39

5.3 Perdagangan Kalong Kapauk ... 40

5.3.1 Rantai Perdagangan ... 40

5.3.2 Lokasi Penjualan ... 42

5.4 Karakteristik Responden Pemanfaat Kalong Kapauk ... 43

5.4.1 Pemburu ... 46

5.4.2 Pengumpul dan Pedagang ... 48

5.4.3 Pembeli ... 48

5.4.4 Pemilik Rumah Makan dan Warung Tuak yang Menjual Kalong Kapauk Siap Saji ... 50

5.4.5 Pengkonsumsi Kalong Kapauk Siap Saji ... 52

5.5 Perburuan Lalai Kembang dan Kusing Dayak ... 53

5.5.1 Alat dan Cara Perburuan ... 53

5.5.2 Daerah dan Lokasi Perburuan ... 54

5.5.3 Waktu Perburuan ... 55

5.5.4 Frekuensi Perburuan ... 56

5.5.5 Sex ratio Hasil Buruan ... 58

5.5.6 Estimasi Jumlah Tangkapan ... 58

5.6 Perdagangan Lalai Kembang dan Kusing Dayak ... 58

5.7 Karakteristik Pemanfaat Lalai Kembang dan Kusing Dayak ... 59

5.7.1 Pemburu ... 60

5.7.2 Pembeli ... 62

5.8 Kondisi Habitat ... 62

5.9 Kebun Durian ... 63

5.10 Pembahasan Umum ... 65

5.10.1 Kalong Kapauk ... 65

5.10.2 Lalai Kembang dan Kusing Dayak ... 70

5.10.3 Implikasi Terhadap Pengelolaan ... 71

5.10.3.1 Kelestarian Kalong Kapauk, Lalai Kembang, dan Kusing Dayak ... 71

5.10.3.2 Sifat Migrasi Kalong Kapauk ... 72

5.10.3.3 Kondisi Habitat ... 72

5.10.3.4 Upaya Pemerintah ... 73

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

6.1 Kesimpulan ... 76

6.2 Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(12)

1. Lokasi pasar tradisional yang menjual kalong kapauk, di dalam dan

sekitar KHBT ... 43 2. Karakteristik umum responden pemanfaat kalong kapauk di dalam

dan sekitar KHBT ... 44 3. Asal responden yang menjadi pembeli kalong kapauk di Kabupaten

Tapanuli Tengah ... 49 4. Lokasi dan jumlah rumah makan/warung tuak yang menjual kalong

kapauk siap saji di dalam dan sekitar KHBT, berdasarkan hasil

survei ... 50 5. Lamanya waktu perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua

Liang dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap ... 56 6. Karakteristik umum responden pemanfaat lalai kembang dan kusing

dayak di Kecamatan Tukka ... 60 7. Kelas umur pemburu lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang

dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap ... 61 8. Jumlah pemburu lalai kembang dan kusing dayak per kelompok

dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap ... 61 9. Luas tanaman, produksi, dan rata-rata produksi durian di Kabupaten

Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, tahun


(13)

1. Kerangka pemikiran penelitian perburuan dan perdagangan

kelelawar di dalam dan sekitar KHBT ... 3

2. Penyebaran geografi kalong kapauk (Sumber: Kunz & Jones 2000) ... 7

3. Jaring kabut (a) dan jaring serangga (b) (Sumber: Suyanto 2001) ... 15

4. Rantai perdagangan sumberdaya alam (Sumber: MWBP 2006) ... 17

5. Camera trap tipe Sony P41 ... 19

6. Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara (Sumber: YEL) ... 25

7. Kalong kapauk (a), lalai kembang (b), dan kusing dayak (c) ... 32

8. Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring ... 35

9. Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan rawe ... 36

10. Persentase kepemilikan lahan yang dijadikan lokasi penjaringan kalong kapauk ... 37

11. Beberapa lokasi penjaringan kalong kapauk di punggung bukit (a) dan salah satu lokasi penjaringan kalong kapauk (b) ... 38

12. Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara pemburu (n = 69) ... 39

13. Pemburu di Panti menjual hasil tangkapan kepada pengumpul di Panti (a), keranjang pengiriman (b), serta kalong kapauk yang sudah diikat mulut dan sayapnya lalu dikelompokan sesuai ukuran (c) ... 41

14. Rantai perdagangan kalong kapauk di dalam dan di sekitar KHBT ... 41

15. Kalong kapauk setelah dibakar (a), masakan daging kalong kapauk (b), dan salah satu rumah makan kalong kapauk siap saji di Desa Tukka (c) ... 42

16. Penjualan kalong kapauk dengan cara berkeliling menggunakan sepeda motor ... 42

17. Persentase responden pemanfaat kalong kapauk berdasarkan masing-masing kategori ... 43

18. Persentase persepsi pemburu mengenai upaya perlindungan kalong kapauk (n = 69) ... 47


(14)

20. Tempat perburuan lalai kembang dan kusing dayak (patca) dengan

memanfaatkan pohon hidup (a) dan menggunakan tiang kayu (b) ... 54 21. Gua Liang (a) dan Gua Anak Liang (b) di dalam KHBT blok Barat,

Kabupaten Tapanuli Utara ... 54 22. Jumlah perburuan yang dilakukan setiap pemburu dari

masing-masing desa/dusun dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap ... 56 23. Frekuensi perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang

dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap ... 57 24. Sex ratio lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan (n = 1) ... 58 25. Penanganan lalai kembang dan kusing dayak sebelum dipasarkan:

membuang sayap (a), ditusuk dengan kayu (b), dibakar (c), hasil

setelah dibakar (d), perebusan (e), dan pengasapan (f) ... 59 26. Sampah yang ditinggalkan pemburu (a), tempat masak (b), dan batu

gilingan (c) ... 63 27 Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara

petani durian (n = 59) ... 63 28. Penyebab berkurangnya produksi durian berdasarkan wawancara


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Panduan wawancara kepada pemburu kalong kapauk di dalam dan

sekitar KHBT ... 82 2. Panduan wawancara kepada pemburu lalai kembang dan kusing

dayak di dalam dan sekitar KHBT ... 85 3. Panduan wawancara dengan pengumpul sekaligus pedagang kalong

kapauk, di dalam dan sekitar KHBT ... 86 4. Panduan wawancara kepada pembeli kalong kapauk (untuk

konsumsi sendiri), di dalam dan sekitar KHBT ... 87 5. Panduan wawancara kepada pemilik rumah makan dan warung tuak

yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam dan sekitar

KHBT ... 88 6. Panduan wawancara kepada pengkonsumsi di rumah makan dan

warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam

dan sekitar KHBT ... 89 7. Panduan wawancara kepada petani durian yang ada di dalam dan

sekitar KHBT ... 90 8. Persebaran jenis-jenis anggota marga Pteropus (Sumber : Suyanto (2001)) ... 91 9. Perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT dan di Panti ... 92 10. Perburuan lalai kembang dan kusing dayak berdasarkan camera trap .... 94


(16)

Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) terletak di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatra Utara. Kawasan HBT berstatus hutan produksi seluas 93.628 ha (68,7%), hutan lindung (register) atau suaka alam seluas 25.315 ha (18,6%) dan area peruntukan lain seluas 17.341 ha (12,7%) (Indra & Fredriksson 2007). Sebahagian besar masyarakatnya memiliki matapencaharian yang bertumpu pada sektor pertanian. Durian dan petai merupakan jenis tanaman yang banyak dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi dan sangat digemari oleh masyarakat.

Satwa utama yang membantu penyerbukan durian dan petai adalah kelelawar. Selain durian dan petai, di dalam dan sekitar KHBT terdapat sekitar 184 jenis tanaman lain yang penyerbukannya juga dibantu oleh kelelawar, seperti: nangka, mangga, pisang, jambu serta beragam jenis tanaman penting lainnya yang menghasilkan kayu dan non kayu (Indra & Fredriksson 2007). Kelelawar juga berperan sebagai pemencar biji-bijian yang efektif, karena dapat menyebarkan biji dengan jarak lebih luas. Kelelawar jenis kalong kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758) di Malaysia memiliki daya tempuh 60 km dalam semalam (Burns 2009), sedangkan kelelawar jenis lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) memiliki daerah jelajah mencapai radius 40 km dalam semalam (Suyanto 2001).

Ancaman terbesar bagi kelelawar adalah kehilangan habitat dan perburuan secara berlebihan (Suyanto 1979; Maharadatunkamsi et al. 2003; Mulyana 2009). Perburuan kalong kapauk sering terjadi karena satwa tersebut dianggap merugikan (memakan buah-buahan di kebun) dan kurangnya informasi bagi masyarakat (Kencana 2002). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), perburuan satwaliar pada awalnya hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan protein. Pemanenan kemudian berubah menjadi aktivitas jual beli untuk mendapatkan uang tunai dari pihak lain (Soehartono & Mardiastuti 2003).

Masyarakat di dalam dan disekitar KHBT didominasi oleh suku Batak yang gemar mengkonsumsi daging kelelawar (Pteropodidae). Jenis kelelawar


(17)

yang diburu dan diperdagangkan adalah kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890). Ketiga jenis kelelawar ini berasal dari genus yang berbeda-beda dan termasuk dalam kelas Mamalia, subordo Megachiroptera, dan famili Pteropodidae. Kalong kapauk termasuk dalam genus Pteropus (Andersen 1912; Yalden & Morris 1975; Koopman 1993, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001), lalai kembang termasuk dalam subfamili Macroglossinae dan genus Eonycteris (Suyanto 2001), sedangkan kusing dayak termasuk dalam genus Dyacopterus (Suyanto 2001).

Masyarakat di dalam dan sekitar KHBT sudah lama mengenal ketiga jenis kelelawar ini. Kalong kapauk lebih dikenal dengan sebutan haluang, sedangkan lalai kembang dan kusing dayak dikenal dengan sebutan lopong. Lopong merupakan sebutan lokal untuk semua jenis kelelawar yang tinggal di dalam gua. Jenis lopong yang diburu adalah lalai kembang dan kusing dayak, karena memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Penulis tidak melakukan identifikasi terhadap jenis kelelawar lain yang tidak diburu oleh masyarakat.

Perburuan dan pedagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak yang berlangsung secara terus menerus dikhawatirkan dapat menyebabkan penurunan populasi dari ketiga jenis kelelawar tersebut. Penurunan populasi kelelawar ini dapat mengakibatkan produktivitas buah durian, petai dan jenis tanaman budidaya lainnya menurun, serta terganggunya ekosistem di KHBT. Penelitian mengenai perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT perlu untuk dilakukan.

1.2 Perumusan masalah

Penelitian ini diarahkan untuk merumuskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: (1) jenis kelelawar yang diburu; (2) alat dan cara perburuan; (3) daerah-daerah (desa/dusun) dan lokasi perburuan; (4) waktu perburuan; (5) frekuensi peburuan; (6) sex ratio hasil buruan; (7) estimasi jumlah hasil tangkapan; (8) rantai perdagangan kelelawar; (9) bentuk pemanfaatannya; (10) letak lokasi penjualan; (11) karakteristik pemanfaat kelelawar; (12) kondisi habitat kelelawar; dan (13) hasil panen durian dari tahun ke tahun. Data dan informasi yang menjawab permasalahan di atas diperlukan dalam upaya


(18)

konservasi terhadap jenis kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak khususnya di dalam dan sekitar KHBT.

1.3 Kerangka pemikiran

Kelelawar memiliki peranan penting dalam membantu proses penyerbukan dan pemencaran biji tumbuhan. Perburuan secara tidak lestari dikhawatirkan dapat menekan populasinya di alam, karena perkembangbiakannya yang berlangsung lambat. Perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT perlu segera disurvei untuk melihat kondisi yang sebenarnya, sehingga dapat dilakukan upaya yang tepat untuk mendukung pelestarian dari ketiga jenis kelelawar ini. Kerangka penelitian perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian perburuan dan perdagangan kelelawar di dalam dan sekitar KHBT.

1.4 Maksud dan tujuan

Maksud dan tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai perburuan dan perdagangan beberapa jenis kelelawar yang terjadi di dalam dan sekitar KHBT, dalam upaya konservasi kelelawar.

Upaya-upaya konservasi Survei pasar tradisional

Persepsi para pihak

Populasi berkurang

1. Produktivitas kebun buah berkurang 2. Ekosistem di KHBT

terganggu Kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing

dayak di dalam dan sekitar KHBT

Diburu secara tradisional

Konsumsi sendiri Diperdagangkan

secara komersial Survei lokasi perburuan


(19)

1.5 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam:

1. Menyediakan informasi mengenai sistem perburuan beberapa jenis kelelawar di dalam dan sekitar KHBT.

2. Menyediakan informasi mengenai kajian perdagangan dan pemanfaatan beberapa jenis kelelawar di dalam dan sekitar KHBT.

3. Memberikan usulan-usulan tentang upaya yang perlu dilakukan agar kelelawar yang diburu dan diperdagangkan di dalam dan sekitar KHBT tetap lestari.


(20)

Kelelawar termasuk Ordo (bangsa) Chiroptera dan memiliki 2 subordo (anak bangsa), yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Megachiroptera umumnya berukuran besar, telinga tidak memiliki tragus/antitragus, jari sayap kedua umumnya bercakar dan terdiri dari dua tulang jari, serta pemakan buah dan nektar (Standbury 1970; Yalden & Morris 1975; Feldhamer 1999; Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001). Microchiroptera pada umumnya berukuran kecil, telinga memiliki tragus/antitragus, jari sayap kedua tidak bercakar, tidak memiliki tulang jari, dan pemakan serangga (Standbury 1970; Feldhamer 1999; Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001), serta pemakan ikan dan darah (Feldhamer 1999). Perbedaan lainnya adalah dari cara melihat, ukuran dan bentuk sayap, orientasi mencari pakan (Feldhamer 1999) dan tingkat ketajaman indra penciumannya (Standbury 1970). Megachiroptera memiliki mata yang lebih besar, penciuman yang baik, dan memiliki lidah yang panjang (Standbury 1970).

Di dunia ada 18 suku, sekitar 192 marga, dan 977 jenis kelelawar (Nowak 1999, diacu dalam Suyanto 2001). Meskipun memiliki jumlah jenis yang banyak (terbesar kedua setelah Rodentia dalam kelas Mamalia), namun umumnya anggota individu masing-masing jenis tidak banyak (Suyanto 2001). Di Indonesia ada 205 atau 21% jenis kelelawar di dunia yang sudah diketahui, sembilan suku dari jenis-jenis ini termasuk dalam 52 marga (Suyanto 2001). Kesembilan suku tersebut terdiri dari Subordo Megachiroptera (Pteropodidae) dan Subordo Microchiroptera (Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae, Hipposideridae, Emballonuridae, Rhinopomatidae dan Molossidae) (Suyanto 2001).

Selain memiliki tingkat adaptasi yang baik kelelawar juga memiliki daerah penyebaran yang bersifat kosmopolit, karena ditemukan hampir diseluruh wilayah di muka bumi kecuali di daerah kutub dan pulau-pulau terisolasi (Stadbury 1970; Vaughan 1986). Menurut Suyanto (2001), kelelawar dapat tinggal di kolong atap-atap rumah, terowongan-terowongan, di bawah jembatan, rerimbunan dedaunan, gulungan daun pisang/palem, celah bambu, lubang-lubang batang pohon dan pohon-pohon besar. Musuh alami kelelawar adalah ular sanca, ular hijau, elang kelelawar, kucing dan burung hantu (Suyanto 2001).


(21)

2.1.1 Kalong kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758)

Kalong kapauk termasuk dalam Subordo Megachiroptera, famili Pteropodidae dan Genus Pteropus, serta memiliki 58 jenis (Andersen 1912; Yalden & Morris 1975; Koopman 1993, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001). Menurut Andersen (1912), kalong kapauk mempunyai beberapa sub spesies yaitu P. v. malaccensis di Sumatera, Malaysia, Burma, Muangthai dan Vietnam; P. v. vampyrus di Jawa; P. v. pluton di Bali dan Lombok; P. v. edulis di Timor dan Pulau Sawu; P. v. natunae di Pulau Natuna (Bunguran, Pulo Panjang) dan Kalimantan; P. v. lanensis di Filipina.

Nama ”pteropus” berasal dari bahasa Yunani ”pteron” yang berarti sayap, sedangkan ”vampyrus” berasal dari bahasa Perancis dan Jerman ”vampir” yang berarti penghisap darah, sebutan untuk kelelawar penghisap darah (Suyanto 1979). Sebutan ”vampir” bertentangan dengan sifat binatang yang bersangkutan, karena makanannya berupa buah-buahan dan sama sekali tidak menghisap darah (Suyanto 1979). Kalong kapauk memiliki nama lain: keluang, paniki, kabog, giant flying fox, island flying fox, Malayan flying fox, Malayan large flying fox, Malaysian flying fox, common flying fox, Sunda Island flying fox, large fruit bat, Malacca fruit bat, dan red-necked fruit bat (Kunz & Jones 2000).

Ciri-ciri umum yang dimiliki kalong kapauk menurut Suyanto (1979) adalah panjang badan dan kepala dapat mencapai 40 cm, kepala mirip anjing, berwarna kuning kemerah-merahan sampai coklat kehitam-hitaman (warna ini hanya sampai kebahu, sedangkan sisanya kehitam-hitaman), betis dan sayap tidak berambut , panjang telinga 4-5 cm dengan ujung meruncing, membran antar paha tidak tumbuh di tengah, rigi platum (tonjolan kulit pada langit-langit) 5+5+3 atau 5+51/2 atau 6+3, betis bagian atas tidak berbulu, basal ledge belakang pada graham tidak tumbuh, dan lengan bawah panjangnya mencapai 18-22 cm. Kalong kapauk tidak memiliki ekor (Taylor 1934, diacu dalam Kunz & Jones 2000).

Kalong kapauk juga dapat dibedakan dengan jenis lainnya melalui warna bulu (Ingle & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Warna dan bentuk bulu kalong kapauk bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin (Goodwin 1979, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Kalong kapauk remaja biasanya berwarna abu-abu sampai cokelat/ pirang (Payne et al. 1985, diacu dalam Kunz &


(22)

Jones 2000). Bulu jantan terlihat sedikit lebih kaku dan lebih tebal dibandingkan betina (Taylor 1934, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Jantan juga mempunyai kelenjar neck-tufts yang kaku di leher (Andersen 1912).

Menurut Ingle dan Heaney (1992) diacu dalam Kunz dan Jones (2000), kalong kapauk memiliki berat badan kira-kira mencapai 645–1,092 gram. Menurut Suyanto (1979), berat kalong kapauk dewasa sekitar 600 - 1.400 gram. Menurut Yalden dan Morris (1975), berat kalong kapauk dapat mencapai 1.200 gram, yang sama dengan berat seekor kelinci. Panjang rentang sayap 1,320–1,500 m (Yalden & Morris 1975; Ingle & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001).

Menurut Andersen (1912), kalong kapauk terdapat hampir diseluruh wilayah Wallace Indo-Malayan (Gambar 2). Kalong kapauk terdapat mulai dari selatan Burma dan Thailand bagian timur sampai ke Filipina dan ke Selatan Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Timor (Andersen 1912). Di Semenanjung Malaysia dan Kalimantan, kalong kapauk umumnya berada di wilayah pantai, tetapi juga terdapat pada ketinggian sampai 1,370 m dpl (Medway 1969, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Menurut Liat (1966), di Malaysia kalong kapauk dapat ditemukan di hutan-hutan dataran rendah yang hinggap bergantungan di pohon-pohon besar dengan ketinggian antara 100-150 kaki dari permukaan tanah.


(23)

Menurut Lekagul dan McNeely (1975), penyebaran kalong kapauk hampir meliputi seluruh kawasan Asia Tenggara, yaitu dapat dijumpai di dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian kurang lebih 1.300 m dpl. Sarang kalong kapauk juga dapat ditemukan di hutan-hutan mangrove, dimana jenis ini berkelompok dalam jumlah yang lebih kecil dengan jumlah antara 20-150 ekor setiap kelompoknya (Liat 1966). Kalong kapauk dalam koloni yang besar, mungkin dapat berkisar ratusan sampai ribuan individu (Liat 1966).

Menurut Dharmawan (1987), kalong kapauk yang ada di Pulau Rambut Kepulauan Seribu hanya menggunakan dua tipe hutan, yaitu: hutan payau (mangrove) dan tipe hutan sekunder dataran rendah. Pada hutan payau, jenis pohon tempat istirahat adalah bakau merah (Rhizopora mucronata), sedangkan pada hutan sekunder dataran rendah, jenis pohon yang digunakan adalah pohon kepuh (Sterculia foetida), kedoya (Amoora aphanamixis), dan kesambi (Schleichera oleosa) (Dharmawan 1987). Pohon-pohon yang disenangi adalah pohon tertinggi, mudah dijangkau, bercabang banyak, dan kuat, serta cabangnya menyebar luas (Dharmawan 1987).

Menurut Pieters (1953) diacu dalam Suyanto (1979), kalong kapauk di alam memakan buah semacam beringin (Ficus) dan kersen (Muntingia calabura). Kalong kapauk juga makan bunga dan daun muda untuk mendapatkan serbuk sari dan air, terutama pada musim kering. Bunga randu (Ceiba pentandra), durian (Durio zibethinus) dan kelapa (Cocos nucifera) sangat disukai kalong kapauk. Menurut Yalden dan Morris (1975), makanan kalong kapauk adalah buah, nektar, dan serbuk sari. Selain kalong kapauk, Chiroptera pemakan buah, nektar, dan serbuk sari lainnya adalah Phyllostomidae yang berasal dari Subordo Microchiroptera (Yalden & Morris 1975).

Tipe pohon-pohon yang disenangi kalong kapauk untuk tempat bersarang mempengaruhi penyebarannya. Pteropus spp. lebih menyenangi pohon-pohon yang tinggi dengan cabang-cabangnya yang menyebar luas (Liat 1966). Kalong kapauk sering bersarang pada satu pohon tertentu atau satu kelompok pohon, dan dari tahun ketahun kalong kapauk tersebut enggan (malas) meninggalkan tempat yang telah disenanginya itu (Liat 1966). Perilaku umum dari kalong kapauk ini menunjukkan bahwa penyebaran lokalnya sangat berkaitan dengan penyebaran


(24)

tanaman atau ketersediaan makanannya (Payne et al. 1985, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Liat 1966). Kalong kapauk melimpah pada bulan April-Juni dan Desember-Januari setiap tahunnya, karena pada waktu-waktu tersebut adalah musim buah-buahan (Liat 1966).

Di Semenanjung Malaysia, puncak kebuntingan kalong kapauk terjadi pada bulan November sampai Januari (Medway 1969, diacu dalam Kunz & Jones 2000), tetapi dapat juga pada waktu yang berbeda (Heideman & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Di Thailand, induk kalong kapauk melahirkan anak secara bersamaan pada bulan Maret atau April (Heideman & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Lekagul & McNeely 1977). Kalong kapauk berkembangbiak dengan melahirkan anak dengan masa buntingnya sekitar 6 bulan dan jumlah anak seekor pada setiap kelahiran (Lecagul & McNeely 1977; Suyanto 1979). Umumnya masa kelahiran bayi kalong kapauk dipengauhi oleh musim buah, yaitu bersamaan dengan musim buah-buahan, tetapi dapat juga berbeda-beda berdasarkan letak wilayahnya (Lecagul & McNeely 1977).

Menurut Yalden dan Morris (1975), faktor lingkungan yang mempengaruhi musim kawin (breeding) pada hewan mamalia pada umumnya adalah perubahan cahaya (bertambah atau berkurangnya sepanjang hari), curah hujan dan temperatur (suhu). Setiap kalong kapauk yang berada di daerah beriklim sedang adalah jenis monoestrous, yaitu hanya memiliki satu masa bereproduksi dalam setahun dan menghasilkan seekor anak setiap kelahirannya.

Di daerah tropis, cahaya dan temperatur relatif stabil dan beberapa jenis kalong kapauk di daerah ini seharusnya akan berbiak setiap bulannya, tetapi ternyata kalong kapauk hanya menghasilkan anak seekor setiap tahunnya (Yalden & Morris 1975). Beberapa jenis kelelawar di daerah tropis memiliki musim kawin yang dibatasi oleh siklus tahunan melalui pergantian hujan, sehingga anak kalong kapauk akan dilahirkan dengan mengikuti musim berbunga atau musim buah (Yalden & Morris 1975).

Menurut Yalden dan Morris (1975), sebelum melahirkan induk-induk kalong kapauk mengalami pemisahan sex terlebih dahulu. Induk-induk yang bunting tersebut kadang-kadang ditemani oleh beberapa ekor betina yang masih muda dan membentuk suatu kelompok asuh (nursing colonies). Diduga


(25)

pemisahan induk-induk bunting dengan pejantan untuk mengurangi adanya kekacauan dan persaingan makanan (Yalden & Morris 1975).

Janin kalong kapauk sangat besar, terkadang mencapai sepertiga berat induknya (Yalden & Morris 1975). Bayi yang baru lahir menempel pada induknya dan untuk beberapa hari pertama turut dibawa terbang dalam pencarian makanan. Setelah itu ditinggalkan di pohon tempat istirahat setiap kali induknya mencari makan (Yalden & Morris 1975). Kalong kapauk umumnya sudah dapat terbang sendiri pada usia sekitar 2 - 3 bulan (Yalden & Morris 1975). Karena jumlah bayi yang berasal dari satu induk sangat kecil, populasi kalong kapauk memiliki tingkat pertumbuhan yang lambat. Mungkin ini diimbangi dengan masa hidupnya yang lama (Yalden & Morris 1975).

Perilaku satwa merupakan suatu reaksi (ekspresi) satwa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi baik itu faktor-faktor internal yang berasal dari dalam tubuh satwa dan dipengaruhi oleh sifat genetik, maupun faktor eksternal yaitu rangsangan dari lingkungan (Suratmo 1979). Perilaku merupakan gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan dari lingkungannya. Fungsi perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam (Alikodra 2002).

Kalong kapauk merupakan satwa yang aktif pada malam hari yang selalu berkoloni dalam kelompok kecil sampai besar dan beristirahat pada siang hari dengan cara menggantung ke bawah dan kuku kaki mencengkram cabang (ranting pohon), sehingga pohon-pohon yang dihuninya terlihat seperti dipenuhi oleh daun-daun kering yang berwarna coklat (Suyanto 2001). Sebagian kecil tinggal di gua, umumnya tinggal di tajuk pepohonan di antara dedaunan yang rimbun (Suyanto 2001). Koloni kalong kapauk diatur berdasarkan kelompok belum dewasa dan dewasa belum berkembang biak. Pada sekeliling kelompok kalong kapauk, jantan bertindak sebagai penjaga, yang akan memberikan alarm yang keras jika terdapat gangguan (Yalden & Morris 1975).

Disebutkan juga oleh Yalden dan Morris (1975) bahwa suatu koordinasi dan prilaku kelompok yang lebih tinggi terjadi pada kalong kapauk yang hidup pada kelompok yang sangat besar, dan mencari makan pada tempat yang relatif


(26)

terlokalisasi dimana terdapat buah-buahan. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh kelelawar pemakan serangga untuk mencari makan secara bersama-sama dan berdekatan, karena makanannya sangat mobil dan tersebar (Yalden & Morris 1975).

2.1.2 Lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871)

Lalai kembang termasuk dalam Subordo Megachiroptera, famili Pteropodidae, Subfamili Macroglossinae, dan Genus Eonycteris (Corbet & Hill 1992, diacu dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Suyanto 2001). Menurut Andersen (1912), Genus Eonycteris terdiri dari 3 jenis, yaitu E. spelaea (Dobson, 1871), E. major (Andersen, 1910), dan E. rosenbergii (Jentink, 1889). Di Indonesia genus Eonycteris hanya terdapat 2 jenis saja, yaitu: E. major (Andersen, 1910), yang penyebarannya di Kalimantan dan E. spelaea (Dobson, 1871) yang memiliki daerah penyebaran di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi (Suyanto 2001). Lalai kembang memiliki nama Inggris Dawn bat, Common dawn bat, Common nectar bat, Lesser dawn bat (IUCN 2008).

Lalai kembang memiliki penyebaran di India, Myanmar, Thailand, Indocina, Malaysia, Filipina, dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi) (Corbet & Hill 1992, diacu dalam Maharadatunkamsi et al. 2003; Suyanto 2001). Selain itu, di Indonesia lalai kembang juga dapat ditemukan di Bali, Lombok, Sumba, Muna, Sanana, Halmahera, Batjan dan Tidore (IUCN 2008). Habitat lalai kembang adalah di berbagai tipe hutan, mulai dari hutan primer sampai lahan pertanian campuran (IUCN 2008). Sedangkan, menurut Suyanto (2001) Eonycteris tinggal di gua-gua atau ceruk-ceruk batuan pada mintakat peralihan atau gelap total.

Ciri-ciri yang dimiliki lalai kembang adalah: jari kedua tanpa cakar, moncong panjang, lidah panjang, bulu pendek halus seperti beludru, ada sepasang kelenjar dekat anus yang berbentuk seperti ginjal, lengan bawah sayap 60-85 mm, betis 25-40 mm, kaki belakang dengan cakar 17-21 mm, dan ukuran telinga 16-22 mm (Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Suyanto 2001). Menurut Suyanto (2001), yang membedakan E. spelaea dengan E. major adalah ukuran lengan bawah sayap dan warna tubuh, dimana E. spelaea memiliki ukuran lengan bawah


(27)

sayap 60-81 mm dan berwarna lebih terang, sedangkan E. major memiliki ukuran lengan bawah sayap 72-85 mm dan berwarna lebih gelap.

Lalai kembang merupakan kelelawar berukuran sedang (kira-kira 53–84 g) yang bertengger di dalam gua dalam koloni besar dan berpergian dengan jarak yang jauh untuk mencari makanan berupa nektar dan serbuk sari (Corbet & Hill 1992 diacu dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Hill & Smith 1984 diacu dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Kitchener et al. 1990 diacu dalam Maharadatunkamsi et al. 2003). Banyak jenis tanaman yang bergantung pada kelelawar ini untuk penyerbukan dan penyebaran biji, tetapi jumlah populasinya mengalami penurunan karena pengrusakan habitat, gangguan pada gua, dan perburuan (Maharadatunkamsi et al. 2003).

Tercatat lebih dari 4.000 individu lalai kembang ditemukan di gua-gua Batu di Malaysia (Bates dan Harrison 1997 diacu dalam IUCN 2008). Di Pulau Palawan ditemukan dua populasi, satu melebihi 2.000 individu dan lain yang mungkin melebihi 50.000 individu (Esselstyn et al. 2004 diacu dalam IUCN 2008). Sepanjang tahun, seekor lalai kembang betina hanya melahirkan satu anak (Bates dan Harrison 1997diacu dalam IUCN 2008). Sedangkan menurut Suyanto (2001), secara umum suku Pteropodidae memiliki masa bunting 3-6 bulan, dengan melahirkan seekor anak dalam setiap kelahiran. Menurut Heideman & Utzurrum (2003), di Filipina lalai kembang memiliki pola musim kawin yang sama dengan Rousetus amplexicaudatus dan Macroglossus minimus, dengan 2 musim kelahiran setiap tahun, yaitu pada pertengahan bulan Maret atau April dan Agustus atau September.

2.1.3 Kusing dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890)

Kusing dayak termasuk dalam subordo Megachiroptera, famili Pteropodidae, dan genus Dyacopterus (Suyanto 2001). Kusing dayak memiliki nama Inggris Dayak fruit bat dan Dyak fruit bat (IUCN 2008). Menurut Suyanto (2001), genus Dyacopterus hanya memiliki satu jenis anggota, yaitu kusing dayak D. spadiceus (Thomas, 1890). Kusing dayak dapat ditemukan di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand (IUCN 2008). Menurut Suyanto (2001) persebarankusing dayak adalah di Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia.


(28)

Menurut Suyanto (2001), ciri-ciri kusing dayak adalah: bentuk geraham atas (P3, P4) dan geraham bawah (P3, P4, dan M1) menyerupai segiempat berukuran besar, P3 berukuran 2,87-3,01 x 2,36-2,60 mm, P4 berukuran 2,52-2,90 x 2,32-2,61 mm, P3 berukuran 3,38-3,60 x 2,21-2,31 mm, dan P4 berukuran 3,06-3,17 x 2,35-2,67 mm. Rumus gigi I1I2CP3P4M1/I1I2CP1P3P4M1M2 dengan M1 jauh lebih kecil daripada P4, (dibandingkan dengan Cynopterus yang hampir sama besarnya), crista sagittalis tumbuh baik, ada celah antara gigi seri nomor 2 dengan taring atas (Suyanto 2001). Selanjutnya, Suyanto (2001) menyatakan lengan bawah sayap berukuran 76-92 mm, betis 27 mm, telinga 17-21 mm, warna wajah kehitaman, bahu kekuningan, coklat pada daerah punggung dan sisi samping badan, serta keputih-putihan pada dada dan perut.

2.2 Fungsi di alam

Fungsi kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak di alam sangat besar. Dilihat dari segi ekologi, kalong kapauk dapat memencarkan biji pohon-pohon yang menghasilkan buah ke tempat-tempat yang lebih luas dibandingkan dengan yang dapat dilakukan oleh binatang-binatang lainnya (Suyanto 1979). Peran ini akan sangat penting dalam hal pemulihan hutan di lokasi-lokasi yang rusak akibat aktivitas penebangan hutan ataupun akibat bencana alam (Suyanto 1979). Kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak juga berperan dalam penyerbukan pohon-pohon di hutan, termasuk pohon-pohon dengan nilai komersial tinggi seperti durian, randu, dan jenis-jenis lainnya di hutan mangrove (Suyanto 1979).

Fungsi kalelawar secara umum, selain fungsi yang telah disebutkan diatas adalah sebagai pengendali hama serangga, penghasil pupuk guano (lalai kembang E. spelaea Dobson, 1871) dan tambang fosfat di gua-gua, sebagai obyek wisata, bahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan yang tidak kalah pentingnya daging dan hati kalong kapauk ternyata merupakan penawar asma yang baik, walaupun belum bisa dibuktikan secara ilmiah (Suyanto 1979).

Menurut Suyanto (1979) dibeberapa tempat di Indonesia daging kalong kapauk dianggap lezat, tetapi kebanyakan orang enggan memakannya karena baunya yang tidak sedap. Disamping dagingnya, tulang lengan bawah kalong kapauk dibeberapa tempat digunakan sebagai pipa rokok. Menurut Walker et al.


(29)

(1968) diacu dalam Suyanto (1979) oleh penduduk tertentu lemaknya digunakan untuk menyuburkan rambut kepala dan menyembuhkan penyakit encok. Ada pula yang mengatakan hati kalong kapauk dicampur hati codot (Macroglossus minimus) dan cleret gombel (Draco volans), setelah dimasak dapat menyembuhkan penyakit asma yang berat (Suyanto 1979).

2.3 Alat dan cara perburuan

Peraturan yang mengatur perburuan satwaliar terdapat pada bab 4 pasal 17 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999, tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar. Perburuan jenis satwaliar dalam peraturan tersebut dilakukan untuk keperluan olah raga buru (sport hunting), perolehan trofi (hunting trophy), dan perburuan tradisional oleh masyarakat setempat. Penangkapan kelelawar dapat dilakukan untuk tujuan penelitian, khususnya bagi jenis-jenis yang belum diketahui identitasnya (Suyanto 2001).

Alat penangkapan kalelawar meliputi jaring kabut (mistnet), jaring harpa dan jaring serangga (jaring bertangkai) (Suyanto 2001). Di Indonesia alat yang biasa dipakai untuk menangkap kalelawar adalah jaring kabut (Gambar 3a) dan jaring serangga (Gambar 3b) (Suyanto 2001). Jaring kabut yang dipakai untuk menangkap kalelawar adalah jaring yang memiliki mesh (lebar mata jaring) 30-32 mm, dan ketebalan benang jaring 80 Denier (1 Denier = berat 9000 m benang nilon dalam gram), serta benang nilon yang terdiri dari untaian rangkap (Suyanto 2001). Di dalam gua yang berlangit-langit rendah jaring bertangkai biasanya sangat efektif untuk menangkap kelelawar. Sedangkan, untuk gua yang berlangit-langit tinggi dapat menggunakan jaring kabut dengan mengikatkannya pada kedua tiang, lalu menggerakkan kedua tiang kearah kelelawar (Suyanto 2001).

Suyanto (2001) melanjutkan bahwa tempat paling baik untuk memasang jaring adalah di tempat kelelawar tidur atau sedang mencari makan, seperti di sekitar pohon yang sedang berbuah (jambu, beringin dan lain-lain), pohon randu atau pisang yang sedang berbunga dan di sekitar tempat koloni laron atau semut terbang. Jaring dapat dipasang menyusuri tepi hutan, atau punggung bukit, menyilang lorong-lorong atau jalan setapak yang dilalui kelelawar (Suyanto 2001). Jaring harus dipasang di tempat yang agak terbuka karena ditempat yang


(30)

tumbuhannya lebat biasanya tidak dilalui kelelawar karena kelelawar tidak bisa menggunakan sayapnya dengan bebas untuk terbang (Suyanto 2001).

Gambar 3 Jaring kabut (a) dan jaring serangga (b) (Sumber: Suyanto 2001). Selain alat-alat yang telah disebutkan diatas, cara lain yang biasa digunakan pemburu kalong kapauk adalah dengan menggunakan senapan angin, jala ikan (jaring), dan layangan. Penangkapan dengan senapan angin dan jala ikan pernah dilakukan di Kebun Raya Bogor, ketika populasi kalong kapauk dinyatakan mengalami peningkatan yang begitu cepat dan dinyatakan dapat mengakibatkan kematian pohon koleksi (Susetyo 2007). Penangkapan dengan jala ikan yang dimaksudkan adalah menangkap dengan menggunakan jaring semacam net untuk permainan bola voli. Jaring dipasang dengan tali kemudian dinaikkan hingga membentang di lintasan udara yang biasa dilalui kalong kapauk. Dalam sehari, sejak matahari terbenam hingga subuh, rata-rata tertangkap 30-40 ekor (Susetyo 2007). Cara penangkapan dengan jaring ini juga yang dilakukan penangkap kalong kapauk di kawasan Bukit Tangkiling di Palangkaraya dan di hutan Timpah, arah ke Buntok Kabupaten Barito Selatan (Zainuddin 2009).

Penangkapan kalong kapauk dengan layangan pernah dilakukan oleh warga Sirenjang Jambi, yang mana di daerah ini kalong kapaukdianggap sebagai hama pertanian (Pakde 2009). Pada tali layangan dipasang mata kail (pancing) yang cukup banyak dengan tujuan kalong kapauk akan tersangkut di mata kail tersebut ketika layangan diterbangkan (Pakde 2009). Biasanya layangan diterbangkan sampai ketinggian 100 m dan dilakukan dari pukul 17.00−18.30 WIB, yaitu ketika kalong kapauk baru mulai keluar dari sarang untuk mencari makan sampai hari mulai gelap. Dalam sehari mereka dapat menangkap 8 ekor kalong kapauk (Pakde 2009).


(31)

2.4 Perdagangan

Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar, pada bab 5 pasal 18 menjelaskan bahwa:

(1) Tumbuhan dan satwaliar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwaliar yang tidak dilindungi.

(2) Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan perdagangan diperoleh dari: hasil penangkaran, pengambilan atau penangkapan dari alam.

Pada awalnya pemanenan hidupan liar hanya ditujukan untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari, misalnya untuk memenuhi kebutuhan protein (Soehartono & Mardiastuti 2003). Selanjutnya kegiatan pemanenan ini kemudian berubah menjadi aktivitas jual beli untuk mendapatkan uang tunai dengan pihak lain (Soehartono & Mardiastuti 2003). Pada skala nasional, perdagangan hidupan liar dapat menyumbangkan devisa bagi negara, meskipun jika dibandingkan dengan sumberdaya lainnya, seperti minyak, gas dan kayu, nilai hidupan liar memang tergolong sangat kecil (Soehartono & Mardiastuti 2003).

Kalong kapauk terdaftar dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora (CITES), yaitu pada Appendix II. Jenis ini akan menjadi terancam punah jika perdagangannya tidak diatur (Brautigan 1992 diacu dalam Kunz & Jones 2000; Soehartono & Mardiastuti 2003). Kelelawar jenis lalai kembang dan kusing dayak belum masuk kedalam daftar CITES.

Pelaku perdagangan sumberdaya alam (Gambar 4) pada umumnya mencakup pengumpul dan penjual sumberdaya alam atau collector, pembeli sekaligus penjual atau trader, pembeli sekaligus penjual sekala besar atau large-scale trader, serta pembeli dan pengguna atau consumer (MWBP 2006). Di Kalimantan Tengah, penangkap kalong kapauk dari hutan membawa hasil buruannya ke kota-kota besar seperti ke Palangkaraya, dan menjualnya dengan harga partai (Zainuddin 2009). Kemudian kalong kapauk tersebut dibeli pedagang pengecer kemudian dijual di beberapa tempat, bukan hanya di pinggir jalan tetapi juga di beberapa lokasi pasar yang ramai pengunjungnya (Zainuddin 2009).


(32)

Gambar 4 Rantai perdagangan sumberdaya alam (Sumber: MWBP 2006).

Menurut Suyanto (2001), di Indonesia semua jenis kalelawar belum dilindungi oleh undang-undang. Berbeda dengan di negara-negara maju dimana kelelawar hanya boleh ditangkap oleh peneliti saja. Isu yang beredar di masyarakat daging dan hati kalong kapauk dipercaya menjadi penyembuh penyakit asma yang baik, walaupun belum bisa dibuktikan secara ilmiah (Suyanto 1979). Selain untuk tujuan penyembuhan penyakit, kalong kapauk juga diperjual belikan di pasar untuk dikonsumsi dagingnya (Suyanto 1979). Seperti halnya yang terjadi di Palangkaraya, daging kalong kapauk disukai bukan hanya karena enak rasanya, tetapi ternyata daging ini juga berkhasiat obat, seperti obat asma, obat pedarahan, atau sangat baik bagi ibu yang baru melahirkan (Zainuddin 2009). Masakan kalong kapauk dapat disop, dibuat makanan kare, dibuat gorengan, atau dibakar begitu saja (Zainuddin 2009).

Harga kalong kapauk berbeda-beda berdasarkan tempat dan waktunya. Pada waktu musim buah populasi kalong kapauk akan meningkat dan harga kalong kapauk akan menurun (Khairulid 2005). Di Medan, kalong kapauk dihargai mulai dari 40 ribu hingga 70 ribu rupiah per ekornya, bergantung hasil tawar-menawar (Khairulid 2005). Di Sirenjang Jambi, kalong kapauk dijual kepada orang Cina seharga 15 ribu rupiah (Pakde 2009). Sedangkan di Palangkaraya, Misdan yang biasa menjual 115 ekor per harinya biasa menjual seekor kalong kapauk dengan harga 30 ribu rupiah (Zainuddin 2009).

Desa

Collector

Trader

Consumer Lokasi Penangkapan

Collector

Trader

Pasar luar

Large-scale Trader

Consumer Pasar kota lokal

Trader

Large-scale Trader


(33)

2.5 Upaya konservasi

Berdasarkan Red List IUCN (2008) versi 3.1, kalong kapauk terdaftar sebagai hampir terancam (Near Threatened; NT), karena jenis ini menurun secara signifikan akibat pemanenan secara berlebihan untuk dimakan, dan karena terus-menerus mengalami degradasi habitat di hutan primer (IUCN 2008). Berbeda dengan lalai kembang yang berstatus risiko rendah (Least Concern; LC), karena lalai kembang memiliki disribusi yang luas, diduga populasinya besar di sejumlah kawasan lindung, dapat mentoleransi sedikit banyak perubahan habitat, dan karena tidak mungkin mengalami penurunan populasi yang begitu cepat (IUCN 2008). Sedangkan, kusing dayak terdaftar sebagai hampir terancam (Near Threatened; NT) karena hilangnya habitat secara luas, sehingga membuat spesies dekat dengan kualifikasi untuk Rentan di bawah kriteria A (IUCN 2008).

Ancaman terbesar bagi kelelawar adalah kehilangan atau rusaknya habitat, dan perburuan secara berlebihan (Suyanto 1979; Maharadatunkamsi et al. 2003; Mulyana 2009). Banyak jenis kelelawar yang mencari makan di hutan hujan tropis dan menyesuaikan hidupnya dengan kondisi sekitarnya. Ketika hutan tersebut dikonversi maka akan ada banyak kelelawar yang tidak mampu bertahan hidup bahkan akan mati (Suyanto 2001). Di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Thailand, Vietnam dan pulau sekitarnya, populasi kalong kapaukterancam punah akibat penurunan jumlah hutan mangrove, perdagangan, dan pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan karet (Heideman & Heaney 1992, diacu dalamKunz & Jones 2000). Metode perlindungan yang baik adalah dengan melindungi kelompok-kelompok kalong kapaukdi pulau-pulau kecil.

Menurut Kepala Balai Zoologi LIPI, Ahmad Johan Arif diacu dalam Mulyana (2009), populasi jumlah kalong kapauk di KRB mulai berkurang akibat pengaruh pembangunan Kota Bogor. Penangkapan kelelawar untuk dimakan secara berlebihan juga dapat mengancam populasinya, karena perkembangbiakannya yang berlangsung sangat lambat (Suyanto 2001). Selain itu, kebakaran hutan juga dapat mengancam kehidupan satwaliar di dalamnya.


(34)

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 15 November 2009 - 15 Juni 2010. Lokasi penelitian berada di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT), yaitu: di Kabupaten Tapanuli Utara, Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Padang Sidempuan, dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara. Lokasi penelitian perburuan lalai kembang dan kusing dayak berada di Gua Liang, yaitu di salah satu gua yang ada di dalam KHBT blok Barat. 3.2 Alat dan bahan

Alat yang digunakan adalah: peta kawasan, Global positioning System (GPS), kamera digital, 2 unit camera trap tipe Sony P41 (Gambar 5), binokuler, alat penerangan (senter), pengukur waktu, alkohol 90%, dan panduan wawancara. Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian ini adalah: kalong kapauk, lalai kembang, kusing dayak, dan sebahagian kecil dari masyarakat di dalam dan di sekitar KHBT yang terlibat dalam kegiatan perburuan dan perdagangan ketiga jenis kelelawar tersebut, serta petani durian.

Gambar 5 Camera trap tipe Sony P41 3.3 Jenis data yang dikumpulkan

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian (Gulo 2002). Jenis-jenis data yang akan dikumpulkan adalah sebagai berikut:

1. Jenis kelelawar yang diburu dan diperdagangkan.

2. Data perburuan, yaitu: alat dan cara perburuan, daerah dan lokasi perburuan, waktu perburuan, frekuensi perburuan, sex ratio hasil buruan, dan estimasi jumlah tangkapan.


(35)

3. Data perdagangan, yaitu: rantai perdagangan kelelawar dan lokasi penjualan. 4. Karakteristik responden pemanfaat kelelawar (pemburu, pengumpul dan

pedagang, pembeli, pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, dan pengkonsumsi kalong kapauk siap saji).

5. Data kondisi habitat, yaitu: pembukaan KHBT beberapa tahun terakhir, perubahan luas area kebun durian, posisi koordinat mulut gua, tinggi dan lebar mulut gua, jarak dengan pemukiman penduduk, bukti-bukti aktivitas perburuan, dan dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas perburuan tersebut. 6. Data kebun durian, yaitu: karakteristik petani durian, waktu musim berbunga

durian, hasil panen buah durian beberapa tahun terakhir, penyebab penurunan panen buah (bila panen menurun), dan pengaruh keberadaan kelelawar bagi kebun durian.

Selain data diatas, data penunjang penelitian yang diperlukan adalah kondisi umum lokasi penelitian (letak dan luas, topografi dan geologi, iklim, dan potensi flora maupun fauna), kondisi masyarakat di lokasi penelitian, dan peta lokasi penelitian.

3.4 Metode pengumpulan data

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan metode Triangulasi, yaitu menggunakan beberapa metode pengumpulan data dan analisis data sekaligus dalam sebuah penelitian, termasuk menggunakan informan sebagai alat uji keabsahan dan analisis hasil penelitian (Bungin 2003). Beberapa tahap yang dilakukan yaitu: (1) melakukan studi literatur dan konsultasi dengan ahli, (2) melakukan pengumpulan data di lapangan dengan pengamatan (observasi), wawancara dan pemasangan camera trap, (3) melakukan pengolahan dan analisis data untuk mendapatkan hasil mengenai gambaran perburuan dan perdagangan kelelawar. Pendokumentasian dilakukan dalam setiap kegiatan pengumpulan data di lapangan.

3.4.1 Pengamatan (observasi)

Pengamatan adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi sebagaimana yang ia saksikan selama penelitian (Gulo 2002). Dalam penelitian ini pengamatan lapang dilakukan dengan partisipasi penuh, yaitu peneliti menyamakan diri dengan orang yang diteliti. Artinya, peneliti ikut serta


(36)

dalam aktivitas orang yang diteliti tanpa membatasi diri hanya sebagai pengamat saja (Gulo 2002). Pengamatan dilakukan di lokasi perburuan kalong kapauk yang termasuk dalam lokasi penelitian, dan di Gua Liang (habitat kelelawar) yang mejadi lokasi perburuan lalai kembang dan kusing dayak.

3.4.2 Wawancara (interviu)

Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden (Gulo 2002). Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya-jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal (Gulo 2002). Dalam wawancara telah disiapkan daftar pertanyaan (instrumen) dalam bentuk panduan wawancara. Secara prosedur wawancara ini termasuk kedalam bentuk wawancara terpimpin, yang menggunakan panduan pokok-pokok masalah yang diteliti (Gulo 2002). Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa lokal (Batak Toba), dan diusahakan tidak membuat responden tersinggung atau takut.

Pemilihan responden dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sampel secara sengaja yang melibatkan informan kunci (Bungin 2003). Penggunaan teknik purposive sampling disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemampuan biaya dan waktu yang dimiliki oleh peneliti, dengan asumsi yang telah dipilih untuk dijadikan sampel dianggap dapat mewakili dari sampel yang diharapkan. Total responden berjumlah 247 orang, yang terdiri dari: 69 responden pemburu kalong kapauk; 6 responden pemburu lalai kembang dan kusing dayak; 4 responden pengumpul kalong kapauk; 2 responden pedagang kalong kapauk; 20 responden pembeli kalong kapauk; 25 responden pembeli lalai kembang dan kusing dayak; 25 responden pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji; 37 responden pengkonsumsi kalong kapauk siap saji; dan 59 responden petani durian.

3.4.3 Camera trap

Pemasangan camera trap dilakukan selama 12 bulan dan hanya ditujukan untuk pemburu lalai kembang dan kusing dayak. Camera trap dipasang dalam 2 periode. Pemasangan pertama dilakukan oleh LSM YEL selama 7 bulan, yaitu bulan Desember 2008 - Juni 2009. Pemasangan camera trap yang kedua dilakukan pada saat penelitian sedang berlangsung, selama kurang dari 5 bulan


(37)

(24 Desember 2009 - 4 Mei 2010). Foto hasil camera trap diambil setiap 1-2 bulan sekali.

Lokasi pemasangan camera trap berada di 2 jalur yang biasa dilalui pemburu lalai kembang dan kusing dayak (berasal dari 4 dusun). Kedua jalur ini memiliki jarak yang tidak terlalu jauh dari lokasi perburuan dan masih merupakan daerah penelitian LSM YEL, sehingga pemasangan camera trap relatif aman dari gangguan manusia. Pemasangan camera trap di sekitar gua (lokasi perburuan) tidak dilakukan karena menghindari rasa curiga dari pemburu dan pertimbangan keamanan.

Jumlah pemburu dalam satu kelompok diketahui dengan menghitung jumlah orang (datang pada waktu yang bersamaan) pada foto hasil camera trap. Jumlah seluruh kunjungan pemburu ke Gua Liang dan jumlah seluruh kelompok diperoleh dengan menjumlahkan seluruh pemburu dan seluruh kelompok yang ada. Untuk mengetahui jumlah orang yang melakukan perburuan dan asal dari pemburu tersebut maka dilakukan identifikasi wajah (pemburu) pada foto hasil camera trap. Identifikasi wajah dibantu oleh salah seorang masyarakat lokal. Setelah mengidentifikasi wajah pemburu, kelas umur pemburu dan banyaknya perburuan yang dilakukan oleh masing-masing pemburu juga dapat diketahui. Lamanya waktu perburuan (berapa malam) diketahui dengan melihat jam kedangan dan kepulangan pemburu pada foto hasil camera trap.

3.4.4 Jenis kelelawar yang diburu dan diperdagangkan

Pengambilan sampel kelelawar yang diburu dan diperdagangkan dilakukan setelah beberapa kali melakukan pengamatan lapang. Sampel kalong kapauk diperoleh dengan membeli seekor kalong kapauk yang sedang diperjual-belikan, sedangkan sampel lalai kembang dan kusing dayak diperoleh dengan membeli hasil buruan langsung di lokasi perburuan. Sampel diambil sebanyak 5 ekor, yaitu: 1 ekor kalong kapauk; 2 ekor lalai kembang (jantan dan betina); dan 2 ekor kusing dayak (jantan dan betina). Sampel diawetkan dengan cara direndam dalam larutan alkohol 90%. Sampel kemudian diidentifikasi dengan menggunakan buku kunci identifikasi “Kelelawar di Indonesia” seri panduan lapang (Suyanto 2001).


(38)

3.4.5 Perburuan kelelawar

Pada perburuan kalong kapauk, data mengenai alat dan cara perburuan, daerah dan lokasi perburuan, waktu perburuan, frekuensi perburuan, serta estimasi jumlah tangkapan dikumpulkan melalui wawancara dengan pemburu kalong kapauk (Lampiran 1). Di beberapa desa/dusun, pengumpulan data ini juga dilakukan dengan pengamatan lapang. Pengamatan lapang dilakukan dengan menyewa seorang masyarakat lokal (pemburu) untuk menunjukkan lokasi-lokasi perburuan kalong kapauk.

Pada perburuan lalai kembang dan kusing dayak, data mengenai alat dan cara perburuan, lokasi perburuan, waktu perburuan, frekuensi perburuan, estimasi jumlah tangkapan, serta data sex ratio lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan dikumpulkan melalui pengamatan lapang dan melalui wawancara dengan pemburu lalai kembang dan kusing dayak (Lampiran 2). Selain itu juga dilakukan pemasangan camera trap di 2 jalur menuju lokasi perburuan.

3.4.6 Perdagangan kelelawar

Data rantai perdagangan kalong kapauk dan lokasi penjualan penjualan diperoleh dengan mewawancarai pengumpul dan pedagang kalong kapauk (Lampiran 3), sedangkan pada perdagangan lalai kembang dan kusing dayak dilakukan wawancara pada pemburu. Pada perdagangan kalong kapauk, survei pasar juga dilakukan di pasar-pasar tradisional yang biasanya melakukan jual-beli kalong kapauk. Penulis mencatat setiap lokasi penjualan kalong kapauk, sumber kalong kapauk, harga yang ditawarkan, serta melakukan investigasi lebih lanjut untuk mengetahui jaringan perdagangan kalong kapauk di dalam dan di sekitar KHBT. Untuk mengetahui apakah kalong kapauk selalu habis terjual ada kalanya penulis mengikuti pedagang/pengecer saat berangkat dari rumah pengumpul. 3.4.7 Karakteristik responden

Karakteristik pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk, serta jumlah dan lokasi perdagangan kalong kapauk, diperoleh dari hasil wawancara kepada pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk (Lampiran 3). Data pembeli kalong kapauk, pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, dan pengkonsumsinya masing-masing diperoleh dengan mewawancarai pembeli kalong kapauk (Lampiran 4), pemilik rumah makan dan warung tuak


(39)

yang menyediakan kalong kapauk siap saji (Lampiran 5), dan pengkonsumsinya (Lampiran 6). Data pembeli lalai kembang dan kusing dayak diperoleh melalui wawancara kepada pembeli lalai kembang dan kusing dayak (Lampiran 7).

3.4.8 Kondisi habitat

Data kondisi habitat kelelawar diperoleh berdasarkan hasil pengamatan lapang. Wawancara kepada pemburu juga dilakukan untuk menggali lebih banyak lagi informasi mengenai kondisi habitat.

3.4.9 Kebun durian

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, perburuan dan perdagangan kelelawar dapat mengakibatkan penurunan produktivitas kebun durian milik masyarakat. Untuk membuktikan dampak penurunan tersebut, maka dilakukan wawancara kepada petani durian yang ada di dalam dan di sekitar KHBT (Lampiran 8).

3.5 Analisis data

Seluruh data yang diperoleh dari hasil pengamatan lapang, wawancara, dan pemasangan camera trap dianalisis secara deskriptif.


(40)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan luas

Kawasan HBT (Gambar 6) yang terdiri dari blok barat dan blok timur (Sarulla), secara geografis terletak antara 98o 53’ - 99o 26’ Bujur Timur dan 02o 03’ - 01o 27’ Lintang Utara (Indra & Fredriksson 2007). Hutan alami (primer) di HBT yang tersisa saat ini diperhitungkan seluas 136.284 ha dan berada di Blok Barat seluas 81.344 ha dan di Blok Timur seluas 54.940 ha (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT secara administratif berada di 3 kabupaten yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara.

Gambar 6 Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara (Sumber: YEL). 4.1.1 Kabupaten Tapanuli Utara

Kabupaten Tapanuli Utara memiliki luas wilayah sekitar 3.800,31 km2, yang terdiri dari luas daratan 3.793,71 km2 dan luas perairan Danau Toba 6,60 km2 (BPS 2009). Kabupaten Tapanuli Utara terdiri dari 15 kecamatan, yaitu: Parmonangan (14 desa/kelurahan), Adian Koting (14 desa/kelurahan), Sipoholon (14 desa/kelurahan), Tarutung (31 desa/kelurahan), Siatas Barita (12 desa/kelurahan), Pahae Julu (19 desa/kelurahan), Pahae Jae (13 desa/kelurahan), Purbatua (11 desa/kelurahan), Simangumban (8 desa/kelurahan), Pangaribuan (22 desa/kelurahan), Garoga (12 desa/kelurahan), Sipahutar (23 desa/kelurahan), Siborong-borong (21 desa/kelurahan), Pagaran (14 desa/kelurahan), dan Muara (15 desa/kelurahan) (BPS 2009).

Kabupaten yang berada pada ketinggian antara 300-1500 m dpl ini, secara astronomis berada pada posisi 1o20’ – 2o41’ Lintang Utara dan 98o05’-99o16’


(41)

Bujur Timur (BPS 2009). Secara geografis, sebelah Utara Kabupaten Tapanuli Utara berbatasan langsung dengan kabupaten Toba Samosir, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu, sebelah Selatan berbatasan dengan Tapanuli Selatan, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasudutan dan Tapanuli Tengah (BPS 2009). Curah hujan di tahun 2008 tercatat 2.922 mm dan lama hari hujan 209 hari, atau curah hujan bulanan sebanyak 243,50 mm dan lama hari hujan 17,42 hari (BPS 2009). Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli, yaitu 619 mm dengan 15 hari hujan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari, yaitu 175 mm dan lama hari hujan 12 hari (BPS 2009).

Kawasan HBT yang termasuk kedalam daerah Tapanuli Utara adalah seluas 89.236 ha atau 65,5 % dari luas hutan. Air dari HBT di Tapanuli Utara mengairi persawahan luas di lembah Sarulla dan hulunya dari DAS Sipansihaporas dan Aek Raisan berada di Tapanuli Utara. Pegunungan yang paling tinggi di Batang Toru berada di Tapanuli Utara, yaitu di Dolok Saut dengan ketinggian 1.802 m dpl (Indra & Fredriksson 2007).

4.1.2 Kabupaten Tapanuli Tengah

Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki luas wilayah sekitar 2.194,98 km2, sebahagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebahagian kecil berada di pulau-pulau kecil di sekitar wilayah kabupaten ini (BPS 2009). Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri dari 20 kecamatan, yaitu: Pinangsori (7 desa/kelurahan), Badiri (9 desa/kelurahan), Sibabangun (7 desa/kelurahan), Lumut (6 desa/kelurahan), Sukabangun (6 desa/kelurahan), Pandan (9 desa/kelurahan), Sarudik (5 desa/kelurahan), Tukka (8 desa/kelurahan), Tapian Nauli (9 desa/kelurahan), Sitahuis (6 desa/kelurahan), Kolang (12 desa/kelurahan), Sorkam (14 desa/kelurahan), Sorkam Barat (11 desa/kelurahan), Pasaribu Tobing (8 desa/kelurahan), Barus (13 desa/kelurahan), Sosor Gadong (9 desa/kelurahan), Andam Dewi (14 desa/kelurahan), Barus Utara (6 desa/kelurahan), Manduamas (9 desa/kelurahan), dan Sirandorung (8 desa/kelurahan) (BPS 2009).

Kabupaten yang berada pada ketinggian antara 0-1.266 m dpl ini, secara astronomis berada pada posisi 1o11’00” – 2o22’00” Lintang Utara dan 98o 07’-98o12’ Bujur Timur (BPS 2009). Secara geografis, sebelah Utara Kabupaten


(42)

Tapanuli Tengah berbatasan langsung dengan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Tapanuli Selatan, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia (BPS 2009). Suhu udara rata-rata tahun 2008 di Kabupaten Tapanuli Tengah 25,98oC, dengan suhu maksimum mencapai 31,50oC dan suhu minimum mencapai 21,51oC. Musim kemarau terjadi pada bulan Juni-September, dan musim penghujan terjadi pada bulan November-Maret (BPS 2009).

Kawasan HBT yang termasuk kedalam daerah Tapanuli Tengah adalah seluas 15.492 ha atau 11,4% dari luas hutan (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT di Tapanuli Tengah merupakan daerah tangkapan air bagi PLTA Sipansihaporas yang sudah beroperasi sejak tahun 2002 dengan kapasitas 50 MW (Indra & Fredriksson 2007). Areal sekitar Sipansihaporas merupakan hutan di tebing kapur yang sangat indah dengan banyak air terjun (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan Bukit Anugerah sedang dibangun di tepi HBT yang akan dijadikan sebagai kawasan ekowisata Tapanuli Tengah (Indra & Fredriksson 2007).

4.1.3 Kabupaten Tapanuli Selatan

Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki luas wilayah 4.367,05 km2 (BPS 2009). Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari 12 kecamatan, yaitu: Batang Angkola (58 desa/kelurahan), Sayurmatinggi (55 desa/kelurahan), Angkola Timur (39 desa/kelurahan), Angkola Selatan (18 desa/kelurahan), Angkola Barat (24 desa/kelurahan), Batang Toru (29 desa/kelurahan), Marancar (32 desa/kelurahan), Sipirok (100 desa/kelurahan), Arse (31 desa/kelurahan), Saipar Dolok Hole (68 desa/kelurahan), Aek Bilah (42 desa/kelurahan), dan Muara Batang Toru (7 desa/kelurahan) (BPS 2009).

Kabupaten yang berada pada ketinggian antara 0-1.925,3 m dpl ini, secara astronomis berada pada garis 0o58’35” – 2o07’33” Lintang Utara dan 98o 05’-99o16’ Bujur Timur (BPS 2009). Secara geografis, sebelah utara Kabupaten Tapanuli Utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten


(43)

Mandailing Natal dan juga Samudera Indonesia (BPS 2009). Curah hujan rata-rata di tahun 2008 tercatat 295,83 mm, dengan lama hari hujan rata-rata 16 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret, yaitu 650 mm dengan 23 hari hujan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Mei, yaitu 106 mm dan lama hari hujan 9 hari (BPS 2009).

Kawasan HBT yang termasuk kedalam Kabupaten Tapanuli Selatan adalah seluas 31.556 ha atau 23,1% dari luas hutan (Indra & Fredriksson 2007). Air dari sungai Batang Toru menjadi penting buat perkebunan luas yang berada di daerah hilir (Indra & Fredriksson 2007). Di Kabupaten Tapanuli Selatan sedang dilakukan eksplorasi oleh tambang emas di Kecamatan Batang Toru (Indra & Fredriksson 2007).

4.2 Topografi dan geologi

Keadaan topografi di KHBT bergelombang dan sangat curam (Indra & Fredriksson 2007). Berdasarkan peta kontur sebagian besar kelerengan berkisar lebih dari 40 %, lebih curam lagi di Blok Timur Sarulla (Indra & Fredriksson 2007). Jenis tanah di KHBT adalah tanah ultisolik, alluviocolluvial dan inseptisolik (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT menjadi areal yang penting untuk mencegah terjadinya banjir, erosi dan longsor di daerah Tapanuli yang rentan terhadap datangnya bencana alam, termasuk gempa (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT merupakan hutan pegunungan dataran rendah, hutan gambut pada ketinggian 900-1.000 m dpl, hutan batu kapur, hutan berlumut, hutan rawa diketinggian 800 m dpl dan dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 400-1.803 m dpl (Indra & Fredriksson 2007). Titik terendahnya berada di Sungai Sipansihaporas (dekat Kota Sibolga) dan titik tertingginya berada pada Dolok Lubuk Raya di bagian selatan kawasan (Indra & Fredriksson 2007).

Indra dan Fredriksson (2007) melanjutkan bahwa KHBT memiliki daerah tangkapan air untuk 10 sub-DAS (daerah aliran sungai). Kawasan DAS ini masih memiliki tutupan hutan yang utuh dibagian hulunya dan mempunyai fungsi penting sebagai penyangga kehidupan dan pengatur tata air maupun sebagai pencegah bencana. Sepuluh sub-DAS ini adalah Sipansihaporas, Aek Raisan, Batang Toru Ulu, Sarulla Timur, Aek Situmandi, Batang Toru Ilir (Barat dan Selatan), Aek Garoga, Aek Tapus, Sungai Pandan dan Aek Namapar/Aek Puli


(44)

(Batang Toru Timur). PLTA Sipansihaporas adalah salah satu pembangkit listrik yang memanfaatkan DAS Sipansihaporas (Indra & Fredriksson 2007).

4.3 Iklim

Curah hujan di KHBT cukup tinggi yaitu antara 4.500 sampai 5.000 mm per tahun. Suhu pada malam hari dapat turun sampai 14ºC. Sedangkan curah hujan rata-rata tahunan dari tahun 2007-2008 menurut PT. Agincourt Oxiana adalah sebesar 4.190,65 mm per tahun. Sementara curah hujan rata-rata bulanannya adalah sebesar 349,22 mm per bulan (Indra & Fredriksson 2007). Berdasarkan pengukuran pada bulan November-Desember 2009, temperatur rata-rata pada pagi hari 21,96ºC dan temperatur rata-rata-rata-rata pada sore hari 20,29ºC. 4.4 Potensi fauna dan flora

Kawasan HBT memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Selain ditemukan berbagai jenis kelelawar, saat ini KHBT adalah habitat terakhir untuk populasi orangutan Pongo abelii yang jauh terpisah dari orangutan lain di Sumatera Utara dan Aceh (Indra & Fredriksson 2007). Populasi orangutan diperkirakan sekitar 600 ekor di blok Batang Toru Barat dan sekitar 300-400 ekor di blok Batang Toru Timur, berkisar 10-15% dari seluruh populasi orangutan Sumatera yang saat ini diperkirakan hanya tinggal 6.600 ekor yang tersisa di dunia ini (Indra & Fredriksson 2007).

Selain orangutan ada beragam satwa langka lainnya seperti tapir (Tapirus indicus), kijang (Muntiacus muntjak), Babi Hutan (Sus scrofa) harimau Sumatera (Panthera tigris Sumaterae), kucing batu (Pardofelis marmorata), beruang madu (Helarctos malayanus) dan kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis). Ditemukan 265 jenis burung yang 59 jenis diantaranya termasuk langka atau khas Sumatera (Indra & Fredriksson 2007).

Kawasan HBT banyak ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan, seperti pohon cemara gunung(Casuarina sp.), sampinur tali (Dacrydium spp.), mayang (Palaquium spp.). Jenis-jenis pohon dominan yang dijumpai berasal dari famili Theaceae, Sapotaceae dan Lauraceae. Banyak juga ditemukan jenis-jenis epifit, lumut dan jenis tanaman yang punya simbiosis (seperti kantong semar, Nephentes spp.). Jenis bunga yang ditemukan adalah bermacam-macam agrek dan bunga bangkai (Rafflesia gadutensis) (Indra & Fredriksson 2007).


(45)

4.5 Kondisi masyarakat

Masyarakat di dalam dan di sekitar KHBT sebagian besar berasal dari suku Batak. Masyarakat tersebut pada umumnya sudah lama bermukim (Indra & Fredriksson 2007). Di sisi Barat-Selatan banyak ditemui hutan yang baru dibuka dalam beberapa tahun terakhir, oleh warga Nias yang datang dari Pulau Nias (Indra & Fredriksson 2007). Sistem mata pencaharian masyarakat di dalam dan disekitar KHBT adalah bertani. Jenis tanaman yang banyak ditanam adalah padi sawah, karet, coklat, durian, petai, aren, dan kemenyan (Indra & Fredriksson 2007). Jenis tanaman buah-buahan seperti durian, biasanya ditanam bersamaan dengan tanaman karet.


(1)

90

Lampiran 7 Panduan wawancara kepada petani durian yang ada di dalam dan

sekitar KHBT

1. Berapa jumlah pohon durian yang Bapak/Ibu miliki? _______________ 2. Sudah berapa tahun Bapak/Ibu mengalami panen Durian?

[ ] 1-5 tahun [ ] 5-10 tahun [ ] 10-20 tahun [ ] 20-30 tahun 3. Pada saat bulan berapakah durian mulai berbunga? _______________

4. Apakah hasil panen buah durian Bapak/Ibu selalu sama setiap tahunnya? [ ] Ya [ ] Berkurang [ ] Bertambah

5. Bagai mana hasil panen buah durian Bapak/Ibu bila dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu? [ ] Tetap [ ] Berkurang [ ] Bertambah 6. Hal apa saja yang dapat mengakibatkan panen buah durian Bapak/Ibu berkurang?

_______________

7. Apakah panen buah durian sangat membantu perekonomian Bapak/Ibu? [ ] Ya [ ] Tidak

Alasannya : _______________ 8. Apakah Bapak/Ibu mengenal kalong?

[ ] Ya [ ] Tidak

9. Apa saja fungsi kalong yang Bapak/Ibu ketahui?

[ ] Membantu penyerbukan tumbuhan [ ] Penyebar biji tumbuh-tumbuhan [ ] Lainnya: _______________

10. Apakah Bapak/Ibu setuju bila kalong tetap diburu? [ ] Ya [ ] Tidak

Alasannya : _______________

11. Apakah saat ini di kebun Bapak/Ibu semakin sulit untuk melihat kalong? [ ] Ya [ ] Tidak

Alasannya : _______________

12. Apa saja dampak buruk dari keberadaan kalong?

[ ] Hama buah langsat [ ] Hama buah rambutan [ ] Menularkan penyakit [ ] Lainnya: _______________


(2)

Lampiran 8 Persebaran jenis-jenis anggota marga Pteropus (Suyanto 2001)

Nama ilmiah Nama daerah Persebaran

P. alecto Temminck, 1837 Kalong hitam P. Bawean (Jawa), Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua Barat, Papua Nugini, dan

Australia

P. argentatus Gray, 1844 Kalong ambon Maluku dan Ambon

P. caniceps Gray, 1871 Kalong morotai Sulawesi, Maluku, dan Maluku Utara

P. chrysoproctus Temminck, 1837 Kalong maluku Maluku

P. conspicillatus Gould, 1850 Kalong kacamata Maluku, Papua Barat, Papua Nugini, dan Australia

P. griseus E. Geoffroy, 1810 Kalong kelabu Asia Tenggara benua, Fillipina dan sulawesi, Nusa Tenggara, P. Timor, Maluku

P. hypomelanus Temminck, 1853 Kalong kecil Asia Tenggara benua, Pulau-pulau kecil sekitar Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa

Tenggara, Papua Barat dan Papua Nugini sampai Solomon

P. lombocensis Dobson, 1878 Kalong lombok Nusa Tenggara dan Maluku

P. macrotis Peters, 1867 Kalong nissi P. Aru, Salawati, Wokam, Papua Barat, dan Papua Nugini

P. melanopogon Peters, 1878 Kalong awab P. Aru dan Maluku

P. melanotus Blyth, 1863 Kalong enggano Kep. Enggano, Kep. Andaman, dan Asia Tenggara benua

P. neohibernicus Blyth, 1876 Kalong bismark Papua Barat dan Papua Nugini

P. ocularis Peters, 1867 Kalong seram P. Buru, P. Seram, dan Maluku

P. personatus Temminck, 1825 Kalong manu Maluku

P. pohlei Kalong manguai P. Yapen dan P. Biak (Papua Barat)

P. pumilus Miller, 1910 Kalong talaud Filipina, P. Talaud, dan Sulawesi

P. scapulatus Peters, 1862 Kalong merah Papua Barat, Papua Nugini, dan Australia

P. speciosus Andersen, 1908 Kalong laut Kep. Talaud dan Filipina

P. temmincki Peters, 1867 Kalong temmincki Timor (keberadaannya diragukan oleh Goodwin 1979), Maluku, dan Papua Nugini

P. vampyrus Linnaeus, 1758 Kalong kapauk Tenasserim, Thailand, Indocina, Malaysia dan Filipina, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa


(3)

Lampiran 9 Lokasi perburuan, alat perburuan, jumlah kelompok pemburu, rata-rata tangkapan, dan total tangkapan kalong kapauk di

dalam dan di sekitar KHBT dan di Panti

Kabupaten Kecamatan Desa/Dusun Alat

Perburuan

Jumlah Pemburu (kelompok/malam)

Rata-rata Tangkapan (ekor/lokasi/malam)

Total Tangkapan (ekor/lokasi

/malam)

A B C Tetap Musiman Tetap Musiman

Tapanuli Utara

Simangumban Dolok Sanggul/ Lumban Garaga √ - 10 - 20 200

Lobu Sihim √ - 12 - 20 240

Purbatua Bonani Dolok/ Lobuharambir √ - 6 - 30 180

Pahae Julu Simardangiang √ - 4 - 10 40

Simardangiang/ Sibio-bio √ - 5 - 10 50

Simardangiang/ Lumban Goting √ - 3 - 10 30

Simardangiang/ Pasir Nauli √ - 8 - 10 80

Simataniari √ - 3 - 15 45

Tapanuli Tengah

Sitahuis Bonan Dolok √ - 5 - 5 25

Tukka Sipange √ 27 23 3 30 690

Sigiring-giring √ - 8 - 30 240

S Kalangan II/ Huta Raja √ - 8 - 30 240

S Kalangan II/ Haramonting √ - 20 - 30 600

Tap Saur Manggita/ Tapian Nauli √ - 8 - 30 240

Tap Saur Manggita/ Lobu Pariasan √ - 10 - 30 300

Badiri Pagaran Honas √ - 8 - 10 80

Lubuk Ampolu √ - 7 - 10 70

Aek Horsik √ - 1 - 3 3

Pinangsori Gunung Marijo √ - 35 - 30 1050

Gunung Marijo/Aek Tolang √ - 8 - 30 240

Toga Basir √ - 8 - 20 160

Lumut Simarlailan √ - 1 - 30 30

Sihiong √ - 6 - 30 180

Aek Gambir √ - 8 - 30 240


(4)

Lampiran 9 Lanjutan ...

Kabupaten Kecamatan Desa/Dusun Alat

Perburuan

Jumlah Pemburu (kelompok/malam)

Rata-rata Tangkapan (ekor/lokasi/malam)

Total Tangkapan (ekor/lokasi

/malam)

A B C Tetap Musiman Tetap Musiman

Sialogo √ - 8 - 30 240

Sibabangun Mombang Boru/ Sihobuk √ - 5 - 15 75

Anggoli √ - 6 - 20 120

Simanosor √ - 13 - 20 260

Muara Sibuntuon √ - 20 - 15 300

Sibio-bio √ - 30 - 20 600

Huta Gur-gur √ - 12 - 20 240

Tapanuli Selatan

Batang Toru Marancar/ Hau Natas √ - 2 - 5 10

Sipirok Luat Lombang/ Hutaimbaru √ - 1 - 40 40

Tano Tombangan Panabaring √ - 13 - 25 325

Huta Raja √ 3 13 3 25 325

Huta Tonga √ - 13 - 25 325

Sayur Matinggi Ranto Natas √ - 3 - 10 30

Batang Angkola Huta Padang √ - 1 - 10 10

Sigulang Losung √ - 1 - 8 8

Siais Simarpinggan √ - 5 - 80 400

Angkola Selatan Simaronop √ - 6 - 40 240

Total 30 375 3 22 9.041


(5)

Lampiran 10 Aktivitas perburuan lalai kembang dan kusing dayak berdasarkan hasil camera trap

Tanggal Jam

Datang (WIB)

Jam Pulang

(WIB)

Lama Perburuan

(malam)

Jumlah Pemburu

(orang)

Usia (tahun)

Daerah Asal Jumlah

Tangkapan (ekor/malam)

Total Tangkapan

(ekor) 19-Des-08 13.26 09.12 3 4 2B,C,E Haramonting & H. Raja 330 990

22-Des-08 14.23 08.02 2 3 C,D,A Lubuk Pariasan 380 760

29-Des-08 13.43 10.05 2 4 2D,2C Lubuk Pariasan 440 880

04-Feb-09 13.34 11.19 1 2 2D Haramonting & H. Raja 370 370

07-Feb-09 14.59 09.37 1 3 C,D,E Tapian Nauli 370 370

10-Feb-09 11.42 09.46 1 4 3B,D Haramonting & H. Raja 430 430

05-Mar-09 17.05 15.27 1 3 2E,C Badiri 240 240

09-Mar-09 14.39 11.02 1 2 C,D Lubuk Pariasan 320 320

13-Mar-09 14.27 08.51 2 2 C,B Haramonting & H. Raja 240 480 16-Mar-09 12.37 08.51 1 2 E,D Badiri & Haramonting 370 370

16-Mar-09 15.08 09.27 1 3 2E,C Tapian Nauli 490 490

19-Mar-09 13.18 09.33 2 3 2C,B Haramonting & H. Raja 240 480

11-Apr-09 14.11 08.57 1 4 E,2D,C Tapian Nauli 500 500

17-Apr-09 14.21 09.41 1 6 4E,2C Tapian Nauli 860 860

01-Mei-09 13.58 08.56 1 4 3B,C Lubuk Pariasan 620 620

09-Mei-09 14.18 09.03 1 4 E,3D Tapian Nauli 770 770

12-Mei-09 15.03 08.28 1 2 D,B Haramonting & H. Raja 310 310

16-Mei-09 14.42 08.41 1 5 B,2C,2D Lubuk Pariasan 630 630

29-Mei-09 13.41 08.22 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 250

30-Mei-09 13.41 07.36 1 2 E,D Tapian Nauli 450 450

08-Jun-09 12.35 10.14 1 3 D,2B Lubuk Pariasan 460 460

20-Jun-09 13.13 08.13 1 2 B,C Lubuk Pariasan 450 450

26-Des-09 14.25 09.47 1 2 2D Haramonting & H. Raja 250 250 02-Jan-10 15.41 09.41 1 2 E,D Haramonting & H. Raja 310 310


(6)

Lampiran 10 Lanjutan ...

Tanggal Jam

Datang (WIB)

Jam Pulang

(WIB)

Lama Perburuan

(malam)

Jumlah Pemburu

(orang)

Usia (tahun)

Daerah Asal (Dusun)

Jumlah Tangkapan (ekor/malam)

Total Tangkapan

(ekor) 05-Jan-10 12.54 11.03 1 2 D,C Haramonting & H. Raja 370 370 11-Jan-10 13.16 08.27 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 250 16-Jan-10 13.10 08.19 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 250 23-Jan-10 16.05 10.44 1 2 D,B Haramonting & H. Raja 370 370 29-Jan-10 14.17 07.47 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 250 01-Feb-10 14.13 10.17 2 2 E,F Haramonting & H. Raja 180 360 12-Feb-10 13.13 08.08 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 250 26-Feb-10 12.24 09.42 1 3 E,D,C Haramonting & H. Raja 490 490 05-Mar-10 12.44 08.27 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 250 12-Mar-10 11.54 09.34 2 2 D,C Haramonting & H. Raja 370 740

21-Mar-10 - 08.35 1 3 E,D,C Tapian Nauli 570 570

23-Mar-10 14.01 08.24 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 250 30-Mar-10 13.03 07.51 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 250 06-Apr-10 11.55 07.36 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 250

11-Apr-10 - 07.40 1 3 2E,D Tapian Nauli 570 570

13-Apr-10 12.01 07.45 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 250

17-Apr-10 12.51 10.50 1 3 2B,C Lubuk Pariasan 510 510

20-Apr-10 12.36 08.40 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 250 27-Apr-10 14.26 08.02 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 250 01-Mei-10 11.51 08.54 1 3 E,D,B Haramonting & H. Raja 240 240

Total 53 110 19.720