Pengakuan Terhadap Anak PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 46PUU-VIII2010 TENTANG

kandung sendiri secara sah, walaupun tes darah dan tes DNA telah dilakukan dan ternyata ada kesesuaian antara darah anak dan darah ayah, tetapi proses pembuahannya bukan atas dasar perkawinan secara sah maka nasab anak tersebut tidak bisa di tetapkan dan tidak bisa dianggap sah. 53 53 Nurul Irfan, Nasab Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2015. cet. II, h. 100. 38

BAB IV ANALISIS DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46PUU-

VIII2010 TERHADAP HAK WARIS ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-VIII2010 Tentang Hak

Waris Anak hasil Perkawinan di Bawah Tangan Belum hilang dari ingatan kita empat tahun yang lalu tepatnya tahun 2010 lalu, Mahkamah Konstitusi telah memutus pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Adanya pengajuan uji materil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi berarti adanya pertanda ketidakberesan akan rumusan atau ketentuan tentang anak luar kawin yang ada dalam Undang- Undang Perkawinan, khususnya pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010 bahwa Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 54 Mahkamah Konstitusi juga manyatakan bahwa Pasal 43 ayat 1 UUP yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan 54 Pasal 43 ayat 1 UUP bertentangan sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. hukum mengikat, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Ketentuan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” telah sejalan dengan teori fikih yang bersifat universal. Mengenai masalah kewarisan bagi anak luar kawin, hukum di Indonesia memberikan solusi agar anak luar kawin dapat memperoleh bagian warisan dari ayahnnya, yaitu dengan cara diakuinya anak tersebut oleh ayahnya. Namun pengakuan anak luar kawin ini hanya diperuntukkan bagi golongan keturunan Tionghoa yang diatur dalam K.U.H.Perdata. Dalam K.U.H.Perdata hak waris anak luar kawin yang diakui diatur pada Pasal 862-866 dan Pasal 867 ayat 1. Ahli Waris anak luar kawin timbul jika pewaris mengakui dengan sah anak luar kawin tersebut. Syarat agar anak luar kawin dapat mewaris ialah bahwa anak tersebut harus diakui dengan sah oleh orang tua yang membenihkannya. Dalam K.U.H.Perdata dianut prinsip bahwa, hanya mereka yang mempunyai hubungan hukum dengan pewaris yang berhak mewaris. Hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah ibunya, timbul