Pembahasan ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

46

C. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan gambaran school connectedness pada siswa SMA WR Supratman 2 Medan sebagai sekolah dengan konsep pembauran. Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa dari 135 siswa WR Supratman 2 Medan yang menjadi responden penelitian, secara umum tergolong sedang yaitu 76 orang 56,30 , sedangkan yang tergolong tinggi ada sebanyak 59 orang 43,70, dan tidak ada siswa yang memiliki school connectedness yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa pada umumnya gambaran school connectedness pada siswa SMA WR Supratman 2 Medan tergolong sedang. Hal ini dapat dikatakan bahwa keterhubungan siswa dengan sekolahnya cukup positif. Blum 2004 menyatakan bahwa siswa yang memiliki kelekatan yang positif dengan sekolahnya tercermin dari hal-hal berikut yakni memiliki rasa kepemilikan dan menjadi bagian sekolahnya, menyukai sekolah tersebut, merasa bahwa guru-gurunya mempedulikan dan mendukungnya, memiliki teman baik di sekolah, terlibat dalam kemajuan akademis, meyakini bahwa kedisiplinan dilakukan secara adil dan efektif, serta berpartisipasi dalam aktivitas ekstrakurikuler. School connectedness menurut Connell dan Wellborn dalam Stracuzzi Mills, 2010 tersusun atas tiga aspek yaitu dukungan sosial, rasa memiliki serta keterlibatan. Dukungan sosial menekankan pada hubungan siswa dengan guru serta staff sekolah lainnya. Hasil penelitian berdasarkan kategorisasi setiap aspek school connectedness , didapatkan bahwa aspek dukungan sosial berada pada Universitas Sumatera Utara 47 kategori tinggi yakni sebesar 51,85 . Hal ini dapat dikatakan bahwa siswa SMA WR Supratman 2 Medan merasakan bahwa dukungan yang diberikan oleh guru dan staff sekolah sudah baik. Menurut mereka, guru dan staff sekolah telah memperlakukan siswa secara adil. Meskipun di awal latar belakang permasalahan, diduga bahwa siswa khususnya keturunan non Tionghoa merasa adanya perbedaan perlakuan dari guru-guru Tionghoa ketika mengajar, namun dari hasil penelitian ternyata menunjukkan bahwa siswa tidak merasa bahwa guru tidak mendukung mereka atau membeda-bedakan mereka berdasarkan etnis mereka. School connectedness juga dapat dilihat dari rasa kepemilikan siswa akan lingkungan sekolahnya. Rasa kepemilikan siswa dapat dilihat dari sejauh mana siswa merasa dihormati di sekolahnya serta memiliki banyak teman di sekolahnya. Pada sekolah pembauran, siswa tentunya diharapkan untuk bergaul dengan teman di luar etnis dan agama mereka. Moody Bearman dalam McNeely, Nonnemaker Blum, 2002 menyatakan bahwa school connectedness cenderung tinggi pada sekolah yang tersegregasi secara ras daripada sekolah yang terintegrasi secara ras sekolah pembauran. Hal ini dikarenakan siswa pada sekolah pembauran akan cenderung membentuk kelompok-kelompok pertemanan berdasarkan ras atau etnis mereka masing-masing. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, siswa SMA WR Supratman 2 Medan, siswa memang terlihat membentuk kelompok-kelompok berdasarkan etnis mereka khsususnya pada siswa keturunan Tionghoa. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian melalui skala school connectedness didapatkan bahwa siswa relatif mengatakan bahwa siswa mau bergaul dengan teman-teman yang berbeda Universitas Sumatera Utara 48 etnis dengannya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa rasa memiliki siswa relatif pada kategori tinggi yakni sebesar 54,07 . Siswa yang telah merasakan dukungan sosial, serta rasa memiliki akan lingkungan sekolahnya akan menunjukkan keterlibatan di dalam kegiatan sekolah Blum, 2004. Keterlibatan tercermin dari keaktifan siswa baik di dalam kelas maupun di luar kelas termasuk ekstrakurikuler. Penelitian yang dilakukan oleh Saelhof 2009 menunjukkan bahwa aktivitas ekstrakurikuler merupakan salah satu upaya efektif untuk meningkatkan school connectedness. Siswa di SMA WR Supratman 2 Medan menunjukkan keterlibatan yang sudah cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian berdasarkan aspek school connectedness menunjukkan bahwa keterlibatan siswa relatif sedang yakni sebesar 65,93 . Siswa di sekolah ini sudang menunjukkan keaktifan di kelas yang cukup baik, namun berdasarkan hasil wawancara dengan pihak sekolah keaktifan siswa di luar kelas masih tergolong kurang. Hal ini tercermin dari jumlah siswa yang mengikuti ekstrakurikuler yaitu 41 dari jumlah siswa keseluruhan dan untuk terlibat dalam kegiatan sekolah cenderung yang hanya mengikuti ekstrakurikuler. Keterlibatan siswa khususnya dalam hal ekstrakurikuler yang tergolong sedang dapat dipengaruhi oleh faktor budaya siswa. SMA WR Supratman 2 Medan memiliki siswa yang didominasi oleh budaya Tionghoa. Siswa yang mengikuti ekstrakurikuler pada umumnya adalah siswa WNI asli. Sementara itu, siswa WNI keturunan Tionghoa cenderung berorientasi dalam hal akademik, Universitas Sumatera Utara 49 sehingga kurang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang khususnya tidak ada kaitannya dengan akademik di sekolah. Maloedyn 2010 menyatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang penting bagi keluarga Tionghoa. Orangtua Tionghoa mendidik anaknya untuk bekerja keras dalam pendidikan. Dengan demikian anak mampu untuk mengembangkan diri dan memperoleh prestasi akademik yang baik di sekolahnya. Penelitian yang dilakukan oleh Salim 2014 pada SMA Negeri 1 Tebas juga menunjukkan bahwa motivasi berprestasi siswa Tionghoa tergolong tinggi. Meskipun pada konteks penelitian tersebut siswa Tionghoa merupakan kelompok minoritas, siswa Tionghoa tetap menunjukkan persaingan mereka di dalam kelas dan keunggulan-keunggulan mereka. Hal inilah yang setidaknya mempengaruhi siswa keturunan Tionghoa untuk terlibat dalam aktivitas ekstrakurikuler. Siswa keturunan Tionghoa hanya cenderung terlibat dalam kegiatan sekolah yang berkaitan dengan akademik. Selain faktor budaya dominan, school connectedness di sekolah ini dapat dipengaruhi oleh faktor kultur sekolah Blum, 2004. Kultur sekolah di SMA WR Supratman 2 Medan berupaya untuk membangun toleransi dengan keberagaman budaya diantara siswa. Sekolah ini selalu merayakan kegiatan-kegiatan seperti perayaan hari-hari keagaman seperti Imlek, Natal dan juga Idul Fitri. Dalam proses pembelajaran, guru juga diminta oleh pihak yayasan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan apabila guru melanggar maka akan diberikan teguran. Kultur sekolah pembauran harus terus dibangun supaya Universitas Sumatera Utara 50 tujuan dari kebijakan pemerintah tentang sekolah pembauran tersebut dapat terwujud. Berdasarkan hasil tambahan penelitian juga dapat dijelaskan bagaimana gambaran school connectedness siswa SMA WR Supratman 2 Medan ditinjau dari jenis kelamin, tingkatan kelas dan suku yang dianut siswa. Ditinjau dari jenis kelamin, baik siswa laki-laki 57,6 maupun perempuan 55,1 dominan berada pada kategori sedang. Sementara itu jika ditinjau dari tingkatan kelas, school connectedness s iswa juga dominan berada pada kategori sedang yakni sebesar 51,77 pada siswa kelas XI dan 64 pada siswa kelas XII. Kemudian jika ditinjau dari suku yang dianut siswa dapat dilihat bahwa baik siswa suku Tionghoa 56,67 maupun siswa suku non Tionghoa 53,33 berada pada kategori sedang. Universitas Sumatera Utara 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian serta saran yang diberikan kepada pihak-pihak terkait dalam penelitian ini.

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa data yang telah diperoleh dari penelitian ini, maka didapatkan gambaran sebagai berikut: 1. Pada umumnya school connectedness pada siswa di sekolah pembauran studi kasus SMA WR Supratman 2 Medan berada pada kategori sedang. 2. Dari hasil utama penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian memiliki kategori yang tinggi pada aspek dukungan sosial dan rasa memiliki. Sementara itu, aspek keterlibatan dominan berada pada kategori sedang.

B. Saran Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti memberikan saran-saran penelitian yakni: Universitas Sumatera Utara