Hubugan Diplomatik Sultan Hajji
28
hingga ke pedalaman daerah Pasundan. Usaha tersebut tidak pernah putus, bahkan hingga terjadinya Pemberontakan Petani Banten.
60
Ketika perkembangan Islam di Mataram mengalami kemunduran, di Kesultanan Banten mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Di Mataram,
Sunan Amangkurat I, melihat bahwa ulama dan dunia pesantrennya, merupakan ancaman serius terhadap tahtanya, akibatnya dia melakukan pembatasan dengan melucuti
kedudukan serta fungsi ulama dan puncaknya adalah pembantaian terhadap 3000-5000 ulama bersama keluargnya di alun-alun Plered pada tahun 1670.
61
Di Kesultanan Banten ulama merupakan tulang punggung tahta Kesultanan Banten dan diangkat derajatnya ke
tingkat paling tinggi secara non-formal, beberapa bahkan menjadi orang kepercayaan Sultan Banten, dengan menjadi hakim di pengadilan yang menggunakan syariat Islam.
Kesultanan Banten adalah satu-satunya negara di Jawa, yang menggunakan syariat Islam sebagai dasar untuk memutuskan hukum di pengadilan.
62
Kejatuhan tahta Mataram karena resistensinya terhadap para ulama, namun di Kesultanan Banten, usaha dalam dukunganya yang terbaik bagi para ulama, membuat
tingkat kekuasaan dan kekuatan Kesultanan Banten tetap terjaga. Haltersebut dapat diketahui dari sosok Syeikh Yusuf al-Makassari, yang didukung dan mendukung Sultan
Ageng Tirtayasa dalam perjuangannya melawan Kompeni selama konflik suksesi.
63
Selama konflik dan perang yang terjadi pada tahun 1680 hingga 1684, hanya masjid Agung Kesultanan Banten yang tersisa. Masjid dianggap sebagai pusaka yang
60
Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, hlm. 108.
61
H.J de Graaf, Runtuhnya Istana Mataram, Diistegrasi Mataram Pada Masa Amangkurat I, terj. Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990, hlm. 36.
62
Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga, 140-1680, Jilid 1: Tanah Di Bawah Angin, hlm. 131.
63
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah-Asia Tenggara Abad XVI-XVIII, Jakarta: Prenada Media, 2009, hlm. 115.
29
utama bagi umat Islam di Jawa, bahkan ketika banyak pusaka Kerajaan Mataram kraton Kartasura, yang dibawa bersama Sunan Amangkurat III ke Sri Langka dalam
pembuangannya, Sunan Pakubuwono I menyatakan dalam kutipan bebas bahwa, “selama masih ada Masjid Demak dan makam Kadilangu, maka pusaka tanah Jawa masih terus
ada”, hal ini menunjukkan bahwa, simbol-simbol Islam masih terus diperhatikan oleh para penguasa di Jawa, meskipun sudah dalam pengaruh VOC.
64
Dunia Pesantren di Jawa, baik di Mataram maupun di Banten, terus mengalami perubahan yang signifikan, yang diakibatkan oleh dinamika internal
Kesulatanan Banten serta penetrasi kolonial Barat. Pesantren juga merupakan pusat perkembangan masyarakat yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat di bidang
keagamaan dan sebagai sarana ritus peralihan dan sosialisasi perkembangan dari dunia luar.
65
Menurut Taufik Abdullah, pesantren adalah tempat untuk membina orang baik yang hidup dalam lingkungan yang ketat dan disiplin.
66
64
Nancy K. Florida, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang, Sejarah Sebagai Nurbuwat di Jawa Pada Masa Kolonial, terj. Revianto Budi S., dan Nancy K. Florida, Yogyakarta: Bentang,
2002, hlm. 101.
65
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah, Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1996, hlm. 111.
66
Mohammad Akhyar, “Pesantren, Kyai dan Tarekat: Studi Tentang Peranan Kyai di Pesantren dan Tarekat”, dalam, Abuddin Nata ed., Sejarah Pertumbuhan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di
Indonesia Jakarta: Grasindo, 2001, hlm. 137.