30
BAB III
PROSES KONFLIK SUKSESI KEKUASAAN DAN MASUKNYA INTERVENSI VOC
A. Perebutan di Kesultanan Banten. 1. Konsep Kekuasaan.
Banten menganut sistem kerajaan dalam arti kuno, yaitu raja berdaulat atas rakyatnya, tanpa harus bertanggung jawab pada parlemen atau dewan rakyat,
meskipun raja selalu meminta pertimbangan dalam setiap keputusan penting. Kesultanan Banten mempunyai konsep suksesi penguasa atau raja,
dengan indikator atau kualifikasi tertentu terhadap calon raja baru. Konsep kekuasaan dan suksesi seorang calon raja di Kerajaan Banten melalui tiga dasar
utama dalam kualifikasi berupa, pertama, dia harus anak laki-laki dari istri permaisuri. Kedua, harus dapat persetujuan ulama dan dewan, walaupun dalam kasus
Sultan Haji dia tidak mendapat persetujuan ini. Ketiga, calon raja harus mempunyai arah kebijakan yang kuat sebagaimana para pendahulunya. Waulaupun tidak ada
udang-undang dasar untuk mengantur masalah pergantian raja.
67
Proses suksesi seperti itulah yang menguatkan Kesultanan Banten, Seorang bangsawan atau pangeran yang diangkat menjadi calon pengganti dari raja
sebelumnya Kesultanan Banten melalui bentuk legitimasi kekuasaan raja di Kesultanan Banten diwujudkan ke dalam sosok dan kebijakan raja.
68
Didalam
67
Claude Guillot, Banten : Sejarah dan Peradaban Abad V-XVII Jakarta: Kepustakaan populer Gramedia, 2011. Hal. 214
68
Tubagus Najib, Kebangkitan Banten dari Masa Ke Masa Berdasarkan Naskah Kuno dan Peninggalan Arkeologi, Serang: Yayasan Sheng Po Banten, 2011, hlm. 58.
31
konsep suksesi di Kesultanan Banten ini tidak memiliki kekuatan hukum, yang membuat pewaris tahta bisa dicopot setiap saat.
Kekuasaan raja adalah utuh, yang berarti hanya ada satu penguasa tunggal
dan absolut.
69
Oleh sebab itulah raja-raja Banten selalu enggan mengadakan perjanjian yang merugikan kekuasaannya. Selama proses pergantian kekuasaan di
abad ke-17, terdapat 2 pucuk pimpinan di Kesultanan Banten, yaitu; Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Sultan Sepuh merupakan pemimpin utama di Kesultanan Banten,
dia memegang keputusan strategis kerajaan berupa; menerima dan mengirim para duta besar dari Kesultanan Banten ke negara lain dan memutuskan sebuah perjanjian,
sedangkan Sultan Anom hanya bertindak mengurus kegiatan sehari-hari kerajaan, berupa; pengadilan dan urusan rumah tangga kraton.
70
Atas dasar keadaan sistem kekuasaan itulah, maka sumber potensi konflik mulai muncul, tatkala Pangeran Haji atau Sultan Anom
71
secara sepihak menyatakan telah mengambil alih segala urusan istana, termasuk mengirim utusan
dan mengadakan perjanjian. Hal tersebut terjadi setelah Sultan Ageng Tirtayasa bermukim di Tirtayasa. Keadaan di istana semakin buruk karena banyaknya mata-
mata dan penghasut Sultan Anom agar mendapatkan dukungan dari VOC. Sebagai Sultan Anom yang tidak mempunyai hak atas urusan yang
masih menjadi urusan Sultan Sepuh itulah, maka karena ingin mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan dengan VOC, Sultan Anom berani
69
Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu Bagian III: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, hlm. 100.
70
Uka Tjandrasasmita, Sultan Ageng Tirtayasa, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah
Nasional, 1984, hlm.35. Sultan Ageng Tirtayasa bernama asli Sultan Abdul Fattah yang beristrikan Nyi Ayu Gede dan Ratu Nengah. Bertathta sejak tahun 1651-1682.
71
Pangeran Haji atau Sultan Anom, adalah salah satu putra dari Sultan Ageng Tirtayasa, yang dikirim ke Mekkah dua kali selama hidupnya, pada tahun 1669 kembali pada tahun 1671 dan pada 1676
kembali pada tahun 1679 oleh karena itu dia dikenal dengan nama Sultan Haji. Sultan Haji atau yang bernama asli Pangeran Abdul Nasir Abdul Kadir, rupanya lebih senang bersahabat dengan VOC ketimbang
bermusuhan dengannya. Dia bertahta dengan klaim sejak tahun 1680 hingga 1687.