untuk istri ½.
36
Jika seorang suami meninggal dunia, yang menjadi harta peninggalannya adalah harta no. 1, 2 dan 3, serta 23 dari harta no. 4. Harta
itulah yang akan menjadi hak ahli waris termasuk istri. Jadi, istri akan mendapat hartanya sendiri, yaitu 1, 2 dan 3, serta 13 dari harta no. 4,
ditambah dengan ¼ x harta suami, jika suami tidak meninggalkan anak, atau 18 jika suami meninggalkan anak.
37
Jika istri yang meninggal, suami akan mendapat harta no. 1, 2, dan 3 serta 23 dari harta no. 4 ditambah dengan ½ dari harta istri, jika istri tidak
mempunyai anak dan ¼ dari harta istri, jika istri meninggalkan anak baik anak itu dari perkawinan dengannya maupun dengan suami yang lain.
38
2. Orang yang Meninggalkan Harta Waris Muwarrits
Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris di dalam kamus Indonesia disebut dengan istilah “pewaris”,
sedangkan dalam kitab fiqh disebut muwarrist.
39
Bagi muwarrist berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia,
36
Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. cet. III, h. 60.
37
Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. cet. III, h. 60.
38
Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. cet. III, h. 60.
39
Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. cet. III, h. 60.
baik menurut kenyataan maupun menurut hukum. Kematian muwarrist menurut para ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yakni:
40
a. Mati haqiqy sejati, b. Mati hukmy berdasarkan keputusan hakim, dan
c. Mati taqdiry menurut dugaan Mati haqiqy ialah kehilangan nyawa seseorang yang semula nyawa
itu sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh pancaindra dan dapat di bukti kan dengan alat pembuktian. Sebagai akibat
dari kematian seluruh harta yang ditinggalkannya setelah dikurangi untuk memenuhi hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalannya,
beralih dengan sendirinya kepada ahli waris yang masih hidup di saat kematian muwarrist, dengan syarat tidak terdapat salah satu hangan
mempusakai. Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan oleh adanya vonis
hakim baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun dalam dua kemingkinan antara hidup dan mati. Sebagai contoh orang yang
telah divonis mati, padah ia benar-benar masih hidup. Vonis ini dijatuhkan terhadap orang yang murtad yang melarikan diri dan bergabung dengan
musuh. Vonis mengharuskan demikian karena menurut syariat selama tiga hari dia tiada bertaubat, harus dibunuh. Demikian juga vonis kematian
40
Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. cet. III, h. 61.
terhadap mafqud, yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak diketahui hidup dan matinya.
Mati taqdiry ialah suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy, tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya
kematian seseorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya minum racun.
Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, dapat juga disebabkan oleh yang lain, namun kuatnya perkiraan atas akibat
perbuatan semacam itu.
41
3. Ahli Waris atau Waarits
Waarits adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si Muwarrits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi.
Pengertian ahli waris di sini adalah orang yang mendapat harta waris, karena memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun,
tidak semua keluarga dari pewaris dinamakan termasuk ahli waris. Demikian pula orang yang berhak menerima mendapat harta waris
mungkin saja di luar ahli waris.
42
41
Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. cet. III, h. 61.
42
Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. cet. III, h. 62.
29
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 46PUU-VIII2010 TENTANG
HAK WARIS ANAK
A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-VIII2010 tentang Hak Waris
Anak hasil Perkawinan di Bawah Tangan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui putusan No. 46PUU-
VIII2010 tanggal 17 Februari 2012 telah melakukan terobosan hukum dengan
memutus bahwa Pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945. Karena anak luar kawin tidak memiliki
hubungan dengan ayahnya. Seharusnya ketentuan dari UU Perkawinan tersebut berbunyi :
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya.”
43
Alasan hukum yang melatar belakangi rechtfinding tersebut untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum.
Majelis hakim konstitusi mempunyai pertimbangan hukum yang mendorong
43
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 46PUU-VIII2010