Analisis Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-VIII2010

waris anak luar perkawinan. Akibat hukum atau dampak dari Putusan MK secara ringkas dapat dilihat dalam tabel di bawah ini : HAK MATERIAL JENIS ANAK LUAR KAWIN PERILAKU SEKSUAL SEBELUM PUTUSAN MK SESUDAH PUTUSAN MK WARIS Hasil Sirri - Tidak berhak karena hasil perkawinan tidak dicatat Berhak sebagaimana Faraid Anak Sah Hasil Zina Zina Mukhsan Tidak Berhak Berhak sebagaimana Faraid Anak Sah Zina Ghairu Mukhsan Tidak Berhak Berhak sebagaimana Faraid Anak Sah Hasil Perkosaan Zina Mukhsan Tidak Berhak Berhak sebagaimana Faraid Anak Sah Zina Ghairu Tidak Berhak Berhak Mukhsan sebagaimana Faraid Anak Sah Adopsi - Wasiat Wasiat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010 tentang status anak hasil pernikahan siri ini sempat menjadi polemik di kalangan umat Islam di Indonesia karena Mahkamah Konstitusi dianggap melegalkan perzinaan. Nasab hanya bisa diperoleh dari akad nikah yang sah, maka dari itu pentingnya menjaga kesucian nasab di dalam Islam. Allah mensyariatkan hukumnya untuk memelihara kemaslahatan hambanya baik di dunia maupun akhirat. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia maupun di akhirat ini, ada lima unsure pokok yang harus di pelihara dan diwujudkan. Kelima pokok tersebut adalah memelihara agama hifdh al din, memelihara jiwa hifdh al nafs, memelihara akal hifdh al aql, memelihara keturunan hifdh al nasab, dan memelihara harta hifdh al mal, sebaliknya manakala mukallaf tidak dapat memelihara dengan baik kelima unsur pokok tersebut, ia akan merasakan mafsadat. 63 Terlepas dari polemik seputar putusan Mahkamah Konstitusi tentang status anak hasil nikah sirri dan dampaknya terhadap hak waris. Jika dilihat dari perspektif Islam maka nasab anak tetap pada ibunya walaupun menurut 63 Jaenal Aripin, dkk, Filsafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan, Jakarta : Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta Mahkamah Konstitusi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” dan sudah menjadi keputusan hukum yang tetap. Majelis Ulama Indonesia MUI menilai putusan Mahkamah Konstitusi no. 46PUU-VIII2010 sangat berlebihan, melampaui batas serta bertentangan denga ajaran Islam dan pasal 29 UUD 1945. MUI memandang putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki konsekuensi yang sangat luas, termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali dan nafkah antara anak hasil zina dan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Dimana demikian tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Jelas, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah mengganggu, mengubah dan bahkan merusak hukum waris Islam yang berasal dari Al-Quran dan Sunnah. Terlebih putusan Mahkamah Konstitusi itu menyatakan, anak yang lahir dari hasil hubungan zina mendapatkan waris dari lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Menurut Fatwa MUI pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman takzir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan untuk memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah. 64 Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan saksi ahli pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-VIII2010 di sidang Mahkamah Konstitusi dalam uji materi Undang-Undang Perkawinan tentang status anak luar nikah yakni Majelis Ulama Indonesia memberikan alternative hukum baru yang arif, bijak, dan akomodatif. Fatwa MUI tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya ini narasumber sebutkan sebagai sebuah fatwa yang arif, karena redaksi dan susunan bahasanya sangat baik dan runtut diawali dengan menimbang, mengingat, memperhatikan, memutuskan, dan akhirnya menetapkan. 65 Isi putusannya juga sangat baik dan inspiratif dan narasumber juga menyebutnya sebagai fatwa yang bijak, karena walaupun lahir akibat sebuah putusan Mahkamah Konstitusi yang controversial dan penuh polemik, namun isinya bisa berada di tengah dan tidak seperti berbagai pernyataan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bagai wahyu Tuhan yang tidak bisa berubah, memangnya Mahkamah Konstitusi itu Tuhan? Dan seterusnya, ternyata hal sebaliknya bisa penulis temukan dalam fatwa MUI, Fatwa MUI ini juga bersifat akomodatif karena apa yang dikemukakan di dalamnya sudah mencakup berbagai pandangan para ulama dari berbagai kalangan mazhab, sehingga diasumsikan akan mudah diterima oleh semua pihak, bahkan terkait putusan Mahkamah Konstitusi MUI 64 Nurul Irfan, Nasab Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2015. cet. II, h. 202. 65 Hasil wawancara dengan saksi ahli pada putusan Mahkamah Konsitusi No. 46PUU- VIII2010 pada tanggal 2 April 2015 pada jam 15.00 - 17.00 WIB. berupaya untuk menjelaskan lebih lanjut segala sesuatu yang belum terjawab atau yang bermunculan pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang mengundang polemik. 66 66 Hasil wawancara dengan saksi ahli pada putusan Mahkamah Konsitusi No. 46PUU- VIII2010 pada tanggal 2 April 2015 pada jam 15.00 - 17.00 WIB. 52

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai akhir dari penelitian dan pembahasan tentang Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-VIII2010 terhadap Hak Waris Anak dalam Perspektif Islam, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Dampak-dampak yang timbul setelah putusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-VIII2010 : a. Pengaturan awalnya dalam Hukum Waris Perdata anak luar kawin mendapat warisan jika telah diakui dan disahkan. Namun sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010 tersebut. Anak hasil nikah sirri diakui sebagai anak yang sah dan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya. b. Putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan nasab anak hasil nikah sirri dengan bapak biologisnya. Adanya hak dan kewajiban antara anak luar nikah dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. c. Dampak atas pengaturan hukum yang lama. Akhirnya perlu dilakukan pembahasan terkait implementasi ketentuan mengenai anak luar kawin dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan akan pasca Putusan MKRI Nomor 46PUU-VIII2010. 2. Tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia, pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan masih banyak terjadi dan dilakukan oleh masyarakat. Salah satu akibat yang paling merugikan dari pernikahan secara siri adalah pernikahan tersebut dianggap tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak tercatat dan berimbas pada ketidak jelasan status dari isteri dan anak-anak hasil pernikahan siri di mata hukum. Jadi, pihak yang selalu menjadi korban dari pernikahan siri atau di bawah tangan adalah wanita dan anak-anak. 3. Hukum perkawinan memiliki hubungan yang erat dengan hukum kewarisan, karena di dalam hukum kewarisan mensyariatkan adanya hubungan nasab dan hubungan perkawinan untuk bisa saling waris mewarisi antara pewaris dan ahli waris. Selain itu, di dalam Islam nasab hanya dapat diperoleh melalui perkawinan yang sah dan tidak akan berlaku bagi pezina sebab nasab merupakan karunia dari Allah. 4. Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-VIII2010 keberadaannya memang sudah final dan mengikat tentang status anak luar nikah belum tentu menjamin bahwa anak-anak luar nikah termasuk anak hasil pernikahan siri, bisa mendapatkan status keperdataan yang termasuk di dalamnya hubungan saling waris-mewarisi secara sah antara anak tersebut dengan kedua orang tuanya terutama dengan pihak ayah dan keluarga ayahnya. 5. Pengakuan anak luar kawin ini hanya akan memberikan perlindungan terhadap anak luar kawin dengan adanya pengakuan. Hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan tidak akan berarti apa-apa. Syarat penting pengakuan ini adalah pembuktian bahwa adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu pengetahuan. Namun masih dimungkinkan ada penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah. Terkait dengan pengakuan anak luar kawin harus dipahami pembagian antara anak luar kawin, anak zina. 6. Akibat nyata putusan MK, kini kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak waris. Dengan demikian, sudah jelask putusan MK ini telah menyebabkan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan apalagi sekedar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah. Hal ini sangat menurunkan derajat kesucian dan keluhuran lembaga perkawinan, bahkan pada tingkat ekstrem dapat muncul pendapat tidak dibutuhkan lagi lembaga perkawinan karena orang tidak perlu harus menikah secara sah apabila dikaitkan dengan perlindungan hukum anak.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan berkenaan dengan Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-VIII2010 terhadap Hak Waris Anak dalam Perspektif Islam adalah : 1. Penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya keluarga sebagai dasar yang kuat dari suatu bangsa, karena masih belum adanya ketegasan dari pemerintah selaku pihak yang berwenang apakah akan melegalkan atau melarang pernikahan secara siri atau di bawah tangan, maka seharusnya diperlukan adanya sosialisasi kepada masyarakat secara massif dan merata guna memberi pemahaman pada masyarakat dan menekan pernikahan siri atau di bawah tangan. Bahwa memang nikah siri atau di bawah tangan hukumnya sah secara agama, namun tidak mempunyai kekuatan hukum di mata Negara dan mempunyai konskwensi yang besar jika masih melakukan nikah siri. 2. MUI sudah mengeluarkan Fatwa yang sangat arif dan bijaksana sebagai jalan tengah dalam persoalan ini, jadi alangkah baiknya masyarakat Indonesia mematuhi dan mentaati Fatwa yang sudah MUI buat untuk kemaslahatan bersama di kemudian harinya. 3. Karena adanya pembedaan yang jelas secara antara anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang. Namun sesuai dengan prinsip equality before the law maka anak zina dan anak sumbang juga pada dasarnya berhak untuk mendapatkan pengakuan dan waris dari ayahnya. Anak sebagai subjek hukum yang tidak mengerti sama sekali dengan aturan hukum atau aturan agama berhak untuk diakui haknya. Baik itu hak untuk hidup atau hak untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensinya dimuka bumi sama dengan anak sah lainnya. Kesalahan orang tuanya tidak bisa membuat dia menjadi berbeda karena anak luar kawin hanya menjadi korban. Kalaupun dimungkinkan tidak ada pengakuan atas dirinya maka hukum sosial juga jangan sampai menghukumnya. Maksudnya adalah jangan sampai dikucilkan oleh