19
2, XI IPS 1, XI IPS 2 serta kelas XII terdapat 4 kelas XII IPA 1, XII IPA
2, XII IPS 1, XII IPS 2.
Kegiatan ekstrakulikuler yang ada di SMA WR Supratman yakni robotic club
, futsal, pramuka, basket, marching band, dance club, paduan suara, dan english club. Keterlibatan siswa dalam kegiatan ekstrakulikuler
dapat terlihat dari jumlah siswa yang mengikuti ekstrakulikuler yakni
sebanyak 41 dari jumlah keseluruhan siswa.
D. Gambaran School Connectedness pada Siswa di Sekolah Pembauran
Studi Kasus SMA WR Supratman 2 Medan
Sekolah pembauran merupakan upaya pemerintah agar kelompok tertentu dalam konteks ini adalah siswa keturunan Tionghoa dapat
meleburkan dirinya dan budanya kepada kelompok yang lebih dominan yaitu kelompok siswa WNI asli. Sekolah pembauran memiliki beberapa
ketentuan yang harus dipenuhi oleh pihak sekolah di antaranya adalah sekolah dilaksanakan oleh yayasan baik itu berlatar belakang agama
maupun yayasan pendidikan umum nasional, siswa di dalam sekolah tersebut harus sebanding yakni 50 siswa WNI asli dan 50 WNI asing,
kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional serta menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar Pelly, 2003.
Banyaknya ketentuan yang berlaku untuk sekolah pembauran, ternyata tidak dapat dipenuhi oleh semua sekolah terutama dalam hal
perbandingan siswa WNI asli dengan siswa keturunan Tionghoa. Dalam
Universitas Sumatera Utara
20
praktiknya, sekolah pembauran juga mengalami kendala yakni dalam penggunaan bahasa pengantar yang seharusnya bahasa Indonesia namun
kerap kali akibat jumlah mayoritas siswa keturunan Tionghoa maka guru Tionghoa cenderung menggunakan bahasa Tionghoa dalam pembelajaran.
Kendala ini menjadi hal yang membuat tidak nyaman bagi siswa WNI asli yang tidak mengerti apa yang disampaikan oleh guru.
Ketidaknyamanan siswa ini akan mengarah pada perasaan siswa apakah ia diterima di sekolahnya atau tidak. Istilah ini dikenal dengan school
connectedness. School connectedness
merupakan perasaan positif siswa mengenai pendidikan, perasaan memiliki akan lingkungan sekolah, serta adanya
hubungan yang positif dengan staff sekolah dan teman-temannya Stracuzzi Mills, 2010. Setiap siswa penting untuk memliki school
connectedness karena siswa yang merasa menjadi bagian dari sekolahnya
akan lebih menunjukkan kesuksesan baik itu dalam hal perilaku, emosional, maupun akademis.
School connectedness terdiri dari tiga aspek utama yakni dukungan
sosial, rasa memiliki siswa terhadap sekolah serta keterlibatan siswa dalam kegiatan di sekolah Connell Wellborn, dalam Stracuzzi Mills, 2010.
Dukungan sosial menekankan pada sejauh mana siswa merasa dekat dan dihargai oleh guru dan staff lainnya di sekolah. Setiap guru atau staff
sekolah tidak membedakan antara siswa yang satu dengan yang lainnya berdasarkan jenis kelamin, agama, suku, dan status lainnya.
Universitas Sumatera Utara
21
Siswa yang memiliki school connectednesss juga tercermin dari perasaan yang dimiliki oleh siswa bahwa ia merupakan bagian dari
sekolah sense of belonging. Siswa akan merasakan bahwa orang-orang di lingkungan sekolahnya menghormati dirinya, serta memiliki banyak
teman. Siswa yang sudah merasakan dukungan sosial dari orang dewasa di sekolah baik itu guru atau staff sekolah serta memiliki rasa bahwa ia
merupakan bagian dari sekolah, maka siswa akan menunjukkan keterlibatannya melalui kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah.
Keterlibatan siswa dapat terwujud melalui kegiatan akademik maupun non akademik.
Salah satu faktor yang mempengaruhi school connectedness siswa adalah kultur sekolah. Kultur sekolah menunjukkan adanya keseimbangan
antara kebutuhan sosial dan pembelajaran artinya sekolah dapat menyeimbangkan antara pembelajaran dengan kebutuhan sosial siswa
seperti bersosialisasi dengan teman-temannya, melakukan aktivitas olahraga serta mengikuti kegiatan ekstrakulikuler.
Kultur sekolah pada sekolah pembauran menekankan tentang kebutuhan sosialisasi siswa terhadap teman-temannya diluar budayanya
agar terciptalah tujuan kebijakan pemerintah tentang Sekolah Nasional Proyek Khusus SNPK. Kelompok WNI keturunan asing Tionghoa
melakukan asimilasi total ke dalam budaya nasional kelompok WNI asli sedangkan kelompok WNI asli melakukan akulturasi saling memberi dan
menerima unsur budaya masing-masing di antara siswa WNI asli.
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan nasional dari negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar UUD tahun 1945 adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tujuan ini menekankan bahwa negara bertanggung jawab atas pendidikan yang ditempuh oleh setiap warga negaranya. Pendidikan
menurut Undang-Undang No.20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Mendapat pendidikan merupakan hak yang dimiliki setiap warga negara Indonesia UUD tahun 1945 pasal 31 ayat 1. Sebagai negara dengan
multikultur, hal ini berarti bahwa setiap warga negara yang dimaksud adalah setiap orang yang berasal dari latar belakang suku, agama bahkan status sosial
manapun dengan catatan merupakan warga negara Indonesia berkesempatan
untuk mengenyam pendidikan.
Universitas Sumatera Utara